Kamis, 15 Juni 2017

Toleransi


“Bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”

Itulah arti kata “toleran” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedang toleransi, masih menurut KBBI, setidaknya punya tiga arti : 1. Sifat atau sikap toleran; 2. Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3. Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.

Demikianlah, Gus. Di negeri kita, dewasa ini toleransi sedang jadi selebritis, lebih selebritis dari kamu. Dari aku apalagi. Kita kalah tenar. Sebenarnya tolerasi bukan selebritis dadakan. Ketenarannya bukan hadiah yang ujug-ujug macam hadiah kuis di televisi. Ketenarannya adalah hasil penitian yang cukup panjang. Mungkin kamu masih ingat, di era tahun 90an ada pelajaran yang namanya PPKn, kependekan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Di buku PPKn untuk tingkat sekolah dasar, yang bersampul gambar Garuda Pancasila itu, anak-anak sudah dikenalkan dengan kata ini, toleransi. Ada pula yang menyebutnya dengan tenggang rasa. Aku masih ingat betul salah satu sub bab pada buku PPKn itu berjudul “Tenggang Rasa Antar Umat Beragama”. Aku pikir ingatanmu juga masih segar untuk menjangkau itu, Gus.

Ya, itu sudah lama sekali. Sebelum ramai-ramai kasus penistaan agama, peristiwa aksi bernomor cantik yang berjilid-jilid, Pilkada Ibu Kota yang aroma panasnya menyebar hingga ke desa-desa yang bahkan tak ada hubunganya sama sekali, atau kalau kamu masih ingat, pelajaran PPKn yang aku ceritakan tadi itu bahkan masih jauh sebelum peristiwa Tragedi Monas 2008. Iya, yang itu. Tragedi pemukulan dan penyerangan pada masa aksi damai itu.

Entahlah, Gus. Aku tak tahu pasti, mengapa kini toleransi bisa sangat tenar. Tepat sekali. Aku setuju denganmu bahwa meroketnya kata toleransi ini memang berangsur-angsur. Percikan peristiwa yang kian menumpuk dan menemukan momentumnya pada kasus anak naga jadi raja Ibu Kota. Ah, masa iya? Bukan. Kasus keseleo lidah itu bukan momentum awal. Memang kasus itu membuat kata toleransi makin melejit, tapi asal mulanya bahkan sejak si anak naga jadi wakil raja Ibu Kota. Coba kamu ingat-ingat, bagaimana gencarnya pengakatan isu-isu etnis dan agama. Pemuka agama yang sudah merasa jadi tetangga Tuhan banyak mendapat panggungan pada masa-masa begitu. Laku keras. Mereka jadi favorit, jauh meninggalkan para pemuka agama yang ceramahnya membuat senyum dan menyejukkan hati. Dalam suasana yang demikian, yang memanaskan hati, yang provokatif yang lebih dibutuhkan. Kepiawaiannya mampu menggerakkan massa. Dan massa adalah berlian dalam pesta 5 tahunan.

Memang persoalan toleransi sudah ada jauh sebelum si anak naga jadi raja Ibu Kota. Bahkan mungkin intoleransi adalah hal yang alami. Eh, jangan sewot dulu, Gus. Ini kan baru mungkin, belum pasti. Aku juga masih berpikir-pikir. Apakah toleransi itu hal yang alami, yang kodrati? Apakah toleransi itu fitrah manusia? Atau jangan-jangan sebaliknya. Manusia dikodratkan untuk intoleran, selalu memandang salah pada yang berbeda darinya. Manusia pada dasarnya tak memiliki gagasan toleransi atau tenggang rasa. Berbeda sama dengan musuh, titik.

Anak-anak? Maksudmu, bagaimana anak-anak menyikapi perbedaan? Hmm. Begitu, ya? Jadi menurutmu anak-anak adalah gambaran ideal nautralitas manusia? Tapi aku kurang sependapat. Atau setidaknya buatlah batasan, anak-anak usia berapa yang masih bisa kita lihat sebagai manusia polos, manusia tanpa gagasan-gagasan besar produk kebudayaan. Dan lagi pula, anak-anak punya karakter yang bebeda-beda.  Oke, Gus. Sabar. Maaf, aku menyelamu terlalu bertubi-tubi.

Baiklah, mari kita melihat anak-anak. Hmm. Sepertinya ada yang bisa kusampaikan padamu tentang anak-anak dari sudut pandangku. Menurutku, dalam perbedan karakternya, mereka punya satu kesamaan. Pada dasarnya semua anak-anak dimuka bumi ini mampu menerima kehadiran liyan, sehadiran the other, kehadiran hal diluar diri mereka yang tentu berbeda satu sama lain.

Memang, ada penelitian yang mengatakan bahwa otak anak laki-laki dan perempuan berbeda hingga menyebabkan mereka punya kecenderungan yang berbeda pula. Aku membacanya di buku Male Brain karya Louann Brizendine. Tidak juga. Bukan terbaru kurasa sebab buku itu terbitan 2010. Meski buku itu mengatakan ada perbedaan mendasar cara kerja otak anak laki-laki dan perempuan, tapi setidaknya tanpa mengenal feminisme pun anak-anak mampu tak acuh pada perbedaan jenis kelamin. Mereka bisa bermain dan bergaul secara egaliter tanpa cengkraman kuasa hukum-hukum patriarki yang rigid. Pun mereka tak pernah menanyakan apa agama keluargamu, apa etnismu, siapa orang tuamu, ketika hendak bermain kejar-kejaran atau petak umpet. Paling-paling, jika seorang anak berkulit terang berrambut lurus bermain dengan anak berkulit gelap berrambut keriting, usai bermain lantas pulang ke rumah, mereka akan bertanya pada orang tuanya, “Ma, kenapa ia warna kulitnya tak sama denganku? Pa, mengapa rambutnya tak sama denganku?”.

Persis pada saat itulah anak-anak menerima penjelasan ihwal perbedaan. Orang tua punya peran vital dalam memberi penjelasan pada anak tentang perbedaan. Jika mereka memang lahir dari keluarga yang rasis dan intoleran, sudah bisa kamu bayangkan penjelasan macam apa yang meluncur dari mulut ibu bapa mereka. Dan begitupun sebalikanya.

Tentu saja. Gus. Toleran atau tidaknya seseorang memang tidak bisa hanya ditentukan faktor keluarga. Penjelasanku barangkali terlalu naif tapi setidaknya itu yang aku pelajari dari anak-anak. Menginjak mereka makin dewasa, barulah mereka mulai menampakkan tingkat toleransinya. Ada anak yang tak terlalu risih dengan perbedaan. Ada pula anak-anak yang sangat gemar mem-bully orang lain yang berbeda dengan mereka. Oh, jangan salah, Gus. Kegemaran bully memang sudah ada sejak kanak-kanak. Bully pada anak-anak mungkin adalah ekspresi terawal dari hasrat kuasa mayoritas, sebab bully pastilah dilakukan oleh mayoritas pada minoritas, oleh yang seragam pada yang “unik”. Bahwa mayoritas punya hak menentukan salah benar, baik buruk. Bahwa mayoritas adalah penentu nilai-nilai dan standar moral. Dan yang berbeda, sang minor, wajib tunduk pada hukum sang mayor(itas). Apa? Bully ala anak-anak ini adalah output dari gagasan vox populi vox Dei? Oh, entahlah, Gus. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.

Gus, intoleransi muncul barangkali karena mereka memang jarang berjumpa dengan perbedaan. Pergaulan mereka terbatas dalam komunitas mereka sendiri. Si A bergaul dengan A1, A2, A3, A4, dan A lainnya. Mereka jarang berjumpa atau berkenalan dengan B7, C5, M8, dan lainnya yang punya berbedaan mendasar. Nah, itu dia, Gus. Intoleransi muncul karena kuper (kurang pergaulan) dan kuuleun, benar sekali. Untuk hal yang satu ini aku sepakat denganmu.

Panjalu,

Juni 2017   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...