Jumat, 10 Februari 2017

Menjaring Waktu


Soal itu pasti kamu yang paling jago. Kamu sering berkunjung. Kamu paham betul arti dan fungsi berkunjung. Kamu memang jarang kemari, tapi setidaknya kamu tak pernah tak berkunjung ke mari. Kita bercakap tentang banyak hal, atau sekedar minum kopi dan membunuh rindu untuk menghidupkannya kembali. Tentu. Bukankah tiap kamu berkunjung kamu selalu pergi lagi? Namanya juga berkunjung, hanya sementara saja. Kamu belum pernah benar-benar tinggal di sini, selamanya. Hahaha... benar. Memang, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali waku, Tuhan, dan dunia yang tak pernah kita ketahui. Sisanya, temporer saja. Serba sementara. Puluhan, ratusan, bahkan milyaran tahun pun adalah kesementaraan. Sebab abadi adalah tak berusai.

Beberapa waktu lalu aku sering mengantar seseorang berkunjung. Ya, berkunjung ke berbagai tempat dan orang-orang. Tempat dan orang yang kami kunjungi tentu punya kisah sendiri yang dalam beberapa hal kisah-kisah itu tertaut dengan si pengunjung itu, bertaut dengan masa silam. Ini sebenarnya biasa-biasa. Berkunjung ke masa lalu bukan hal yang aneh atau luar biasa, sebenarnya. Banyak orang yang melakukannya dengan berbagai alasan. Tentu yang paling klasik adalah mengahapus rindu. Sekedar ingin jumpa dan menanyakan kabar. Namun tak sedikit orang yang kembali ke masa lalu untuk melompat ke masa depan. Namun, sesederhana apa pun, toh masa silam selalu menarik untuk dikunjungi.

Kamu sendiri pasti punya masa silam. Kita semua. Aku juga. Masa lalu adalah ruang dan waktu yang pernah kita lakoni. Ada jejak kita di sana. Ada peristiwa dan ingatan. Dan tentu kenangan dan kesan. Kamu masih ingat kali pertama kita bertemu? Hahaha... menggelikan juga membicarakan ini denganmu. Tapi sekali-kali, barangkali kita perlu juga bertamasya ke masa silam. Memanggil kembali ingatan, kemudian kita akan tersenyum, tertawa, marah, atau menangis sendiri. Jelas, Lexie. Ada kesan pada tiap ruang dan waktu, dan ingatan kita menyimpan itu. Kita tinggal membongkar arsip dan menemukannya kembali. Memang ada beberapa yang usang dan nyaris buram atau buram sama sekali. Tapi setidaknya kita tahu bahwa seburam apa pun, itu adalah lakon yang pernah kita mainkan.   

Aku juga memilikinya. Semua kita punya hal itu. Masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Atau barangakali masa lalu yang hambar dan biasa-biasa saja. Sama sekali tak berkesan dan membekas. Oh, pasti. Aku bukan tipe orang yang mudah melupakan sejarah. Tapi sejarah ya tinggal sejarah. Menghapus atau sengaja melupakan sejarah adalah hal penyiksaan dan kekejaman pada diri sendiri. Itu hal konyol, Lexie. Atau mungkin bodoh. Kita lahir dari sana, dari rahim sejarah. Menghapusnya berarti menghapus diri kita sendiri. Buatku sendiri, mengunjungi masa lalu seperti berwisata ke museum. Aku melihat banyak peristiwa, melihat aku yang lampau, melihat orang-orang yang turut bermain dalam lakonku, dan selesai. Kadang aku sengaja memuseumkan masa lalu. Menyimpannya cantik di kotak kaca. Cukup ingat dan dikenang saja. Ya, Lexie. Tak ada pisang baru selama pisang yang lama masih beridri tegak. Kadang kita musti memutus sesuatu untuk menumbuhkan yang lain.

Masih tentang masa lalu. Kamu tahu Facebook? Jejaring sosial buatan Mark Zuckeberg? Sekarang mereka sangat rajin mengingatkan pelanggannya tentang masa lalu mereka. Ini makin dahsyat saja. Jejaring itu berfungsi dengan baik. Tak usah repot-repot dengan ilmu-ilmu yan rumit, Lexie. Kamu bisa lihat saja jaring laba-laba. Bentuk dan fungsinya. Dalam konteks ini kita tak bedanya dengan laba-laba itu. Jaringnya mengarah ke dan dari seluruh arah mata angin. Dan kita, si empunya jaring, tinggal tepat di tengahnya. Si laba-laba bebas pergi ke mana saja. Depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah. Dan pada akhirnya, semua arah itu lenyap sebab ke mana kita mengahadap, itulah jalan di depan dan kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi belakang, dan akan begitu seterusnya. Jika kita si empunya jaring, kita tentu sangat menguasainya, namun jika kita adalah mangsa si empunya jaring, kita takkan bisa pergi ke mana pun. Kita akan melekat dan terjebak, tak berkutik. Lihat saja bagaimana laba-laba menangkap dan memakan mangsanya. Seperti hidup yang juga,  katanya, adalah jejaring makna.

Nah, di sanalah bedanya, kupikir. Manusia dengan visi yang jelas tentu mampu membedakan arah. Ia takkan kehilangan orientasi selama kukuh memeluk imannya. Ia akan tahu mana depan mana belakang, mana kanan mana kiri, mana atas mana bawah. Dan ia tahu di mana ia berdiri. Celakanya, tak semua orang punya visi yang jelas, atau kukuh mengimani visinya. Aku? Entahlah. Aku masih gamang menilai diriku sendiri. Aku meyakini apa yang aku lakukan, tapi kadang kecurigaan pada diri sendiri berdatangan tiba-tiba. Aku menginterogasi diriku sendiri. Mungkin juga mengoreksi dan menyalahkan diri sendiri. Kenapa tidak? Bukankah kita bukan laba-laba yang tak tahu arah dan ruang? Seharusnya.

Aku sepakat. Waktu memang linier, Lexie. Ia berjalan lurus dan tak pernah peduli apa pun kecuali dirinya sendiri. Konsisten, selalu dan semustinya. Kita hanya mampu menangkap bayangannya dan melekatkannya pada ruang dan peristiwa. Bukankah kita demikian? Menyimpan ingatan pada ruang, benda-benda, bahkan tubuh. Tentu. Tubuh punya ruang besar untuk menyimpan ingatannya sendiri. Tubuh kita punya biografi yang tak pernah usai merekam tiap sentuhan dan sensasi ketubuhan.

Waktu memang linier, tapi tidak dengan ruang dan peristiwa. Mereka adalah jejaring. Mereka sering membawa kita melancong ke masa silam dan pula masa depan. Ke kanan dan kiri, atas dan bawah. Mengajak dengan santun, atau kadang menyeret kita, ke  orang-orang dan peristiwa lain di waktu yang lain pula. Mengunjungi tempat dan orang-orang adalah membuka pintu-pintu. Banyak pintu, lampau dan yang akan datang. Yang usang dan yang belum tersingkap. Dan itu adalah pilihan.

Seperti yang kubilang. Mau berkunjung atau tidak, itu pilihan, Lexie. Ada banyak orang yang sengaja mengubur dalam-dalam ingatan peristiwa, orang-orang, benda-benda, menjauhi ruang-ruang yang mana kesan kuat melekat padanya. Ada pula yang memilih memeliharanya dengan baik dan teguh, sekedar untuk tetap terhubung atau sebagai pijakan masa depan. Ada pula yang memilih tak mengubur dan tidak pula memelihara dengan teguh. Ia hanya memajangnya di meseum. Menatapkan sekali-kali tanpa harus melarutkan diri terlalu dalam. Ikatannya seperti terputus tapi tidak. Tetap terikat sebagai konsekuensi kausalitas namun memilih renggang, seperi tak terpaut dan tak pernah sengaja mempautkan diri.

Memutus untuk menumbuhkan, Lexie. Mari bersulang.

Rengganis,

10 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...