Ada yang tak biasa pagi itu di
sebuah sekolah menengah di Ciamis. Selasa, 14 Maret 2017, sejak subuh hari,
para siswa sudah stand by di kelas masing-masing. Bahkan, beberapa siswa yang
tempat tinggalnya cukup jauh menyediakan diri menginap di sekolah. Ya, mereka
sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pagelaran seni dalam rangka ujian
praktik mata pelajaran (matpel) kesenian. Ini khusus untuk kelas XII. Lebih
dari belasan kelas yang akan tampil. Satu kelas diharuskan mementaskan sebuah
pertunjukan selama 25 menit berupa drama tari atau kompilasi tarian nusantara
yang musti diakhiri dengan sajian flash mob.
Sekitar pukul 8 pagi, acara dimulai.
Speaker dari perangkat suara yang sengaja di sediakan pihak sekolah sudah mulai
meneriakkan musik-musik pengiring tari. Acara berlangsung di sebuah Gedung Olah
Raga (GOR) milik sekolah. Lazimnya sebuah GOR, gedung itu pun beratapkan
genting almunium. Dan sudah bisa dibayangkan, bagaimana gaungnya suara-suara
musik tersebut. Pertunjukan menjadi kurang nikmat diapresiasi lantaran kualitas
akustik gedung yang buruk. Para penampil pun harus ekstra ketat menjaga
pendengaran mereka agar gerak tari tetap mampu harmonis dengan musik. Usai
melakoni proses latihan lebih dari 2 bulan dengan pengeluaran biaya yang tidak
sedikit, mereka harus puas dengan sebuah pertunjukan dengan tata suara yang
kurang baik lantaran ruang gelar yang tidak representatif.
Kegiatan seperti ini memang sudah
bukan barang baru. Matpel kesenian di sekolah baik SD/sederajat, SMP/sederajat,
atau SMA/sederajat memang menuntut adanya ujian praktik sebagai salah satu
bentuk evaluasi hasil belajar, sama seperti matpel olah raga. Sama-sama harus
melewati ujian praktik tapi berbeda nasib dalam sarana penunjangnya.
Kalau mau dibandingkan secara
kuantiatif antara sekolah yang memiliki ruang (space) untuk kegiatan olah raga
dan ruang untuk kegiatan kesenian, tentunya sekolah dengan fasilitas olah raga
punya angka yang jauh lebih banyak. Setidaknya, sebagian besar sekolah pasti
memiliki lapang basket yang dapat pula digunakan untuk upacara bendera, olah
raga voli, atau bulu tangkis. Malah beberapa sekolah elit punya kolam renang sendiri
untuk kepentingan pendidikan. Banyak juga sekolah yang punya lebih dari satu
lapangan olah raga, indoor dan outdoor. Lantas bagaimana dengan kesenian?
Hingga saat ini, agaknya belum
banyak sekolah yang menaruh perhatian lebih pada salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan ini. Di Ciamis, misalnya, belum ada sekolah yang benar-benar punya
ruang yang representatif untuk menggelar sebuah pertunjukan seni. Para siswa
harus menikmati panasnya terik matahari persis ketika mereka berlenggak lenggok
menari atau berakting lantaran hanya lapangan basket outdoor saja yang memadai
untuk dijadikan stage di sekolah, misalnya. Hal demkian tentu mempengaruhi
materi tampilan itu sendiri. Teater, misalnya. Teknik vokal akan menjadi sulit
diaplikasikan (tanpa bantuan perangkat pengeras suara) mengingat stage yang terlampau luas dan
terbuka. Belum lagi persoalan penataan cahaya dan konsep panggung yang “harus
selalu” menggunakan konsep teater terbuka sebagai hasil negosiasi dengan ruang
gelar. Konsep panggung prosenium, sementara masih berupa angan-angan saja.
Kalaupun indoor, biasanya pertunjukan-pertunjukan
seni ditampilkan di aula sekolah (bagi sekolah yang memiliki, sebab tidak semua
sekolah memiliki aula) atau di kelas dengan sekat-sekat pemisah yang bisa
dibuka sewaktu-waktu. Jika ada kegiatan semacam ujian praktik matpel kesenian
yang melibatkan seluruh siswa dalam satu angkatan, bisa dibayangkan penuh
sesaknya ruang itu. Jangankan mengenal
tata cahaya panggung pertunjukan sebagai salah satu penunjang sebuah
pertunjukan seni, perhatian mereka masih terfokus pada penyiasatan pola lantai,
bloking, atau penempatan seting di panggung yang terlampau sempit (indoor) atau
terlampau luas (outdoor). Ihwal kualitas akustik, mungkin tak terbersit sama
sekali bahkan oleh para pengajarnya pun, barangkali.
Lantas siapa yang bertanggungjawab untuk
hal ini? Menimpakan kesalahan kiranya bukan solusi pemecah masalah yang baik.
Persoalan ini agaknya sudah mengakar. Bahwa kesenian sebagai mata pelajaran
sekolah jelas kalah pamor dibanding matematika, kimia, biologi, bahasa Inggris,
dan pelajaran “bergengsi” lainnya. Agaknya, pengesampingan ini sudah terjadi
sejak dari hulu, dari para pembuat kurikulum pendidikan di ibu kota sana. Penyelenggaraan
lomba-lomba kesenian berjenjang macam Festival Dan Lomba Seni Siswa Nasional
(FLS2N) yang rutin dihelat pemerintah tiap tahunnya agaknya belum mampu memberi
stimulus yang cukup untuk menaikan marwah kesenian baik di tataran paradigama,
apalagi kebijakan kongkret di lapangan.
Jangankan di lingkungan sekolah, di
lingkup yang lebih besar semisal kabupaten pun, fasilitas kesenian yang disediakan
negara masih jauh dari kata memadai. Di Priangan Timur saja, tidak semua
kota/kabupaten memiliki gedung kesenian. Hingga saat ini, agaknya hanya Kota
Tasikmalaya yang memiliki gedung kesenian dengan fasilitas yang cukup memadai
sebagai tempat pertunjukan seni di wilayah Priangan Timur. Kabupaten Ciamis
masih belum mampu “memperbaiki” Gedung Kesenian Ciamis (GKC) yang malfunction
itu. GKC yang megah berdiri di Jl. Ir. H. Djuanda, Ciamis itu, masih menjadi
pemandangan janggal sebagai representasi sebuah gedung kesenian. Kesalahannya
mungkin berasal dari niatan awal dan prosesnya yang sama sekali tidak menyentuh
seniman-seniman sebagai calon pengguna utama gedung tersebut. Nyaris tidak ada
komunikasi sama sekali antara pemerintah dan seniman dalam hal pembuatan gedung
yang menelan biaya milyaran rupiah tersebut.
Kondisi-kondisi kesenian yang minus
baik di dunia pendidikan maupun di lingkup yang lebih masif sejatinya bukan hal
yang harus disikapi dengan ratapan dan perasaan kecewa pada pemungut pajak
(baca : negara) tanpa ada upaya mandiri. Kerja simultan agaknya pilihan yang
logis untuk dilakoni. Selain terus mengingatkan para pembuat kebijakan, otonomi
sekolah pun harus terus berbenah. Insan kesenian, guru-guru matpel kesenian,
siswa, kepala sekolah, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat secara
umum tentu harus saling terhubung dan bekerjasama demi membangun atmosfer
kesenian yang lebih baik. Hal ini bisa dimulai dari hal sederhana : mengoreksi
cara pandang. Janganlah kesenian diposisikan sebagai hal (atau mata pelajaran)
sampingan, pelengkap, unimportant, “kelas dua”, tak berguna, tak bergengsi.
Meski pembuat kurikulum nasional menghendaki klasifikasi kualitas mata
pelajaran, setidaknya ada satu dua hal otonom yang bisa dilakukan untuk
memberikan kesenian tempat yang lebih layak.
Rengganis,
20
Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar