Menggunakan
teater sebagai kendaraan pengantar pesan bukanlah sesuatu yang keliru. Dalam
budaya Nusantara, karya seni tidak bisa sepenuhnya merdeka tanpa beban makna.
Dengan sendirinya karya adalah wadag
makna atau kendaraan pengantar pesan. Ia mustilah mengandung makna di luar
dirinya sendiri. Merahnya sekujur tubuh Rahwana dalam wayang golek, misalnya, mengandung makna (baca: pesan) selain merah
itu sendiri. Merah Rahwana adalah amarah, angkara murka, keserakahan, dan hal
semacam itu.
Seni—dan tentu
saja teater—di era moderen tidak selalu demikian adanya. Dipengaruhi perkembangan
filsafat dan seni di bagian bumi Barat, semangat dan upaya seni moderen untuk
membebaskan diri dari beban makna meluas ke seatero planet. Karya seni bisa
lahir dan hadir secara bebas tanpa beban makna di luar dirinya sendiri. Sehelai
kain merah yang muncul dalam sebuah adegan pertunjukan teater tidak harus
mengandung makna amarah, nafsu, komunisme, darah, partai politik tertentu, atau
apa saja di luar dirinya sendiri. Bisa dan boleh saja ia tak berarti apapun
kecuali dirinya sendiri: kain merah. Dirasa mencukupi cita rasa estetis sang
sutradara adalah alasan yang sudah lebih
dari cukup untuk kain merah itu lahir dan hadir di panggung.
Namun,
sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini, menggunakan teater sebagai wadag makna, kendaraan pengantar pesan,
bukanlah sesuatu yang keliru. Yang (setidaknya menurut saya) keliru adalah
mengabaikan kendaraan itu karena terlalu
berorientasi pada tujuan. Kepentingan hasil mengalahkan kekhusukan berproses.
Ngomong-ngomong
tentang kendaraan, saya bukan tipe orang yang telaten merawat kendaraan. Motor
Honda Karisma tunggangan saya, kalau saja dia bisa bicara pasti sudah mengeluh
sakit ini sakit itu, minta ini minta itu.
Bulan lalu, tiap
kali ia saya tunggangi, jalannya tidak pernah lancar. Perilakunya seperti
kehabisan bensin padahal tanki masih penuh. Usut punya usut, ternyata sistem
kelistrikannya yang bermasalah. Hal itu saya ketahui setelah bolak-balik ke
bengkel, ganti ini ganti itu. Montir sampai keheranan menangani motor saya. Penyakit yang
dideritanya terbilang langka. Biaya pengobatannya yang terbilang mahal buat
kantong saya jadi sebab mengapa hingga saat tulisan ini saya buat, upaya
penyembuhannya belum saya tuntaskan.
Gara-gara
kesehatannya yang tidak prima, saya jadi ikut kena dampak. Tujuan saya jadi
sering terganggu. Niat hati sampai ke tempat tujuan jam satu siang, lantaran
motor batuk-batuk dan mogok, butuh waktu dua kali lipat untuk menempuh
perjalanan. Kadang, baru selepas Ashar saya tiba di tempat tujuan kerena harus
mengantar Honda Karisma saya ke bengkel. Agenda, tujuan, yang telah saya susun
sedemikian rupa, ambyar.
Motor memang sekedar alat. Gagasan utamanya: saya
sampai ke tujuan. Bisa saja saya menumpang kendaraan umum, pinjam motor lain
yang lebih sehat, naik ojek, dan lain sebagainya. Namun, tiap alat, tiap
kendaraan, pasti punya persoalannya masing-masing.
Dalam konteks
menyampaikan pesan, memang benar, teater sekedar
alat. Sebagian orang kadang memandangnya tidak terlalu penting dibanding
tujuannya: menyampaikan pesan. Yang terpenting pesan sampai. Kalau teater
dianggap obrok-obrok, seperti motor Honda Karisma saya, tidak prima sebagai
kendaraan pengantar pesan, mengantinya dengan kendaraan yang lebih laik adalah
salah satu pilihan yang masuk akal.
Tapi, sekali
lagi, tiap kendaraan, tiap alat, pasti punya persoalan masing-masing. Lagi
pula, tidak semua kendaraan cocok untuk semua tujuan. Honda Karisma saya tidak
bisa mengambang di laut, tidak pula bisa terbang di awang-awang. Jika harus
berkendara melintas laut, mau tak mau, saya harus pilih antara kapal laut atau
kapal udara. Bisa saja motor saya ikut, tapi juga pasti menumpang salah satu di
antara kedua kendaraan itu.
Sebaliknya,
repot jika harus menumpang pesawat terbang ketika saya hendak pergi dari rumah
ke pasar yang jaraknya hanya tiga kilometer.
Anggaplah jenis
kendaraan pengantar pesan itu telah ditentukan dan disepakati. Nah, persoalan
selanjutnya adalah kondisi kendaraan. Agar perjalanan pengantaran pesan itu
lancar dan tiap halang rintang mampu diatasi dengan baik, kendaraan harus
berada dalam kondisi yang paling prima.
Seperti motor,
teater juga punya banyak komponen yang kerjanya saling mempengaruhi satu sama
lain. Aktor yang bertalenta tetapi tidak dikelola dengan tepat jam latihannya,
akan membuahkan hasil yang tanggung. Gagasan artistik yang keren tanpa dukungan
tim manajemen keuangan yang handal, ya, rumpang sana-sini pastilah ada.
Kalau sudah
begitu, kalau rumpang sana rumpang sini, kalau aktingnya tanggung, konsep
panggungnya mentah, kalau tubuhnya tidak jujur, kalau wadag makna itu, kendaraan pengantar pesan itu, obrok-obrok seperti
Honda Karisma saya, pesan yang hendak disampaikan pun sedikit banyak akan
terdistorsi atau bahkan ambyar bin amburadul seperti tujuan saya yang
berantakan gara-gara motor mogok.
Tujuan itu
penting dan proses menuju tujuan itu sama pentingnya. Terlalu berorientasi pada
tujuan, pada hasil, sampai-sampai abai pada proses, pada jalan, pada kendaraan,
itu bahaya juga. Oleng. Tidak seimbang.
Idealnya, sebuah
garapan teater itu komprehensif, holistik, menyeluruh. Gagasan dan ide sama pentingnya
dengan persoalan teknis-operasional. Tujuan dan kendaraan sama pentingnya. Itu
pun jika sepakat bahwa teater adalah “realitas”, kasunyatan. Bukankah “realitas” adalah totalitas segala kualitas di
dalam dan di luar “aku”?
Kehendak akan
adanya meja, umpamanya, tidak akan pernah menjadi realitas jika tidak ada laku
yang mengupayakan hal tersebut. Gagasannya: ada meja. Teknisnya: bikin, beli,
pinjam, minta, atau mencuri. Kalau bikin, siapa yang mengerjakan? Bikin sendiri
atau menyuruh orang lain? Cat mejanya warna apa? Bentuknya seperti apa? Kalau
mencuri, mencuri dari mana/siapa?
Seorang maestro
teater pernah berkata bahwa teater adalah memanusiakan ide-ide. Dunia manusia
bukan hanya berisi gagasan yang ngawang-ngawang dan konsep abstak saja,
melainkan hal-hal yang konkret, yang teknis, juga bagian dari hidup manusia. Tujuan
dan cara mencapainya, kendaraannya, keduanya urusan manusia. Keduanya sama
pentingnya. Tinggal berbagi peran saja, siapa jadi apa. Bukankah dunia ini
panggung sandiwara?
Panjalu, September 2020
keterangan gambar:
Pementasan "Sabil" (adaptasi naskah "Wanita Yang Diselamatkan karya Arthur S. Nalan). Sutradara Ridwan Hasyimi. Produksi Gawe Bareng Sakola Motekar dan Gardu Teater, Ciamis, 27 Agustus 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar