Jumat, 04 September 2020

Merawat Kendaraan

 

Menggunakan teater sebagai kendaraan pengantar pesan bukanlah sesuatu yang keliru. Dalam budaya Nusantara, karya seni tidak bisa sepenuhnya merdeka tanpa beban makna. Dengan sendirinya karya adalah wadag makna atau kendaraan pengantar pesan. Ia mustilah mengandung makna di luar dirinya sendiri. Merahnya sekujur tubuh Rahwana dalam wayang golek, misalnya,   mengandung makna (baca: pesan) selain merah itu sendiri. Merah Rahwana adalah amarah, angkara murka, keserakahan, dan hal semacam itu.

 

Seni—dan tentu saja teater—di era moderen tidak selalu demikian adanya. Dipengaruhi perkembangan filsafat dan seni di bagian bumi Barat, semangat dan upaya seni moderen untuk membebaskan diri dari beban makna meluas ke seatero planet. Karya seni bisa lahir dan hadir secara bebas tanpa beban makna di luar dirinya sendiri. Sehelai kain merah yang muncul dalam sebuah adegan pertunjukan teater tidak harus mengandung makna amarah, nafsu, komunisme, darah, partai politik tertentu, atau apa saja di luar dirinya sendiri. Bisa dan boleh saja ia tak berarti apapun kecuali dirinya sendiri: kain merah. Dirasa mencukupi cita rasa estetis sang sutradara adalah  alasan yang sudah lebih dari cukup untuk kain merah itu lahir dan hadir di panggung.

 

Namun, sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini, menggunakan teater sebagai wadag makna, kendaraan pengantar pesan, bukanlah sesuatu yang keliru. Yang (setidaknya menurut saya) keliru adalah mengabaikan kendaraan itu karena terlalu berorientasi pada tujuan. Kepentingan hasil mengalahkan kekhusukan berproses.

 

Ngomong-ngomong tentang kendaraan, saya bukan tipe orang yang telaten merawat kendaraan. Motor Honda Karisma tunggangan saya, kalau saja dia bisa bicara pasti sudah mengeluh sakit ini sakit itu, minta ini minta itu.

 

Bulan lalu, tiap kali ia saya tunggangi, jalannya tidak pernah lancar. Perilakunya seperti kehabisan bensin padahal tanki masih penuh. Usut punya usut, ternyata sistem kelistrikannya yang bermasalah. Hal itu saya ketahui setelah bolak-balik ke bengkel, ganti ini ganti itu. Montir sampai  keheranan menangani motor saya. Penyakit yang dideritanya terbilang langka. Biaya pengobatannya yang terbilang mahal buat kantong saya jadi sebab mengapa hingga saat tulisan ini saya buat, upaya penyembuhannya belum saya tuntaskan.

 

Gara-gara kesehatannya yang tidak prima, saya jadi ikut kena dampak. Tujuan saya jadi sering terganggu. Niat hati sampai ke tempat tujuan jam satu siang, lantaran motor batuk-batuk dan mogok, butuh waktu dua kali lipat untuk menempuh perjalanan. Kadang, baru selepas Ashar saya tiba di tempat tujuan kerena harus mengantar Honda Karisma saya ke bengkel. Agenda, tujuan, yang telah saya susun sedemikian rupa, ambyar.

 

Motor memang sekedar alat. Gagasan utamanya: saya sampai ke tujuan. Bisa saja saya menumpang kendaraan umum, pinjam motor lain yang lebih sehat, naik ojek, dan lain sebagainya. Namun, tiap alat, tiap kendaraan, pasti punya persoalannya masing-masing.

 

Dalam konteks menyampaikan pesan, memang benar, teater sekedar alat. Sebagian orang kadang memandangnya tidak terlalu penting dibanding tujuannya: menyampaikan pesan. Yang terpenting pesan sampai. Kalau teater dianggap obrok-obrok, seperti motor Honda Karisma saya, tidak prima sebagai kendaraan pengantar pesan, mengantinya dengan kendaraan yang lebih laik adalah salah satu pilihan yang masuk akal.

 

Tapi, sekali lagi, tiap kendaraan, tiap alat, pasti punya persoalan masing-masing. Lagi pula, tidak semua kendaraan cocok untuk semua tujuan. Honda Karisma saya tidak bisa mengambang di laut, tidak pula bisa terbang di awang-awang. Jika harus berkendara melintas laut, mau tak mau, saya harus pilih antara kapal laut atau kapal udara. Bisa saja motor saya ikut, tapi juga pasti menumpang salah satu di antara kedua kendaraan itu.

 

Sebaliknya, repot jika harus menumpang pesawat terbang ketika saya hendak pergi dari rumah ke pasar yang jaraknya hanya tiga kilometer.

 

Anggaplah jenis kendaraan pengantar pesan itu telah ditentukan dan disepakati. Nah, persoalan selanjutnya adalah kondisi kendaraan. Agar perjalanan pengantaran pesan itu lancar dan tiap halang rintang mampu diatasi dengan baik, kendaraan harus berada dalam kondisi yang paling prima.   

 

Seperti motor, teater juga punya banyak komponen yang kerjanya saling mempengaruhi satu sama lain. Aktor yang bertalenta tetapi tidak dikelola dengan tepat jam latihannya, akan membuahkan hasil yang tanggung. Gagasan artistik yang keren tanpa dukungan tim manajemen keuangan yang handal, ya, rumpang sana-sini pastilah ada.

 

Kalau sudah begitu, kalau rumpang sana rumpang sini, kalau aktingnya tanggung, konsep panggungnya mentah, kalau tubuhnya tidak jujur, kalau wadag makna itu, kendaraan pengantar pesan itu, obrok-obrok seperti Honda Karisma saya, pesan yang hendak disampaikan pun sedikit banyak akan terdistorsi atau bahkan ambyar bin amburadul seperti tujuan saya yang berantakan gara-gara motor mogok.

 

Tujuan itu penting dan proses menuju tujuan itu sama pentingnya. Terlalu berorientasi pada tujuan, pada hasil, sampai-sampai abai pada proses, pada jalan, pada kendaraan, itu bahaya juga. Oleng. Tidak seimbang.

 

Idealnya, sebuah garapan teater itu komprehensif, holistik, menyeluruh. Gagasan dan ide sama pentingnya dengan persoalan teknis-operasional. Tujuan dan kendaraan sama pentingnya. Itu pun jika sepakat bahwa teater adalah “realitas”, kasunyatan. Bukankah “realitas” adalah totalitas segala kualitas di dalam dan di luar “aku”?

 

Kehendak akan adanya meja, umpamanya, tidak akan pernah menjadi realitas jika tidak ada laku yang mengupayakan hal tersebut. Gagasannya: ada meja. Teknisnya: bikin, beli, pinjam, minta, atau mencuri. Kalau bikin, siapa yang mengerjakan? Bikin sendiri atau menyuruh orang lain? Cat mejanya warna apa? Bentuknya seperti apa? Kalau mencuri, mencuri dari mana/siapa?

 

Seorang maestro teater pernah berkata bahwa teater adalah memanusiakan ide-ide. Dunia manusia bukan hanya berisi gagasan yang ngawang-ngawang dan konsep abstak saja, melainkan hal-hal yang konkret, yang teknis, juga bagian dari hidup manusia. Tujuan dan cara mencapainya, kendaraannya, keduanya urusan manusia. Keduanya sama pentingnya. Tinggal berbagi peran saja, siapa jadi apa. Bukankah dunia ini panggung sandiwara?

 

Panjalu, September 2020 


keterangan gambar:

Pementasan "Sabil" (adaptasi naskah "Wanita Yang Diselamatkan karya Arthur S. Nalan). Sutradara Ridwan Hasyimi. Produksi Gawe Bareng Sakola Motekar dan Gardu Teater, Ciamis, 27 Agustus 2020.


Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...