Egaliter
Bagi saudara-saudara yang beragama Islam, salah
satu ritus harian wajibnya ialah sholat. Bagi kaum Adam, ada penekanan tertentu
bahwa sholat lebih utama dilakukan di mesjid secara berjamaah. Berjamaah
berarti sholat dilakukan secara bersama-sama dengan satu pemimpin dan yang lain
mengikuti. Menurut beberapa teks agama Islam, ritus seperti ini bagi laki-laki
lebih utama karena bernilai pahala lebih banyak dibanding sholat sendirian atau
munfarid, perbedaannya hingga 27 kali
lipat. Lelaki yang sholat munfarid hanya mendapat satu pahala sholat sedang
yang berjamaah mendapat hingga 27 pahala. Bagi para pengejar pahala ini adalah
ritus yang cukup menggiurkan pastinya selain ibadah dan amalan lain yang menjanjikan
pahala yang berlimpah-limpah. Ritus ini bisa dilakukan tiap hari selama lima
kali. Jika kita agar berhitung, sehari seorang lelaki muslim sholat lima kali,
jika selama sehari ia tak meninggalkan sholat berjamaah berarti pahala yang
bisa ia koleksi selama sehari semalam ialah 27 x 5 = 135 pahala. Jika ia
melakukannya selama sebulan penuh berarti 135 x 30 = 4050 pahala. Dalam waktu
satu tahun lelaki ini dapat menggumpulkan 48.600 pahala sholat berjamaah, belum
ditambah pahala dari ritus dan amalan lainnya. Perhitungan ini murni matematika
yang dipahami manusia sebab kita, atau setidaknya saya, tidak pernah tahu
bagaimana matematika Tuhan, itupun jika memang Tuhan bermain matematika
kuantititatif dalam hal ibadah dengan hambanya.
Hukum sholat berjamaah bagi laki-laki dalam Islam
memiliki banyak pendapat. Ada yang mengatakan ini fardu ‘ain, sederhanya wajib bagi tiap individu selama mampu
melakukannya. Ada pula yang mengatakan sholat berjamaah ini sunnah, dikerjakan mendapat pahala,
tidak dikerjakanpun tak akan berdosa, dan berbagai pendapat lainnya.
Masing-masing pendapat ini punya rujukan dari beberapa teks hadits, yang merupakan ketetapan yang ditetapkan oleh nabi Muhammad
saw., sumber hukum kedua setelah kitab suci Al-Qur’an. Bahkan ada pula yang merujuk
langsung dari Al-Qur’an.
Saya bukan akan membahas rujukan sholat berjamaah
berdasar Al-Qur’an atau hadits, atau hukum sholat berjamaah. Saya sebatas ingin
mencoba membaca sholat berjamaah dari sudut lain, sholat berjamaah dari dimensi
sosial politik dan kebudayaan.
Menurut beberapa sumber Nabi Muhammad saw hidup
sekitar tahun 570 – 632 M di jazirah Arab. Masyarakat Arab kala itu sangat mensakralkan
suku. Tribalitas di kalangan masyarakat Arab kala itu masih menjadi hal yang
sangat penting bahkan utama. Seseorang sangat dikaitkan dengan suku atau klan
mereka. Hal ini bahkan boleh jadi inheren pada tiap individu Arab kala itu.
Perang antar suku merupakan hal lumrah di kebudayaan di Arab masa itu. Belum
lagi perbudakan, rasisme, patriarki yang mewujud menjadi superioritas lelaki
dibarengi pandangan misoginis, kapitalisme yang memupuk kesenjangan sosial
adalah sekian dari banyak persoalan yang menghinggapi kultur kebudayaan nabi
Muhammad. Nabi Muhammad dengan kenabian dan kerasulannya punya PR besar menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial tersebut selain persoalan keimanan tentunya.
Dalam sejarahnya kita mengetahui beliau melakukan
berbagai cara guna menyudahi persoalan-persoalan sosial masyarakat Arab kala
itu. Salah satu momentum besar yang terjadi adalah migrasi besar nabi Muhammad
dan kaum muslimin lainnya dari Mekkah ke Madinah, orang muslim lebih sering
menyebutnya dengan peristiwa hijrah.
Dari peristiwa ini kemudian kalender Islam memulai penanggalannya. Ini
peristiwa besar bagi bangsa Arab kala itu. Ketika tibralisme menjadi keyakinan
kuat, nabi Muhammad justru “mencerabut” orang-orang dari suku mereka melalui
peristiwa hijrah. Kaum muslim Arab seolah diputus dari suku mereka, diputus
dari garis leluhur mereka. Nabi Muhammad melakukan sesuatu yang belum pernah
terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa Arab. Meninggalkan suku berarti seolah
menghapus nama dari daftar orang hidup di dunia. Sama saja dengan kehilangan
eksistensi. Alih-alih menghanguskan
identitas, kaum muslim bersama nabi Muhammad justru membentuk identitas
baru yang justru lebih universal, egaliter dan independen : umat Islam. Sebuah konsep yang diyakini
lebih sejalan dengan kodrat azali manusia.
Gagasan egalitarianisme agaknya masih asing di
bangsa Arab kala itu. Dan seperti kisah-kisah lain, sesuatu yang asing yang
melawan arus utama pasti ditentang dan dimusuhi habis-habisan, begitupun nabi
Muhammad, umat Islam dan segala keyakinannya. Bagaimana nabi Muhammad
memperkokoh gagasan egaliterianisme ini? Saya membacanya melalui sholat
berjamaah. Tentu ini barangkali bukan satu-satunya jalan yang ditempuh namun
setidaknya melalui ritus ini egaliatarianisme Islam menjadi makin nyata dan
terasa.
Jika kita melihat ritus sholat berjamaah (atau
melakukannya), kita akan menyaksikan suatu momentum persamaan manusia tanpa
predikat sosial apapun. Si kaya si miskin, si pintar si bodoh, majikan dan
pekerja, bos dan karyawan, presiden dan rakyat, dan sekian predikat lainnya
luntur dalam ritus ini. Semua serempak melakukan gerakan sholat, semua
mengikuti imam yang satu. Dan sebagai penutup sholat, jemaah akan mengucapkan
salam assalamu’alaikum warahmatullahi
wabaraakatuh sambil menolehkan kepalanya ke kanan kemudian ke kiri. Ia
(jemaah) menolehkan wajahnya ke jemaah lain di samping kanan kirinya sambil
mendo’akan semoga keselamatan tercurah pada mu juga rahmat Allah dan barokah-Nya.
Majikan mendo’akan pekerja, begitupun sebaliknya. Kaya mendo’akan miskin,
begitupun sebaliknya. Etnis A mendo’akan etnis B, begitupun sebaliknya, dan
seterusnya. Sholat berjamaah merupakan momentum manusia berderajat sama.
Sama-sama menghadap Tuhan. Sama-sama melakukan gerakan dan bacaan sholat. Dan
momentum saling mendo’akan meskipun tak saling mengenal sama sekali. Dalam
ritus ini berbagai dimensi tersentuh sekaligus, vertikal dan horizontal.
Pembacaan saya bahwa nabi Muhammad menggunakan
sholat berjamaah selain sebagai perekat persaudaraan juga mencoba menggikis
tribalitas ekstrem yang sudah sangat kental pada kebudayaan Arab sebab dalam
ritus ini tak ada pembeda suku, etnis, ras, status sosial dan predikat lainnya
yang sifatnya bukan azasi. Ritus ini juga kemudian diharapkan merangsang
kepekaan umat Islam terhadap kondisi sosial di sekelilingnya, ritus ini
merangsang daya kritis masyarakat Islam.
Ini barangkali yang saya baca dari sholat
berjamaah. Ritus yang memiliki banyak manfaat, ritus yang boleh jadi merupakan
kristalisasi ajaran-ajaran Islam dalam simbol-simbol, terlebih jika melihat
konteks bangsa Arab kala itu. Pembacaan ini merupakan salah satu dari sekian
banyak pembacaan terhadap ritus sholat berjamaah. Perbedaan pendapat sangatlah
mungkin terjadi. Kekeliruan pada tulisan inipun merupakan kemungkian yang tak
bisa di sangkal.
Lalu bagaimana nasib sholat berjamaah kini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar