Minggu, 17 Juli 2016

Egaliter




Egaliter

Bagi saudara-saudara yang beragama Islam, salah satu ritus harian wajibnya ialah sholat. Bagi kaum Adam, ada penekanan tertentu bahwa sholat lebih utama dilakukan di mesjid secara berjamaah. Berjamaah berarti sholat dilakukan secara bersama-sama dengan satu pemimpin dan yang lain mengikuti. Menurut beberapa teks agama Islam, ritus seperti ini bagi laki-laki lebih utama karena bernilai pahala lebih banyak dibanding sholat sendirian atau munfarid, perbedaannya hingga 27 kali lipat. Lelaki yang sholat munfarid hanya mendapat satu pahala sholat sedang yang berjamaah mendapat hingga 27 pahala. Bagi para pengejar pahala ini adalah ritus yang cukup menggiurkan pastinya selain ibadah dan amalan lain yang menjanjikan pahala yang berlimpah-limpah. Ritus ini bisa dilakukan tiap hari selama lima kali. Jika kita agar berhitung, sehari seorang lelaki muslim sholat lima kali, jika selama sehari ia tak meninggalkan sholat berjamaah berarti pahala yang bisa ia koleksi selama sehari semalam ialah 27 x 5 = 135 pahala. Jika ia melakukannya selama sebulan penuh berarti 135 x 30 = 4050 pahala. Dalam waktu satu tahun lelaki ini dapat menggumpulkan 48.600 pahala sholat berjamaah, belum ditambah pahala dari ritus dan amalan lainnya. Perhitungan ini murni matematika yang dipahami manusia sebab kita, atau setidaknya saya, tidak pernah tahu bagaimana matematika Tuhan, itupun jika memang Tuhan bermain matematika kuantititatif dalam hal ibadah dengan hambanya.

Hukum sholat berjamaah bagi laki-laki dalam Islam memiliki banyak pendapat. Ada yang mengatakan ini fardu ‘ain, sederhanya wajib bagi tiap individu selama mampu melakukannya. Ada pula yang mengatakan sholat berjamaah ini sunnah, dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakanpun tak akan berdosa, dan berbagai pendapat lainnya. Masing-masing pendapat ini punya rujukan dari beberapa teks hadits, yang merupakan  ketetapan yang ditetapkan oleh nabi Muhammad saw., sumber hukum kedua setelah kitab suci Al-Qur’an. Bahkan ada pula yang merujuk langsung dari Al-Qur’an.

Saya bukan akan membahas rujukan sholat berjamaah berdasar Al-Qur’an atau hadits, atau hukum sholat berjamaah. Saya sebatas ingin mencoba membaca sholat berjamaah dari sudut lain, sholat berjamaah dari dimensi sosial politik dan kebudayaan.

Menurut beberapa sumber Nabi Muhammad saw hidup sekitar tahun 570 – 632 M di jazirah Arab. Masyarakat Arab kala itu sangat mensakralkan suku. Tribalitas di kalangan masyarakat Arab kala itu masih menjadi hal yang sangat penting bahkan utama. Seseorang sangat dikaitkan dengan suku atau klan mereka. Hal ini bahkan boleh jadi inheren pada tiap individu Arab kala itu. Perang antar suku merupakan hal lumrah di kebudayaan di Arab masa itu. Belum lagi perbudakan, rasisme, patriarki yang mewujud menjadi superioritas lelaki dibarengi pandangan misoginis, kapitalisme yang memupuk kesenjangan sosial adalah sekian dari banyak persoalan yang menghinggapi kultur kebudayaan nabi Muhammad. Nabi Muhammad dengan kenabian dan kerasulannya punya PR besar menyelesaikan persoalan-persoalan sosial tersebut selain persoalan keimanan tentunya.

Dalam sejarahnya kita mengetahui beliau melakukan berbagai cara guna menyudahi persoalan-persoalan sosial masyarakat Arab kala itu. Salah satu momentum besar yang terjadi adalah migrasi besar nabi Muhammad dan kaum muslimin lainnya dari Mekkah ke Madinah, orang muslim lebih sering menyebutnya dengan peristiwa hijrah. Dari peristiwa ini kemudian kalender Islam memulai penanggalannya. Ini peristiwa besar bagi bangsa Arab kala itu. Ketika tibralisme menjadi keyakinan kuat, nabi Muhammad justru “mencerabut” orang-orang dari suku mereka melalui peristiwa hijrah. Kaum muslim Arab seolah diputus dari suku mereka, diputus dari garis leluhur mereka. Nabi Muhammad melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa Arab. Meninggalkan suku berarti seolah menghapus nama dari daftar orang hidup di dunia. Sama saja dengan kehilangan eksistensi. Alih-alih menghanguskan  identitas, kaum muslim bersama nabi Muhammad justru membentuk identitas baru yang justru lebih universal, egaliter dan independen : umat Islam. Sebuah konsep yang diyakini lebih sejalan dengan kodrat azali manusia.

Gagasan egalitarianisme agaknya masih asing di bangsa Arab kala itu. Dan seperti kisah-kisah lain, sesuatu yang asing yang melawan arus utama pasti ditentang dan dimusuhi habis-habisan, begitupun nabi Muhammad, umat Islam dan segala keyakinannya. Bagaimana nabi Muhammad memperkokoh gagasan egaliterianisme ini? Saya membacanya melalui sholat berjamaah. Tentu ini barangkali bukan satu-satunya jalan yang ditempuh namun setidaknya melalui ritus ini egaliatarianisme Islam menjadi makin nyata dan terasa.

Jika kita melihat ritus sholat berjamaah (atau melakukannya), kita akan menyaksikan suatu momentum persamaan manusia tanpa predikat sosial apapun. Si kaya si miskin, si pintar si bodoh, majikan dan pekerja, bos dan karyawan, presiden dan rakyat, dan sekian predikat lainnya luntur dalam ritus ini. Semua serempak melakukan gerakan sholat, semua mengikuti imam yang satu. Dan sebagai penutup sholat, jemaah akan mengucapkan salam assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraakatuh sambil menolehkan kepalanya ke kanan kemudian ke kiri. Ia (jemaah) menolehkan wajahnya ke jemaah lain di samping kanan kirinya sambil mendo’akan  semoga keselamatan tercurah pada mu juga rahmat Allah dan barokah-Nya. Majikan mendo’akan pekerja, begitupun sebaliknya. Kaya mendo’akan miskin, begitupun sebaliknya. Etnis A mendo’akan etnis B, begitupun sebaliknya, dan seterusnya. Sholat berjamaah merupakan momentum manusia berderajat sama. Sama-sama menghadap Tuhan. Sama-sama melakukan gerakan dan bacaan sholat. Dan momentum saling mendo’akan meskipun tak saling mengenal sama sekali. Dalam ritus ini berbagai dimensi tersentuh sekaligus, vertikal dan horizontal.

Pembacaan saya bahwa nabi Muhammad menggunakan sholat berjamaah selain sebagai perekat persaudaraan juga mencoba menggikis tribalitas ekstrem yang sudah sangat kental pada kebudayaan Arab sebab dalam ritus ini tak ada pembeda suku, etnis, ras, status sosial dan predikat lainnya yang sifatnya bukan azasi. Ritus ini juga kemudian diharapkan merangsang kepekaan umat Islam terhadap kondisi sosial di sekelilingnya, ritus ini merangsang daya kritis masyarakat Islam.

Ini barangkali yang saya baca dari sholat berjamaah. Ritus yang memiliki banyak manfaat, ritus yang boleh jadi merupakan kristalisasi ajaran-ajaran Islam dalam simbol-simbol, terlebih jika melihat konteks bangsa Arab kala itu. Pembacaan ini merupakan salah satu dari sekian banyak pembacaan terhadap ritus sholat berjamaah. Perbedaan pendapat sangatlah mungkin terjadi. Kekeliruan pada tulisan inipun merupakan kemungkian yang tak bisa di sangkal.

Lalu bagaimana nasib sholat berjamaah kini?

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...