Yesterday
is history. Tomorrow is mystery. And today is a gift. That's why it's called
present.
Begitu kira-kira nasihat Master Oogway dalam film Kungfu Panda 2. Jeblog karya Nazarudin Azhar adalah
naskah drama yang banyak berbicara tautan seseorang dengan masa silamnya dan masa kini, hingga akhirnya masa depan.
Adalah Dalka,
Sarwani, dan Burhan, tiga lelaki narapidana yang tinggal bersama dalam satu
sel. Dalka divonis mati lantaran menghabisi nyawa 5 orang pelanggan ibunya yang
seorang WPS (Wanita Penjaja Seks). Sarwani terpaksa berpisah dengan istrinya,
Ratna, usai membunuh aparat pemerintahan desa yang tak henti menghina dan
mendiskriminasi ia dan orang tuanya yang eks PKI. Ia muak dengan cap "anak
PKI". Senasib dengan Dalka, ia divonis hukuman mati. Sedang Burhan
tertangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah
gagal meledakkan bom di sebuah kafe. Ia pernah menyelami dunia perdukunan
sebelum tergabung dengan gerakan agama garis keras. Kabarnya, ia mati karena santet, sama seperti kedua orang tuanya. Kisah
tiga lelaki itu dikemas dalam sebuah pertunjukan
teater dalam rangka ujian akhir Strata 1 (S1)
penyutradaraan oleh Vieoletta Estrella, mahasiswi jurusan
teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sabtu, 28 Januari 2017 pukul
20.00 WIB di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya.
Di kiri bawah (depan) panggung hadir sebuah
pintu berbentuk seperti pintu penjara, lengkap dengan rantai dan gembok. Bagian
tengah kanan panggung terdapat peninggian berukuran lebih kurang 2 m x 1 m x
0,4 m berwarna abu-abu. Sedang di bagian kanan bawah (depan) terdapat set
berbentuk jeruji. Tinggi jerujinnya beragam. Yang tertinggi sekitar 2,5 m. Satu
set lagi menempel pada frame kanan panggung,
masih bernuansa jeruji penjara. Agaknya semua set itu berbahan dasar kayu. Dari
bagian atap, tiga batang paralon sebesar betis, ujungnya runcing, ada sapuan
warna merah muda pada batangnya, panjangnya lebih dari 2 m, menukik dari arah
kanan, kiri, dan belakang.
Musik pembuka,
cahaya lampu panggung yang hadir secara tiba-tiba, perempuan berbaju putih yang
berdiri di panggung, dan tiga lelaki yang berjalan dari tempat duduk penonton
menuju panggung sembari meracau adalah rangkaian gimik yang membuka pertunjukan
ini. Sekilas, lakon ini nampak cukup tegas
membagi tiap adegan. Adegan pertama hadir cukup cair meski berisi dialog-dialog
yang sebenarya cukup berat. Sarwani terlibat perdebatan kecil dengan Dalka yang sangat meyakini
pentingnya imajinasi dalam kehidupan manusia. Burhan yang
meyakini dirinya terbang, tak hentinya diolok-olok. Saat semua lelah
dan mulai tertidur, Dalka masih setia menunggu Nyi Putri Bulan. Dalka kecil
sering didongengi kisah Nyi Putri Bulan oleh ibunya. Agaknya kenangan itu
terpatri kuat dalam ingatan. Ia sering berhalusinasi dikunjungi Nyi Putri
Bulan. Dan malam itu, perempuan itu hadir. Nyi Putri Bulan datang berkunjung.
Di tengah percakapan, perempuan itu mengaku sebagai ibu Dalka. Percakapan terus
berlanjut, membongkar masa lalu, membongkar kepedihan seorang anak WPS.
Secara garis besar,
agaknya lakon ini terbagi dalam 8 adegan. Alurnya utamanya masih setia dengan
dramaturgi Aristotelian namun dengan solution
ending. Adegan 1, 3, 5 berisi percakapan antara tiga tokoh itu, sedang
adegan 2, 4, dan 6 adalah milik masing-masing tokoh. Di adegan 2, Dalka
berjumpa dengan Nyi Putri Bulan dan ibunnya. Adegan 4, Sarwani dikunjungi
istrinya, Ratna. Dan adegan 6 adalah milik Burhan. Seorang perempuan yang
mengaku sebagai kawannya datang, mereka bercakap tentang perjalanan Burhan dari
seorang penganut ilmu hitam menjadi “pengantin” di gerakan agama garis keras.
Baik Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, istri Sarwani, atau pun kawan Burhan adalah
perempuan yang sama. Ia seakan personifikasi dari halusinasi ketiganya. Satu realitas
imajiner yang mewakili kerinduan masing-masing tokoh.
Klimaks lakon ini
agaknya hadir pada adegan 7. Keempat tokoh berjumpa. Dalka, Sarwani, dan Burhan
sama-sama meyakini bahwa perempuan berbaju putih yang ada dihadapan mereka
adalah perempuan mereka. Dalka dengan Nyi Putri Bulannya, Sarwani dengan
istrinya, dan Burhan dengan kawan seperjuangnnya. Si perempuan mengiyakan
ketiganya. Ia adalah siapa yang mereka inginkan, namun juga bukan ketiganya.
Paradoks. Perdebatan berakhir dengan kepergian perempuan berbaju putih itu ke
arah penonton. Ini nyaris mirip dengan situasi dewasa ini. Masing-masing pihak
mengklaim kebenaran secara mutlak dan memaksakannya pada pihak lain. Bentrokan
pun tak terelakkan. Padahal kebenaran yang diperebutkan boleh jadi adalah
realitas imajiner, realitas yang ada dalam kepala masing-masing. Seperti sebuah
teks drama yang musti melewati fase interpretasi, pun demikian tiap realitas
yang ada, muskil mengelak dari tafsir. Bukankah hidup adalah menafsir?
Setidaknya demikian menurut para pemikir hermeneutik seperti Martin Heidegger,
Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan lainnya. Dan tafsir-tafsir inilah yang
dipegang sebagai kebenaran. Persoalan muncul tatkala kebenaran ini diklaim
secara mutlak oleh sebagaian pihak dan memaksakannya menjadi kebenaran general.
Seperti Dalka, Sarwani, dan Burhan yang bertikai, merebut dan memaksakan kebenaran
identitas si perempuan berbaju putih.
Pasca klimaks, adegan
seolah melompati waktu. Dua orang sipir masuk pada adegan 8. Sembari
membersihkan sel, mereka bercakap tentang sejarah sel itu. Ini semacam kilas
balik. Salah seorang sipir mengisahkan bahwa dahulu sel itu dihuni oleh tiga
narapidana. Dua adalah narapidana mati, sedang yang satu lagi dihukum seumur
hidup dan mati lantaran santet. Sejak kematian mereka bertiga, sel itu tak
pernah dihuni siapa pun, sengaja dikosongkan. Angker dan selalu menelan korban.
Adegan ini juga berisi percakapan bernada kritik sosial, bagaimana koruptor selalu
mendapat pelayanan khusus di penjara.
Salah satu yang
mengganjal dari pementasan ini ialah keberadaan tiga batang paralon yang
menukik dari atap. Set itu sama sekali tak direspon dan seolah bukan bagian
dari pertunjukan. Jika menggunakan kaca mata semiotik, bisa saja itu adalah
simbol dari represi pada ketiga tokoh yang ada di bawahnya. Namun jika pun
demikian, tekanan yang dimaksudkan sama sekali tak terasa. Tiga paralon itu
seolah dekorasi tanpa relevansi yang jelas dengan teks maupun lakon. Dengan
warna dominan coklat muda, tiga set jeruji yang hadir terasa kurang garang
sebagai penjara. Ukurannya yang relatif kecil dengan perbandingan luas
keseluruhan panggung, membuatnya kurang menggigit. Set seolah tidak kawin
dengan para pemeran dan teks secara utuh. Dua jeruji di bagian kiri panggung
malah nyaris tak tersentuh, seolah terpisah, tempelan saja.
Musik yang tersaji
mengingatkan pada film-film tahun 80an – 90an. Terlebih ketika berusaha
menghadirkan kesan horor, lewat musik, imaji seolah digiring ke film-film
Suzana yang legendaris itu. Pada bagian lain, bunyi-bunyi dan ilustrasi musik
terasa kental akan nuansa childness,
kanak-kanak. Dan agaknya kesan ini cukup mendominasi. Hal ini diperkuat pula
dengan hadirnya Nyi Putri Bulan “menunggangi” serupa awan yang fantatif, serta
kemunculan kawan Burhan yang menggunakan otoped. Jika kesan ini hanya hadir
pada adegan 2, ketika Dalka bernostalgia dengan ibunya, boleh jadi sesuai.
Tingkah kenak-kanakan Wit Jabo Widiyanto, pemeran Dalka, pada adegan ini boleh
dibilang cukup terasa. Alam batin Dalka yang imajinatif dan punya pautan kuat
dengan masa kecil memungkinkan cita rasa kanak-kanak ini hadir di panggung.
Namun sayangnya, cita rasa ini masih teras hadir di beberapa bagian lain.
Cahaya lampu panggung yang cenderung colourfull
pada bagian-bagian tertentu menambah kuat kesan fantasi khas anak-anak ini.
Andarea Fatih (Sarwani) dan Kido (Burhan) pada adegan-adegan tertentu pun
seakan larut dalam gerak dan sikap tubuh ludic,
tubuh kanak-kanak.
Suasana Sunda masih
sangat terasa lewat lidah-lidah keenam pemeran yang manggung. Jika ini memang
kehendak teks atau tafsir, ini berhasil. Lentong Sunda ini masih teras kuat.
Terlebih penggunaan diksi mah, téh, dan atuh masih bisa ditemukan dalam beberapa bagian dialog menambah
kuat biografi teks yang dilahirkan dari rahim tatar priangan ini.
Hal lain yang menjadi
catatan lain adalah tokoh perempuan berbaju putih (Ami). Perbedaan karakter
antara Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, Ratna, kawan Burhan, dan dirinya sendiri
belum begitu kentara. Tidak adanya kostum atau rias penanda yang berbeda
membuatnya musti ekstra dalam menciptakan lima karekater yang berbeda.
Optimalisasi perangkat natural keaktoran sangat diperlukan agar tercapai
bangunan karakter yang jelas.
Lepas dari pisau
analisa apapun, pertunjukan ini layak mendapat apresiasi. Sajian ini cukup
menghangatkan atmosfer teater di Tasikmalaya dan sekitarnya. Betapa pun,
panggung teater, khususnya di daerah, harus berterima kasih pada para penggiat
yang telah, masih, dan akan setia melakoni, mencumbuinya dengan segala
tantangan yang barangkali tak ditemukan di kota-kota besar serupa Bandung,
Jakarta, Yogya, dan lain sebagianya. Sebab pada akhirnya, teater tak bisa dicerabut
dari rahim di mana ia lahir dan tumbuh. Cita rasa akan bertaut kuat dengan
ruang di mana ia hidup dan melakon.
Bravo Teater...
Vita Bravis, Ars
Longa...
Rengganis,
2 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar