Kamis, 26 Januari 2017

Gedung Kesenian (baca : kesunyian) Ciamis


Terletak di Jl. Ir. H. Djuanda Ciamis, Gedung Kesenian Ciamis (GKC) berdiri megah. Bangunan yang kabarnya menelan biaya pembangunan hingga 5 milyar rupiah itu sejak diresmikan hingga kini masih lebih cocok dijuduli Gedung Kesunyian ketimbang Gedung Kesenian Ciamis. Apa pasal? Ya, itu agaknya lebih sesuai dengan kondisinya nyatanya hari ini. Tiap kali melintas, gedung itu selalu saja kosong, sepi, bahkan tak ada satpam atau manusia lain yang nampak. Yang hadir dan terindra hanya bangunan megah yang dingin, beku, dan beberapa coretan pilok yang lazim disebut sebagai hasil vandalisme.

Saya sebenarnya sudah cukup lama tak lagi mempersoalkan gedung plat merah itu. Terakhir saya menulis dan dimuat di sebuah surat kabar yang tak begitu tenar. Seingat saya 4 kali saya menulis dan hanya sekali ditanggapi oleh Kepala Dinas Kebersihan, Cipta Karya, dan Tata Ruang kab. Ciamis. Kalau sudah ditodong, apalagi yang dilakukan pejabat kecuali cuci tangan dan lempar bola. Ya, lempar batu sembunyi tangan. Saya menyasar semua dari Bappeda, DKCKTR, Disdikbud, Disparekraf, DPRD, bahkan Bupati dan Sekda dalam tulisan. Maksudnya bukan untuk menghantam begitu saja. Saya mengkritisi dan menyarankan solusi yang terpikir terkait persoalan Gedung Kesenian Ciamis. Langkah pertama, ya jelas, harus jumpa dulu antara semua pihak yang saya sebut di atas plus seniman sebagai calon utama pengguna Gedung Kesenian Ciamis (jika memang gedung itu diniatkan utamanya untuk kegiatan-kegiatan kesenian, bukan untuk resepsi pernikahan atau rapat-rapat partai).

Saya kembali tergelitik ihwal gedung ini sebabnya karena perjumpaan saya dengan beberapa orang tadi siang. Sejak pagi hingga siang tadi, saya bersama Direktur WIZ Project menyambangi beberapa tempat. Kami mau jual tiket donasi buat pementasan teater. Ada beberapa nama yang sudah ada dalam daftar calon donatur. Beberapa nama adalah pejabat di pemerintahan kab. Ciamis. Salah satunya di Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Ciamis. Saat kami berniat menemuinya di kantor mewah itu, ia sedang tak bisa diganggu. Akhirnya kami bercakap dengan seseorang yang di lobi kantor. Ia bertanya tentang maksud kedatangan kami. Kami menjelaskan singkat dan ia balik bertanya “Kenapa nggak di Gedung Kesenian. Kan udah dibangun megah begitu”. Saya bingung mau jawab apa. Masa harus meracau tentang GKC seperti saya menulis. Tadinya mau saya buat panjang, tapi percuma juga. Dia agaknya hanya pegawai yang tak punya kuasa kebijakan. Saya hanya jawab “Mahal sewanya”. Seperti tak puas, “Memangnya sudah kamu tanya dan cari tahu?” Ia segera menimpal. “Kabar-kabarnya sih begitu. Lagi pula sejak awal berdiri, gedung itu hanya pernah digunakan beberapa kali saja, itu pun oleh organisasi atau lembaga yang akrab dengan pemerintah. Atau pemerintahnya itu sendiri” (redaksi dialog-dialog tidak persis seerti itu). Saya memaparkan acara apa saja yang pernah digelar di sana dan siapa saja yang pernah menggunakannya sependek pengetahuan saya. Usai saya bicara agak panjang itu, ia agaknya tak bergairah lagi melanjutkan pembicaraan tentang GKC.

Tak lama menunggu, kami diterima oleh salah satu pejabat, yang jelas ia bukan orang yang hendak kami tuju. Dan alur pembicaraannya hampir mirip dengan percakapan saya di lobi kantor beberapa menit yang lalu. Pejabat itu, sama seperti orang di lobi, tak lagi bergairah melanjutkan percakapan menyoal GKC usai saya menimpali pertanyaannya. Saya juga memang kurang bergairah membicarakannya. Muak, barangkali. Jengah. Atau mungkin juga putus asa. Entahlah. Tapi kemudian saya jadi terpikir dan tergelitik lagi ihwal GKC.

2017, Pemda Ciamis merombak nomenklatur beberapa SKPD. Pejabat-pejabatnya pun baru. Mutasi besar-besaran. Ada apa ya? Entahlah, pastinya. Saya hanya menduga-duga saja. Mungkin sebagian masyarakat Ciamis sudah cukup peka membaca geliat dan gerak politik Ciamis dewasa ini. Terkait perombakan itu, sekarang ada beberapa SKPD baru di lingkungan Pemda Ciamis, diantaranya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga. Konon, dinas inilah yang kini mengelola GKC. Pengelolaan gedung ini memang beberapa kali berpindah tangan. Katanya sih karena gedung ini belum 100% beres jadi masih belum ada putusan tetap siapa yang mengelolanya. Dan oleh karena itu juga GKC itu belum punya program apa-apa hingga kini. Itu sih kabar-kabar angin, saya tak tahu pasti. Kalau pun memang demikian, parah juga sistem kerja dan tata kelola Pemda Ciamis, sampai-sampai gedung seharga 5 milyar rupiah bisa mangkrak tanpa nyawa. Mati suri.

Dulu saya mengusulkan beberapa solusi terkait GKC. Pertama, ganti nama. Jangan sebut bangunan itu sebagai gedung kesenian. Fungsi utamanya juga musti ikut diubah. Dan perubahan nama dan fungsi itu harus tertuang dalam regulasi legal. Harus memiliki kekuatan hukumnya. Agar tidak ada gugat menggugat di kemudian hari. Kan bisa diganti menjadi Graha Galuh Indah, atau Gedung Ciamis Selaras, atau Bale Sawala Galuh, misalnya. Atau nama lain yang lebih sesuai dengan bentuk, arsitektur serta fungsi utamanya. Agar Pemda Ciamis tidak terkesan dungu, memberi nama yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kedua, renovasi. Jika keukeuh bangunan itu harus menjadi gedung kesenian dengan fungsi utama sebagai sarana kegiatan kesenian yang representatif, renovasi adalah jalan paling rasional yang terpikir. Bangunan itu, khususnya interiornya, sangat tidak layak digunakan untuk kegiatan kesenian. Akustik buruk, lantai yang memantulkan cahaya, dinding kanan kiri penuh kaca, pintu kaca, panggung yang tidak memadai tanpa perangkat panggung pertunjukan satu pun, dan sekian lainnya. Jelas harus dibongkar. Didisain ulang menjadi sebuah gedung kesenian yang representatif, mengikuti model gedung kesenian yang sudah ada sebelumnya semisal Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya, Gedung Kesenian Rumentangsiang Bandung, Gedung Kesenian Sunan Ambu, Gedung Kesenian Dewi Asri, Teater Indoor Taman Budaya Jawa Barat, dan banyak contoh lainnya. Atau kalau pun mau dibuat bentuk outdoor juga tak masalah, seperti yang ada di Taman Budaya Jawa Barat, misalnya. Asal ada kesesuaian antara nama, bentuk, fasilitas, dan fungsi utamanya. Kalau masalah fasilitas semisal tata cahaya panggung, kelengkapan fasilitas audio visual, multimedia, perpustakaan, ruang pameran seni, ruang diskusi, dan lainnya bisa bertahap saja pengadaannya. Asal bentuk dasarnya, konstruksinya betul, dalam arti sesuai antara nama, bentuk, dan fungsi utama.

Pilihan pertama atau pun kedua jelas harus melewati musyawarah terlebih dahulu. Idealnya sih begitu, saya kira. Harus ada dialog aktif antara pemerintah, DPRD, dan masyarakat (dalam hal ini seniman) untuk mencapai mufakat. Tentu semuanya harus  terlaksana dengan kepala dingin dan visi yang sama, membangun dan mengembangkan kesenian di Ciamis. Kalau visinya sudah melenceng, ya, akan kacau balau jadinya. Yang satu pihak ingin membangun kesenian Ciamis, yang lain membangun rumah pribadinya dengan megah, ya, repot urusannya kalau begitu.

Saya kira baik solusi pertama atau kedua, itu bukan solusi yang mungkin tak disukai pemerintah. Mereka inginnya yang sederhana saja. Misalnya, penyiasatan ruang. Maksdunya, diganti nama tidak, direnovasi pun tak mau. Alasannya pasti, anggaran. Karena anggaran yang minim, maka jalan tengah adalah solusi terbaik. Begitu kira-kira barangkali mereka akan berpidato. Jalan tengah macam apa? Misalnya, menambahkan peredam suara di dinding-dinding guna memperbaiki kualitas akustik.

Saya sempat berbicara dengan beberapa seniman lain menyoal hal ini. Kalau sama-sama keras, yang memang susah juga. Ketololan sistemik yang sudah mewujud itu akan makin menyedihkan bila tak kunjung ada jalan keluar yang, setidaknya, bisa membuatnya terselamatkan dari judul Gedung Kesunyian Ciamis forever.

Digunakan untuk pentas-pentas tari, teater atau pun musik memang pasti akan sangat mengecewakan. Tapi barangkali pelataran depan gedung itu masih bisa digunakan untuk latihan-latihan, atau mungkin juga acara-acara lain yang tak terlalu masif. Ini ide dari salah satu seniman yang sempat bercakap tentang GKC. Cukup menarik, saya kira. Namun yang pasti, ide apapun, langkah pertama yang harus ditempuh adalah duduk bersama dalam semangat yang sama.

Vita Bravis, Ars Longa...

Rengganis
26 Januari 2017

Senin, 23 Januari 2017

Inkonsistensi Wafer


“Berapa lapis? Ratusan.
Renyah di luar, garing dan lembut di dalam”

Para penyuka Tango Wafer pasti tidak asing dengan slogan di atas. Ya, itu adalah jargon andalan Tango Wafer. Slogannya memang berubah-ubah. Mungkin lebih pada kebutuhan marketing saja. Tapi ada hal  yang menarik dari slogan yang didengungkan tiap pemutaran iklan Tango Wafer itu.

Jika menautkannya dengan makanan Tango Wafer saja, barangkali terdengar biasa saja. Bahkan itu adalah kebohongan. Pada kenyataanya Tango Wafer tidaklah beratus-ratus lapisan, hanya lima atau enam lapis saja. Tentang “renyah di luar, garing dan lembut di dalam”, itu barangkali masih bisa diterima dalam konteks rasa makanan itu sendiri. Renyah di gigitan pertama, lantas terasa garing dan lembut di mulut. Kondisi renyah, garing dan lembut seolah adalah hal yang kontradiktif, namun mampu berjumpa dalam Tango Wafer. Renyah identik dengan garing, kering, dan kasar. Seperti keripik. Renyah dan lembut dalam Tanggo Wafer adalah dualisme kontradiktif yang mampu menjadi harmoni. Dan inilah yang jadi senjata Tango memasarkan produknya.

Jika saja kalimat-kalimat slogan iklan itu kita cerabut dan dijadikan otonom, barangkali ini bisa jadi semacam kalimat simpulan untuk hal lain. “Jeroan” manusia, misalnya. Bukankankah itu juga berlapis-lapis? Mungkin juga ratusan. Dan terkadang kondisinya kontradiktif. Renyah di luar (sikap yang tampak pada orang lain), garing dan lembut di dalam (kondisi batin, tersembunyi).

Perkenalan saya dengan seseorang mengingatkan saya akan Tango Wafer. Ini terjadi  ketika justru saya sedang menghadapi proses latihan teater dengan lakon Heart Of Almond Jelly karya penulis Jepang, Wishing Chong. Ketika saya dan sutradara, yang juga adalah lawan main saya, membedah karakter tokoh yang tertera dalam teks, kami, atau setidaknya saya bersimpulan bahwa baik Sayoko maupun Tatsuro sama-sama berlapis-lapis.

Lapis pertama adalah wajah biasa-biasa saja, wajah yang menyiratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Mereka berdua seolah tidak punya masalah yang cukup berarti. Di awal-awal cerita, baik Tatsuro maupun Sayoko bercakap dengan cukup “renyah” tentang hal-hal yang terdengar ringan, namun justru dari kerenyahan itulah mereka berdua mau tak mau terseret ke hal lain yang berbeda sama sekali. Dialog-dialog yang asalnya dengan meluncur tanpa pretensi bisa mendadak berat penuh emosi. Pada bagian-bagian awal, emosi yang sebenarnya bergemuruh itu masih mampu ditekan sama-sama tak meledak. Meski keduanya punya kesadaran untuk sama-sama menekan emosi, namun barangkali dalam hal ini Tatsuro nampaknya lebih piawai, meski justru ia yang membuka “ledakan besar” dengan cukup berani dan binal. Sake yang di teguk Sayoko pun agaknya cukup berpengaruh pada kondisi psikis perempuan itu. Ia menjadi lebih terbuka dan berani.

Ada beberapa bagian  di mana Sayoko menghajar Tatsuro dengan pertanyaan telak semisal “Mengapa kamu berhenti bercinta denganku?”. Dan itu berulang. Tak hanya sekali saja diucapkan. Dan tiap kali itu Tatsuro seolah menghindar. Ia berusah kuat tetap berada dalam wilayah kepala yang dingin, tak ingin terlalu larut dalam persoalan-persoalan  yang mendalam, meski sebenarnya ia tahu, lambat laun sebuah rahasia besar akan terungkap. Rahasia yang jadi musabab utama retaknya hubungan mereka. Bahkan yang menjadikan  mereka manusia yang berbeda sama sekali dengan diri mereka sebelumnya.

Pada bagian-bagian selanjutnya, Tatsuro mulai meladeni kalimat-kalimat tajam Sayoko. Ada yang ia balas sama tajamnya, namun untuk hal yang terdalam masih coba ia pendam dan tahan. Baik Tatsuro maupun Sayoko sama-sama tahu tentang masalah itu. Namun keduanya tak pernah membahasnya dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Padahal, semua itu adalah bom waktu.

Sayoko dengan sekian masa kecil yang kurang membahagiakan nampak berusaha memandang ringan ihwal perpisahan. Buatnya berpisah ya berpisah saja, tak usah dibuat berlebihan. Toh sebelum berjumpa dengan kekasihnya, Tatsuro, Sayoko adalah pribadi yang mandiri. Itu lapisan luarnya, terkesan renyah bukan?

Sayoko yang nampak cuek dan apa adanya, blak-blakan, mampu dengan ringan membicarakan masa kecil yang cukup traumatik, banyak bicara, namun jeroannya ternyata tak serenyah kenampakannya. Dibagian-bagian pertengahan dan setelahnya, Sayoko nampak meledak emosiaonal. Memuntahkan lapisan kesekiannya namun bukan lapisan terdalamnya. Lapisan dasarnya masih sekuat tenaga ia tekan.

Tatsuro pun agaknya punya kecenderugan yang sama dalam menekan lapisan terdalamnya. Namun dalam beberapa kesempatan nampak Tatsuro yang kerap kali memulai pembicaraan. Ia seakan menggiring alur pembicaraan namun respon Sayoko  yang kerap kali meledak-ledak membuat Tatsuro pun tak lagi mampu menjadi dirigen tunggal. Keduanya, akhirnya, berkelindan. Saling hantam, saling jebak, saling menikam, saling mengobati, saling sembunyi, saling menyangka, saling menuduh,  saling menyangkal, saling mengunci, saling kabur, saling melepas, saling membekukan, saling mencarikan. Terjebak dalam irama yang nyatanya tak mampu mereka kendalikan. Iramanya kadang jadi binal dan liar, pula kadang jadi dingin membeku.

Keduanya sama-sama berlapis. Sama-sama ingin membuka lapisan demi lapisan, perlahan membuka diri mereka masing-masing, namun di sisi lain baik Sayoko maupun Tatsuro sama-sama merasa tak yakin membuka kotak rahasia yang padahal keduanya sama-sama tahu.

Lapisan-lapisan awal adalah hal yang nampak boleh jadi adalah hal yang remeh temeh, renyah-renyah saja. Tentang tempat tinggal baru, pekerjaan baru, dan hal lain yang bisa diutarakan tanpa lidah musti kelu. Namun justru lapisan remeh temeh itulah yang, dengan perlahan atau mendadak, menggusur mereka berdua pada hal-hal yang lebih dalam dan substantif. Proses ketelanjangan yang induktif ini mengalir kadang dengan mengayun, kadang pula dengan patah-patah. Karena itu maka jeda adalah satu hal yang cukup penting dan vital.  Kadang manusia perlu break untuk menjaga dirinya tetap jadi manusia.

Dan kiranya, bukan hanya Tatsuro dan Sayoko saja yang berlapis-lapis, yang renyah di luar, garing dan lembut di dalam. Kiranya, begitulah manusia, terlebih manusia dengan beban traumatik seperti Tatsuro, Sayoko, atau saya, atau Anda. Namun lapisan-lapisan itu janganlah dipandang sebagai serta merta kebohongan karena lapis pertama ternyata jauh berbeda dengan lapis-lapis selanjutnya, inkonsisten. Bisa jadi memang kebohongan untuk tujuan tertentu yang terencana, yang jahat. Atau itu adalah hal lain. Dalam kasus Sayoko dan Tatsuro, lapisan-lapisan itu jelas bukan kebohongan dalam konteks kejahatan. Trauma yang mengerikan itu seolah memaksa mereka berdua untuk bermain drama, berkilah, berdalih, menyangkal dan menyerang balik. Memaksa mereka untuk berbohong. Memaksa mereka, bahkan, membohongi diri mereka sendiri.

Dan mungkin begitulah manusia. Membaca Heart Of Almond Jelly seperti membaca diri kita sendiri, siapa pun kita. Bahwa jujur pada diri sendiri ternyata lebih sulit ketimbang menceramahi orang tentang kejujuran.

Rengganis
23 Januari 2017

Sabtu, 21 Januari 2017

Candu Tinju; Ekstraksi Marlam#15


Dan seperti biasa, marlam tak pernah menjanjikan solusi atau tafsir tunggal nan mutlak atas satu karya sastra. Kepala-kepala yang bening dan dingin sangat berpotensi menjadi chaos dan panas untuk kemudian kembali dingin dan bening dengan kesadaran baru. Demikian dengan marlam#15 pula.

Sudah dua carpon (carita pondok) dibahas di dua marlam, #14 dan yang terakhir kemarin #15. Setelah carpon karya Lugiena De berjudul Jeruk, kini gilaran Wahyu Heryadi yang carponnya menjadi kekasih yang dimesrai di pengajian Majelis Sore Malam. Judulnya Balad Tukang Bajigur. Sekilas dari judul, karya ini terkesan lembur sekali. Ketika hanya membaca judul, pembaca mungkin punya gambaran yang sederhana saja. Kisah tentang balad (teman) seorang penjual bajigur, dan kemungkinan terbesar, kisah ini tak jauh dari menceritakan tentang bajigur, minuman hangat yang banyak di temukan Jawa Barat itu. Dengan bahasa Sunda, judul karya ini boleh jadi menjebak penonton pada lokalitas Sunda saja. Dan memang begitulah. Carpon ini memang menceritakan tentang seorang kawan penjual bajigur, tapi bukan tukang bajigur biasa. Tukang bajigur tanpa nama, tukang bajigur yang mata kirinya busuk dan bisa dengan mudah dicopot dan dipasang kembali. Tukang bajigur yang mantan tukang kudak-kadék. Tukang bajigur yang mendadak menghilang, masuk ke dalam panci besar tempat ia memasak bajigur dan muncul kembali di akhir cerita.

Pada paragraf awal, pembaca sudah dikejutkan dengan kondisi tubuh yang tak lazim, “nu sabeulah kénca panonna rada buruk, jaba bisa dicoplokkeun tuluy diasupkeun deui panonna téa”. Ini semacam kode keras, atau anjuran, untuk membuang jauh-jauh kaca mata realis jika hendak mengunyah kisah ini lebih lanjut. Di awal saja, rasionalitas pembaca sudah dihantam habis-habisan lewat kalimat itu. Kalimat itu semacam ucapan selamat datang, selamat datang di dunia antah berantah.

Kisah berlanjut pada balad (teman) si penjual bajigur yang dipilih penulis sebagai si aku. Semua kejadian yang hadir adalah sudut pandang si balad tukang bajigur, seorang pemuda berkaca mata. Kisah mendadak lompat. Penjual bajigur tanpa sebab yang jelas tiba-tiba saja masuk ke dalam panci basar berisi bajigur (buleng). Si kawan hendak menariknya tapi hanya sendalnya saja yang mampu ia raih.

Seorang nenek tiba-tiba datang memesan bajigur. Sangkanya si kawan penjual bajigur adalah si penjual itu. Usai membayar dengan uang yang kurang, ia pergi, bungkusan bawaannya tertinggal. Lantas ia tertabrak motor. Tubuhnya terpental, menabrak gerobak bajigur. Sebelum benar-benar tewas, ia masih sempat mengambil bungkusannya yang tertinggal di gerobak bajigur. Warga berhamburan keluar dan menghajar si kawan penjual bajigur. Mereka marah, menuduh pemuda itu ialah penyebab kematian si nenek. Karena menabrak gerobaknyalah si nenek tewas. Dalam kondisi yang babak belur dan tersungkur, tiba-tiba saja lewat tukang beling (pemulung rongsok). Dengan santainya ia mengambil sendiri bajidur hingga 17 gelas tanpa membayar.

Tukang beling pergi dan tukang bajigur tiba-tiba muncul dari buleng, tanpa mata kiri. “Halah, teuing, ngarambang jeung cangkaléng sigana mah” jawabnya tatkala ditanya kemana mata kirinya yang hampir copot itu. Usai berterima kasih pada pemuda itu, ia pun pergi. Dari tangannya tiba-tiba muncul golok. Ia pergi dan ujung jalan mendadak gelap lantaran listrik tak mengalir.

Sejak paragraf awal, pembaca disambut dengan kondisi surrealis. Ini semacam gerbang. Atmosfer janggal ini berlangsung hingga akhir cerita. Kahadiran beberapa tokoh seolah tanpa kausalitas. Nenek dan tukang beling muncul dengan tiba-tiba. Konflik ini hadir justru karena kehadiran si nenek. Tukang bajigurya sendiri malah tak terlibat dalam konflik sama sekali karena selama kejadian berlangsung, ia pergi ke dalam wadah besar itu. Ia hanya muncul di awal dan akhir saja, membuka dan menutup cerita saja. Tokoh pemuda berkaca mata seperti kena batunya dan tukang bajigur seolah lempar batu sembunyi tangan, meski sebenarnya ia tak memulai masalah. Masalah bermula dari kedatangan si nenek yang lantas tertabrak itu.

Semua jemaah marlam#15 sepakat bahwa carpon ini sarat dengan simbol. Membacanya tanpa kaca mata semiotik malah akan membuat rieut. Lantas simbol-simbol apakah ini : Penjual bajigur yang mata kirinya hampir copot, pemuda berkaca mata kawan penjual bajigur, buleng, nenek-nenek, warga dan cucu ci nenek (seorang pemuda dengan kostum berkolor dan telajang dada yang ikut menggebuki si pemuda), tukang beling, sendal capit, mata kiri, 17 gelas bajigur yang diminum tukang beling tanpa membayar, cangkaleng, golok yang tiba-tiba muncul dari tangan penjual bajigur, dan lain-lain, dan lain-lain.    

Belum lagi makna-makna peristiwa : masuk dan keluarnya tukang bajigur ke dan dari dalam buleng, nenek-nenek yang tiba-tiba tertabrak, pengeroyokan, tukang beling yang memanfaatan situasi, tukang bajigur yang keluar dari buleng sambil jumpalitan mirip pahlwan bertopeng, yang lantas menutup dagangannya dan pergi, juga yang lainnya, juga yang lainnya.

Perebutan tafsir simbol ini nyaris tak menemukan konsensus. Ada yang menariknya ke tragedi 1965. Ada pula yang menyeretnya ke peristiwa 1998. Bahwa keseluruhan cerita adalah gambaran situasi reformasi. Tokoh dan peristiwa adalah kata ganti untuk aktor dan adegan-adegan 1998. Bahwa mata kiri adalah simbol dari sosialisme yang “menenggelamkan diri” untuk kemudian muncul kembali di saat yang tepat. Ketika mata kiri si tukang bajigur bercampur dengan cangkaleng, itulah momentum saat sosialisme justru makin mengakar di masyarakat yang di analogikan dengan cangkaleng. Dengan seting reformasi, yang menjadi menarik adalah posisi tukang beling. Setidaknya dua tafsir yang berkembang. Pertama tukang beling adalah intelijen, kedua ia adalah kelompok masyarakat yang sengaja dibentuk pada momentum ’98 dan bersifat oportunis. Tukang beling bukanlah perorangan, tapi sebuah kelompok yang tertata.

Tafsir lain mecoba melepaskan diri dari belenggu ’98. Ia menarik diri malah menjadi lebih luas pada kondisi manusia postmodern, bahkan ada pula yang menariknya ke kondisi postmodernitas jeprut. Kondisi anti kausalitas, individualisme yang bertabrakan dengan komunalisme di satu sisi menjadi gambaran yang cukup relevan pula dengan kondisi second city serupa Ciamis. Ini tentu dari sudut lain. Bajigur yang melokal, namun dengan rangkaian ke-bajigur-an yang anti kausalitas, chaos. Di lain pihak masih bisa ditemukan “gotong royong” yang jadi salah satu ciri budaya rural. Perjumpaan kondisi postmo dan lokalitas ini menghasilkan sitesa yang endemik, hanya terjadi di tempat-tempat “nanggung”, meski konon postmodern sendiri adalah perjumpaan modernitas dan tradisi.

Yang cukup menjadi sorotan menarik lainnya dari carpon ini adalah kalimat “Ngeunah neunggeulan batur téh. Nyandu!”. Kalimat yang meluncur dari salah satu mulut warga yang asik menggebuki si pemuda berkaca mata. Kalimat yang disepakati sebagai wakil gambaran kondisi masyarakat kekinian, khususnya di Indonesia, dan mungkin juga dunia. Masyarakat yang katanya sudah tak lagi mempercayai cara “beradab” lama, musyawarah, sebagai media penyelesaian masalah. Orang-orang, karena sudah tak puas dengan cara demikian, akhirnya memilih cara paling purba, perang fisik. Kekerasan. Bahkan ini bukan jadi pilihan penyesaian masalah, ini sudah menjadi candu. Kebutuhan. Jika tak ada musabab berkekerasan ria, orang-orang akan sengaja membuatnya, agar hasratnya terpenuhi. Menghajar orang jadi serupa kebutuhan makan dan seks. Harus, wajib disalurkan dan dengan bagaimana pun caranya harus menemukan pemuasannya. Mencari objek tinju sama dengan mencari makan atau pemuas seks.

Transformasi figur adalah hal lain yang hendak disampaikan carpon. Sosok yang mata kiriya busuk dan nyaris copot itu yang awalnya “preman”, kini “hijrah” menjadi penjual bajigur, yang meski misterius, toh ia sudah lama tak kudak-kadék.

Lantas, siapa sebenarna tukang bajugur itu?

Renggannis,
Januari 2017 

Minggu, 15 Januari 2017

Perjumpaan-Perjumpaan


Siapa bilang Ciamis dan Jepang itu dekat? Jelas jauh. Menurut informasi mbah Google, jarak Tokyo ke Jakarta saja sekitar 5782,45 km. Jika dari Ciamis? Anda bisa menghitungnya sendiri. Jarak fisik yang sedemikian jauh memang akan terasa benar-benar jauh ketika berusaha kita hayati dengan berjalan kaki. Di era postmodern ini, jarak fisik nyaris tak berarti kecuali untuk beberapa alasan. Media komunikasi yang sedemikan canggih terbukti mampu mengatasi perkara jarak fisik yang berjauhan. Media elektronik memperpendek pula jarak fisik. Lewat kotak ajaib bernama televisi kita bisa dengan asik menikmati serial Oshin di TVRI pada tahun 90an. Darinya pula masyarakat banyak mengenal budaya bangsa-bangsa lain di dunia. Orang Ciamis bisa mengenal Samurai, Ninja, Seppuku, Geisha, dan tentu saja Naruto. Orang Panjalu seperti saya jadi seolah merasa dekat dengan Jepang lewat TV ini pada awalnya, hingga lantas teknologi makin pesat dan menghadirkan sekian media lain yang lebih mutakhir. Dan sekarang Alun-Alun Ciamis sudah mulai dipenuhi para Cosplayer, penggila Anime Jepang.

 Berbicara Jepang memang cukup menarik. Ada hal yang unik, khas, yang membuatnya terkenal dan dikenang banyak orang dari pelbagai suku bangsa dari kebudayaan yang berbeda. Meski terasa cukup erat, ada banyak hal tentang Jepang yang masih gelap buat orang Indonesia, terlebih Ciamis. Seni Pertunjukan, salah satunya. Meski Butoh sudah cukup banyak dikenal di Indonesia, namun untuk Ciamis sendiri bentuk seni pertunjukan yang salah satunya di gawangi oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata ini masih relatif asing. Pun demikian dengan metode akting Tadashi Suzuki yang mendunia itu, Ciamis masih belum sempat bersentuhan dengannya hingga kini. Sebagaimana Indonesia mengenal Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan sederet dramawan lainnya, Jepang pun punya banyak dramawan yang cemerlang. Pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki, Jepang nyaris mengalami perubahan besar di berbagai bidang dan kesenian pun tak bisa lepas dari efek traumatik itu. Cita rasa karya-karya seni Jepang pasca PD II memang cukup unik dan berbeda bahkan dengan dirinya sendiri sebelum perang dahsyat itu. Salah satu yang menarik dan selalu dinamis, tentu saja pertunjukan drama. 

Heart Of Almond Jelly adalah sebuah teks drama realis yang berasal dari negeri Sakura. Lakon yang mengisahkan malam Natal yang manis nan dramatis. Kisah sepasang kekasih, Tatsuro dan Sayoko, yang sudah tujuh tahun hidup bersama dan berakhir dengan perpisahan. Sekilas, ceritanya terkesan sederhana dan biasa-biasa saja. Sepasang kekasih yang akhinya putus, apa menariknya? Terlebih teks ini sangat verbal, penuh kata-kata. Dengan hanya dua orang pemain tanpa pergantian set, pertunjukan ini bisa sangat membosankan. Penonton hanya akan mendapati dua orang yang ngobrol tanpa adegan-adegan yang spektakuler. Namun justru di sinilah letak manisnya lakon ini. Seperti yang dituturkan Rika Rostika Johara, penggagas Women In The Zero (WIZ) Project, lakon ini adalah media belajar yang sangat kaya. Belajar teater, realis khususnya, sekaligus juga belajar memahami hidup dan para pelakonnya, manusia. Februari nanti, ia akan mementaskan karyanya ini di Ciamis. Sebagai sutradara, agaknya ia berusaha memanggungkan teks ini dengan penuh kesetiaan. Teks ini dibiarkan bicara apa adanya, meski tentu tak mungkin lepas dari jejaring interpretasi. Lakon ini akan berkisah banyak tentang sisi lain manusia Jepang postmodern. Penghujung tahun 2000 adalah seting waktu yang disepakati sebagai latar waktu terjadi peristiwa ini, seperti yang dikehendaki naskah itu sendiri.   

