Selasa, 07 Februari 2017

Boneka Rumpang


Ah, sudah pasti semua orang lahir dari dari rahim perempuan, yang lantas kita sebut ibu, mama, ema, ambu, enya, dan lain-lain. Dan rahim itu jelas tidak ujug-ujug membesar dan berisi. Ada momentum perjumpaan antara dua alat kelamin yang menyebabkan bengkaknya perut perempuan, tepatnya perjumpaan sperma dan sel telur, lantas menjadi embrio dan seterusnya, dan seterusnya hingga menjadi bayi. Ia lahir, diasuh, tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, dan seterusnya, dan seterusnya. Semua mungkin mafhum bahwa ibu, ema, mama, atau apa pun sebutannya, punya peran yang sangat vital dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Namun, sosok lelaki yang biasa disebut ayah, bapa, papa, atau apa pun itu juga tak kalah penting memberi sumbangsih bagi perkembangan kepribadian manusia. Baik ayah maupun ibu punya peran penting dalam pembentukan kepribadian anak. Sigmund Freud, tokoh psikologi yang terkenal itu, cukup banyak berbicara tentang hal ini. Dari sudut pandang lain, teori-teorinya tentang perkembangan kepribadian anak boleh dibilang  menyiratkan pentingnya hubungan harmonis antara ayah ibu dan anak. Jika ada fase yang terlewat atau tak terlaksana secara sempurna, gangguan kepribadian adalah hal yang sangat niscaya terjadi di kemudian hari.

Meski sebagian kalangan agamawan ada yang meragukan tesis-tesis Freud karena cenderung meniadakan Tuhan, namun sumbangsihnya bagi ilmu psikologi tak bisa pula dibilang remeh. Setidaknya ada titik kesamaan jika menilik dari sudut pentingnya kedekatan yang wajar orang tua dan anak. Bukankah agama pun mengajarkan demikian? Tentu titik perjumpaan ini masih sangat mungkin diperdebatkan. Dan tulisan ini bukan untuk membahas perselisihan Freudian dan agamawan atau perjumpaan mereka.

Lepas dari pisau analisa ilmiah apa pun, keberadaan ayah dan ibu sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Tak perlu pisau analisa terlalu tajam untuk mengupas hal ini. Sekilas pun, hal ini sangat kentara, meski untuk menelisik lebih dalam, perlu kemampuan ilmu tertentu.

Sedari lahir hingga terbilang dewasa, seorang anak idealnya hidup dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan mendapat kasih sayang lahir dan batin yang cukup. Ibu mengajarkan kelembutan, kesabaran, telaten, dan sisi feminin lainnya. Sedang ayah melengkapinya dengan sisi maskulin yang proporsional. Takaran untuk anak lelaki dan perempuan tentu berbeda, maka pola pengasuhannya pun tak bisa dipukul rata. Belum lagi berkaitan dengan karakter dasar si anak yang merupakan bawaannya secara genetik. Memang tak ada aturan baku dalam mengasuh, namun tiap yang terjadi pasti menelorkan sesuatu. Maksudnya, pola A akan menghasilkan A” dan sebagainya. Tinggal memilih saja, sebenarnya, bergantung keyakinan. Toh, tiap kebudayaan pun punya sistem keyakinan dan ilmu pengetahuan  yang berlainan.

Lantas bagaimana jika seorang anak sedari kecil sudah terpisah dari kedua atau salah satu orang tuanya? Ini kisah klasik, sudah banyak dialami atau dibicarakan orang. Namun, ini tak pernah pula sepi dari pembahasan. Bahkan banyak menjadi inspirasi untuk berbagai kajian ilmiah atau menjadi karya seni.

Takahashi Sayoko, adalah seorang perempuan Jepang berusia 40 tahun lebih. Ia mewarisi bisnis Chindon dari ayahnya. Chindon adalah semacam grup musik jalanan tradisional Jepang yang biasa mengiklankan produk-produk tertentu. Mereka biasa pentas di pinggiran jalan yang banyak dilalui orang-orang. Menurut beberapa sumber, Osaka adalah tempat kelahiran kesenian ini pada abad-19. Lantas kemudian berkembang ke Tokyo dan beberapa daerah lainnya. Hingga kini, Chindon masih bisa dijumpai di Jepang meski dengan keadaan yang jauh berbeda dengan masa jayanya dahulu.

Sayoko kecil hidup dalam kelimpahan harta. Rumahnya punya halaman yang cukup luas. Chindon Sakuraya Gorohachi, grup Chindon milik ayahnya, dulu merupakan jawara Chindon. Namun hobi berjudi ayahnya, membuat harta mereka lambat laun habis hingga sedikit demi sedikit ia menjual tanahnya jika kalah berjudi. Ayah Sayoko gemar sekali mabuk, dan jika mabuk parah, kelakuannya kasar dan tidak menyenangkan. Mabuk ditambah kalah berjudi adalah bencana besar bagi Sayoko kecil kala itu. Ketika duduk di kelas 3 SD, ayah dan ibu Sayoko bercerai. Ibunya menikah lagi dan memiliki seorang anak perempuan, sedang ayahnya menduda untuk sekian lama. Menuju usia senja, ia kena serangan stroke. Sayoko mengambil alih bisnis yang menjadi satu-satunya penopang hidup keluarga itu. Selain mengurusi ini itu yang berkaitan dengan Chindon, ia pun harus mengurusi rumah serta ayahnya yang stroke sampai ayahnya meninggal dengan meninggalkan banyak hutang. Sayoko nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Tanpa sosok ibu, ia berjuang sendirian  mempertahankan Chindon, mengurus rumah dan ayah. Kondisi ini diperparah dengan para penagih hutang. Hutang-hutang akibat judi sang ayah. Perlahan, Sayoko menjual tanah milik keluarganya. Halaman yang dulunya penuh bunga-bunga yang ditanam ibunya, kini tinggal kenangan. Bahkan, Sayoko tak memiliki pohon Sakura sekali pun, pohon kebanggan orang-orang Jepang.

Sehari-hari Sayoko bekerja membuat nasi kotak di toko makanan. Desemeber tahun 2000, ia resmi menutup grup musik yang berusia puluhan tahun itu. Ia pun memutuskan menjual rumah yang telah lama ia urus. Tahun itu seakan titik balik baginya. Dan di tahun itu pula ia memutuskan berpisah dengan Tatsuro, lelaki pengangguran yang adalah kekasihnya yang telah 7 tahun hidup bersama. Tatsuro berusia hampir 10 tahun lebih muda dari Sayoko. Keputusan ini bukan ujug-ujug terjadi. Bintik-bintik perpisahan mereka telah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Setelah 5 tahun tinggal serumah, Sayoko mengandung. Peristiwa traumatik yang pernah terjadi dalam kehidupan mereka menyebabkan semuanya berubah. Mereka, yang tadinya erat dan mesra, mendadak berubah menjadi sepasang kekasih yang dingin. Komunikasi mereka menjadi kaku. Formal. Penuh basa-basi. Mereka menjadi pribadi yang saling menutup diri.

Di Jepang dewasa ini, semen leven merupakan fenomena yang biasa terjadi. Berpacaran, tinggal serumah, punya anak, kemudian menikah. Di Indonesia, ini kategorinya masih amoral barangkali, namun di Jepang, hal ini lumrah-lumrah saja.

Baik Tatsuro maupun Sayoko sama-sama punya trauma yang sulit mereka kalahkan. Minimnya kasih sayang ibu, sosok ayah yang tempramen, kasar, gemar berjudi, dan mabuk-mabukan, serta fase-fase perkembangan psikologis yang berantakan  membentuk Sayoko menjadi perempuan dengan lapisan-lapisan kepribadian yang kompleks.

Memang kisah ini adalah sebuah lakon drama. Namun, karya penulis Jepang, Wishing Chong, ini agaknya mungkin pula terjadi di sekitaran kita, di Indonesia, di Ciamis bahkan, tentu dengan bahasa simbol yang berbeda. Esensi tentang kerumpangan masa kecil, tentang trauma-trauma, tentang emosi-emosi yang direpresi, tentang komunikasi, tentang perjumpaan, perpisahan, seks, cinta, meski dengan bahasa simbol yang berlainan, namun agaknya cukup mampu melintasi ruang waktu yang berbeda dalam koteks budaya.           

Rengganis,
7 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...