Bandung
dan Tanggerang adalah yang teranyar ramai ihwal kontroversi ojek/taksi online
setelah Yogyakarta. Jakarta sudah lebih dulu heboh. Ratusan sopir taksi
konvensioal berdemo menuntut penghapusan angkutan berbasis IT tersebut. Dan
tidak menutup kemungkinan atmosfer panas ini akan merambat ke berbagai kota
lain. Di mana ada perusahaan transportasi umum berbasis aplikasi internet, di
satu ada demo dan ribut-ribut lainnya. Dan ini sudah sampai pada taraf ekstrem.
Lihat saja peristiwa di Bandung. Puluhan sopir angkot mencegat sebuah mobil
yang diduga taksi online. Penumpangnya dipaksa turun dan mobilnya dirusak.
Videonya tersebar luas di internet, bagaimana para sopir angkot mengamuk dengan
gelap mata. Meski si pengemudi menjelaskan bahwa ia bukan taksi online dan
memohon belas kasih lantaran di dalam mobil itu ada seorang anak kecil,
kemarahan para pencegat itu tak bisa usai seketika.
Mau
tak mau, inilah sekian lembar potret dunia transportasi negara ini.
Pemerintah seakan kalah cepat dalam mengimbangi lesatan kreativitas di era
teknologi infromasi. Regulasi-reguasi baru dibuat setelah terjadi aksi, selalu
seperti itu. Dan mereka,
pemerintah itu, selelu punya setumpuk alasan ihwal keleletan mereka
merespon pelbagai fenomena masyarakat. Selalu. Dalam hal demikian, keadilan
selalu datang terlambat.
Saya sebenarnya bukan mau
berbicara ihwal ojek/taksi online. Itu mah biar para pengamat transportasi
saja. Beberapa hari lalu saya pergi ke sebuah kota berjuluk Kota Kembang. Macet,
padat, dan banjir, demikianlah kesan yang melekat selain kemolekan pada
mojangnya, tentu. Angkotnya, sama seperti di kota besar lainnya, suka berhenti
di mana saja. Mereka bisa berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang di
mana saja. Di Jakarta dan sekitarnya, kendaraan besar semacam bis kota
melakukan hal yang sama. Mereka bisa berhenti di mana pun tanpa menepi. Tentu ini
membuat macet. Memang, beberapa kendaraan umum menerapkan aturan naik dan turun
penumpang di tempat tertentu yang sudah di sediakan. Transjakarta sudah
melakukan itu. Tiap penumpang harus turun dan naik dari stasiun yang sudah di
tentukan. Ihwal naik dan turun penumpang, agaknya sedikit banyak ini
memperngaruhi mentalitas masyarakat penggunanya.
Konon katanya, kendaraan umum di
luar negeri sudah menerapkan sistem pemberhentian seperti Transjakarta, turun
dan naik di tempat tertentu. Kita tidak bisa seenaknya memberhentikan bis di
mana saja baik untuk turun atau naik. Sadar atau tidak, agaknya ini
mempengaruhi mentalitas, mempengaruhi daya juang dan disiplin.
Kita yang terbiasa memberhentikan
kendaraan umum di mana saja bisa lebih santai dan tak butuh daya juang tinggi. Upaya
yang kita lakukan untuk mendapatkan jasa transportasi itu cenderung lebih
ringan dibanding dengan masyarakat negera maju yang sistem transportasinya
lebih tertata. Mereka yang tinggal di negara dengan sistem transportasi umum
lebih maju harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan jasa transortasi umum. Setidaknya
mereka harus berjalan kaki menuju halte atau tempat pemberhentian yang telah ditentukan.
Dengan jadwal tiba dan berangkat yang akurat dan ketat, masyarakat pengguna tentu
menjadi lebih sigap dan disilpin terhadap waktu. Ini tentu berpengaruh kuat
pada mentalitas mereka dalam dunia kerja dan kehidupan mereka secara umum. Ini tidaklah
berlebihan, kiranya. Jadwal ketat transortasi umum ini mereka hadapi tiap hari.
Lambat laun, sadar atau tidak, sikap mereka menghadapi hal ini pasti
berpengaruh pada kehidupan mereka dan akhirnya pada mentalitasnya secara umum. Mereka
terlatih untuk menghormati waktu, menghormati ruang. Mereka tak bisa naik bis
kapan saja dan di mana saja. Semua ada ruang dan waktunya masing-masing.
Dan di Indonesia? Mungkin pemerintah
mulai mengarah pada kondisi demikian, membuat sistem transportasi umum yang
lebih tertata. Namun ini belum terlaksana secara menyeluruh, masih jauh dari
ideal. Belum pun sistem ini terlaksana, keberadaan ojek/taksi online malah
kontra produktif dengan upaya melatih disiplin dan mentalitas penghormatan pada
ruang dan waktu. Dengan hanya menekan layar sentuh pada gawai, calon penumpang
sudah tinggal duduk manis dan menunggu jemputan datang. Makin tipis saja daya
juang mendapatkan jasa transportasi umum, dan makin seenaknya. Daya juang dan
keringat yang harusnya tercucur untuk berjalan kaki menuju halte sudah berganti
rupiah atau uang elektronik untuk dibayarkan pada pengemudi ojek/taksi online. Praktis,
tentu. Tapi di sisi lain, ini malah mendidik masyarakat makin manja dan makin
menggantungkan diri ada uang. Fenomena macam begini lambat laun akan merembes
pada mentalitas dan keseharian lainnya. Manusia akan makin meng-uang-kan segala
sesuatu. Korporatisme makin leluasa menancapkan taring mereka bahkan sampai
level alam pikiran, paradigma.
Tubuh manusia makin terreduksi fungsinya.
Optimalisasi tubuh hanya menjadi wacana usang. Alih-alih pemanjaan, tubuh jadi
lumpuh. Lambat laun, keringat akan hanya bisa ditemukan di tempat-tempat olah
raga, sanggar-sanggar seni, buruh pabrik, petani, pekerja kasar, dan diatas
ranjang senggama. Hanya di sana saja. Keringat dan adalah barang langka. Demikianlah
kini.
Teknologi dan penataan sistem apa
pun seyogianya berpihak pada harmonitas. Kemajuan jangan sampai tidak ramah
pada tubuh, jangan sampai memberangus fungsi dan kemestian tubuh.
Rengganis,
16 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar