Selasa, 07 Februari 2017

Jeblog : Aku, Dia, dan Kalian


Yesterday is history. Tomorrow is mystery. And today is a gift. That's why it's called present. Begitu kira-kira nasihat Master Oogway dalam film Kungfu Panda 2. Jeblog karya Nazarudin Azhar adalah naskah drama yang banyak berbicara tautan seseorang dengan masa silamnya dan masa kini, hingga akhirnya masa depan.

Adalah Dalka, Sarwani, dan Burhan, tiga lelaki narapidana yang tinggal bersama dalam satu sel. Dalka divonis mati lantaran menghabisi nyawa 5 orang pelanggan ibunya yang seorang WPS (Wanita Penjaja Seks). Sarwani terpaksa berpisah dengan istrinya, Ratna, usai membunuh aparat pemerintahan desa yang tak henti menghina dan mendiskriminasi ia dan orang tuanya yang eks PKI. Ia muak dengan cap "anak PKI". Senasib dengan Dalka, ia divonis hukuman mati. Sedang Burhan tertangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah gagal meledakkan bom di sebuah kafe. Ia pernah menyelami dunia perdukunan sebelum tergabung dengan gerakan agama garis keras. Kabarnya, ia mati karena santet, sama seperti kedua orang tuanya. Kisah tiga lelaki itu dikemas dalam sebuah pertunjukan teater dalam rangka ujian akhir Strata 1 (S1) penyutradaraan oleh Vieoletta Estrella, mahasiswi jurusan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sabtu, 28 Januari 2017 pukul 20.00 WIB di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya.

Di  kiri bawah (depan) panggung hadir sebuah pintu berbentuk seperti pintu penjara, lengkap dengan rantai dan gembok. Bagian tengah kanan panggung terdapat peninggian berukuran lebih kurang 2 m x 1 m x 0,4 m berwarna abu-abu. Sedang di bagian kanan bawah (depan) terdapat set berbentuk jeruji. Tinggi jerujinnya beragam. Yang tertinggi sekitar 2,5 m. Satu set lagi menempel pada frame kanan panggung, masih bernuansa jeruji penjara. Agaknya semua set itu berbahan dasar kayu. Dari bagian atap, tiga batang paralon sebesar betis, ujungnya runcing, ada sapuan warna merah muda pada batangnya, panjangnya lebih dari 2 m, menukik dari arah kanan, kiri, dan belakang.

Musik pembuka, cahaya lampu panggung yang hadir secara tiba-tiba, perempuan berbaju putih yang berdiri di panggung, dan tiga lelaki yang berjalan dari tempat duduk penonton menuju panggung sembari meracau adalah rangkaian gimik yang membuka pertunjukan ini. Sekilas, lakon ini nampak cukup tegas membagi tiap adegan. Adegan pertama hadir cukup cair meski berisi dialog-dialog yang sebenarya cukup berat. Sarwani terlibat perdebatan kecil dengan Dalka yang sangat meyakini pentingnya imajinasi dalam kehidupan manusia. Burhan yang meyakini dirinya terbang, tak hentinya diolok-olok. Saat semua lelah dan mulai tertidur, Dalka masih setia menunggu Nyi Putri Bulan. Dalka kecil sering didongengi kisah Nyi Putri Bulan oleh ibunya. Agaknya kenangan itu terpatri kuat dalam ingatan. Ia sering berhalusinasi dikunjungi Nyi Putri Bulan. Dan malam itu, perempuan itu hadir. Nyi Putri Bulan datang berkunjung. Di tengah percakapan, perempuan itu mengaku sebagai ibu Dalka. Percakapan terus berlanjut, membongkar masa lalu, membongkar kepedihan seorang anak WPS.

Secara garis besar, agaknya lakon ini terbagi dalam 8 adegan. Alurnya utamanya masih setia dengan dramaturgi Aristotelian namun dengan solution ending. Adegan 1, 3, 5 berisi percakapan antara tiga tokoh itu, sedang adegan 2, 4, dan 6 adalah milik masing-masing tokoh. Di adegan 2, Dalka berjumpa dengan Nyi Putri Bulan dan ibunnya. Adegan 4, Sarwani dikunjungi istrinya, Ratna. Dan adegan 6 adalah milik Burhan. Seorang perempuan yang mengaku sebagai kawannya datang, mereka bercakap tentang perjalanan Burhan dari seorang penganut ilmu hitam menjadi “pengantin” di gerakan agama garis keras. Baik Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, istri Sarwani, atau pun kawan Burhan adalah perempuan yang sama. Ia seakan personifikasi dari halusinasi ketiganya. Satu realitas imajiner yang mewakili kerinduan masing-masing tokoh.

Klimaks lakon ini agaknya hadir pada adegan 7. Keempat tokoh berjumpa. Dalka, Sarwani, dan Burhan sama-sama meyakini bahwa perempuan berbaju putih yang ada dihadapan mereka adalah perempuan mereka. Dalka dengan Nyi Putri Bulannya, Sarwani dengan istrinya, dan Burhan dengan kawan seperjuangnnya. Si perempuan mengiyakan ketiganya. Ia adalah siapa yang mereka inginkan, namun juga bukan ketiganya. Paradoks. Perdebatan berakhir dengan kepergian perempuan berbaju putih itu ke arah penonton. Ini nyaris mirip dengan situasi dewasa ini. Masing-masing pihak mengklaim kebenaran secara mutlak dan memaksakannya pada pihak lain. Bentrokan pun tak terelakkan. Padahal kebenaran yang diperebutkan boleh jadi adalah realitas imajiner, realitas yang ada dalam kepala masing-masing. Seperti sebuah teks drama yang musti melewati fase interpretasi, pun demikian tiap realitas yang ada, muskil mengelak dari tafsir. Bukankah hidup adalah menafsir? Setidaknya demikian menurut para pemikir hermeneutik seperti Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan lainnya. Dan tafsir-tafsir inilah yang dipegang sebagai kebenaran. Persoalan muncul tatkala kebenaran ini diklaim secara mutlak oleh sebagaian pihak dan memaksakannya menjadi kebenaran general. Seperti Dalka, Sarwani, dan Burhan yang bertikai, merebut dan memaksakan kebenaran identitas si perempuan berbaju putih.

Pasca klimaks, adegan seolah melompati waktu. Dua orang sipir masuk pada adegan 8. Sembari membersihkan sel, mereka bercakap tentang sejarah sel itu. Ini semacam kilas balik. Salah seorang sipir mengisahkan bahwa dahulu sel itu dihuni oleh tiga narapidana. Dua adalah narapidana mati, sedang yang satu lagi dihukum seumur hidup dan mati lantaran santet. Sejak kematian mereka bertiga, sel itu tak pernah dihuni siapa pun, sengaja dikosongkan. Angker dan selalu menelan korban. Adegan ini juga berisi percakapan bernada kritik sosial, bagaimana koruptor selalu mendapat pelayanan khusus di penjara.     

Salah satu yang mengganjal dari pementasan ini ialah keberadaan tiga batang paralon yang menukik dari atap. Set itu sama sekali tak direspon dan seolah bukan bagian dari pertunjukan. Jika menggunakan kaca mata semiotik, bisa saja itu adalah simbol dari represi pada ketiga tokoh yang ada di bawahnya. Namun jika pun demikian, tekanan yang dimaksudkan sama sekali tak terasa. Tiga paralon itu seolah dekorasi tanpa relevansi yang jelas dengan teks maupun lakon. Dengan warna dominan coklat muda, tiga set jeruji yang hadir terasa kurang garang sebagai penjara. Ukurannya yang relatif kecil dengan perbandingan luas keseluruhan panggung, membuatnya kurang menggigit. Set seolah tidak kawin dengan para pemeran dan teks secara utuh. Dua jeruji di bagian kiri panggung malah nyaris tak tersentuh, seolah terpisah, tempelan saja.

Musik yang tersaji mengingatkan pada film-film tahun 80an – 90an. Terlebih ketika berusaha menghadirkan kesan horor, lewat musik, imaji seolah digiring ke film-film Suzana yang legendaris itu. Pada bagian lain, bunyi-bunyi dan ilustrasi musik terasa kental akan nuansa childness, kanak-kanak. Dan agaknya kesan ini cukup mendominasi. Hal ini diperkuat pula dengan hadirnya Nyi Putri Bulan “menunggangi” serupa awan yang fantatif, serta kemunculan kawan Burhan yang menggunakan otoped. Jika kesan ini hanya hadir pada adegan 2, ketika Dalka bernostalgia dengan ibunya, boleh jadi sesuai. Tingkah kenak-kanakan Wit Jabo Widiyanto, pemeran Dalka, pada adegan ini boleh dibilang cukup terasa. Alam batin Dalka yang imajinatif dan punya pautan kuat dengan masa kecil memungkinkan cita rasa kanak-kanak ini hadir di panggung. Namun sayangnya, cita rasa ini masih teras hadir di beberapa bagian lain. Cahaya lampu panggung yang cenderung colourfull pada bagian-bagian tertentu menambah kuat kesan fantasi khas anak-anak ini. Andarea Fatih (Sarwani) dan Kido (Burhan) pada adegan-adegan tertentu pun seakan larut dalam gerak dan sikap tubuh ludic, tubuh kanak-kanak.

Suasana Sunda masih sangat terasa lewat lidah-lidah keenam pemeran yang manggung. Jika ini memang kehendak teks atau tafsir, ini berhasil. Lentong Sunda ini masih teras kuat. Terlebih penggunaan diksi mah, téh, dan atuh masih bisa ditemukan dalam beberapa bagian dialog menambah kuat biografi teks yang dilahirkan dari rahim tatar priangan ini.

Hal lain yang menjadi catatan lain adalah tokoh perempuan berbaju putih (Ami). Perbedaan karakter antara Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, Ratna, kawan Burhan, dan dirinya sendiri belum begitu kentara. Tidak adanya kostum atau rias penanda yang berbeda membuatnya musti ekstra dalam menciptakan lima karekater yang berbeda. Optimalisasi perangkat natural keaktoran sangat diperlukan agar tercapai bangunan karakter yang jelas.

Lepas dari pisau analisa apapun, pertunjukan ini layak mendapat apresiasi. Sajian ini cukup menghangatkan atmosfer teater di Tasikmalaya dan sekitarnya. Betapa pun, panggung teater, khususnya di daerah, harus berterima kasih pada para penggiat yang telah, masih, dan akan setia melakoni, mencumbuinya dengan segala tantangan yang barangkali tak ditemukan di kota-kota besar serupa Bandung, Jakarta, Yogya, dan lain sebagianya. Sebab pada akhirnya, teater tak bisa dicerabut dari rahim di mana ia lahir dan tumbuh. Cita rasa akan bertaut kuat dengan ruang di mana ia hidup dan melakon.

Bravo Teater...
Vita Bravis, Ars Longa...


Rengganis,

2 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...