Ah, sudah pasti
semua orang lahir dari dari rahim perempuan, yang lantas kita sebut ibu, mama,
ema, ambu, enya, dan lain-lain. Dan rahim itu jelas tidak ujug-ujug membesar
dan berisi. Ada momentum perjumpaan antara dua alat kelamin yang menyebabkan
bengkaknya perut perempuan, tepatnya perjumpaan sperma dan sel telur, lantas
menjadi embrio dan seterusnya, dan seterusnya hingga menjadi bayi. Ia lahir,
diasuh, tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Semua mungkin mafhum bahwa ibu, ema, mama, atau apa pun sebutannya, punya peran
yang sangat vital dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Namun, sosok lelaki yang biasa
disebut ayah, bapa, papa, atau apa pun itu juga tak kalah penting memberi
sumbangsih bagi perkembangan kepribadian manusia. Baik ayah maupun ibu punya
peran penting dalam pembentukan kepribadian anak. Sigmund Freud, tokoh
psikologi yang terkenal itu, cukup banyak berbicara tentang hal ini. Dari sudut
pandang lain, teori-teorinya tentang perkembangan kepribadian anak boleh
dibilang menyiratkan pentingnya hubungan
harmonis antara ayah ibu dan anak. Jika ada fase yang terlewat atau tak
terlaksana secara sempurna, gangguan kepribadian adalah hal yang sangat niscaya
terjadi di kemudian hari.
Meski sebagian kalangan agamawan ada yang meragukan
tesis-tesis Freud karena cenderung meniadakan Tuhan, namun sumbangsihnya bagi
ilmu psikologi tak bisa pula dibilang remeh. Setidaknya ada titik kesamaan jika
menilik dari sudut pentingnya kedekatan yang wajar orang tua dan anak. Bukankah
agama pun mengajarkan demikian? Tentu titik perjumpaan ini masih sangat mungkin
diperdebatkan. Dan tulisan ini bukan untuk membahas perselisihan Freudian dan
agamawan atau perjumpaan mereka.
Lepas dari pisau analisa ilmiah apa pun, keberadaan
ayah dan ibu sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Tak perlu
pisau analisa terlalu tajam untuk mengupas hal ini. Sekilas pun, hal ini sangat
kentara, meski untuk menelisik lebih dalam, perlu kemampuan ilmu tertentu.
Sedari lahir hingga terbilang dewasa, seorang anak idealnya
hidup dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan mendapat kasih sayang lahir
dan batin yang cukup. Ibu mengajarkan kelembutan, kesabaran, telaten, dan sisi
feminin lainnya. Sedang ayah melengkapinya dengan sisi maskulin yang
proporsional. Takaran untuk anak lelaki dan perempuan tentu berbeda, maka pola
pengasuhannya pun tak bisa dipukul rata. Belum lagi berkaitan dengan karakter
dasar si anak yang merupakan bawaannya secara genetik. Memang tak ada aturan
baku dalam mengasuh, namun tiap yang terjadi pasti menelorkan sesuatu. Maksudnya,
pola A akan menghasilkan A” dan sebagainya. Tinggal memilih saja, sebenarnya,
bergantung keyakinan. Toh, tiap kebudayaan pun punya sistem keyakinan dan ilmu
pengetahuan yang berlainan.
Lantas bagaimana jika seorang anak sedari kecil sudah
terpisah dari kedua atau salah satu orang tuanya? Ini kisah klasik, sudah
banyak dialami atau dibicarakan orang. Namun, ini tak pernah pula sepi dari
pembahasan. Bahkan banyak menjadi inspirasi untuk berbagai kajian ilmiah atau
menjadi karya seni.
Takahashi Sayoko, adalah seorang perempuan Jepang
berusia 40 tahun lebih. Ia mewarisi bisnis Chindon dari ayahnya. Chindon adalah
semacam grup musik jalanan tradisional Jepang yang biasa mengiklankan
produk-produk tertentu. Mereka biasa pentas di pinggiran jalan yang banyak dilalui
orang-orang. Menurut beberapa sumber, Osaka adalah tempat kelahiran kesenian
ini pada abad-19. Lantas kemudian berkembang ke Tokyo dan beberapa daerah
lainnya. Hingga kini, Chindon masih bisa dijumpai di Jepang meski dengan
keadaan yang jauh berbeda dengan masa jayanya dahulu.
Sayoko kecil hidup dalam kelimpahan harta. Rumahnya
punya halaman yang cukup luas. Chindon Sakuraya Gorohachi, grup Chindon milik
ayahnya, dulu merupakan jawara Chindon. Namun hobi berjudi ayahnya, membuat
harta mereka lambat laun habis hingga sedikit demi sedikit ia menjual tanahnya
jika kalah berjudi. Ayah Sayoko gemar sekali mabuk, dan jika mabuk parah,
kelakuannya kasar dan tidak menyenangkan. Mabuk ditambah kalah berjudi adalah
bencana besar bagi Sayoko kecil kala itu. Ketika duduk di kelas 3 SD, ayah dan
ibu Sayoko bercerai. Ibunya menikah lagi dan memiliki seorang anak perempuan,
sedang ayahnya menduda untuk sekian lama. Menuju usia senja, ia kena serangan
stroke. Sayoko mengambil alih bisnis yang menjadi satu-satunya penopang hidup
keluarga itu. Selain mengurusi ini itu yang berkaitan dengan Chindon, ia pun
harus mengurusi rumah serta ayahnya yang stroke sampai ayahnya meninggal dengan
meninggalkan banyak hutang. Sayoko nyaris tak punya waktu untuk dirinya
sendiri. Tanpa sosok ibu, ia berjuang sendirian mempertahankan Chindon, mengurus rumah dan
ayah. Kondisi ini diperparah dengan para penagih hutang. Hutang-hutang akibat
judi sang ayah. Perlahan, Sayoko menjual tanah milik keluarganya. Halaman yang
dulunya penuh bunga-bunga yang ditanam ibunya, kini tinggal kenangan. Bahkan,
Sayoko tak memiliki pohon Sakura sekali pun, pohon kebanggan orang-orang
Jepang.
Sehari-hari Sayoko bekerja membuat nasi kotak di
toko makanan. Desemeber tahun 2000, ia resmi menutup grup musik yang berusia
puluhan tahun itu. Ia pun memutuskan menjual rumah yang telah lama ia urus. Tahun
itu seakan titik balik baginya. Dan di tahun itu pula ia memutuskan berpisah
dengan Tatsuro, lelaki pengangguran yang adalah kekasihnya yang telah 7 tahun
hidup bersama. Tatsuro berusia hampir 10 tahun lebih muda dari Sayoko. Keputusan
ini bukan ujug-ujug terjadi. Bintik-bintik perpisahan mereka telah ada sejak beberapa
waktu yang lalu. Setelah 5 tahun tinggal serumah, Sayoko mengandung. Peristiwa traumatik
yang pernah terjadi dalam kehidupan mereka menyebabkan semuanya berubah. Mereka,
yang tadinya erat dan mesra, mendadak berubah menjadi sepasang kekasih yang
dingin. Komunikasi mereka menjadi kaku. Formal. Penuh basa-basi. Mereka menjadi
pribadi yang saling menutup diri.
Di Jepang dewasa ini, semen leven merupakan fenomena yang biasa terjadi. Berpacaran,
tinggal serumah, punya anak, kemudian menikah. Di Indonesia, ini kategorinya
masih amoral barangkali, namun di Jepang, hal ini lumrah-lumrah saja.
Baik Tatsuro maupun Sayoko sama-sama punya trauma
yang sulit mereka kalahkan. Minimnya kasih sayang ibu, sosok ayah yang
tempramen, kasar, gemar berjudi, dan mabuk-mabukan, serta fase-fase
perkembangan psikologis yang berantakan membentuk Sayoko menjadi perempuan dengan
lapisan-lapisan kepribadian yang kompleks.
Memang kisah ini adalah sebuah lakon drama. Namun,
karya penulis Jepang, Wishing Chong, ini agaknya mungkin pula terjadi di
sekitaran kita, di Indonesia, di Ciamis bahkan, tentu dengan bahasa simbol yang
berbeda. Esensi tentang kerumpangan masa kecil, tentang trauma-trauma, tentang
emosi-emosi yang direpresi, tentang komunikasi, tentang perjumpaan, perpisahan,
seks, cinta, meski dengan bahasa simbol yang berlainan, namun agaknya cukup
mampu melintasi ruang waktu yang berbeda dalam koteks budaya.
Rengganis,
7
Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar