Gedung Kesenian Ciamis dan Coretan
di Dinding
+“A, aya nu nyorat-nyoret Gedung Kesenian (Ciamis).”
- “Coretan kumaha?”
+”Teuing, teu jelas. Da abi
ningalina ti jalan, bari ngaliwat. Saliwat mah asa aya tulisan siga puisi
Rendra, ngan abi teu apal da teu jelas. Ngan aya lambang Anarki.”
Lebih kurang begitulah percakapan saya dengan
seorang kawan yang lama tak jumpa. Beberapa hari lalu ia berkunjung. Mengawali obrolan,
bukan menanyakan kabar atau basa-basi lainnya, ia malah langsung melaporkan
semacam vandalisme di Gedung Kesenian Ciamis. Barangkali kawan saya itu tahu,
sejak lama saya mengkritik gedung megah itu maka ia pikir saya akan sangat
tertarik dengan informasi ini. Namun meski sejak lama bersikap kritis terhadap
gedung itu, mendengar gedung itu ada yang mencoret-coret, saya pun terkaget
apalagi kabarnya ada kutipan (yang mirip) puisi W. S. Rendra di sana. Jika si
pencoret sebatas orang iseng atau muda-mudi yang kurang ruang ekspresi seni
rupa, agaknya mengutip puisi Rendra itu terlalu serius untuk sekedar sebuah keisengan
atau sebut saja kenakalan remaja.
Rasa penasaran tak kunjung pergi sejak kawan saya
mengabarkan berita itu. Akhirnya saya pun menyengajakan diri pergi ke Gedung
Kesenian Ciamis, berniat melihat sendiri coretan-coretan itu lebih dekat dan
mengabadikannya dengan kamera ponsel pintar saya. Setibanya di sana, benar
saja. Dinding kanan-kiri pintu utama dan pintu utama bagian kanan sudah dihiasi
coretan yang diduga menggunakan pilox hitam. Ada 5 coretan yang menghitam di
gedung yang konon seharga lima milyar
lebih itu. Tiga coretan berbentuk semacam lambang anarki (huruf A kapital dalam
lingkaran) yang terdapat di dinding kiri pintu utama dan kaca pintu utama
bagian kanan. Dua lagi coretan berupa tulisan “Sekarang jamnya mabuk! – Charles
B.” dan “MAKSUD BAIK SODARA UNTUK SIAPA? Rendra.”
Saya bukan polisi
atau ahli grafolgi yang bisa memastikan dengan yakin apakah coretan-coretan itu
dibuat oleh satu tangan yang sama atau bukan. Hingga saat ini saya belum tahu
pasti siapa yang melakukan ini. Juga belum ada seseorang atau sebuah kelompok
yang mengaku bertanggungjawab atas aksi ini. Lepas dari analisis seorangkah
atau banyak orangkah yang melakukan coretan itu, saya lebih tertarik pada
maksud dari coretan yang sering dipandang sebagai bentuk vandalisme ini.
Tiga coretan lambang yang mirip lambang anarki
boleh jadi merupakan pesan tersembunyi dari si pencoret. Anggap saja coretan
itu adalah benar lambang anarki, dan jika kita membaca sejarah serta pengertian
anarki, kita barangkali bisa berasumsi bahwa coretan-coretan ini ditujukan
untuk pemerintah, terlebih coretan ini berada di gedung milik pemerintah,
gedung plat merah. Anarki bukan sebatas tindakan kekerasan yang brutal. Anarki pada
perkembangannya telah mengokohkan diri menjadi isme, lengkap dengan segenap
pemikir dan teori-teorinya. Anarkisme mencoba memberi tawaran pada dunia
tentang bagaimana dunia dan kehidupan ini musti dilakoni khususnya dalam
konteks sosial politik. Namun kitapun tidak bisa mutlak menuduhkan pencoretan ini pada orang berpaham
anarkisme. Boleh jadi pencoretan lambang anarki ini sebatas keren-kerenan,
mengikuti trend (tanpa memahami maksud), atau bisa juga si pencoret memang adalah
seseorang yang paham betul tentang anarkisme. Banyak sekali kemungkinan.
Tentang tulisan “Sekarang jamnya mabuk! – Charles B.”,
ini pun bisa punya banyak tafsir. Terhadap “Sekarang jamnya mabuk!”, ini boleh
jadi seruan/ajakan untuk mabuk dalam arti menenggak miras atau mengkonsumsi
Napza. Kalau kita mau berandai-anadai, katakanlah saat peristiwa pencoretan itu
berlangsung, di sana, di sekitaran Gedung Kesenian Ciamis itu sedang berkumpul
muda-mudi (atau orang tua pun boleh jadi) yang hendak mabuk-mabukan. Seseorang dengan
gagah berani kemudian berseru seraya menyemprotkan piloxnya ke dinding gedung,
menulis “Sekarang jamnya mabuk!”. Dan di akhir tulisan ia sematkan nama
samarannya “Charles B.”
Atau mungkin “mabuk” dalam tulisan itu punya arti
lain. Mabuk ini berarti keblinger, edan, gila, tak sadar, tak bernalar sehat,
sempoyongan, ngaco, yang kesemuanya ini merupakan sindiran pada kondisi pemerintah
Ciamis kini yang dianggap oleh si pencoret layaknya orang mabuk. Pemerintah Ciamis
seperti tak berakal sehat dengan membangun gedung ini, gedung yang dalam hemat
saya malfunction, cacat sebagai
gedung kesenian jika membandingan dengan gedung-gedung kesenian yang lebih
senior secara usia : Gedung Kesenian Rumentangsiang Bandung, Gedung Kesenian
Sunan Ambu dan Gedung Kesenian Dewi Asri (ISBI Bandung) misalnya, atau Gedung
Kesenian Kota Tasikmalaya, misalnya. Atau boleh jadi sindiran pada Pemprov
Jabar karena sebagian besar dana pembangunan gedung ini berasal bantuan Pemprov
Jabar. Terkait “Charles B.”, ini barangkali merupakan nama samaran si pencoret
atau bisa saja nama asli, kita tak pernah tahu sebelum bertanya langsung pada
si pencoretnya. Jika kita berasumsi bahwa “Charles B.” adalah seorang tokoh,
maka banyak sekali Charles B. yang musti kita kaji sebab nama Charles B. bisa merujuk
pada banyak tokoh di berbagai bidang. Dan jika Charles B. ini adalah seorang
tokoh, maka Charles B. siapa yang pernah mengujar “Sekarang jamnya mabuk!”. Sekali
lagi, banyak kemungkinan.
Terkahir adalah tulisan yang paling tampak dari arah
depan karena posisinya memang terdapat pada dinding yang menghadap ke arah
depan (jalan) yakni tulisan “MAKSUD BAIK SODARA UNTUK SIAPA? Rendra”. Selain posisinya
yang visibel, tulisan ini menjadi mencolok sebab penulisannya menggunakan huruf
kapital secara keseluruhan kecuali untuk tulisan “Rendra”. Perbedaan penggunaan
huruf ini mungkin dimaksudkan bahwa tulisan berhuruf kapital merupakan
kata-kata Rendra. Sampai sini kita masih dibingungkan, Rendra mana yang menulis
ini. Bisa saja si pencoret bernama Rendra. Atau bisa saja yang dimaksudkan
adalah Wibrodus Surendra Bawana Rendra yang pasca masuk Islam mengganti namanya
menjadi Wahyu Sulaiman Rendra (W. S. Rendra), seorang penyair besar Indonesia
yang dikenal kritis terhadap persoalan-persoalan sosial politik, seorang budayawan
dan pendiri Bengkel Teater Rendra. Jika yang dimaksud adalah Rendra yang ini
maka saya kira ini bukan sekedar iseng belaka. Ada satu puisi W. S. Rendra yang
pada dua baitnya terdapat kata-kata yang sama persis dengan tulisan itu.
Sajak Pertemuan Mahasiswa
Matahari terbit
pagi ini
mencium bau
kencing orok di kaki langit,
melihat kali
coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar
dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini
dua penggalah tingginya.
Dan ia
menjadi saksi berkumpul di sini memeriksa keadaan.
Kita bertanya
:
Kenapa maksud
baik tidak selalu berguna
Kenapa
maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata
: “Kami punya maksud baik”
Dan kita
bertanya : “Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang
jaya, ada yang terhina
Ada yang
bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang
duduk, ada yang diduduki.
Ada yang
berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita
di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri
di pihak yang mana?”
Kenapa maksud
baik dilakukan
tetapi makin
banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah
di gunung telah dimiliki orang kota.
Perkebunan
yang luas
hanya menguntungkan
segolongan kecil saja.
Alat-alat
kemajuan diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kami
bertanya : “Lantas maksud baik saudara
untuk siapa?”
Sekarang
matahari, semakin tinggi.
Lalu akan
bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di
dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini
dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu
diajarkan di sini
akan menjadi
alat pembebasan,
atau alat
penindasan?
Sebentar lagi
matahari akan tenggelam,
malam akan
tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan
akan berlayar.
Tetapi pertanyaan
kita tidak akan mereda.
Akan hidup
di dalam bermimpi.
Akan tumbuh
di kebon belakang.
Dan esok
hari matahari akan terbit kembali.
Sementara
hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan
kita menjadi hutan.
Atau masuk
ke sungai menjadi ombak samodra.
Di bawah
matahari ini kita bertanya :
Ada yang
menangis, ada yang mendera.
Ada yang
habis, ada yang mengikis.
Dan maksud
baik kita berdiri di pihak yang mana!
(Jakarta,
1 Desember 1977)
Menurut beberapa catatan, puisi ini dipersembahkan
Rendra untuk mahasiswa UI. Adegan pembacaan sajak ini turut mengisi film
besutan Sjuman Djadja berjudul Yang Muda Yang Bercinta produksi tahun 1997. Rendra
bermain sebagai pemeran utama dalam film tersebut.
Agaknya kita bisa menerka-nerka apa “maksud baik”
dan siapa “saudara” yang terdapat dalam puisi itu. Tapi bagaimana dengan “maksud
baik” dan “sodara” pada tulisan di gedung megah itu? Apakah “maksud baik” dan “saudara”
yang terdapat pada Sajak Pertemuan Mahasiswa tersebut punya makna yang sama
persis dengan yang terdapat pada tulisan si pencoret? Hemat saya, jika “saudara”
dalam puisi Rendra itu tertuju (spesifik) pada Pemerintahan Orde Baru jelas
maknanya berbeda sebab 2016 ini Orde Baru (katanya) sudah runtuh melalui
peristiwa 1998. Namun jika puisi ini ditarik secara mimetik ke 2016, barangkali
“saudara” versi Rendra dan “sodara” versi si pencoret bisa berjumpa pada satu
target yang sama : Pemerintah. Rendra yang hidup di masa itu menembak
pemerintah dengan sebutan “saudara” dan si pencoret meminjam “saudara”nya Rendra untuk menembak pemerintahan masa kini,
spesifiknya Pemda Ciamis. Boleh jadi begitu atau bukan, lagi-lagi, banyak
kemungkinan.
Lantas, bagaimana dengan “maksud baik”?
Ciamis, 18 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar