Terletak di Jl.
Ir. H. Djuanda Ciamis, Gedung Kesenian Ciamis (GKC) berdiri megah. Bangunan
yang kabarnya menelan biaya pembangunan hingga 5 milyar rupiah itu sejak
diresmikan hingga kini masih lebih cocok dijuduli Gedung Kesunyian ketimbang
Gedung Kesenian Ciamis. Apa pasal? Ya, itu agaknya lebih sesuai dengan
kondisinya nyatanya hari ini. Tiap kali melintas, gedung itu selalu saja
kosong, sepi, bahkan tak ada satpam atau manusia lain yang nampak. Yang hadir
dan terindra hanya bangunan megah yang dingin, beku, dan beberapa coretan pilok
yang lazim disebut sebagai hasil vandalisme.
Saya sebenarnya
sudah cukup lama tak lagi mempersoalkan gedung plat merah itu. Terakhir saya
menulis dan dimuat di sebuah surat kabar yang tak begitu tenar. Seingat saya 4
kali saya menulis dan hanya sekali ditanggapi oleh Kepala Dinas Kebersihan,
Cipta Karya, dan Tata Ruang kab. Ciamis. Kalau sudah ditodong, apalagi yang
dilakukan pejabat kecuali cuci tangan dan lempar bola. Ya, lempar batu sembunyi
tangan. Saya menyasar semua dari Bappeda, DKCKTR, Disdikbud, Disparekraf, DPRD,
bahkan Bupati dan Sekda dalam tulisan. Maksudnya bukan untuk menghantam begitu
saja. Saya mengkritisi dan menyarankan solusi yang terpikir terkait persoalan
Gedung Kesenian Ciamis. Langkah pertama, ya jelas, harus jumpa dulu antara
semua pihak yang saya sebut di atas plus seniman sebagai calon utama pengguna
Gedung Kesenian Ciamis (jika memang gedung itu diniatkan utamanya untuk
kegiatan-kegiatan kesenian, bukan untuk resepsi pernikahan atau rapat-rapat
partai).
Saya kembali
tergelitik ihwal gedung ini sebabnya karena perjumpaan saya dengan beberapa
orang tadi siang. Sejak pagi hingga siang tadi, saya bersama Direktur WIZ
Project menyambangi beberapa tempat. Kami mau jual tiket donasi buat pementasan
teater. Ada beberapa nama yang sudah ada dalam daftar calon donatur. Beberapa
nama adalah pejabat di pemerintahan kab. Ciamis. Salah satunya di Bappeda
(Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Ciamis. Saat kami berniat
menemuinya di kantor mewah itu, ia sedang tak bisa diganggu. Akhirnya kami
bercakap dengan seseorang yang di lobi kantor. Ia bertanya tentang maksud
kedatangan kami. Kami menjelaskan singkat dan ia balik bertanya “Kenapa nggak
di Gedung Kesenian. Kan udah dibangun megah begitu”. Saya bingung mau jawab
apa. Masa harus meracau tentang GKC seperti saya menulis. Tadinya mau saya buat
panjang, tapi percuma juga. Dia agaknya hanya pegawai yang tak punya kuasa
kebijakan. Saya hanya jawab “Mahal sewanya”. Seperti tak puas, “Memangnya sudah
kamu tanya dan cari tahu?” Ia segera menimpal. “Kabar-kabarnya sih begitu. Lagi
pula sejak awal berdiri, gedung itu hanya pernah digunakan beberapa kali saja,
itu pun oleh organisasi atau lembaga yang akrab dengan pemerintah. Atau
pemerintahnya itu sendiri” (redaksi dialog-dialog tidak persis seerti itu).
Saya memaparkan acara apa saja yang pernah digelar di sana dan siapa saja yang
pernah menggunakannya sependek pengetahuan saya. Usai saya bicara agak panjang
itu, ia agaknya tak bergairah lagi melanjutkan pembicaraan tentang GKC.
Tak lama
menunggu, kami diterima oleh salah satu pejabat, yang jelas ia bukan orang
yang hendak kami tuju. Dan alur pembicaraannya hampir mirip dengan percakapan
saya di lobi kantor beberapa menit yang lalu. Pejabat itu, sama seperti orang
di lobi, tak lagi bergairah melanjutkan percakapan menyoal GKC usai saya
menimpali pertanyaannya. Saya juga memang kurang bergairah membicarakannya.
Muak, barangkali. Jengah. Atau mungkin juga putus asa. Entahlah. Tapi kemudian
saya jadi terpikir dan tergelitik lagi ihwal GKC.
2017, Pemda
Ciamis merombak nomenklatur beberapa SKPD. Pejabat-pejabatnya pun baru. Mutasi
besar-besaran. Ada apa ya? Entahlah, pastinya. Saya hanya menduga-duga saja.
Mungkin sebagian masyarakat Ciamis sudah cukup peka membaca geliat dan gerak
politik Ciamis dewasa ini. Terkait perombakan itu, sekarang ada beberapa SKPD
baru di lingkungan Pemda Ciamis, diantaranya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah
Raga. Konon, dinas inilah yang kini mengelola GKC. Pengelolaan gedung ini
memang beberapa kali berpindah tangan. Katanya sih karena gedung ini belum 100%
beres jadi masih belum ada putusan tetap siapa yang mengelolanya. Dan oleh
karena itu juga GKC itu belum punya program apa-apa hingga kini. Itu sih
kabar-kabar angin, saya tak tahu pasti. Kalau pun memang demikian, parah juga
sistem kerja dan tata kelola Pemda Ciamis, sampai-sampai gedung seharga 5
milyar rupiah bisa mangkrak tanpa nyawa. Mati suri.
Dulu saya
mengusulkan beberapa solusi terkait GKC. Pertama, ganti nama. Jangan sebut
bangunan itu sebagai gedung kesenian. Fungsi utamanya juga musti ikut diubah.
Dan perubahan nama dan fungsi itu harus tertuang dalam regulasi legal. Harus
memiliki kekuatan hukumnya. Agar tidak ada gugat menggugat di kemudian hari. Kan
bisa diganti menjadi Graha Galuh Indah, atau Gedung Ciamis Selaras, atau Bale
Sawala Galuh, misalnya. Atau nama lain yang lebih sesuai dengan bentuk,
arsitektur serta fungsi utamanya. Agar Pemda Ciamis tidak terkesan dungu,
memberi nama yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Kedua,
renovasi. Jika keukeuh bangunan itu harus menjadi gedung kesenian dengan fungsi
utama sebagai sarana kegiatan kesenian yang representatif, renovasi adalah
jalan paling rasional yang terpikir. Bangunan itu, khususnya interiornya,
sangat tidak layak digunakan untuk kegiatan kesenian. Akustik buruk, lantai
yang memantulkan cahaya, dinding kanan kiri penuh kaca, pintu kaca, panggung
yang tidak memadai tanpa perangkat panggung pertunjukan satu pun, dan sekian
lainnya. Jelas harus dibongkar. Didisain ulang menjadi sebuah gedung kesenian
yang representatif, mengikuti model gedung kesenian yang sudah ada sebelumnya
semisal Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya, Gedung Kesenian Rumentangsiang
Bandung, Gedung Kesenian Sunan Ambu, Gedung Kesenian Dewi Asri, Teater Indoor
Taman Budaya Jawa Barat, dan banyak contoh lainnya. Atau kalau pun mau dibuat
bentuk outdoor juga tak masalah, seperti yang ada di Taman Budaya Jawa Barat,
misalnya. Asal ada kesesuaian antara nama, bentuk, fasilitas, dan fungsi
utamanya. Kalau masalah fasilitas semisal tata cahaya panggung, kelengkapan
fasilitas audio visual, multimedia, perpustakaan, ruang pameran seni, ruang
diskusi, dan lainnya bisa bertahap saja pengadaannya. Asal bentuk dasarnya,
konstruksinya betul, dalam arti sesuai antara nama, bentuk, dan fungsi utama.
Pilihan pertama
atau pun kedua jelas harus melewati musyawarah terlebih dahulu. Idealnya sih
begitu, saya kira. Harus ada dialog aktif antara pemerintah, DPRD, dan
masyarakat (dalam hal ini seniman) untuk mencapai mufakat. Tentu semuanya
harus terlaksana dengan kepala dingin
dan visi yang sama, membangun dan mengembangkan kesenian di Ciamis. Kalau
visinya sudah melenceng, ya, akan kacau balau jadinya. Yang satu pihak ingin
membangun kesenian Ciamis, yang lain membangun rumah pribadinya dengan megah,
ya, repot urusannya kalau begitu.
Saya kira baik
solusi pertama atau kedua, itu bukan solusi yang mungkin tak disukai
pemerintah. Mereka inginnya yang sederhana saja. Misalnya, penyiasatan ruang.
Maksdunya, diganti nama tidak, direnovasi pun tak mau. Alasannya pasti,
anggaran. Karena anggaran yang minim, maka jalan tengah adalah solusi terbaik.
Begitu kira-kira barangkali mereka akan berpidato. Jalan tengah macam apa?
Misalnya, menambahkan peredam suara di dinding-dinding guna memperbaiki
kualitas akustik.
Saya sempat
berbicara dengan beberapa seniman lain menyoal hal ini. Kalau sama-sama keras,
yang memang susah juga. Ketololan sistemik yang sudah mewujud itu akan makin
menyedihkan bila tak kunjung ada jalan keluar yang, setidaknya, bisa membuatnya
terselamatkan dari judul Gedung Kesunyian Ciamis forever.
Digunakan untuk
pentas-pentas tari, teater atau pun musik memang pasti akan sangat
mengecewakan. Tapi barangkali pelataran depan gedung itu masih bisa digunakan
untuk latihan-latihan, atau mungkin juga acara-acara lain yang tak terlalu
masif. Ini ide dari salah satu seniman yang sempat bercakap tentang GKC. Cukup
menarik, saya kira. Namun yang pasti, ide apapun, langkah pertama yang harus
ditempuh adalah duduk bersama dalam semangat yang sama.
Vita Bravis,
Ars Longa...
Rengganis
26
Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar