Jumat, 10 Februari 2017

Menjaring Waktu


Soal itu pasti kamu yang paling jago. Kamu sering berkunjung. Kamu paham betul arti dan fungsi berkunjung. Kamu memang jarang kemari, tapi setidaknya kamu tak pernah tak berkunjung ke mari. Kita bercakap tentang banyak hal, atau sekedar minum kopi dan membunuh rindu untuk menghidupkannya kembali. Tentu. Bukankah tiap kamu berkunjung kamu selalu pergi lagi? Namanya juga berkunjung, hanya sementara saja. Kamu belum pernah benar-benar tinggal di sini, selamanya. Hahaha... benar. Memang, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali waku, Tuhan, dan dunia yang tak pernah kita ketahui. Sisanya, temporer saja. Serba sementara. Puluhan, ratusan, bahkan milyaran tahun pun adalah kesementaraan. Sebab abadi adalah tak berusai.

Beberapa waktu lalu aku sering mengantar seseorang berkunjung. Ya, berkunjung ke berbagai tempat dan orang-orang. Tempat dan orang yang kami kunjungi tentu punya kisah sendiri yang dalam beberapa hal kisah-kisah itu tertaut dengan si pengunjung itu, bertaut dengan masa silam. Ini sebenarnya biasa-biasa. Berkunjung ke masa lalu bukan hal yang aneh atau luar biasa, sebenarnya. Banyak orang yang melakukannya dengan berbagai alasan. Tentu yang paling klasik adalah mengahapus rindu. Sekedar ingin jumpa dan menanyakan kabar. Namun tak sedikit orang yang kembali ke masa lalu untuk melompat ke masa depan. Namun, sesederhana apa pun, toh masa silam selalu menarik untuk dikunjungi.

Kamu sendiri pasti punya masa silam. Kita semua. Aku juga. Masa lalu adalah ruang dan waktu yang pernah kita lakoni. Ada jejak kita di sana. Ada peristiwa dan ingatan. Dan tentu kenangan dan kesan. Kamu masih ingat kali pertama kita bertemu? Hahaha... menggelikan juga membicarakan ini denganmu. Tapi sekali-kali, barangkali kita perlu juga bertamasya ke masa silam. Memanggil kembali ingatan, kemudian kita akan tersenyum, tertawa, marah, atau menangis sendiri. Jelas, Lexie. Ada kesan pada tiap ruang dan waktu, dan ingatan kita menyimpan itu. Kita tinggal membongkar arsip dan menemukannya kembali. Memang ada beberapa yang usang dan nyaris buram atau buram sama sekali. Tapi setidaknya kita tahu bahwa seburam apa pun, itu adalah lakon yang pernah kita mainkan.   

Aku juga memilikinya. Semua kita punya hal itu. Masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Atau barangakali masa lalu yang hambar dan biasa-biasa saja. Sama sekali tak berkesan dan membekas. Oh, pasti. Aku bukan tipe orang yang mudah melupakan sejarah. Tapi sejarah ya tinggal sejarah. Menghapus atau sengaja melupakan sejarah adalah hal penyiksaan dan kekejaman pada diri sendiri. Itu hal konyol, Lexie. Atau mungkin bodoh. Kita lahir dari sana, dari rahim sejarah. Menghapusnya berarti menghapus diri kita sendiri. Buatku sendiri, mengunjungi masa lalu seperti berwisata ke museum. Aku melihat banyak peristiwa, melihat aku yang lampau, melihat orang-orang yang turut bermain dalam lakonku, dan selesai. Kadang aku sengaja memuseumkan masa lalu. Menyimpannya cantik di kotak kaca. Cukup ingat dan dikenang saja. Ya, Lexie. Tak ada pisang baru selama pisang yang lama masih beridri tegak. Kadang kita musti memutus sesuatu untuk menumbuhkan yang lain.

