Soal itu pasti
kamu yang paling jago. Kamu
sering berkunjung. Kamu paham
betul arti dan fungsi berkunjung. Kamu memang jarang kemari, tapi setidaknya
kamu tak pernah tak berkunjung ke mari. Kita bercakap tentang banyak hal, atau sekedar minum kopi dan membunuh rindu
untuk menghidupkannya kembali. Tentu. Bukankah tiap kamu berkunjung kamu selalu
pergi lagi? Namanya juga berkunjung, hanya sementara saja. Kamu belum pernah
benar-benar tinggal di sini, selamanya. Hahaha... benar. Memang, tak ada yang
abadi di dunia ini kecuali waku, Tuhan, dan dunia yang tak pernah kita ketahui. Sisanya, temporer saja. Serba sementara.
Puluhan, ratusan, bahkan milyaran tahun pun adalah kesementaraan. Sebab abadi
adalah tak berusai.
Beberapa waktu
lalu aku sering mengantar seseorang
berkunjung. Ya, berkunjung ke berbagai tempat dan orang-orang. Tempat dan orang
yang kami kunjungi tentu punya kisah sendiri yang dalam beberapa hal
kisah-kisah itu tertaut dengan si pengunjung itu, bertaut dengan masa silam. Ini
sebenarnya biasa-biasa. Berkunjung ke masa lalu bukan hal yang aneh atau luar
biasa, sebenarnya. Banyak orang yang melakukannya dengan berbagai alasan. Tentu
yang paling klasik adalah mengahapus rindu. Sekedar ingin jumpa dan menanyakan
kabar. Namun tak sedikit orang yang kembali ke masa lalu untuk melompat ke masa
depan. Namun, sesederhana apa pun, toh masa silam selalu menarik untuk
dikunjungi.
Kamu sendiri
pasti punya masa silam. Kita semua. Aku juga. Masa lalu adalah ruang dan waktu
yang pernah kita lakoni. Ada jejak kita di sana. Ada peristiwa dan ingatan. Dan
tentu kenangan dan kesan. Kamu masih ingat kali pertama kita bertemu? Hahaha...
menggelikan juga membicarakan ini denganmu. Tapi sekali-kali, barangkali kita
perlu juga bertamasya ke masa silam. Memanggil kembali ingatan, kemudian kita
akan tersenyum, tertawa, marah, atau menangis sendiri. Jelas, Lexie. Ada kesan
pada tiap ruang dan waktu, dan ingatan kita menyimpan itu. Kita tinggal
membongkar arsip dan menemukannya kembali. Memang ada beberapa yang usang dan
nyaris buram atau buram sama sekali. Tapi setidaknya kita tahu bahwa seburam
apa pun, itu adalah lakon yang pernah kita mainkan.
Aku juga
memilikinya. Semua kita punya hal itu. Masa lalu yang buruk dan menyakitkan.
Atau barangakali masa lalu yang hambar dan biasa-biasa saja. Sama sekali tak
berkesan dan membekas. Oh, pasti. Aku bukan tipe orang yang mudah melupakan sejarah. Tapi sejarah ya tinggal
sejarah. Menghapus
atau sengaja melupakan sejarah adalah hal penyiksaan dan kekejaman pada diri
sendiri. Itu hal konyol, Lexie. Atau mungkin bodoh. Kita lahir dari sana, dari
rahim sejarah. Menghapusnya berarti menghapus diri kita sendiri. Buatku sendiri,
mengunjungi masa lalu seperti berwisata ke museum. Aku melihat banyak
peristiwa, melihat aku yang lampau, melihat orang-orang yang turut bermain
dalam lakonku, dan selesai. Kadang aku sengaja memuseumkan masa lalu. Menyimpannya cantik di kotak kaca. Cukup ingat dan
dikenang saja. Ya, Lexie. Tak ada
pisang baru selama pisang yang lama masih beridri tegak. Kadang kita
musti memutus sesuatu untuk menumbuhkan yang lain.
Masih tentang
masa lalu. Kamu tahu Facebook? Jejaring sosial buatan Mark Zuckeberg? Sekarang
mereka sangat rajin mengingatkan pelanggannya tentang masa lalu mereka. Ini
makin dahsyat saja. Jejaring itu berfungsi dengan baik. Tak usah repot-repot dengan ilmu-ilmu yan rumit, Lexie. Kamu
bisa lihat saja jaring laba-laba. Bentuk dan fungsinya. Dalam konteks ini kita
tak bedanya dengan laba-laba itu. Jaringnya mengarah ke dan dari seluruh arah
mata angin. Dan kita, si empunya jaring, tinggal tepat di tengahnya. Si
laba-laba bebas pergi ke mana saja. Depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah.
Dan pada akhirnya, semua arah itu lenyap sebab ke mana kita mengahadap, itulah
jalan di depan dan kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi
belakang, dan akan begitu seterusnya. Jika kita si empunya jaring, kita tentu
sangat menguasainya, namun jika kita adalah mangsa si empunya jaring, kita
takkan bisa pergi ke mana pun. Kita akan
melekat dan terjebak, tak berkutik. Lihat saja bagaimana laba-laba menangkap
dan memakan mangsanya. Seperti hidup
yang juga, katanya, adalah jejaring
makna.
Nah, di sanalah
bedanya, kupikir. Manusia dengan visi yang jelas tentu mampu membedakan arah.
Ia takkan kehilangan orientasi selama kukuh memeluk imannya. Ia akan tahu mana
depan mana belakang, mana kanan mana kiri, mana atas mana bawah. Dan ia tahu di
mana ia berdiri. Celakanya, tak semua orang punya visi yang jelas, atau kukuh
mengimani visinya. Aku? Entahlah. Aku masih gamang menilai diriku sendiri. Aku
meyakini apa yang aku lakukan, tapi kadang kecurigaan pada diri sendiri
berdatangan tiba-tiba. Aku menginterogasi diriku sendiri. Mungkin juga mengoreksi dan
menyalahkan diri sendiri. Kenapa tidak? Bukankah kita bukan laba-laba yang tak
tahu arah dan ruang? Seharusnya.
Aku sepakat. Waktu memang linier, Lexie. Ia berjalan
lurus dan tak pernah peduli apa pun kecuali dirinya sendiri. Konsisten, selalu
dan semustinya. Kita hanya mampu menangkap bayangannya dan melekatkannya pada
ruang dan peristiwa. Bukankah kita demikian? Menyimpan ingatan pada ruang,
benda-benda, bahkan tubuh. Tentu. Tubuh punya ruang besar untuk menyimpan
ingatannya sendiri. Tubuh kita punya biografi yang tak pernah usai merekam tiap
sentuhan dan sensasi ketubuhan.
Waktu memang linier, tapi tidak dengan ruang dan
peristiwa. Mereka adalah jejaring. Mereka sering membawa kita melancong ke masa
silam dan pula masa depan. Ke kanan dan kiri, atas dan bawah. Mengajak dengan
santun, atau kadang menyeret kita, ke orang-orang
dan peristiwa lain di waktu yang lain pula. Mengunjungi tempat dan orang-orang
adalah membuka pintu-pintu. Banyak pintu, lampau dan yang akan datang. Yang usang
dan yang belum tersingkap. Dan itu adalah pilihan.
Seperti yang kubilang. Mau berkunjung atau tidak,
itu pilihan, Lexie. Ada banyak orang yang sengaja mengubur dalam-dalam ingatan
peristiwa, orang-orang, benda-benda, menjauhi ruang-ruang yang mana kesan kuat melekat
padanya. Ada pula
yang memilih memeliharanya dengan baik dan teguh, sekedar untuk tetap terhubung
atau sebagai pijakan masa depan. Ada pula yang memilih tak mengubur dan tidak
pula memelihara dengan teguh. Ia hanya memajangnya di meseum. Menatapkan sekali-kali
tanpa harus melarutkan diri terlalu dalam. Ikatannya seperti terputus tapi
tidak. Tetap terikat sebagai konsekuensi kausalitas namun memilih renggang,
seperi tak terpaut dan tak pernah sengaja mempautkan diri.
Memutus untuk menumbuhkan, Lexie. Mari bersulang.
Rengganis,
10 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar