Memang, kita tak pernah benar-benar mengetahui masa depan. Sampai saat
ini saya masing mengimani kata-kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda
tentang masa lalu, masa depan masa kini. Dan begitulah yang terjadi pada saya malam ini. Seorang kawan,
Kang Deni, tiba-tiba menghubungi saya. Ia mengajak saya mengikuti FGD (Focus
Group Discussion) bersama teman-teman waria dari komunitas Srikandi Panjalu. Komunitas
ini merupakan komunitas yang mengorganisir, mengakomodir, dan memberdayakan
para transgender. Nama belakangnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing dan
untuk di kabupaten tempat saya tinggal namanya Srikandi Panjalu. Organisasi ini
berjenjang hingga kabupaten/kota. Di tingkat Jawa Barat, Srikandi Pasundan
adalah nama mereka. Salah satu fokus mereka adalah pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Saya banyak mendapat wawasan tentang hal ini dari
kawan waria saya yang juga adalah ketua Srikandi Panjalu, Anggur Sanjaya.
Perjumpaan malam ini dengan Srikandi Panjalu memang bukan yang pertama
buat saya. Sejak sekitar tiga tahun lalu saya kali pertama bersinggungan dengan
mereka dalam sebuah acara, Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN). Kala itu saya
tampil membacakan puisi Nyanyian Angsa milik W. S. Rendra. Dan malam tadi
rupanya ada salah seorang dari mereka yang masing ingat nama Maria Zaitun,
tokoh dalam puisi Nyanyian Angsa. Meski bukan kali pertama jumpa, tapi tiap
perjumpaan dengan mereka pasti menyisakan buah renugan.
Jauh-jauh hari setelah berkenalan lebih akrab dengan mereka, saya
berniat untuk mementaskan sebuah lakon drama yang bertema tentang waria. Dan malam
barusan, Kang Deni sudah menagih lagi. Semoga saja dalam waktu tak begitu lama
saya dapat menuntaskannya.
Sebagai pengantar, Kang Deni menyampaikan semacam wejangan. Siapa dan
bagaimanapun kita, tetaplah kita pasti akan pulang. Pulang ke rumah (keluarga)
atau pulang ke Sang Khalik. Kita pasti pulang. Ia mengingatkan teman-teman
waria untuk mempersiapkan kepulangan dengan indah. Bahwa kita adalah makhluk
yang memiliki Khalik, bahwa Tuhan adalah milik sesiapa termasuk waria. Ada upaya
mengingat kembali “aku” sejati. Menyentuh kesadaran transenden yang memang
sudah ada dan tertanam. Saya dan Fajar (Presiden Mahasiswa BEM IAID Ciamis)
serta seorang temannya diberi kesempatan pula untuk berbicara.
Salah satu yang menarik dari perjumpaan renyah berseling canda khas
waria malam tadi ialah tentang harapan-harapan mereka. Dalam salah satu sesi,
mereka diberi secarik kertas yang harus diisi tulisan ihwal harapan-harapan
mereka sebagai waria. Apa saja. Dari sekian lembar yang terkumpul, ada yang
memiliki harapan kelak ada pesantren untuk kaum LGBT karena ia meyakini bahwa
pasti ada rahasia Tuhan dibalik semua hal termasuk fenomena LGBT. Ada pula yang
memohon “kesembuhan” pada Tuhan. Ada yang berharap agar waria dapat melakoni
lapangan perkerjaan seperti halnya kaum heteroseksual. Dan yang paling banyak
tentu saja berharap agar masyarakat dan negara berhenti memberi stigma pada
kaum transgender.
Sekilas, barangkali sekian citra buruk akan otomatis terbersit tatkala
mendengar kata waria. Penjual diri, pendosa, penentang kodrat, sampah
masyarakat, merusak citra kota, dan sekian label buruk lainnya. Sebagian bersar
masyarakat barangkali akan langsung terbirit jika berjumpa dengan waria. Kalaupun
mereka berani berlama-lama, sebagian besar bertujuan mengolok-olok atau
memandang mereka sebagai tontonan, seperti badut. Mereka jadi bahan
bulan-bulanan ketika mereka justru sedang mengais rezeki, ngamen misalnya. Memang
tak semua demikian, tapi setidaknya itu yang terjadi pada sebagian besar
masyarakat, terlebih mereka yang menutup diri dan menutup pikiran mereka. Meski
pada dasarnya waria adalah manusia, tetap saja mereka selalu menjadi manusia
kelas ketiga. Kelas-kelas ini hadir sebagai dampak kuasa tanpa landasan
harmoni, kuasa yang mengharuskan represi satu pada yang lain, kuasa yang
menghegemoni dan sangat tidak ramah.
Pencampur adukan ruang publik dan privat ini berdampak pada sulitnya
para transgender mendapatkan pekerjaan yang layak. Profesi mereka sebagai
penjaja seks atau pengamen jalanan, bukanlah cita-cita mereka sesungguhnya. Saya
kenal waria yang punya banyak talenta namun harus terkubur begitu saja karena
persoalan orientasi seks dan identitas gender. Mereka seolah tak berhak jadi
pegawai bank, dokter, pengacara, pengusaha, politisi, dan profesi lain yang lazim
dilakoni kaum heteroseksual. Pemberdayaan waria memang mulai menjadi program di
beberapa lembaga baik plat merah atau bukan, namun untuk membersikan mereka
dari stigma negatif, perlu upaya dan kesaradan bersama yang lebih baik.
Setidaknya upaya penyadaran bersama ini bisa
dilakukan dengan terlebih dulu mengubah cara pandang. Pandang mereka sebagai
manusia, sama dengan saya, Anda, kita, kami. Bahwa mereka adalah umat manusia
yang punya hal ihwal ke-diri-an yang sama. Mereka sama-sama makan, kencing,
berak, merasakan dingin, sakit, gembira, bahagia, punya kesararan kesehatan,
kesarahan moral, mendambakan kebahagiaan, merasakan asmara, berhasrat seks, dan
mereka pun punya kesaradaran ber-Tuhan. Mereka percaya, mengimani keberadaan
dan kekuasaan Tuhan, setidaknya waria-waria yang saya kenal. Persoalan mereka
memilih jalan sebagai waria dan menjadi penjaja seks, hemat saya, tidak bisa
dijadikan tolak ukur mutlak tingkat keberdosaan mereka. Apalagi melabeli, otomatis
dan niscaya, sebagai calon penghuni neraka, sungguh itu sudah melampaui batasan
manusia. Kalaupun mereka berbuat melawan hukum, itu bukan karena mereka waria,
tapi lantaran individu itu memang brengsek. Sama saja dengan laki-laki atau
perempuan brengsek lain yang berbuat jahat. Si A berbuat jahat, titik, tanpa
harus membawa serta orientasi seks dan identitas gender mereka.
Persoalan identitas gender mereka, selain itu adalah pilihan pribadi,
membahasnya adalah hal yang panjang dan cukup rumit. Pilihan identitas gender
seseorang tidak muncul begitu saja, tapi adalah serangkaian proses panjang yang
melibatkan bukan hanya si empunya tubuh namun juga sekian banyak orang lainnya.
Membicarakan pilihan ekspresi dan identitas gender serta orientasi seks
seseorang tidak sesederhana membuat telur dadar atau berorasi jualan janji
politik. Dan kadang pembahasannya tidak bisa digenarilisir untuk semua orang. Karena
ini menyangkut individu, pembahasan ihwal ke-waria-an seseorang akhirnya
haruslah kasuistis meski sekian teori filsafat, sosial, psikologi, dan ilmu
lainnya hadir menyuguhkan formulasi.
Waria adalah realitas. Keberadaannya tidaklah mampu dielakkan. Ia meng-ada
pada ruang dan waktu. Persoalan perbedaan
dan salah benar tidak harus menjadi kuburan bagi sikap welas asih dan saling
menghormati.
Rengganis,
17
Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar