Kamis, 16 Maret 2017

Tubuh dan Transportasi Publik


Bandung dan Tanggerang adalah yang teranyar ramai ihwal kontroversi ojek/taksi online setelah Yogyakarta. Jakarta sudah lebih dulu heboh. Ratusan sopir taksi konvensioal berdemo menuntut penghapusan angkutan berbasis IT tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan atmosfer panas ini akan merambat ke berbagai kota lain. Di mana ada perusahaan transportasi umum berbasis aplikasi internet, di satu ada demo dan ribut-ribut lainnya. Dan ini sudah sampai pada taraf ekstrem. Lihat saja peristiwa di Bandung. Puluhan sopir angkot mencegat sebuah mobil yang diduga taksi online. Penumpangnya dipaksa turun dan mobilnya dirusak. Videonya tersebar luas di internet, bagaimana para sopir angkot mengamuk dengan gelap mata. Meski si pengemudi menjelaskan bahwa ia bukan taksi online dan memohon belas kasih lantaran di dalam mobil itu ada seorang anak kecil, kemarahan para pencegat itu tak bisa usai seketika.

Mau tak mau, inilah sekian lembar potret dunia transportasi negara ini. Pemerintah seakan kalah cepat dalam mengimbangi lesatan kreativitas di era teknologi infromasi. Regulasi-reguasi baru dibuat setelah terjadi aksi, selalu seperti itu. Dan mereka, pemerintah itu, selelu punya setumpuk alasan ihwal keleletan mereka merespon pelbagai fenomena masyarakat. Selalu. Dalam hal demikian, keadilan selalu datang terlambat.

Saya sebenarnya bukan mau berbicara ihwal ojek/taksi online. Itu mah biar para pengamat transportasi saja. Beberapa hari lalu saya pergi ke sebuah kota berjuluk Kota Kembang. Macet, padat, dan banjir, demikianlah kesan yang melekat selain kemolekan pada mojangnya, tentu. Angkotnya, sama seperti di kota besar lainnya, suka berhenti di mana saja. Mereka bisa berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang di mana saja. Di Jakarta dan sekitarnya, kendaraan besar semacam bis kota melakukan hal yang sama. Mereka bisa berhenti di mana pun tanpa menepi. Tentu ini membuat macet. Memang, beberapa kendaraan umum menerapkan aturan naik dan turun penumpang di tempat tertentu yang sudah di sediakan. Transjakarta sudah melakukan itu. Tiap penumpang harus turun dan naik dari stasiun yang sudah di tentukan. Ihwal naik dan turun penumpang, agaknya sedikit banyak ini memperngaruhi mentalitas masyarakat penggunanya.

Konon katanya, kendaraan umum di luar negeri sudah menerapkan sistem pemberhentian seperti Transjakarta, turun dan naik di tempat tertentu. Kita tidak bisa seenaknya memberhentikan bis di mana saja baik untuk turun atau naik. Sadar atau tidak, agaknya ini mempengaruhi mentalitas, mempengaruhi daya juang dan disiplin.

Kita yang terbiasa memberhentikan kendaraan umum di mana saja bisa lebih santai dan tak butuh daya juang tinggi. Upaya yang kita lakukan untuk mendapatkan jasa transportasi itu cenderung lebih ringan dibanding dengan masyarakat negera maju yang sistem transportasinya lebih tertata. Mereka yang tinggal di negara dengan sistem transportasi umum lebih maju harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan jasa transortasi umum. Setidaknya mereka harus berjalan kaki menuju halte atau tempat pemberhentian yang telah ditentukan. Dengan jadwal tiba dan berangkat yang akurat dan ketat, masyarakat pengguna tentu menjadi lebih sigap dan disilpin terhadap waktu. Ini tentu berpengaruh kuat pada mentalitas mereka dalam dunia kerja dan kehidupan mereka secara umum. Ini tidaklah berlebihan, kiranya. Jadwal ketat transortasi umum ini mereka hadapi tiap hari. Lambat laun, sadar atau tidak, sikap mereka menghadapi hal ini pasti berpengaruh pada kehidupan mereka dan akhirnya pada mentalitasnya secara umum. Mereka terlatih untuk menghormati waktu, menghormati ruang. Mereka tak bisa naik bis kapan saja dan di mana saja. Semua ada ruang dan waktunya masing-masing.

Dan di Indonesia? Mungkin pemerintah mulai mengarah pada kondisi demikian, membuat sistem transportasi umum yang lebih tertata. Namun ini belum terlaksana secara menyeluruh, masih jauh dari ideal. Belum pun sistem ini terlaksana, keberadaan ojek/taksi online malah kontra produktif dengan upaya melatih disiplin dan mentalitas penghormatan pada ruang dan waktu. Dengan hanya menekan layar sentuh pada gawai, calon penumpang sudah tinggal duduk manis dan menunggu jemputan datang. Makin tipis saja daya juang mendapatkan jasa transportasi umum, dan makin seenaknya. Daya juang dan keringat yang harusnya tercucur untuk berjalan kaki menuju halte sudah berganti rupiah atau uang elektronik untuk dibayarkan pada pengemudi ojek/taksi online. Praktis, tentu. Tapi di sisi lain, ini malah mendidik masyarakat makin manja dan makin menggantungkan diri ada uang. Fenomena macam begini lambat laun akan merembes pada mentalitas dan keseharian lainnya. Manusia akan makin meng-uang-kan segala sesuatu. Korporatisme makin leluasa menancapkan taring mereka bahkan sampai level alam pikiran, paradigma.

Tubuh manusia makin terreduksi fungsinya. Optimalisasi tubuh hanya menjadi wacana usang. Alih-alih pemanjaan, tubuh jadi lumpuh. Lambat laun, keringat akan hanya bisa ditemukan di tempat-tempat olah raga, sanggar-sanggar seni, buruh pabrik, petani, pekerja kasar, dan diatas ranjang senggama. Hanya di sana saja. Keringat dan adalah barang langka. Demikianlah kini.

Teknologi dan penataan sistem apa pun seyogianya berpihak pada harmonitas. Kemajuan jangan sampai tidak ramah pada tubuh, jangan sampai memberangus fungsi dan kemestian tubuh.

Rengganis,

16 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...