Marlam, demikian orang-orang
mengenalnya. Kepanjangannya Majelis Sore Malam. Sebuah majelis, riungan, yang
digelar pada Sabtu sore hingga malam hari tiap dua minggu sekali. Tempat
kegiatannya berpindah-pindah. Kadang di Padepokan Seni Budaya Rengganis, di
Studio Titik Dua (kediaman Godi Suwarna), atau di Sekretariat LSM WISMA di
daerah Sadananya, Ciamis.
Disebut Majelis Sore Malam karena
dimulai pada sore hari dan berakhir biasanya pada malam hari, meski kadang baru
usai lewat tengah malam atau dini hari. Majelis ini dibidani oleh Teater Tarian
Mahesa Ciamis (TTMC). Adalah Toni
Lesmana dan Wida Waridah yang lantas disepuhkan sebagai pengasuh majelis ini.
Awalnya, Marlam lahir untuk sebatas mengisi
momen ngabuburit. Setahun lalu, saat bulan puasa, beberapa penggiat seni di
Ciamis menggagas sebuah acara dalam rangka ngabuburit. Ya, khusus bulan puasa,
waktu sore hari memang mendadak jadi prime time, mendadak punya banyak
penggemar dan sangat dinanti-nanti. Saking pentingnya waktu menjelang berbuka
puasa sampai ia punya istilah sendiri, ngabuburit. Istilah yang berakar dari
bahasa Sunda ini agaknya sudah menasional dan diimani banyak orang bahkan
diluar Jawa Barat. Dalam beberapa kasus, sakralitas ngabuburit agaknya justru
mengalahkan sakralitas ritual puasa itu sendiri.
Pada dua pertemuan awal, majelis ini
bernama SaBu, kependekan dari Sastra Ngabuburit. Dari namanya saja, bisa
ditebak bahwa ngabuburit ini tak jauh-jauh dari sastra, dan memang demikian.
Yang dibicarakan pada SaBu kali pertama adalah cerita pendek (cerpen) karya
Umar Kayam berjudul Menjelang Lebaran.
Alur kegiatannya sederhana. Dimulai
dari pembacaan cerpen secara berantai, lantas kemudian larut dalam pembicaraan
yang cair. Biasanya majelis dibuka oleh seorang, sebut saja moderator atau pemandu acara. Ia
akan membuka percakapan kemudian menyilakan jemaah untuk berelaborasi merespon
cerpen yang usai dibaca bersama. Siapa pun boleh berbicara apa pun. Cerpen
boleh direspon dengan berbagai cara dan dari sudut mana saja, bebas. Ada yang
serius menganalisis unsur intriksik maupun ekstrinsiknya. Ada pula yang
langsung menarikanya pada realitas kekinian, menyoal tentang relevansi cerpen
dengan kehidupan yang dihadapi saat ini. Ada pula yang menceritakan pengalaman
pribadinya yang dirasa mirip dengan alur kisah pada cerpen. Ada yang menariknya
ke ranah peristiwa historis baik skala lokal maupun dunia. Dan tak sedikit yang
menelaah lantas menariknya pada satu ideologi tertentu. Ada pula yang men-cocoklogi-kan
segala komentar hadirin dengan cerpen yang dihadapi lantas ditarik pada
realitas kekinian. Beragam komentar, beragam pemikiran, beragam kesan, semua
teruatarakan secara bebas.
Karena Marlam adalah majelis bebas
bicara, silang pendapat menjadi sunnah pada tiap perjumpaannya, bila tidak
dikatakan wajib. Ada yang saling menambal, tapi tak jarang pula yang saling
bertolak belakang, saling meniadakan, menegasi, saling mematikan. Perbedaan
pendapat bisa berakhir tanpa kesimpulan dan titik temu sama sekali sebab
masing-masing keukeuh pada pandangannya sendiri. Itu biasa, dan itu sah-sah
saja. Riuhnya diskusi, sampai saat terakhir Marlam dilaksanakan, masih
berbanding lurus dengan riuhnya tawa canda yang memang jadi bagian tak
terpisahkan dari riungan ini. Tak pernah ada kebencian, dendam berkepanjangan,
apalagi sampai tindakan persekusi seperti yang ramai diberitakan dewasa ini.
Sebebas dan seliar apa pun gagasan dan komentar yang hadir pada pertemuan itu,
sekeras apa pun orang yang berpendapat, Marlam selalu bergelimang tawa nan
mesra.
Sebetulnya, tak hanya karya sastra
yang bisa dibahas pada Marlam. Film, musik, dan karya-karya seni lainnya sangat
dimungkinkan untuk jadi bahan. Hanya saja, hingga saat ini Marlam masih fokus
pada karya sastra. Hingga tulisan ini
dibuat,
kegiatan ini telah digelar sebanyak 19 kali. Dalam kurun waktu sedemikian,
cerpen-cerpen yang pernah dimesrai diantaranya : Mejelang Lebaran (Umar Kayam),
Tujuan Negeri Senja (Seno Gumilar Ajidarma), Robohnya Surau Kami (Aa Navis), Muntah
(Hamsad Rangkuti), Mata Yang Indah (Budi Darma), Ode Untuk Selembar KTP (Martin
Aleida), Lubang Hitam (Linda Christaty), Ulat Dalam Sepatu (Gus Tf Sakai), Langit
Makin Mendung (Ki Pandjikusmin), Sunyi Karinding Di Kawali (Toni Lesmana), Caronang
(Eka Kurniawan), Pasar Malam Zaman Jepang (Idrus), Kucing Hitam (Edgar Alan
Poe), dan Kalender Ibu (Rini Rahmawati). Selain cerita pendek berbahasa
Indonesia, Marlam pun mencoba mengakrabi carita pondok (carpon) dan naskah
drama bahasa Sunda. Balad Tukang Bajigur (Wahyu Heryadi) adalah satu carpon
yang pernah dibincangkan di Marlam langsung bersama penulisnya. Teks lakon Simpé
Karinding Di Kawali karya/sutradara Toni Lesmana pernah pula jadi salah satu
yang dibincangkan. Selain cerpen, carpon, dan teks drama, Marlam pernah menamatkan
tadarus novel terjemahan Deng. Sebuah novel berbahasa Sunda karya Godi Suwarna
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Deri Hudaya. Khusus tadarus
novel ini tentu tak tamat dalam sekali perjumpaan.
Jemaah yang hadir berasal dari
berbagai latar belakang. Anak sekolahan, mahasiswa, sastrawan, dosen, jurnalis,
sejarahwan, guru, penggiat teater, santri, komika (stand up comedian), aktivis
transgender, pengangguran dan pelbagai latar belakang lainnya tercatat sebagai
jemaah Majelis Sore Malam. Dari sekian yang hadir, justru mayoritas hadirin
bukanlah orang-orang yang akrab dengan sastra. Hal ini justru menjadikan Marlam
sangat berwarna. Sedari awal, salah satu tujuan kegiatan ini ialah mengakrabkan
sastra pada masyarakat yang asing sama sekali, sama sekali tak kenal, atau
samar-samar, sebatas kenal karena pernah mengenyam pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolahan.
Marlam bukan ajang beradu ilmu,
mencari siapa yang menang, siapa yang paling jago, paling benar, siapa yang
paling nyastra, paling nyeni. Marlam adalah upaya memamah hidangan-hidangan
baru hasil olahan para jemaah yang berasal dari satu bahan dasar yang sama.
Bagaimana jemaah bisa saling mencicipi hasil olah pemikiran, olah rasa dari perjumpaan
mereka dengan satu bahan baku yang sama dalam satu perjumpaan. Yang terutama
dalam Marlam ialah berani berpendapat dengan penuh tanggung jawab. Tidak perlu
teoritis, ilmiah, atau berbahasa akademis yang biasa bertabur istilah-istilah
aneh itu, sebab sastra agaknya bukan semata produk bangku kuliah. Dari celah
manapun, sah-sah saja, sebab setelah karya sastra menyentuh pembacanya, ia bisa
jadi siapa saja, apa saja.
Pada perkembangannya, perlahan
Marlam mulai menyentuh batin beberapa jamaah buat belajar menulis. Ada beberapa
jemaah yang agaknya tertarik melatih diri pada bidang ini. Ada yang mengasah
diri menulis cerpen, ada pula yang lebih tertarik belajar membuat
tulisan mirip-mirip esai. Marlam pun mencoba memesrai cerpen karya jemaah, atau
siapa pun, yang tertolak dari media-media mainstream.
Dan bulan ini, genap setahun Marlam
hadir meruang. Majelis Sore Malam, semoga terus dan menerus.
Panjalu,
Juni
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar