Jumat, 17 Maret 2017

Waria (III)


Memang, kita tak pernah benar-benar mengetahui masa depan. Sampai saat ini saya masing mengimani kata-kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda tentang masa lalu, masa depan masa kini. Dan begitulah  yang terjadi pada saya malam ini. Seorang kawan, Kang Deni, tiba-tiba menghubungi saya. Ia mengajak saya mengikuti FGD (Focus Group Discussion) bersama teman-teman waria dari komunitas Srikandi Panjalu. Komunitas ini merupakan komunitas yang mengorganisir, mengakomodir, dan memberdayakan para transgender. Nama belakangnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing dan untuk di kabupaten tempat saya tinggal namanya Srikandi Panjalu. Organisasi ini berjenjang hingga kabupaten/kota. Di tingkat Jawa Barat, Srikandi Pasundan adalah nama mereka. Salah satu fokus mereka adalah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Saya banyak mendapat wawasan tentang hal ini dari kawan waria saya yang juga adalah ketua Srikandi Panjalu, Anggur Sanjaya.

Perjumpaan malam ini dengan Srikandi Panjalu memang bukan yang pertama buat saya. Sejak sekitar tiga tahun lalu saya kali pertama bersinggungan dengan mereka dalam sebuah acara, Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN). Kala itu saya tampil membacakan puisi Nyanyian Angsa milik W. S. Rendra. Dan malam tadi rupanya ada salah seorang dari mereka yang masing ingat nama Maria Zaitun, tokoh dalam puisi Nyanyian Angsa. Meski bukan kali pertama jumpa, tapi tiap perjumpaan dengan mereka pasti menyisakan buah renugan.

Jauh-jauh hari setelah berkenalan lebih akrab dengan mereka, saya berniat untuk mementaskan sebuah lakon drama yang bertema tentang waria. Dan malam barusan, Kang Deni sudah menagih lagi. Semoga saja dalam waktu tak begitu lama saya dapat menuntaskannya.

Sebagai pengantar, Kang Deni menyampaikan semacam wejangan. Siapa dan bagaimanapun kita, tetaplah kita pasti akan pulang. Pulang ke rumah (keluarga) atau pulang ke Sang Khalik. Kita pasti pulang. Ia mengingatkan teman-teman waria untuk mempersiapkan kepulangan dengan indah. Bahwa kita adalah makhluk yang memiliki Khalik, bahwa Tuhan adalah milik sesiapa termasuk waria. Ada upaya mengingat kembali “aku” sejati. Menyentuh kesadaran transenden yang memang sudah ada dan tertanam. Saya dan Fajar (Presiden Mahasiswa BEM IAID Ciamis) serta seorang temannya diberi kesempatan pula untuk berbicara.

Salah satu yang menarik dari perjumpaan renyah berseling canda khas waria malam tadi ialah tentang harapan-harapan mereka. Dalam salah satu sesi, mereka diberi secarik kertas yang harus diisi tulisan ihwal harapan-harapan mereka sebagai waria. Apa saja. Dari sekian lembar yang terkumpul, ada yang memiliki harapan kelak ada pesantren untuk kaum LGBT karena ia meyakini bahwa pasti ada rahasia Tuhan dibalik semua hal termasuk fenomena LGBT. Ada pula yang memohon “kesembuhan” pada Tuhan. Ada yang berharap agar waria dapat melakoni lapangan perkerjaan seperti halnya kaum heteroseksual. Dan yang paling banyak tentu saja berharap agar masyarakat dan negara berhenti memberi stigma pada kaum transgender.

Sekilas, barangkali sekian citra buruk akan otomatis terbersit tatkala mendengar kata waria. Penjual diri, pendosa, penentang kodrat, sampah masyarakat, merusak citra kota, dan sekian label buruk lainnya. Sebagian bersar masyarakat barangkali akan langsung terbirit jika berjumpa dengan waria. Kalaupun mereka berani berlama-lama, sebagian besar bertujuan mengolok-olok atau memandang mereka sebagai tontonan, seperti badut. Mereka jadi bahan bulan-bulanan ketika mereka justru sedang mengais rezeki, ngamen misalnya. Memang tak semua demikian, tapi setidaknya itu yang terjadi pada sebagian besar masyarakat, terlebih mereka yang menutup diri dan menutup pikiran mereka. Meski pada dasarnya waria adalah manusia, tetap saja mereka selalu menjadi manusia kelas ketiga. Kelas-kelas ini hadir sebagai dampak kuasa tanpa landasan harmoni, kuasa yang mengharuskan represi satu pada yang lain, kuasa yang menghegemoni dan sangat tidak ramah.

Pencampur adukan ruang publik dan privat ini berdampak pada sulitnya para transgender mendapatkan pekerjaan yang layak. Profesi mereka sebagai penjaja seks atau pengamen jalanan, bukanlah cita-cita mereka sesungguhnya. Saya kenal waria yang punya banyak talenta namun harus terkubur begitu saja karena persoalan orientasi seks dan identitas gender. Mereka seolah tak berhak jadi pegawai bank, dokter, pengacara, pengusaha, politisi, dan profesi lain yang lazim dilakoni kaum heteroseksual. Pemberdayaan waria memang mulai menjadi program di beberapa lembaga baik plat merah atau bukan, namun untuk membersikan mereka dari stigma negatif, perlu upaya dan kesaradan bersama yang lebih baik.

  Setidaknya upaya penyadaran bersama ini bisa dilakukan dengan terlebih dulu mengubah cara pandang. Pandang mereka sebagai manusia, sama dengan saya, Anda, kita, kami. Bahwa mereka adalah umat manusia yang punya hal ihwal ke-diri-an yang sama. Mereka sama-sama makan, kencing, berak, merasakan dingin, sakit, gembira, bahagia, punya kesararan kesehatan, kesarahan moral, mendambakan kebahagiaan, merasakan asmara, berhasrat seks, dan mereka pun punya kesaradaran ber-Tuhan. Mereka percaya, mengimani keberadaan dan kekuasaan Tuhan, setidaknya waria-waria yang saya kenal. Persoalan mereka memilih jalan sebagai waria dan menjadi penjaja seks, hemat saya, tidak bisa dijadikan tolak ukur mutlak tingkat keberdosaan mereka. Apalagi melabeli, otomatis dan niscaya, sebagai calon penghuni neraka, sungguh itu sudah melampaui batasan manusia. Kalaupun mereka berbuat melawan hukum, itu bukan karena mereka waria, tapi lantaran individu itu memang brengsek. Sama saja dengan laki-laki atau perempuan brengsek lain yang berbuat jahat. Si A berbuat jahat, titik, tanpa harus membawa serta orientasi seks dan identitas gender mereka.

Persoalan identitas gender mereka, selain itu adalah pilihan pribadi, membahasnya adalah hal yang panjang dan cukup rumit. Pilihan identitas gender seseorang tidak muncul begitu saja, tapi adalah serangkaian proses panjang yang melibatkan bukan hanya si empunya tubuh namun juga sekian banyak orang lainnya. Membicarakan pilihan ekspresi dan identitas gender serta orientasi seks seseorang tidak sesederhana membuat telur dadar atau berorasi jualan janji politik. Dan kadang pembahasannya tidak bisa digenarilisir untuk semua orang. Karena ini menyangkut individu, pembahasan ihwal ke-waria-an seseorang akhirnya haruslah kasuistis meski sekian teori filsafat, sosial, psikologi, dan ilmu lainnya hadir menyuguhkan formulasi.

Waria adalah realitas. Keberadaannya tidaklah mampu dielakkan. Ia meng-ada  pada ruang dan waktu. Persoalan perbedaan dan salah benar tidak harus menjadi kuburan bagi sikap welas asih dan saling menghormati.

Rengganis,

17 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...