Masih tentang masa lalu. Kamu tahu Facebook? Jejaring sosial buatan Mark Zuckeberg? Sekarang mereka sangat rajin mengingatkan pelanggannya tentang masa lalu mereka. Ini makin dahsyat saja. Jejaring itu berfungsi dengan baik. Tak usah repot-repot dengan ilmu-ilmu yan rumit, Lexie. Kamu bisa lihat saja jaring laba-laba. Bentuk dan fungsinya. Dalam konteks ini kita tak bedanya dengan laba-laba itu. Jaringnya mengarah ke dan dari seluruh arah mata angin. Dan kita, si empunya jaring, tinggal tepat di tengahnya. Si laba-laba bebas pergi ke mana saja. Depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah. Dan pada akhirnya, semua arah itu lenyap sebab ke mana kita mengahadap, itulah jalan di depan dan kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi belakang, dan akan begitu seterusnya. Jika kita si empunya jaring, kita tentu sangat menguasainya, namun jika kita adalah mangsa si empunya jaring, kita takkan bisa pergi ke mana pun. Kita akan melekat dan terjebak, tak berkutik. Lihat saja bagaimana laba-laba menangkap dan memakan mangsanya. Seperti hidup yang juga,  katanya, adalah jejaring makna.

Nah, di sanalah bedanya, kupikir. Manusia dengan visi yang jelas tentu mampu membedakan arah. Ia takkan kehilangan orientasi selama kukuh memeluk imannya. Ia akan tahu mana depan mana belakang, mana kanan mana kiri, mana atas mana bawah. Dan ia tahu di mana ia berdiri. Celakanya, tak semua orang punya visi yang jelas, atau kukuh mengimani visinya. Aku? Entahlah. Aku masih gamang menilai diriku sendiri. Aku meyakini apa yang aku lakukan, tapi kadang kecurigaan pada diri sendiri berdatangan tiba-tiba. Aku menginterogasi diriku sendiri. Mungkin juga mengoreksi dan menyalahkan diri sendiri. Kenapa tidak? Bukankah kita bukan laba-laba yang tak tahu arah dan ruang? Seharusnya.

Aku sepakat. Waktu memang linier, Lexie. Ia berjalan lurus dan tak pernah peduli apa pun kecuali dirinya sendiri. Konsisten, selalu dan semustinya. Kita hanya mampu menangkap bayangannya dan melekatkannya pada ruang dan peristiwa. Bukankah kita demikian? Menyimpan ingatan pada ruang, benda-benda, bahkan tubuh. Tentu. Tubuh punya ruang besar untuk menyimpan ingatannya sendiri. Tubuh kita punya biografi yang tak pernah usai merekam tiap sentuhan dan sensasi ketubuhan.

Waktu memang linier, tapi tidak dengan ruang dan peristiwa. Mereka adalah jejaring. Mereka sering membawa kita melancong ke masa silam dan pula masa depan. Ke kanan dan kiri, atas dan bawah. Mengajak dengan santun, atau kadang menyeret kita, ke  orang-orang dan peristiwa lain di waktu yang lain pula. Mengunjungi tempat dan orang-orang adalah membuka pintu-pintu. Banyak pintu, lampau dan yang akan datang. Yang usang dan yang belum tersingkap. Dan itu adalah pilihan.

Seperti yang kubilang. Mau berkunjung atau tidak, itu pilihan, Lexie. Ada banyak orang yang sengaja mengubur dalam-dalam ingatan peristiwa, orang-orang, benda-benda, menjauhi ruang-ruang yang mana kesan kuat melekat padanya. Ada pula yang memilih memeliharanya dengan baik dan teguh, sekedar untuk tetap terhubung atau sebagai pijakan masa depan. Ada pula yang memilih tak mengubur dan tidak pula memelihara dengan teguh. Ia hanya memajangnya di meseum. Menatapkan sekali-kali tanpa harus melarutkan diri terlalu dalam. Ikatannya seperti terputus tapi tidak. Tetap terikat sebagai konsekuensi kausalitas namun memilih renggang, seperi tak terpaut dan tak pernah sengaja mempautkan diri.

Memutus untuk menumbuhkan, Lexie. Mari bersulang.

Rengganis,

10 Februari 2017

Rabu, 08 Februari 2017

Tubuh

Koleksi Museum di Berlin, Jerman
Digagas oleh Gunther von Hagens & Angelina Whalley 

Tidak, Lexie, aku baik-baik saja. Memang kemarin-kemarin aku terserang influenza tapi hari ini kondisiku sudah lebih baik. Hidungku sudah berhenti memproduksi lendir dan batukku juga agak mereda. Suhu tubuhku sudah lebih stabil sekarang. Kamu sendiri, apa kabarmu? Lama tak berjumpa. Ah, syukurlah jika kamu sehat.

Oh, benarkah? Kamu juga terserang influenza. Ya, memang rasanya cukup merepotkan. Kadang itu sangat menggaggu aktifitas. Kita sama-sama pernah influenza namun tentu rasanya berbeda. Memang. Kita diserang virus yang sama, virus influenza. Gejalanya boleh jadi sama. Hidung berlendir, kepala pusing, suhu tubuh naik, nyeri pada persendian, demam, dan yang lainnya. Semua orang juga tahu gejala-gejala itu. Kalau kamu bertanya pada dokter pun, ia akan menjawab sama. Tapi yang kumaksud bukan itu. Sebagaimana samanya kita mengalami suatu peristiwa, rasa, kesan, impresinya tetap saja berlainan.

Ini tentang pengalaman tubuh, Lexie. Tubuhmu dan tubuhku berbeda, maka apa-apa yang menimpa kita, meski hal itu sama, respon dan kesan yang ditinggalkannya akan berbeda. Tubuh itu privat, Lexie. Aku kira kita sepakat akan hal itu. Oh, jangan salah paham. Ini bukan perkara jenis kelamin. Memang itu pun patut diperhitungkan. Kita tak bisa menghilangkan soal jenis kelamin begitu saja demi alasan yang lebih filosofis. Kupikir ini bukan sesuatu yang bijak. Tapi ada hal-hal lain yang agaknya cukup kuat menembus soal perbedaan jenis kelamin. Seperti penindasan, misalnya. Ketidakadilan, kekejaman, dan tentu saja cinta. Bagaimanapun, penindasan, ketidakadilan, kekejaman adalah demikian, pada jenis kelamin apa pun.  Hahaha... ya, kita sudah lama sepakat tentang hal ini, bahwa cinta bukan melulu soal jenis kelamin, bukan hanya persoalan bawah perut belaka. Seks dan kasih sayang itu dua hal yang berbeda, demikian yang kubaca dalam sebuah teks drama.

Kamu benar. Aku sepakat. Seks itu penting, baik sebagai media reproduksi, pelestarian spesies atau sebagai kenikmatan tubuh. Sakral atau profan, prokreasi atau rekreasi, peristiwa ketubuhan seks ya begitu adanya. Kamu lebih paham dariku tentang bagaimana kebudayaan-kebudayaan kuno menaruh perhatian cukup besar pada soal seks. Tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan hal-hal yang transenden. Ilahiah. Tapi apakah itu berarti cinta dan seks berbanding lurus? Kupikir tidak. Oke, baiklah. Kita bukan sedang ingin membahas ihwal seks. Tapi berbicara tentang tubuh, seks adalah bagian darinya. Bukankah seks juga adalah peristiwa ketubuhan yang nyata? Ada perjumpaan tubuh di sana. Dan meski pun demikian, kesan, atau kenikmatan, antar tubuh pelaku hubungan seks jelas berbeda, kupikir.

Ini yang kumaksud dengan pengalaman tubuh, Lexie. Apakah kamu benar-benar bisa merasakan sakitnya tubuhku ketika aku diserang influenza, meski kamu sudah pernah diserang virus yang sama? Dan apakah aku bisa merasakan nikmatnya orgasmemu meski kita berdua melakukan hubungan seks dan sama-sama orgamse?

Ketika kamu bilang “Aku bisa turut meraskan sakitmu karena aku pun pernah mengalami hal itu”, sejatinya pada saat itulah kamu memanggil kembali ingatan tentang sakit yang pernah menimpa tubuhmu. Itu memori rasa sakitmu, pada tubuhmu. Bukan sakitku pada tubuhku. Jadi ketika kamu mengucapkan itu, sebenarnya kamu sedang mengingat-ingat saja, memanggil ingatan, mencarinya di arsip biografi tubuhmu sendiri.

Aku sering heran mendengar kata empati atau simpati dalam konteks ketubuhan. Sampai sekarang aku belum benar-benar memahami makna kedua kata itu dan bagaimana menggunakannya. Tolong ambilkan kamusku. Sebentar. Nah, ini dia. Empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Sedang simpati berarti keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Atau ia juga berarti rasa kasih; rasa setuju; rasa suka. Demikian menurut kamus.

Aha, barangkali kamu bisa melengkapi definisi etimologisnya. Ya, dari salah satu sumber saja. Ini untuk sebatas memperkaya pemahaman kita saja. Yunani? Maksudmu kata empati dan simpati berasal dari bahasa Yunani Kuno? Empatheia. Symphateia. Artinya? Oh, jadi ada yang mengartikan bahwa empati berasa dari kata empatheia yang berarti ketertarikan, dan ada pula yang mengatakan bahwa empati berasal dari kata Em dan Pathos. Em berarti masuk, turut, ikut dan Pathos berarti derita. Kupikir, pendapat  yang kedua cukup mirip dengan makna leksikalnya. Dan sympatheia? Oh, sama. Sym bermakna sama-sama, dan pathos berarti derita. Berarti sama-sama menderita. Hmmm...

  Aku tetap pada pendirianku. Pengalaman tubuh itu privat. Empati dan simpati hanya berlaku dalam tataran perasaan saja, kupikir. Jika dalam hal perasaan dan pemikiran, itu jelas bisa melampaui apa pun. Jangankan jenis kelamin, ruang dan waktu bisa jadi tak berarti dalam konteks memahami perasaan dan pemikiran. Meski begitu, tetap saja mustahil lolos dari interpretasi. Maksudku, ketika kamu seolah memahami pemikiranku, atau perasaanku, pemahamanmu itu adalah interpretasimu, tafsirmu. Ini masih bisa mungkin sebab perasaan dan pemikiran itu imateril. Liquid dan mungkin untuk terabsorsi. Sedang dalam konteks tubuh yang materil ini, memiliki  pengalaman tubuh “liyan” kupikir adalah hal yang agak khayali. Mustahil. Sebab pengalaman tubuh inheren pada tubuh itu sendiri dan unsubstituable.

Rengganis,

8 Februari 2017

Selasa, 07 Februari 2017

Boneka Rumpang


Ah, sudah pasti semua orang lahir dari dari rahim perempuan, yang lantas kita sebut ibu, mama, ema, ambu, enya, dan lain-lain. Dan rahim itu jelas tidak ujug-ujug membesar dan berisi. Ada momentum perjumpaan antara dua alat kelamin yang menyebabkan bengkaknya perut perempuan, tepatnya perjumpaan sperma dan sel telur, lantas menjadi embrio dan seterusnya, dan seterusnya hingga menjadi bayi. Ia lahir, diasuh, tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, dan seterusnya, dan seterusnya. Semua mungkin mafhum bahwa ibu, ema, mama, atau apa pun sebutannya, punya peran yang sangat vital dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Namun, sosok lelaki yang biasa disebut ayah, bapa, papa, atau apa pun itu juga tak kalah penting memberi sumbangsih bagi perkembangan kepribadian manusia. Baik ayah maupun ibu punya peran penting dalam pembentukan kepribadian anak. Sigmund Freud, tokoh psikologi yang terkenal itu, cukup banyak berbicara tentang hal ini. Dari sudut pandang lain, teori-teorinya tentang perkembangan kepribadian anak boleh dibilang  menyiratkan pentingnya hubungan harmonis antara ayah ibu dan anak. Jika ada fase yang terlewat atau tak terlaksana secara sempurna, gangguan kepribadian adalah hal yang sangat niscaya terjadi di kemudian hari.

Meski sebagian kalangan agamawan ada yang meragukan tesis-tesis Freud karena cenderung meniadakan Tuhan, namun sumbangsihnya bagi ilmu psikologi tak bisa pula dibilang remeh. Setidaknya ada titik kesamaan jika menilik dari sudut pentingnya kedekatan yang wajar orang tua dan anak. Bukankah agama pun mengajarkan demikian? Tentu titik perjumpaan ini masih sangat mungkin diperdebatkan. Dan tulisan ini bukan untuk membahas perselisihan Freudian dan agamawan atau perjumpaan mereka.

Lepas dari pisau analisa ilmiah apa pun, keberadaan ayah dan ibu sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Tak perlu pisau analisa terlalu tajam untuk mengupas hal ini. Sekilas pun, hal ini sangat kentara, meski untuk menelisik lebih dalam, perlu kemampuan ilmu tertentu.

Sedari lahir hingga terbilang dewasa, seorang anak idealnya hidup dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan mendapat kasih sayang lahir dan batin yang cukup. Ibu mengajarkan kelembutan, kesabaran, telaten, dan sisi feminin lainnya. Sedang ayah melengkapinya dengan sisi maskulin yang proporsional. Takaran untuk anak lelaki dan perempuan tentu berbeda, maka pola pengasuhannya pun tak bisa dipukul rata. Belum lagi berkaitan dengan karakter dasar si anak yang merupakan bawaannya secara genetik. Memang tak ada aturan baku dalam mengasuh, namun tiap yang terjadi pasti menelorkan sesuatu. Maksudnya, pola A akan menghasilkan A” dan sebagainya. Tinggal memilih saja, sebenarnya, bergantung keyakinan. Toh, tiap kebudayaan pun punya sistem keyakinan dan ilmu pengetahuan  yang berlainan.

Lantas bagaimana jika seorang anak sedari kecil sudah terpisah dari kedua atau salah satu orang tuanya? Ini kisah klasik, sudah banyak dialami atau dibicarakan orang. Namun, ini tak pernah pula sepi dari pembahasan. Bahkan banyak menjadi inspirasi untuk berbagai kajian ilmiah atau menjadi karya seni.

Takahashi Sayoko, adalah seorang perempuan Jepang berusia 40 tahun lebih. Ia mewarisi bisnis Chindon dari ayahnya. Chindon adalah semacam grup musik jalanan tradisional Jepang yang biasa mengiklankan produk-produk tertentu. Mereka biasa pentas di pinggiran jalan yang banyak dilalui orang-orang. Menurut beberapa sumber, Osaka adalah tempat kelahiran kesenian ini pada abad-19. Lantas kemudian berkembang ke Tokyo dan beberapa daerah lainnya. Hingga kini, Chindon masih bisa dijumpai di Jepang meski dengan keadaan yang jauh berbeda dengan masa jayanya dahulu.

Sayoko kecil hidup dalam kelimpahan harta. Rumahnya punya halaman yang cukup luas. Chindon Sakuraya Gorohachi, grup Chindon milik ayahnya, dulu merupakan jawara Chindon. Namun hobi berjudi ayahnya, membuat harta mereka lambat laun habis hingga sedikit demi sedikit ia menjual tanahnya jika kalah berjudi. Ayah Sayoko gemar sekali mabuk, dan jika mabuk parah, kelakuannya kasar dan tidak menyenangkan. Mabuk ditambah kalah berjudi adalah bencana besar bagi Sayoko kecil kala itu. Ketika duduk di kelas 3 SD, ayah dan ibu Sayoko bercerai. Ibunya menikah lagi dan memiliki seorang anak perempuan, sedang ayahnya menduda untuk sekian lama. Menuju usia senja, ia kena serangan stroke. Sayoko mengambil alih bisnis yang menjadi satu-satunya penopang hidup keluarga itu. Selain mengurusi ini itu yang berkaitan dengan Chindon, ia pun harus mengurusi rumah serta ayahnya yang stroke sampai ayahnya meninggal dengan meninggalkan banyak hutang. Sayoko nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Tanpa sosok ibu, ia berjuang sendirian  mempertahankan Chindon, mengurus rumah dan ayah. Kondisi ini diperparah dengan para penagih hutang. Hutang-hutang akibat judi sang ayah. Perlahan, Sayoko menjual tanah milik keluarganya. Halaman yang dulunya penuh bunga-bunga yang ditanam ibunya, kini tinggal kenangan. Bahkan, Sayoko tak memiliki pohon Sakura sekali pun, pohon kebanggan orang-orang Jepang.

Sehari-hari Sayoko bekerja membuat nasi kotak di toko makanan. Desemeber tahun 2000, ia resmi menutup grup musik yang berusia puluhan tahun itu. Ia pun memutuskan menjual rumah yang telah lama ia urus. Tahun itu seakan titik balik baginya. Dan di tahun itu pula ia memutuskan berpisah dengan Tatsuro, lelaki pengangguran yang adalah kekasihnya yang telah 7 tahun hidup bersama. Tatsuro berusia hampir 10 tahun lebih muda dari Sayoko. Keputusan ini bukan ujug-ujug terjadi. Bintik-bintik perpisahan mereka telah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Setelah 5 tahun tinggal serumah, Sayoko mengandung. Peristiwa traumatik yang pernah terjadi dalam kehidupan mereka menyebabkan semuanya berubah. Mereka, yang tadinya erat dan mesra, mendadak berubah menjadi sepasang kekasih yang dingin. Komunikasi mereka menjadi kaku. Formal. Penuh basa-basi. Mereka menjadi pribadi yang saling menutup diri.

Di Jepang dewasa ini, semen leven merupakan fenomena yang biasa terjadi. Berpacaran, tinggal serumah, punya anak, kemudian menikah. Di Indonesia, ini kategorinya masih amoral barangkali, namun di Jepang, hal ini lumrah-lumrah saja.

Baik Tatsuro maupun Sayoko sama-sama punya trauma yang sulit mereka kalahkan. Minimnya kasih sayang ibu, sosok ayah yang tempramen, kasar, gemar berjudi, dan mabuk-mabukan, serta fase-fase perkembangan psikologis yang berantakan  membentuk Sayoko menjadi perempuan dengan lapisan-lapisan kepribadian yang kompleks.

Memang kisah ini adalah sebuah lakon drama. Namun, karya penulis Jepang, Wishing Chong, ini agaknya mungkin pula terjadi di sekitaran kita, di Indonesia, di Ciamis bahkan, tentu dengan bahasa simbol yang berbeda. Esensi tentang kerumpangan masa kecil, tentang trauma-trauma, tentang emosi-emosi yang direpresi, tentang komunikasi, tentang perjumpaan, perpisahan, seks, cinta, meski dengan bahasa simbol yang berlainan, namun agaknya cukup mampu melintasi ruang waktu yang berbeda dalam koteks budaya.           

Rengganis,
7 Februari 2017

Jeblog : Aku, Dia, dan Kalian


Yesterday is history. Tomorrow is mystery. And today is a gift. That's why it's called present. Begitu kira-kira nasihat Master Oogway dalam film Kungfu Panda 2. Jeblog karya Nazarudin Azhar adalah naskah drama yang banyak berbicara tautan seseorang dengan masa silamnya dan masa kini, hingga akhirnya masa depan.

Adalah Dalka, Sarwani, dan Burhan, tiga lelaki narapidana yang tinggal bersama dalam satu sel. Dalka divonis mati lantaran menghabisi nyawa 5 orang pelanggan ibunya yang seorang WPS (Wanita Penjaja Seks). Sarwani terpaksa berpisah dengan istrinya, Ratna, usai membunuh aparat pemerintahan desa yang tak henti menghina dan mendiskriminasi ia dan orang tuanya yang eks PKI. Ia muak dengan cap "anak PKI". Senasib dengan Dalka, ia divonis hukuman mati. Sedang Burhan tertangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah gagal meledakkan bom di sebuah kafe. Ia pernah menyelami dunia perdukunan sebelum tergabung dengan gerakan agama garis keras. Kabarnya, ia mati karena santet, sama seperti kedua orang tuanya. Kisah tiga lelaki itu dikemas dalam sebuah pertunjukan teater dalam rangka ujian akhir Strata 1 (S1) penyutradaraan oleh Vieoletta Estrella, mahasiswi jurusan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sabtu, 28 Januari 2017 pukul 20.00 WIB di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya.

Di  kiri bawah (depan) panggung hadir sebuah pintu berbentuk seperti pintu penjara, lengkap dengan rantai dan gembok. Bagian tengah kanan panggung terdapat peninggian berukuran lebih kurang 2 m x 1 m x 0,4 m berwarna abu-abu. Sedang di bagian kanan bawah (depan) terdapat set berbentuk jeruji. Tinggi jerujinnya beragam. Yang tertinggi sekitar 2,5 m. Satu set lagi menempel pada frame kanan panggung, masih bernuansa jeruji penjara. Agaknya semua set itu berbahan dasar kayu. Dari bagian atap, tiga batang paralon sebesar betis, ujungnya runcing, ada sapuan warna merah muda pada batangnya, panjangnya lebih dari 2 m, menukik dari arah kanan, kiri, dan belakang.

Musik pembuka, cahaya lampu panggung yang hadir secara tiba-tiba, perempuan berbaju putih yang berdiri di panggung, dan tiga lelaki yang berjalan dari tempat duduk penonton menuju panggung sembari meracau adalah rangkaian gimik yang membuka pertunjukan ini. Sekilas, lakon ini nampak cukup tegas membagi tiap adegan. Adegan pertama hadir cukup cair meski berisi dialog-dialog yang sebenarya cukup berat. Sarwani terlibat perdebatan kecil dengan Dalka yang sangat meyakini pentingnya imajinasi dalam kehidupan manusia. Burhan yang meyakini dirinya terbang, tak hentinya diolok-olok. Saat semua lelah dan mulai tertidur, Dalka masih setia menunggu Nyi Putri Bulan. Dalka kecil sering didongengi kisah Nyi Putri Bulan oleh ibunya. Agaknya kenangan itu terpatri kuat dalam ingatan. Ia sering berhalusinasi dikunjungi Nyi Putri Bulan. Dan malam itu, perempuan itu hadir. Nyi Putri Bulan datang berkunjung. Di tengah percakapan, perempuan itu mengaku sebagai ibu Dalka. Percakapan terus berlanjut, membongkar masa lalu, membongkar kepedihan seorang anak WPS.

Secara garis besar, agaknya lakon ini terbagi dalam 8 adegan. Alurnya utamanya masih setia dengan dramaturgi Aristotelian namun dengan solution ending. Adegan 1, 3, 5 berisi percakapan antara tiga tokoh itu, sedang adegan 2, 4, dan 6 adalah milik masing-masing tokoh. Di adegan 2, Dalka berjumpa dengan Nyi Putri Bulan dan ibunnya. Adegan 4, Sarwani dikunjungi istrinya, Ratna. Dan adegan 6 adalah milik Burhan. Seorang perempuan yang mengaku sebagai kawannya datang, mereka bercakap tentang perjalanan Burhan dari seorang penganut ilmu hitam menjadi “pengantin” di gerakan agama garis keras. Baik Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, istri Sarwani, atau pun kawan Burhan adalah perempuan yang sama. Ia seakan personifikasi dari halusinasi ketiganya. Satu realitas imajiner yang mewakili kerinduan masing-masing tokoh.

Klimaks lakon ini agaknya hadir pada adegan 7. Keempat tokoh berjumpa. Dalka, Sarwani, dan Burhan sama-sama meyakini bahwa perempuan berbaju putih yang ada dihadapan mereka adalah perempuan mereka. Dalka dengan Nyi Putri Bulannya, Sarwani dengan istrinya, dan Burhan dengan kawan seperjuangnnya. Si perempuan mengiyakan ketiganya. Ia adalah siapa yang mereka inginkan, namun juga bukan ketiganya. Paradoks. Perdebatan berakhir dengan kepergian perempuan berbaju putih itu ke arah penonton. Ini nyaris mirip dengan situasi dewasa ini. Masing-masing pihak mengklaim kebenaran secara mutlak dan memaksakannya pada pihak lain. Bentrokan pun tak terelakkan. Padahal kebenaran yang diperebutkan boleh jadi adalah realitas imajiner, realitas yang ada dalam kepala masing-masing. Seperti sebuah teks drama yang musti melewati fase interpretasi, pun demikian tiap realitas yang ada, muskil mengelak dari tafsir. Bukankah hidup adalah menafsir? Setidaknya demikian menurut para pemikir hermeneutik seperti Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan lainnya. Dan tafsir-tafsir inilah yang dipegang sebagai kebenaran. Persoalan muncul tatkala kebenaran ini diklaim secara mutlak oleh sebagaian pihak dan memaksakannya menjadi kebenaran general. Seperti Dalka, Sarwani, dan Burhan yang bertikai, merebut dan memaksakan kebenaran identitas si perempuan berbaju putih.

Pasca klimaks, adegan seolah melompati waktu. Dua orang sipir masuk pada adegan 8. Sembari membersihkan sel, mereka bercakap tentang sejarah sel itu. Ini semacam kilas balik. Salah seorang sipir mengisahkan bahwa dahulu sel itu dihuni oleh tiga narapidana. Dua adalah narapidana mati, sedang yang satu lagi dihukum seumur hidup dan mati lantaran santet. Sejak kematian mereka bertiga, sel itu tak pernah dihuni siapa pun, sengaja dikosongkan. Angker dan selalu menelan korban. Adegan ini juga berisi percakapan bernada kritik sosial, bagaimana koruptor selalu mendapat pelayanan khusus di penjara.     

Salah satu yang mengganjal dari pementasan ini ialah keberadaan tiga batang paralon yang menukik dari atap. Set itu sama sekali tak direspon dan seolah bukan bagian dari pertunjukan. Jika menggunakan kaca mata semiotik, bisa saja itu adalah simbol dari represi pada ketiga tokoh yang ada di bawahnya. Namun jika pun demikian, tekanan yang dimaksudkan sama sekali tak terasa. Tiga paralon itu seolah dekorasi tanpa relevansi yang jelas dengan teks maupun lakon. Dengan warna dominan coklat muda, tiga set jeruji yang hadir terasa kurang garang sebagai penjara. Ukurannya yang relatif kecil dengan perbandingan luas keseluruhan panggung, membuatnya kurang menggigit. Set seolah tidak kawin dengan para pemeran dan teks secara utuh. Dua jeruji di bagian kiri panggung malah nyaris tak tersentuh, seolah terpisah, tempelan saja.

Musik yang tersaji mengingatkan pada film-film tahun 80an – 90an. Terlebih ketika berusaha menghadirkan kesan horor, lewat musik, imaji seolah digiring ke film-film Suzana yang legendaris itu. Pada bagian lain, bunyi-bunyi dan ilustrasi musik terasa kental akan nuansa childness, kanak-kanak. Dan agaknya kesan ini cukup mendominasi. Hal ini diperkuat pula dengan hadirnya Nyi Putri Bulan “menunggangi” serupa awan yang fantatif, serta kemunculan kawan Burhan yang menggunakan otoped. Jika kesan ini hanya hadir pada adegan 2, ketika Dalka bernostalgia dengan ibunya, boleh jadi sesuai. Tingkah kenak-kanakan Wit Jabo Widiyanto, pemeran Dalka, pada adegan ini boleh dibilang cukup terasa. Alam batin Dalka yang imajinatif dan punya pautan kuat dengan masa kecil memungkinkan cita rasa kanak-kanak ini hadir di panggung. Namun sayangnya, cita rasa ini masih teras hadir di beberapa bagian lain. Cahaya lampu panggung yang cenderung colourfull pada bagian-bagian tertentu menambah kuat kesan fantasi khas anak-anak ini. Andarea Fatih (Sarwani) dan Kido (Burhan) pada adegan-adegan tertentu pun seakan larut dalam gerak dan sikap tubuh ludic, tubuh kanak-kanak.

Suasana Sunda masih sangat terasa lewat lidah-lidah keenam pemeran yang manggung. Jika ini memang kehendak teks atau tafsir, ini berhasil. Lentong Sunda ini masih teras kuat. Terlebih penggunaan diksi mah, téh, dan atuh masih bisa ditemukan dalam beberapa bagian dialog menambah kuat biografi teks yang dilahirkan dari rahim tatar priangan ini.

Hal lain yang menjadi catatan lain adalah tokoh perempuan berbaju putih (Ami). Perbedaan karakter antara Nyi Putri Bulan, ibu Dalka, Ratna, kawan Burhan, dan dirinya sendiri belum begitu kentara. Tidak adanya kostum atau rias penanda yang berbeda membuatnya musti ekstra dalam menciptakan lima karekater yang berbeda. Optimalisasi perangkat natural keaktoran sangat diperlukan agar tercapai bangunan karakter yang jelas.

Lepas dari pisau analisa apapun, pertunjukan ini layak mendapat apresiasi. Sajian ini cukup menghangatkan atmosfer teater di Tasikmalaya dan sekitarnya. Betapa pun, panggung teater, khususnya di daerah, harus berterima kasih pada para penggiat yang telah, masih, dan akan setia melakoni, mencumbuinya dengan segala tantangan yang barangkali tak ditemukan di kota-kota besar serupa Bandung, Jakarta, Yogya, dan lain sebagianya. Sebab pada akhirnya, teater tak bisa dicerabut dari rahim di mana ia lahir dan tumbuh. Cita rasa akan bertaut kuat dengan ruang di mana ia hidup dan melakon.

Bravo Teater...
Vita Bravis, Ars Longa...


Rengganis,

2 Februari 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...