Jumat, 29 Juli 2016

Seniman dan Pemerintah

foto Kontingen Tari Kabupaten Ciamis

Seniman dan Pemerintah

Jam tujuh tiga puluh malam, acara belum juga dimulai. Penonton masih banyak berkerumun di luar Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Kebanyakan yang datang masih asik mengobrol. Ada yang saling sapa sebab lama tak jumpa. Ada yang tak habis-habisnya menggunjingkan ketololan pemerintah. Ada yang membicarakan proyek-proyek kesenian. Ada juga yang sekedar menikmati suasana sembari menenggak tuak atau secangkir kopi lengkap dengan kepulan asap rokok.

Sekitar jam delapan baru terdengar MC halo halo menandakan acara akan segera dimulai. Masuklah para hadirin ke ruang pertunjukan GKKT. Ternyata penonton cukup berjejal hingga sebagian memilih berdiri di bagian belakang. Juru potret dan shooting mulai mengarahkan lensanya ketika dua orang MC mulai cuap-cuap membuka acara. Sambutan-sambutan pun  mengawali acara ini.

Enam lelaki berpakaian dominan violet memasuki panggung membawa payung khas kota Tasik sebagai properti tari. Setelah menari beberapa gerakan sederhana, menyusul masuk para penari perempuan. Usai mereka menari, acara dilanjutkan dengan pemukulan goong tanda acara resmi dibuka.

Dan itulah prosesi pembukaan acara Pasanggiri Teater, Tari dan Musik wilayah IV (Priangan Timur). Acara ini untuk yang kedua kalinya digelar. Tahun pertama, kabupaten Garut terpilih sebagai tuan rumah. Kini giliran kota Tasikmalaya yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah. Ini adalah program pemerintah Propinsi  Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jabar. Lomba ini terbagi dua tahap. Tahap pertama diadakan di wilayah yang terpetakan menjadi beberapa kelompok di Jawa Barat. Wilayah Priangan Timur yang meliputi Kab. Garut, Kab. Tasik, Kota Tasik, Kab. Ciamis, Kota Banjar, dan Kab. Pangandaran menjadi wilayah IV. Masing-masing kota/kabupaten mengirim kontingen untuk ketiga mata lomba. Juara-juara pada tingkat wilayah akan maju ke tahap final di Bandung.

Saya kurang paham bagaimana alur kegiatan ini dari awal. Hanya saja yang saya tahu, awalnya, Disparbud Propinsi Jawa Barat mengadakan pertemuan teknis dengan mengundang seluruh dinas terkait dari masing-masing kota/kabupaten. Pertemuan teknis ini barangkali membahas segala hal tentang petunjuk pelaksaan dan petunjuk teknis perlombaan dari mulai tentang bentuk pertunjukan yang dilombakan hingga perkara keuangan. Perlombaan tahun lalu meninggalkan catatan penting. Juri menekankan bahwa ketika pertemuan teknis, hendaknya dinas beserta seniman yang menghadiri. Tentunya seniman yang akan menggarap sebagai perwakilan kota/kabupaten bersangkutan. Mengapa ini menjadi penting? Pada Pasanggiri Teater, Tari dan Musik tahun 2014, banyak seniman yang penggarapannya jauh dari ketentuan lomba. Jangankan perkara teknis, perkara ketentuan yang substansial pun banyak yang keliru. Ini disebabkan karena seniman bersangkutan tidak ikut pada pertemuan teknis. Hal ini dikemukakan dewan juri ketika evaluasi sebelum mengumumkan kejuaraan.

Dan hal yang menjadi catatan tahun lalu itupun kini terulang kembali meski tidak begitu merata, artinya ada pula kota/kabupaten yang barangkali belajar dari pengalaman dan tidak mengulang kesalahan yang sama.

Pasca acara, saya banyak mendengar desas-desus tentang keuangan yang tidak beres. Ada yang curhat pada saya tentang berapa rupiah ia dibayar dan menurutnya, dan juga menurut saya, sangat tidak layak. Malah ada seorang kawan yang ikut menjadi peserta, ia mengunggah data bayaran yang ia dan kawan-kawannya terima dari dinas (kabupaten) yang ia wakili ke Facebook, tentu dengan angka-angka nominal yang boleh dibilang tidak layak. Saya tergelitik kemudian berbalas komentar dengannya di jejaring sosial itu. Hasilnya mencengangkan. Sepengetahuan saya, masing-masing kelompok diberi dana 17 juta rupiah. Dana tersebut digunakan untuk biaya produksi pertunjukan, transportasi dari kota/kabupaten masing-masing menuju lokasi kegiatan dan honorarium. Ihwal konsumsi dan akomodasi selama kegiatan, itu tanggungan panitia propinsi, sudah ada jatahnya tersendiri. Yang membuat saya tercengang, pihak dinas dari kabupaten tempat kawan saya itu mengatakan bahwa sebagian dana habis untuk sewa hotel, makan dan lainnya selama kegiatan. Ini jelas kebohongan dan korupsi. 

Sebenarnya tulisan diatas cuma pengantar saja dan mudah-mudahan bisa mengantar kita masalah yang sebenarnya. Masalah yang saya kira ada tak hanya di Jawa Barat saja, tak hanya di Ciamis tempat tingga saya saja, tapi di seluruh NKRI atau barangkali di seluruh negara berkembang. Masalah yang melekat pada pemerintah, khusus dalam hal ini saya persempit menjadi pemerintah dan seniman, sebab jika tak dibatasi, tulisan ini barangkali akan lebih tebal dari kitab suci karena menyoal pemerintah, takkan habis kita bicarakan.

Seperti yang saya tulis diawal dan barangkali banyak tulisan lainnya yang menyoal kegilaan pemerintah dalam bermain anggaran, ini terus saja terjadi siapapun presidennya. Seolah revolusi mental yang digembar-gemborkan Pak Jokowi sekedar isapan jempol belaka. Toh nyatanya mental korupsi masih mengakar kuat pada birokrat kita. Atau barangkali bukan hanya birokrat kita saja, tetapi masyarakat umum juga, termasuk seniman, termasuk saya, juga Anda barangkali?

Mengapa? Sebab korupsi, dalam kasus yang umum, selalu berjamaah. Korupsi, layaknya pertunjukan teater, ialah kegiatan kolektif, ansamble. Korupsi melibatnya banyak pihak. Masing-masing pihak mempunyai peran yang berbeda-beda. Inilah mengapa saya bilang, secara umum rakyat pun ikut mendukung pemerintah melakukan tindak korupsi. Seniman pun ikut serta mendukung kejahatan ini terjadi.

Pemerintah mengelola uang rakyat yang musti tersalurkan kembali pada rakyat melalui berbagai program. Untuk mengeluarkan dana, pemerintah membutuhkan program dan objek program. Sebut saja programnya adalah Pasanggiri Teater, Tari dan Musik sedang objek programnya adalah seniman. Idealnya, uang yang sampai pada objek program sesuai dengan apa yang tertera pada ketentuan saat perencanaan anggaran tanpa pemerintah harus meminta cash back. Namun nyatanya, itu cuma mimpi.

Saya mencoba berpegang pada perkataan Rendra bahwa ketidakberdaayaan menyuburkan ketidakadilan. Ketika seniman atau siapapun bersikap loyo menghadapi tirani, maka kejahatan itu justru akan makin menggila. Namun barangkali, apakah ini memang ciri dari negara berkembang? Tatkala ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah begitu tinggi? Jika memang benar, ketergantungan ini akan dipandang pemerintah sebagai sasaran empuk. Masyarakat yang bergantung pada pemerintah cenderung akan manut saja ketika harus dibeginikan, harus dibegitukan. Belum lagi warisan mentalitas feodal kita yang agaknya masih kuat mencakar alam pikir, kalau tidak dikatakan sudah merembes pada alam bawah sadar. Dengan dua hal itu saja, cukup saya kira menjadikan pemerintah leluasa bermain-main dengan anggaran.

Ya, ketergantungan dan feodalisme. Mengapa feodal? Mengapa tergantung? Mari merenung.

  

  08112015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...