Karya penulis Jepang, Wishing Chong, ini seperti memotret sisi lain kehidupan masyarakat Jepang. Rumah dan segala yang musti hadir di panggung adalah potret realitas Jepang kala itu, termasuk dampak resesi ekonomi yang pernah melanda Jepang pada masa-masa itu. Terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Teguh Hari Prasetyo dan Yoko Nomura ini memilih diksi-diksi yang campur aduk antara bahasa baku dan tak baku. Ini mungkin adalah cerminan keakraban hubungan personal dan pula potret masyarakat Jepang kekinian yang sudah tak lagi terlalu mengindahkan tata bahasa yang ketat. Sayangnya, ini agak terdengar janggal jika dikunyah dalam bahasa Indonesia. Cair tidak, baku pun tidak. Menjadi gado-gado yang cukup asing di lidah dan telinga. Teks ini hadir pula dengan petunjuk akting dan adegan yang cukup detil. Pun demikian dengan keterangan seting dan properti, tertulis dengan cukup rinci.   

Dengan membawa semangat kembali dari nol, Rika coba memanggungkan Heart Of Almond Jelly dengan bingkai realisme, meski ia lebih suka menyebutnya dengan naturalisme, terlebih sebagai gaya pemeranan dan pola-pola bloking. Ia, yang telah lama malang melintang di jagat perteateran Jakarta, kembali menapak di Ciamis setelah lebih dari tujuh tahun tak menghirup atmosfer kesenian di kota galendo ini. Bersamanya, melekat ilmu-ilmu yang dengan gembira siap ia tularankan pada insan teater Ciamis. Boleh dibilang rencana kehadiran pertunjukan ini di publik teater Ciamis merupakan hal baru. Selain bentuk pertunjukan, mekanisme penjaringan penonton pun terbilang baru. Pertunjukan teater di Ciamis yang biasa melibatkan para pelajar sebagai penonton dan berlangsung berhari-hari kini berbeda. Penonton cukup terbatas, bahkan ada batasan usia. Ini sajian  yang hanya bisa dinikmati penonton berusia 17 tahun ke atas. Bukan karena alasan unsur pornografi, tapi lebih pada sasaran tembak yang lebih jelas. Lakon  yang mengisahkan pergulatan psikologis sepasang kekasih ini mungkin akan terasa cukup menjenuhkan bagi sebagian besar penonton pelajar yang lebih doyan  sajian-sajian penuh kejutan menghentak, hingar bingar, tawa yang terbahak, atau akting-akting dengan proyeksi dan stilisasi tertentu. Tontonan yang rencananya berdurasi lebih kurang satu setengah jam ini sebenarnya lakon yang subtil, perlu kesabaran dan kekhusuan tersendiri agar dapat menangkap kisah dan makna secara utuh. Hal ini barangkali karena dominasi kata-kata yang cukup besar bahkan nyaris memonopoli keseluruhan pertunjukan. Tentu dipahami bersama bahwa menyimak memerlukan kecermatan lebih ketimbang membaca atau melihat. Tak hanya aktor dan tim kreatif lainnya yang dituntut punya kepekaan dalam memamah teks ini, pun demikian penonton, kesabaran dan ketelitian adalah prasyarat jika memang ingin menangkap sekian buah berharga dari kisah ini.

Memang, budaya menyimak sudah cukup banyak ditinggalkan dewasa ini. Membaca tulisan menjadi pilihan yang lebih berkelas barangkali ketimbang sebatas menyimak. Terkikisnya budaya dongeng dan pantun Sunda, misalnya, bisa jadi cukup berpengaruh pada berkurangnya kemampuan kita menangkap informasi lewat bahasa primer. Agaknya, lakon ini pun menggambarkan bagaimana komunikasi saling menyimak dan berbicara menjadi cukup penting. Sayoko dan Tatsuro yang lebih memilih tak saling berbicara, menyimpan persoalan mereka sebagai rahasia, toh malah seolah memupuk bom waktu. Menyimak-berbicara (secara langsung), cara komukasi yang sangat purba namun masih tetap yang paling efektif tatkala hendak saling memahami secara utuh dan menyeluruh. Canggihnya teknologi komunikasi virtual tak kan mampu menggantikan kemesraan dan keintiman perjumpaan tubuh secara utuh, perjumpaan mata, pejumpaan rasa, perjumpaan jiwa. Bahwa bagaimana pun, dimensi ketubuhan manusia tak bisa di kesampingkan begitu saja. Alih-alih  efisiensi dan efetifitas serta modernitas, digitalisasi (tanpa kearifan) justru adalah dehumanisasi.

Dalam kehidupan seni pertunjukan modern Ciamis, sajian ini terbilang menyegarkan, drama (terjemahan) asing yang disajikan dengan bentuk realis. Semoga saja, kehadiran WIZ Project dengan Heart Of Almond Jelly-nya dapat memberi warna baru di peta teater Ciamis khususnya, dan memberi sumbangsing bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Ciamis kiwari.

                                                                                                                                           Rengganis,
15 Januari 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...