“Bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri.”
Itulah
arti kata “toleran” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedang
toleransi, masih menurut KBBI, setidaknya punya tiga arti : 1. Sifat atau sikap
toleran; 2. Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan; 3. Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran
kerja.
Demikianlah, Gus. Di negeri kita, dewasa ini toleransi sedang jadi
selebritis, lebih selebritis dari kamu. Dari aku apalagi. Kita kalah tenar. Sebenarnya
tolerasi bukan selebritis dadakan. Ketenarannya bukan hadiah yang ujug-ujug
macam hadiah kuis di televisi. Ketenarannya adalah hasil penitian yang cukup
panjang. Mungkin kamu masih ingat, di era tahun 90an ada pelajaran yang namanya
PPKn, kependekan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Di buku PPKn
untuk tingkat sekolah dasar, yang bersampul gambar Garuda Pancasila itu,
anak-anak sudah dikenalkan dengan kata ini, toleransi. Ada pula yang
menyebutnya dengan tenggang rasa. Aku masih ingat betul salah satu sub bab pada
buku PPKn itu berjudul “Tenggang Rasa Antar Umat Beragama”. Aku pikir ingatanmu
juga masih segar untuk menjangkau itu, Gus.
Ya, itu sudah lama sekali. Sebelum ramai-ramai kasus penistaan agama,
peristiwa aksi bernomor cantik yang berjilid-jilid, Pilkada Ibu Kota yang aroma
panasnya menyebar hingga ke desa-desa yang bahkan tak ada hubunganya sama
sekali, atau kalau kamu masih ingat, pelajaran PPKn yang aku ceritakan tadi itu
bahkan masih jauh sebelum peristiwa Tragedi Monas 2008. Iya, yang itu. Tragedi pemukulan
dan penyerangan pada masa aksi damai itu.
Entahlah, Gus. Aku tak tahu pasti, mengapa kini toleransi bisa sangat
tenar. Tepat sekali. Aku setuju denganmu bahwa meroketnya kata toleransi ini
memang berangsur-angsur. Percikan peristiwa yang kian menumpuk dan menemukan
momentumnya pada kasus anak naga jadi raja Ibu Kota. Ah, masa iya? Bukan. Kasus
keseleo lidah itu bukan momentum awal. Memang kasus itu membuat kata toleransi
makin melejit, tapi asal mulanya bahkan sejak si anak naga jadi wakil raja Ibu
Kota. Coba kamu ingat-ingat, bagaimana gencarnya pengakatan isu-isu etnis dan
agama. Pemuka agama yang sudah merasa jadi tetangga Tuhan banyak mendapat
panggungan pada masa-masa begitu. Laku keras. Mereka jadi favorit, jauh
meninggalkan para pemuka agama yang ceramahnya membuat senyum dan menyejukkan
hati. Dalam suasana yang demikian, yang memanaskan hati, yang provokatif yang
lebih dibutuhkan. Kepiawaiannya mampu menggerakkan massa. Dan massa adalah berlian
dalam pesta 5 tahunan.
Memang persoalan toleransi sudah ada jauh sebelum si anak naga jadi
raja Ibu Kota. Bahkan mungkin intoleransi adalah hal yang alami. Eh, jangan
sewot dulu, Gus. Ini kan baru mungkin, belum pasti. Aku juga masih
berpikir-pikir. Apakah toleransi itu hal yang alami, yang kodrati? Apakah toleransi
itu fitrah manusia? Atau jangan-jangan sebaliknya. Manusia dikodratkan untuk
intoleran, selalu memandang salah pada yang berbeda darinya. Manusia pada
dasarnya tak memiliki gagasan toleransi atau tenggang rasa. Berbeda sama dengan
musuh, titik.
Anak-anak? Maksudmu, bagaimana anak-anak menyikapi perbedaan? Hmm. Begitu,
ya? Jadi menurutmu anak-anak adalah gambaran ideal nautralitas manusia? Tapi aku
kurang sependapat. Atau setidaknya buatlah batasan, anak-anak usia berapa yang
masih bisa kita lihat sebagai manusia polos, manusia tanpa gagasan-gagasan besar
produk kebudayaan. Dan lagi pula, anak-anak punya karakter yang
bebeda-beda. Oke, Gus. Sabar. Maaf, aku
menyelamu terlalu bertubi-tubi.
Baiklah, mari kita melihat anak-anak. Hmm. Sepertinya ada yang bisa
kusampaikan padamu tentang anak-anak dari sudut pandangku. Menurutku, dalam
perbedan karakternya, mereka punya satu kesamaan. Pada dasarnya semua anak-anak
dimuka bumi ini mampu menerima kehadiran liyan, sehadiran the other, kehadiran
hal diluar diri mereka yang tentu berbeda satu sama lain.
Memang, ada penelitian yang mengatakan bahwa otak anak laki-laki dan
perempuan berbeda hingga menyebabkan mereka punya kecenderungan yang berbeda
pula. Aku membacanya di buku Male Brain karya Louann Brizendine. Tidak juga. Bukan
terbaru kurasa sebab buku itu terbitan 2010. Meski buku itu mengatakan ada
perbedaan mendasar cara kerja otak anak laki-laki dan perempuan, tapi
setidaknya tanpa mengenal feminisme pun anak-anak mampu tak acuh pada perbedaan
jenis kelamin. Mereka bisa bermain dan bergaul secara egaliter tanpa cengkraman
kuasa hukum-hukum patriarki yang rigid. Pun mereka tak pernah menanyakan apa
agama keluargamu, apa etnismu, siapa orang tuamu, ketika hendak bermain
kejar-kejaran atau petak umpet. Paling-paling, jika seorang anak berkulit
terang berrambut lurus bermain dengan anak berkulit gelap berrambut keriting,
usai bermain lantas pulang ke rumah, mereka akan bertanya pada orang tuanya, “Ma,
kenapa ia warna kulitnya tak sama denganku? Pa, mengapa rambutnya tak sama
denganku?”.
Persis pada saat itulah anak-anak menerima penjelasan ihwal perbedaan. Orang
tua punya peran vital dalam memberi penjelasan pada anak tentang perbedaan. Jika
mereka memang lahir dari keluarga yang rasis dan intoleran, sudah bisa kamu
bayangkan penjelasan macam apa yang meluncur dari mulut ibu bapa mereka. Dan begitupun
sebalikanya.
Tentu saja. Gus. Toleran atau tidaknya seseorang memang tidak bisa
hanya ditentukan faktor keluarga. Penjelasanku barangkali terlalu naif tapi
setidaknya itu yang aku pelajari dari anak-anak. Menginjak mereka makin dewasa,
barulah mereka mulai menampakkan tingkat toleransinya. Ada anak yang tak
terlalu risih dengan perbedaan. Ada pula anak-anak yang sangat gemar mem-bully
orang lain yang berbeda dengan mereka. Oh, jangan salah, Gus. Kegemaran bully
memang sudah ada sejak kanak-kanak. Bully pada anak-anak mungkin adalah
ekspresi terawal dari hasrat kuasa mayoritas, sebab bully pastilah dilakukan
oleh mayoritas pada minoritas, oleh yang seragam pada yang “unik”. Bahwa mayoritas
punya hak menentukan salah benar, baik buruk. Bahwa mayoritas adalah penentu
nilai-nilai dan standar moral. Dan yang berbeda, sang minor, wajib tunduk pada
hukum sang mayor(itas). Apa? Bully ala anak-anak ini adalah output dari gagasan
vox populi vox Dei? Oh, entahlah, Gus. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.
Gus, intoleransi muncul barangkali karena mereka memang jarang berjumpa
dengan perbedaan. Pergaulan mereka terbatas dalam komunitas mereka sendiri. Si A
bergaul dengan A1, A2, A3, A4, dan A lainnya. Mereka jarang berjumpa atau
berkenalan dengan B7, C5, M8, dan lainnya yang punya berbedaan mendasar. Nah,
itu dia, Gus. Intoleransi muncul karena kuper (kurang pergaulan) dan kuuleun,
benar sekali. Untuk hal yang satu ini aku sepakat denganmu.
Panjalu,
Juni
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar