foto Kontingen Tari Kabupaten Ciamis
Seniman dan Pemerintah
Jam tujuh tiga puluh malam, acara belum juga dimulai. Penonton masih
banyak berkerumun di luar Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Kebanyakan yang
datang masih asik mengobrol. Ada yang saling sapa sebab lama tak jumpa. Ada
yang tak habis-habisnya menggunjingkan ketololan pemerintah. Ada yang
membicarakan proyek-proyek kesenian. Ada juga yang sekedar menikmati suasana sembari menenggak tuak atau secangkir kopi lengkap dengan kepulan asap
rokok.
Sekitar jam delapan baru terdengar MC halo halo menandakan acara akan segera dimulai. Masuklah para
hadirin ke ruang pertunjukan GKKT. Ternyata penonton cukup berjejal hingga sebagian
memilih berdiri di bagian belakang. Juru potret dan shooting
mulai mengarahkan lensanya ketika dua orang MC mulai cuap-cuap membuka acara. Sambutan-sambutan pun mengawali acara ini.
Enam lelaki berpakaian dominan violet memasuki panggung membawa
payung khas kota Tasik sebagai properti tari. Setelah menari beberapa gerakan
sederhana, menyusul masuk para penari perempuan. Usai mereka menari, acara
dilanjutkan
dengan pemukulan goong tanda acara resmi dibuka.
Dan itulah prosesi pembukaan acara Pasanggiri Teater, Tari dan Musik
wilayah IV (Priangan Timur). Acara ini untuk yang kedua kalinya digelar. Tahun
pertama, kabupaten Garut terpilih sebagai tuan rumah. Kini giliran kota Tasikmalaya
yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah. Ini adalah program pemerintah
Propinsi Jawa Barat melalui Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jabar. Lomba ini terbagi dua tahap. Tahap
pertama diadakan di wilayah yang terpetakan menjadi beberapa kelompok di Jawa Barat.
Wilayah Priangan Timur yang meliputi Kab. Garut, Kab. Tasik, Kota Tasik, Kab.
Ciamis, Kota Banjar, dan Kab. Pangandaran menjadi wilayah IV. Masing-masing
kota/kabupaten mengirim kontingen untuk ketiga mata lomba. Juara-juara pada
tingkat wilayah akan maju ke tahap final di Bandung.
Saya kurang paham bagaimana alur kegiatan ini dari awal. Hanya saja
yang saya tahu, awalnya, Disparbud Propinsi Jawa Barat mengadakan pertemuan
teknis dengan mengundang seluruh dinas terkait dari masing-masing
kota/kabupaten. Pertemuan teknis ini barangkali membahas segala hal tentang
petunjuk pelaksaan dan petunjuk teknis perlombaan dari mulai tentang bentuk
pertunjukan yang dilombakan hingga perkara keuangan. Perlombaan tahun lalu
meninggalkan catatan penting. Juri menekankan bahwa ketika pertemuan teknis,
hendaknya dinas beserta seniman yang menghadiri. Tentunya seniman yang akan
menggarap sebagai perwakilan kota/kabupaten bersangkutan. Mengapa ini menjadi
penting? Pada Pasanggiri Teater, Tari dan Musik tahun 2014, banyak seniman yang
penggarapannya jauh dari ketentuan lomba. Jangankan perkara teknis, perkara
ketentuan yang substansial pun banyak yang keliru. Ini disebabkan karena
seniman bersangkutan tidak ikut pada pertemuan teknis. Hal ini dikemukakan
dewan juri ketika evaluasi sebelum mengumumkan kejuaraan.
Dan hal yang menjadi catatan tahun lalu itupun kini terulang kembali
meski tidak begitu merata, artinya ada pula kota/kabupaten yang barangkali
belajar dari pengalaman dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
Pasca acara, saya banyak mendengar desas-desus tentang keuangan yang
tidak beres. Ada yang curhat pada saya tentang berapa rupiah ia dibayar dan menurutnya,
dan juga menurut saya, sangat tidak layak. Malah ada seorang kawan yang ikut
menjadi peserta, ia mengunggah data bayaran yang ia dan kawan-kawannya terima
dari dinas (kabupaten) yang ia wakili ke Facebook, tentu dengan angka-angka nominal yang boleh dibilang tidak layak.
Saya tergelitik kemudian berbalas komentar dengannya di jejaring sosial itu.
Hasilnya mencengangkan. Sepengetahuan saya, masing-masing kelompok diberi dana
17 juta rupiah. Dana tersebut digunakan untuk biaya produksi pertunjukan,
transportasi dari kota/kabupaten masing-masing menuju lokasi kegiatan dan
honorarium. Ihwal konsumsi dan akomodasi selama kegiatan, itu tanggungan
panitia propinsi, sudah ada jatahnya tersendiri. Yang membuat saya tercengang,
pihak dinas dari kabupaten tempat kawan saya itu mengatakan bahwa sebagian dana
habis untuk sewa hotel, makan dan lainnya selama kegiatan. Ini jelas kebohongan
dan korupsi.
Sebenarnya tulisan diatas cuma pengantar saja dan mudah-mudahan bisa
mengantar kita masalah yang sebenarnya. Masalah yang saya kira ada tak hanya di
Jawa Barat saja, tak hanya di Ciamis tempat tingga saya saja, tapi di seluruh NKRI
atau barangkali di seluruh negara berkembang. Masalah yang melekat pada pemerintah, khusus dalam
hal ini saya persempit menjadi pemerintah dan seniman, sebab jika tak dibatasi,
tulisan ini barangkali akan lebih tebal dari kitab suci karena menyoal
pemerintah, takkan habis kita bicarakan.
Seperti yang saya tulis diawal dan barangkali banyak tulisan lainnya
yang menyoal kegilaan pemerintah dalam bermain anggaran, ini terus saja terjadi
siapapun presidennya. Seolah revolusi mental yang digembar-gemborkan Pak Jokowi
sekedar isapan jempol belaka. Toh nyatanya
mental korupsi masih mengakar kuat pada birokrat kita. Atau barangkali bukan
hanya birokrat kita saja, tetapi masyarakat umum juga, termasuk seniman,
termasuk saya, juga Anda barangkali?
Mengapa? Sebab korupsi,
dalam kasus yang umum, selalu berjamaah. Korupsi,
layaknya pertunjukan teater, ialah kegiatan kolektif, ansamble. Korupsi melibatnya
banyak pihak. Masing-masing pihak mempunyai peran yang berbeda-beda. Inilah mengapa saya bilang,
secara umum rakyat pun ikut mendukung pemerintah melakukan tindak korupsi. Seniman pun ikut serta
mendukung kejahatan ini terjadi.
Pemerintah mengelola uang rakyat yang musti tersalurkan kembali pada
rakyat melalui berbagai program. Untuk mengeluarkan dana, pemerintah
membutuhkan program dan objek program. Sebut saja programnya adalah Pasanggiri
Teater, Tari dan Musik sedang objek programnya adalah seniman. Idealnya, uang
yang sampai pada objek program sesuai dengan apa yang tertera pada ketentuan
saat perencanaan anggaran tanpa pemerintah harus meminta cash back. Namun nyatanya, itu cuma mimpi.
Saya mencoba berpegang pada perkataan Rendra bahwa ketidakberdaayaan
menyuburkan ketidakadilan. Ketika seniman atau siapapun bersikap loyo
menghadapi tirani, maka kejahatan itu justru akan makin menggila. Namun barangkali,
apakah ini memang ciri dari negara berkembang? Tatkala ketergantungan masyarakat terhadap
pemerintah begitu tinggi? Jika memang benar, ketergantungan ini akan dipandang
pemerintah sebagai sasaran empuk. Masyarakat yang bergantung pada pemerintah
cenderung akan manut saja ketika harus dibeginikan, harus dibegitukan. Belum
lagi warisan mentalitas feodal kita yang agaknya masih kuat mencakar alam pikir, kalau tidak dikatakan
sudah merembes pada alam bawah sadar. Dengan dua hal itu saja, cukup saya kira
menjadikan pemerintah leluasa bermain-main dengan anggaran.
Ya, ketergantungan dan feodalisme. Mengapa feodal? Mengapa
tergantung? Mari merenung.
08112015