Jumat, 29 Juli 2016

Seniman dan Pemerintah

foto Kontingen Tari Kabupaten Ciamis

Seniman dan Pemerintah

Jam tujuh tiga puluh malam, acara belum juga dimulai. Penonton masih banyak berkerumun di luar Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Kebanyakan yang datang masih asik mengobrol. Ada yang saling sapa sebab lama tak jumpa. Ada yang tak habis-habisnya menggunjingkan ketololan pemerintah. Ada yang membicarakan proyek-proyek kesenian. Ada juga yang sekedar menikmati suasana sembari menenggak tuak atau secangkir kopi lengkap dengan kepulan asap rokok.

Sekitar jam delapan baru terdengar MC halo halo menandakan acara akan segera dimulai. Masuklah para hadirin ke ruang pertunjukan GKKT. Ternyata penonton cukup berjejal hingga sebagian memilih berdiri di bagian belakang. Juru potret dan shooting mulai mengarahkan lensanya ketika dua orang MC mulai cuap-cuap membuka acara. Sambutan-sambutan pun  mengawali acara ini.

Enam lelaki berpakaian dominan violet memasuki panggung membawa payung khas kota Tasik sebagai properti tari. Setelah menari beberapa gerakan sederhana, menyusul masuk para penari perempuan. Usai mereka menari, acara dilanjutkan dengan pemukulan goong tanda acara resmi dibuka.

Dan itulah prosesi pembukaan acara Pasanggiri Teater, Tari dan Musik wilayah IV (Priangan Timur). Acara ini untuk yang kedua kalinya digelar. Tahun pertama, kabupaten Garut terpilih sebagai tuan rumah. Kini giliran kota Tasikmalaya yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah. Ini adalah program pemerintah Propinsi  Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jabar. Lomba ini terbagi dua tahap. Tahap pertama diadakan di wilayah yang terpetakan menjadi beberapa kelompok di Jawa Barat. Wilayah Priangan Timur yang meliputi Kab. Garut, Kab. Tasik, Kota Tasik, Kab. Ciamis, Kota Banjar, dan Kab. Pangandaran menjadi wilayah IV. Masing-masing kota/kabupaten mengirim kontingen untuk ketiga mata lomba. Juara-juara pada tingkat wilayah akan maju ke tahap final di Bandung.

Saya kurang paham bagaimana alur kegiatan ini dari awal. Hanya saja yang saya tahu, awalnya, Disparbud Propinsi Jawa Barat mengadakan pertemuan teknis dengan mengundang seluruh dinas terkait dari masing-masing kota/kabupaten. Pertemuan teknis ini barangkali membahas segala hal tentang petunjuk pelaksaan dan petunjuk teknis perlombaan dari mulai tentang bentuk pertunjukan yang dilombakan hingga perkara keuangan. Perlombaan tahun lalu meninggalkan catatan penting. Juri menekankan bahwa ketika pertemuan teknis, hendaknya dinas beserta seniman yang menghadiri. Tentunya seniman yang akan menggarap sebagai perwakilan kota/kabupaten bersangkutan. Mengapa ini menjadi penting? Pada Pasanggiri Teater, Tari dan Musik tahun 2014, banyak seniman yang penggarapannya jauh dari ketentuan lomba. Jangankan perkara teknis, perkara ketentuan yang substansial pun banyak yang keliru. Ini disebabkan karena seniman bersangkutan tidak ikut pada pertemuan teknis. Hal ini dikemukakan dewan juri ketika evaluasi sebelum mengumumkan kejuaraan.

Dan hal yang menjadi catatan tahun lalu itupun kini terulang kembali meski tidak begitu merata, artinya ada pula kota/kabupaten yang barangkali belajar dari pengalaman dan tidak mengulang kesalahan yang sama.

Pasca acara, saya banyak mendengar desas-desus tentang keuangan yang tidak beres. Ada yang curhat pada saya tentang berapa rupiah ia dibayar dan menurutnya, dan juga menurut saya, sangat tidak layak. Malah ada seorang kawan yang ikut menjadi peserta, ia mengunggah data bayaran yang ia dan kawan-kawannya terima dari dinas (kabupaten) yang ia wakili ke Facebook, tentu dengan angka-angka nominal yang boleh dibilang tidak layak. Saya tergelitik kemudian berbalas komentar dengannya di jejaring sosial itu. Hasilnya mencengangkan. Sepengetahuan saya, masing-masing kelompok diberi dana 17 juta rupiah. Dana tersebut digunakan untuk biaya produksi pertunjukan, transportasi dari kota/kabupaten masing-masing menuju lokasi kegiatan dan honorarium. Ihwal konsumsi dan akomodasi selama kegiatan, itu tanggungan panitia propinsi, sudah ada jatahnya tersendiri. Yang membuat saya tercengang, pihak dinas dari kabupaten tempat kawan saya itu mengatakan bahwa sebagian dana habis untuk sewa hotel, makan dan lainnya selama kegiatan. Ini jelas kebohongan dan korupsi. 

Sebenarnya tulisan diatas cuma pengantar saja dan mudah-mudahan bisa mengantar kita masalah yang sebenarnya. Masalah yang saya kira ada tak hanya di Jawa Barat saja, tak hanya di Ciamis tempat tingga saya saja, tapi di seluruh NKRI atau barangkali di seluruh negara berkembang. Masalah yang melekat pada pemerintah, khusus dalam hal ini saya persempit menjadi pemerintah dan seniman, sebab jika tak dibatasi, tulisan ini barangkali akan lebih tebal dari kitab suci karena menyoal pemerintah, takkan habis kita bicarakan.

Seperti yang saya tulis diawal dan barangkali banyak tulisan lainnya yang menyoal kegilaan pemerintah dalam bermain anggaran, ini terus saja terjadi siapapun presidennya. Seolah revolusi mental yang digembar-gemborkan Pak Jokowi sekedar isapan jempol belaka. Toh nyatanya mental korupsi masih mengakar kuat pada birokrat kita. Atau barangkali bukan hanya birokrat kita saja, tetapi masyarakat umum juga, termasuk seniman, termasuk saya, juga Anda barangkali?

Mengapa? Sebab korupsi, dalam kasus yang umum, selalu berjamaah. Korupsi, layaknya pertunjukan teater, ialah kegiatan kolektif, ansamble. Korupsi melibatnya banyak pihak. Masing-masing pihak mempunyai peran yang berbeda-beda. Inilah mengapa saya bilang, secara umum rakyat pun ikut mendukung pemerintah melakukan tindak korupsi. Seniman pun ikut serta mendukung kejahatan ini terjadi.

Pemerintah mengelola uang rakyat yang musti tersalurkan kembali pada rakyat melalui berbagai program. Untuk mengeluarkan dana, pemerintah membutuhkan program dan objek program. Sebut saja programnya adalah Pasanggiri Teater, Tari dan Musik sedang objek programnya adalah seniman. Idealnya, uang yang sampai pada objek program sesuai dengan apa yang tertera pada ketentuan saat perencanaan anggaran tanpa pemerintah harus meminta cash back. Namun nyatanya, itu cuma mimpi.

Saya mencoba berpegang pada perkataan Rendra bahwa ketidakberdaayaan menyuburkan ketidakadilan. Ketika seniman atau siapapun bersikap loyo menghadapi tirani, maka kejahatan itu justru akan makin menggila. Namun barangkali, apakah ini memang ciri dari negara berkembang? Tatkala ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah begitu tinggi? Jika memang benar, ketergantungan ini akan dipandang pemerintah sebagai sasaran empuk. Masyarakat yang bergantung pada pemerintah cenderung akan manut saja ketika harus dibeginikan, harus dibegitukan. Belum lagi warisan mentalitas feodal kita yang agaknya masih kuat mencakar alam pikir, kalau tidak dikatakan sudah merembes pada alam bawah sadar. Dengan dua hal itu saja, cukup saya kira menjadikan pemerintah leluasa bermain-main dengan anggaran.

Ya, ketergantungan dan feodalisme. Mengapa feodal? Mengapa tergantung? Mari merenung.

  

  08112015

Senin, 18 Juli 2016

Gedung Kesenian Ciamis dan Coretan di Dinding




Gedung Kesenian Ciamis dan Coretan di Dinding

+“A, aya nu nyorat-nyoret Gedung Kesenian (Ciamis).”
- “Coretan kumaha?”
+”Teuing, teu jelas. Da abi ningalina ti jalan, bari ngaliwat. Saliwat mah asa aya tulisan siga puisi Rendra, ngan abi teu apal da teu jelas. Ngan aya lambang Anarki.”

Lebih kurang begitulah percakapan saya dengan seorang kawan yang lama tak jumpa. Beberapa hari lalu ia berkunjung. Mengawali obrolan, bukan menanyakan kabar atau basa-basi lainnya, ia malah langsung melaporkan semacam vandalisme di Gedung Kesenian Ciamis. Barangkali kawan saya itu tahu, sejak lama saya mengkritik gedung megah itu maka ia pikir saya akan sangat tertarik dengan informasi ini. Namun meski sejak lama bersikap kritis terhadap gedung itu, mendengar gedung itu ada yang mencoret-coret, saya pun terkaget apalagi kabarnya ada kutipan (yang mirip) puisi W. S. Rendra di sana. Jika si pencoret sebatas orang iseng atau muda-mudi yang kurang ruang ekspresi seni rupa, agaknya mengutip puisi Rendra itu terlalu serius untuk sekedar sebuah keisengan atau sebut saja kenakalan remaja.

Rasa penasaran tak kunjung pergi sejak kawan saya mengabarkan berita itu. Akhirnya saya pun menyengajakan diri pergi ke Gedung Kesenian Ciamis, berniat melihat sendiri coretan-coretan itu lebih dekat dan mengabadikannya dengan kamera ponsel pintar saya. Setibanya di sana, benar saja. Dinding kanan-kiri pintu utama dan pintu utama bagian kanan sudah dihiasi coretan yang diduga menggunakan pilox hitam. Ada 5 coretan yang menghitam di gedung yang konon seharga lima  milyar lebih itu. Tiga coretan berbentuk semacam lambang anarki (huruf A kapital dalam lingkaran) yang terdapat di dinding kiri pintu utama dan kaca pintu utama bagian kanan. Dua lagi coretan berupa tulisan “Sekarang jamnya mabuk! – Charles B.” dan “MAKSUD BAIK SODARA UNTUK SIAPA? Rendra.”

 Saya bukan polisi atau ahli grafolgi yang bisa memastikan dengan yakin apakah coretan-coretan itu dibuat oleh satu tangan yang sama atau bukan. Hingga saat ini saya belum tahu pasti siapa yang melakukan ini. Juga belum ada seseorang atau sebuah kelompok yang mengaku bertanggungjawab atas aksi ini. Lepas dari analisis seorangkah atau banyak orangkah yang melakukan coretan itu, saya lebih tertarik pada maksud dari coretan yang sering dipandang sebagai bentuk vandalisme ini.




Tiga coretan lambang yang mirip lambang anarki boleh jadi merupakan pesan tersembunyi dari si pencoret. Anggap saja coretan itu adalah benar lambang anarki, dan jika kita membaca sejarah serta pengertian anarki, kita barangkali bisa berasumsi bahwa coretan-coretan ini ditujukan untuk pemerintah, terlebih coretan ini berada di gedung milik pemerintah, gedung plat merah. Anarki bukan sebatas tindakan kekerasan yang brutal. Anarki pada perkembangannya telah mengokohkan diri menjadi isme, lengkap dengan segenap pemikir dan teori-teorinya. Anarkisme mencoba memberi tawaran pada dunia tentang bagaimana dunia dan kehidupan ini musti dilakoni khususnya dalam konteks sosial politik. Namun kitapun tidak bisa mutlak  menuduhkan pencoretan ini pada orang berpaham anarkisme. Boleh jadi pencoretan lambang anarki ini sebatas keren-kerenan, mengikuti trend (tanpa memahami maksud), atau bisa juga si pencoret memang adalah seseorang yang paham betul tentang anarkisme. Banyak sekali kemungkinan.

Tentang tulisan “Sekarang jamnya mabuk! – Charles B.”, ini pun bisa punya banyak tafsir. Terhadap “Sekarang jamnya mabuk!”, ini boleh jadi seruan/ajakan untuk mabuk dalam arti menenggak miras atau mengkonsumsi Napza. Kalau kita mau berandai-anadai, katakanlah saat peristiwa pencoretan itu berlangsung, di sana, di sekitaran Gedung Kesenian Ciamis itu sedang berkumpul muda-mudi (atau orang tua pun boleh jadi) yang hendak mabuk-mabukan. Seseorang dengan gagah berani kemudian berseru seraya menyemprotkan piloxnya ke dinding gedung, menulis “Sekarang jamnya mabuk!”. Dan di akhir tulisan ia sematkan nama samarannya “Charles B.”



Atau mungkin “mabuk” dalam tulisan itu punya arti lain. Mabuk ini berarti keblinger, edan, gila, tak sadar, tak bernalar sehat, sempoyongan, ngaco, yang kesemuanya ini merupakan sindiran pada kondisi pemerintah Ciamis kini yang dianggap oleh si pencoret layaknya orang mabuk. Pemerintah Ciamis seperti tak berakal sehat dengan membangun gedung ini, gedung yang dalam hemat saya malfunction, cacat sebagai gedung kesenian jika membandingan dengan gedung-gedung kesenian yang lebih senior secara usia : Gedung Kesenian Rumentangsiang Bandung, Gedung Kesenian Sunan Ambu dan Gedung Kesenian Dewi Asri (ISBI Bandung) misalnya, atau Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya, misalnya. Atau boleh jadi sindiran pada Pemprov Jabar karena sebagian besar dana pembangunan gedung ini berasal bantuan Pemprov Jabar. Terkait “Charles B.”, ini barangkali merupakan nama samaran si pencoret atau bisa saja nama asli, kita tak pernah tahu sebelum bertanya langsung pada si pencoretnya. Jika kita berasumsi bahwa “Charles B.” adalah seorang tokoh, maka banyak sekali Charles B. yang musti kita kaji sebab nama Charles B. bisa merujuk pada banyak tokoh di berbagai bidang. Dan jika Charles B. ini adalah seorang tokoh, maka Charles B. siapa yang pernah mengujar “Sekarang jamnya mabuk!”. Sekali lagi, banyak kemungkinan.



Terkahir adalah tulisan yang paling tampak dari arah depan karena posisinya memang terdapat pada dinding yang menghadap ke arah depan (jalan) yakni tulisan “MAKSUD BAIK SODARA UNTUK SIAPA? Rendra”. Selain posisinya yang visibel, tulisan ini menjadi mencolok sebab penulisannya menggunakan huruf kapital secara keseluruhan kecuali untuk tulisan “Rendra”. Perbedaan penggunaan huruf ini mungkin dimaksudkan bahwa tulisan berhuruf kapital merupakan kata-kata Rendra. Sampai sini kita masih dibingungkan, Rendra mana yang menulis ini. Bisa saja si pencoret bernama Rendra. Atau bisa saja yang dimaksudkan adalah Wibrodus Surendra Bawana Rendra yang pasca masuk Islam mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra (W. S. Rendra), seorang penyair besar Indonesia yang dikenal kritis terhadap persoalan-persoalan sosial politik, seorang budayawan dan pendiri Bengkel Teater Rendra. Jika yang dimaksud adalah Rendra yang ini maka saya kira ini bukan sekedar iseng belaka. Ada satu puisi W. S. Rendra yang pada dua baitnya terdapat kata-kata yang sama persis dengan tulisan itu.

Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi berkumpul di sini memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
Dan kita bertanya : “Maksud baik untuk siapa?”

Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kami bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?

Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di  atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
atau alat penindasan?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam,
malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak samodra.

Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!

(Jakarta, 1 Desember 1977)

Menurut beberapa catatan, puisi ini dipersembahkan Rendra untuk mahasiswa UI. Adegan pembacaan sajak ini turut mengisi film besutan Sjuman Djadja berjudul Yang Muda Yang Bercinta produksi tahun 1997. Rendra bermain sebagai pemeran utama dalam film tersebut.


Agaknya kita bisa menerka-nerka apa “maksud baik” dan siapa “saudara” yang terdapat dalam puisi itu. Tapi bagaimana dengan “maksud baik” dan “sodara” pada tulisan di gedung megah itu? Apakah “maksud baik” dan “saudara” yang terdapat pada Sajak Pertemuan Mahasiswa tersebut punya makna yang sama persis dengan yang terdapat pada tulisan si pencoret? Hemat saya, jika “saudara” dalam puisi Rendra itu tertuju (spesifik) pada Pemerintahan Orde Baru jelas maknanya berbeda sebab 2016 ini Orde Baru (katanya) sudah runtuh melalui peristiwa 1998. Namun jika puisi ini ditarik secara mimetik ke 2016, barangkali “saudara” versi Rendra dan “sodara” versi si pencoret bisa berjumpa pada satu target yang sama : Pemerintah. Rendra yang hidup di masa itu menembak pemerintah dengan sebutan “saudara” dan si pencoret meminjam “saudara”nya  Rendra untuk menembak pemerintahan masa kini, spesifiknya Pemda Ciamis. Boleh jadi begitu atau bukan, lagi-lagi, banyak kemungkinan.

Lantas, bagaimana dengan “maksud baik”?
  

 Ciamis, 18 Juli 2016

Minggu, 17 Juli 2016

Egaliter




Egaliter

Bagi saudara-saudara yang beragama Islam, salah satu ritus harian wajibnya ialah sholat. Bagi kaum Adam, ada penekanan tertentu bahwa sholat lebih utama dilakukan di mesjid secara berjamaah. Berjamaah berarti sholat dilakukan secara bersama-sama dengan satu pemimpin dan yang lain mengikuti. Menurut beberapa teks agama Islam, ritus seperti ini bagi laki-laki lebih utama karena bernilai pahala lebih banyak dibanding sholat sendirian atau munfarid, perbedaannya hingga 27 kali lipat. Lelaki yang sholat munfarid hanya mendapat satu pahala sholat sedang yang berjamaah mendapat hingga 27 pahala. Bagi para pengejar pahala ini adalah ritus yang cukup menggiurkan pastinya selain ibadah dan amalan lain yang menjanjikan pahala yang berlimpah-limpah. Ritus ini bisa dilakukan tiap hari selama lima kali. Jika kita agar berhitung, sehari seorang lelaki muslim sholat lima kali, jika selama sehari ia tak meninggalkan sholat berjamaah berarti pahala yang bisa ia koleksi selama sehari semalam ialah 27 x 5 = 135 pahala. Jika ia melakukannya selama sebulan penuh berarti 135 x 30 = 4050 pahala. Dalam waktu satu tahun lelaki ini dapat menggumpulkan 48.600 pahala sholat berjamaah, belum ditambah pahala dari ritus dan amalan lainnya. Perhitungan ini murni matematika yang dipahami manusia sebab kita, atau setidaknya saya, tidak pernah tahu bagaimana matematika Tuhan, itupun jika memang Tuhan bermain matematika kuantititatif dalam hal ibadah dengan hambanya.

Hukum sholat berjamaah bagi laki-laki dalam Islam memiliki banyak pendapat. Ada yang mengatakan ini fardu ‘ain, sederhanya wajib bagi tiap individu selama mampu melakukannya. Ada pula yang mengatakan sholat berjamaah ini sunnah, dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakanpun tak akan berdosa, dan berbagai pendapat lainnya. Masing-masing pendapat ini punya rujukan dari beberapa teks hadits, yang merupakan  ketetapan yang ditetapkan oleh nabi Muhammad saw., sumber hukum kedua setelah kitab suci Al-Qur’an. Bahkan ada pula yang merujuk langsung dari Al-Qur’an.

Saya bukan akan membahas rujukan sholat berjamaah berdasar Al-Qur’an atau hadits, atau hukum sholat berjamaah. Saya sebatas ingin mencoba membaca sholat berjamaah dari sudut lain, sholat berjamaah dari dimensi sosial politik dan kebudayaan.

Menurut beberapa sumber Nabi Muhammad saw hidup sekitar tahun 570 – 632 M di jazirah Arab. Masyarakat Arab kala itu sangat mensakralkan suku. Tribalitas di kalangan masyarakat Arab kala itu masih menjadi hal yang sangat penting bahkan utama. Seseorang sangat dikaitkan dengan suku atau klan mereka. Hal ini bahkan boleh jadi inheren pada tiap individu Arab kala itu. Perang antar suku merupakan hal lumrah di kebudayaan di Arab masa itu. Belum lagi perbudakan, rasisme, patriarki yang mewujud menjadi superioritas lelaki dibarengi pandangan misoginis, kapitalisme yang memupuk kesenjangan sosial adalah sekian dari banyak persoalan yang menghinggapi kultur kebudayaan nabi Muhammad. Nabi Muhammad dengan kenabian dan kerasulannya punya PR besar menyelesaikan persoalan-persoalan sosial tersebut selain persoalan keimanan tentunya.

Dalam sejarahnya kita mengetahui beliau melakukan berbagai cara guna menyudahi persoalan-persoalan sosial masyarakat Arab kala itu. Salah satu momentum besar yang terjadi adalah migrasi besar nabi Muhammad dan kaum muslimin lainnya dari Mekkah ke Madinah, orang muslim lebih sering menyebutnya dengan peristiwa hijrah. Dari peristiwa ini kemudian kalender Islam memulai penanggalannya. Ini peristiwa besar bagi bangsa Arab kala itu. Ketika tibralisme menjadi keyakinan kuat, nabi Muhammad justru “mencerabut” orang-orang dari suku mereka melalui peristiwa hijrah. Kaum muslim Arab seolah diputus dari suku mereka, diputus dari garis leluhur mereka. Nabi Muhammad melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa Arab. Meninggalkan suku berarti seolah menghapus nama dari daftar orang hidup di dunia. Sama saja dengan kehilangan eksistensi. Alih-alih menghanguskan  identitas, kaum muslim bersama nabi Muhammad justru membentuk identitas baru yang justru lebih universal, egaliter dan independen : umat Islam. Sebuah konsep yang diyakini lebih sejalan dengan kodrat azali manusia.

Gagasan egalitarianisme agaknya masih asing di bangsa Arab kala itu. Dan seperti kisah-kisah lain, sesuatu yang asing yang melawan arus utama pasti ditentang dan dimusuhi habis-habisan, begitupun nabi Muhammad, umat Islam dan segala keyakinannya. Bagaimana nabi Muhammad memperkokoh gagasan egaliterianisme ini? Saya membacanya melalui sholat berjamaah. Tentu ini barangkali bukan satu-satunya jalan yang ditempuh namun setidaknya melalui ritus ini egaliatarianisme Islam menjadi makin nyata dan terasa.

Jika kita melihat ritus sholat berjamaah (atau melakukannya), kita akan menyaksikan suatu momentum persamaan manusia tanpa predikat sosial apapun. Si kaya si miskin, si pintar si bodoh, majikan dan pekerja, bos dan karyawan, presiden dan rakyat, dan sekian predikat lainnya luntur dalam ritus ini. Semua serempak melakukan gerakan sholat, semua mengikuti imam yang satu. Dan sebagai penutup sholat, jemaah akan mengucapkan salam assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraakatuh sambil menolehkan kepalanya ke kanan kemudian ke kiri. Ia (jemaah) menolehkan wajahnya ke jemaah lain di samping kanan kirinya sambil mendo’akan  semoga keselamatan tercurah pada mu juga rahmat Allah dan barokah-Nya. Majikan mendo’akan pekerja, begitupun sebaliknya. Kaya mendo’akan miskin, begitupun sebaliknya. Etnis A mendo’akan etnis B, begitupun sebaliknya, dan seterusnya. Sholat berjamaah merupakan momentum manusia berderajat sama. Sama-sama menghadap Tuhan. Sama-sama melakukan gerakan dan bacaan sholat. Dan momentum saling mendo’akan meskipun tak saling mengenal sama sekali. Dalam ritus ini berbagai dimensi tersentuh sekaligus, vertikal dan horizontal.

Pembacaan saya bahwa nabi Muhammad menggunakan sholat berjamaah selain sebagai perekat persaudaraan juga mencoba menggikis tribalitas ekstrem yang sudah sangat kental pada kebudayaan Arab sebab dalam ritus ini tak ada pembeda suku, etnis, ras, status sosial dan predikat lainnya yang sifatnya bukan azasi. Ritus ini juga kemudian diharapkan merangsang kepekaan umat Islam terhadap kondisi sosial di sekelilingnya, ritus ini merangsang daya kritis masyarakat Islam.

Ini barangkali yang saya baca dari sholat berjamaah. Ritus yang memiliki banyak manfaat, ritus yang boleh jadi merupakan kristalisasi ajaran-ajaran Islam dalam simbol-simbol, terlebih jika melihat konteks bangsa Arab kala itu. Pembacaan ini merupakan salah satu dari sekian banyak pembacaan terhadap ritus sholat berjamaah. Perbedaan pendapat sangatlah mungkin terjadi. Kekeliruan pada tulisan inipun merupakan kemungkian yang tak bisa di sangkal.

Lalu bagaimana nasib sholat berjamaah kini?

    

Sabtu, 09 Juli 2016

Catatan-catatan Kecil: Lebaran

Catatan-catatan Kecil: Lebaran: Lebaran Lebaran tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya itu yang terjadi di keluarga saya. Selain tentang ...

Lebaran


Lebaran

Lebaran tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya itu yang terjadi di keluarga saya. Selain tentang hal keabsenan beberapa saudara yang tidak bisa mudik tahun ini, ada hal juga yang mengganjal di hati. Sepintas barangkali ini bukan perkara besar setidaknya itu bagi sebagian besar orang, namun bagi saya perkara ini tetap agak mengganggu. Ini tentang kuliner.

Kuliner yang merupakan salah satu bagian integral dari kebudayaan memang mustahil dinihilkan dari kehidupan manusia. Manusia dengan segala kecerdasannya tak hanya berpikir tentang bagaimana membuat bangunan megah semisal candi, membuat karya sastra masterpiece serupa kitab sutasoma, atau berpikir rumit tentang filosofi hidup. Manusia juga sudah sejak lama berpikir keras tentang memanjakan lidah.

Kuliner yang merupakan intangible heritage ini tak pernah absen dalam sebuah profil budaya daerah tertentu. Berbicara Yogya tak mungkin melupakan Gudeg. Berbicara Madura tak mungkin melewatkan Sate dan barang tentu tiap daerah memiliki hal yang serupa dengan Yogya dan Madura itu. Selain bentang alam, letak geografis dan administratif, kesenian, bahasa, sistem sosial, adat istiadat, kuliner juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah masyarakat. Ia memiliki kemelekatan yang tinggi dengan masyarakat sebab terlibat langsung dalam keseharian mereka. Bahkan kuliner Nusantara tak luput dari pemaknaan filosofis yang dianut pada sebuah  kebudayaan. Dari mulai bahan dasar, cara dan waktu pembuatan serta momentum kuliner tersebut disajikan dalam masyarakat merupakan suatu kekhasan tersendiri. Namun seiring berlarinya jaman, kekhasan kuliner ini hampir sirna. Hampir tak ada istilah makan istimewa bagi masyarakat perkotaan sebab kini jenis makanan apa pun bisa didapatkan dengan mudah.  

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Idul Fitri merupakan salah satu momen terpenting dalam siklus kehidupan masyarakat. Idul Fitri pada awalnya memang milik orang Islam, namun sejalan kemesraannya dengan Nusantara, Idul Fitri sudah menjadi semacam adat istiadat, lebih menjadi ritus budaya yang akhirnya bukan hanya menjadi milik muslim semata namun menjadi milik rakyat Indonesia, apa pun agamanya. Idul Fitri bukan sebatas momentum keagamaan Islam. Bahkan kini esensi Idul Fitri sebagai suatu ritus ibadah, momentum perayaan kemenangan umat Islam yang telah berjihad melawan hawa nafsu mereka sendiri selama sebulan puasa Ramadhan telah mulai ditinggalkan. Kalau pun ada yang demikian, itu tak lebih dari sekedar ceramah pemuka agama, hanya ceramah. Esensi Idul Fitri kiranya menjadi milik personal sebab saum adalah privasi. Saum adalah murni urusan si A dan Tuhannya saja, tanpa melibatkan pak RT, pak Camat bahkan Presiden sekalipun. Plastisitas agama telah membuatnya dinamis. Lebaran di Arab Saudi pastilah berbeda dengan di Jawa Barat. Pun dalam hal kuliener khas Idul Fitri.

Barangkali hampir di seluruh wilayah Nusantara, ketupat adalah sajian yang mustahil dilupakan ketika lebaran. Bahkan dibeberapa keluarga, membuat dan menyantap ketupat lebih wajib dari pada puasa itu sendiri. Tidak ikut puasa ketika Ramadhan tidak masalah, yang penting ikut menyantap ketupat saat lebaran. Warga Priangan, Jawa Barat mengenal ketupat dengan istilah kupat. Panganan ini bisa ditemukan tiap harinya di pedagang kupat tahu atau lengko ayam dan lengko sapi. Pada kupat tahu, sesuai namanya, ketupat ini biasa disajiakan bersama tahu goreng, toge dan bumbu khusus yang berbahan dasar kacang tanah ditambah sedikit kecap dan sambal cabe jika memang menghendaki pedas. Sajian ini biasanya ditambah dengan sedikit kerupuk.

Lengko sapi dan lengko ayam punya cerita lain. Panganan lezat ini terdiri dari kupat, toge dan kuah berbumbu khusus dengan campuran daging ayam atau sapi, ditambah sedikit kecap dan kerupuk tentunya. Namun meski kupat sudah sangat akrab dalam keseharian masyarakat Priangan, tapi kupat saat lebaran punya cerita sendiri. Keberadaan kupat saat lebaran, entah mengapa, punya rasa tersendiri. Ia bahkan  kemudian menjadi semacam simbol Idul Fitri di Indonesia. Natal disimbolkan dengan pohon natal. Imlek dengan salah satu binatang dari dua belas binatang dalam shio Tiongkok. Maka lebaran dengan ketupat dan juga bedug tentunya.

Dalam tradisi keluarga saya, menyantap ketupat di hari lebaran hampir wajib hukumnya. Lebaran tanpa ketupat ibarat berhaji tanpa pergi ke Madinah, meski tak wajib namun janggal jika tak dilakoni. Ketupat lebaran biasanya dihidangkan dengan berbagai panganan lainnya yang hukum keberadaannya sama seperti ketupat, hampir wajib.  Opor ayam, gepuk daging sapi, sayur cabai hijau (kami menyebutnya besengek), dan sambal goreng kentang. Itulah deretan makanan yang hampir wajib ada tiap kali lebaran tiba. Makanan itu biasanya kami santap selepas berziarah ke makam leluhur.  Makanan itu pula yang kami sajikan sebagai hidangan penyambut tamu.

Nah, selepas meninggalnya salah satu leluhur kami, suasana lebaran menjadi sedikit berbeda. Sakralitas kuliner yang saya sebutkan di atas lambat laun menurun. Bahkan lebaran taun kemarin, kami bersantap ketupat tanpa opor ayam. Seingat saya ini kali pertama kami merayakan tanpa opor ayam pada hari H, meski dua hari berikutnya kami membuat opor ayam juga, namun suasananya sudah lain sebab momentumnya sudah bergeser. Kesatuan ruang, waktu dan peristiwa sudah berbeda meski hanya sehari dua hari saja. Kehilangan opor ayam pada hari H bagi saya merupakan kejanggalan yang sangat. Lebaran sebagai tradisi menjadi serasa aneh. Lebaran menjadi seperti hari-hari biasa saja. Selera makan saya pun jelas berkurang. Bagi saya bahkan lebih baik tak ada hidangan istimewa sama sekali ketimbang keberadaannya tidak utuh.

Opor ayam, gepuk daging sapi, ketupat, besengek dan sambal goreng kentang pada lebaran bagi saya lebih dari sekedar kuliner. Mereka mengandung nilai historis yang mampu menyambungkan saya dengan masa lalu ketika keluarga saya masih utuh. Keberadaan mereka mampu membangkitkan kepekaan saya atas pemaknaan lebaran, pemaknaan Idul Fitri.

Alasan hilangnya opor ayam pada lebaran kemarin ialah penghematan dan kesederhanaan. Salah seorang kakak saya bersih keras untuk menangguhkan pembuatan opor ayam. Bagi saya segala sesuatu memiliki jodoh. Ada kesatuan ruang, waktu dan peristiwa yang jika digeser sedikit saja, maka hasilnya akan lain. Meski sebenarnya jika kita berbicara esensi, hakikat, semua wujud, semua waktu akan sama saja. Dari tanah kembali ke tanah. Kosong adalah isi, isi adalah kosong. Berhubungan dengan masa lalu tak harus menggunakan simbol sebab ingatan ada pada diri. Namun barangkali saya belum mampu memasuki tahap itu secara utuh. Saya masih mahluk yang membutuhkan simbol untuk membantu saya menikmati makna tertentu.


Tentang kesederhanaa, saya kira semua ada jodohnya. Ada kalanya kita musti sederhana, ada pula kalanya kita menikmati apa yang telah Tuhan anugrahkan pada kita. Bukankah menikmati anugrah pun bagian dari syukur dan ibadah?

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...