Gara-gara
corona, sholat berjamaah jadi berjarak. Demikian dianjurkan MUI dan demikian
praktiknya di beberapa mesjid. Di Masjidil Haram juga. Yang lucu, mereka—sebagian
masyarakat, atau kami, atau saya—sholat berjarak serentangan tangan tapi
berswafoto berdempetan. Erat. Bahkan bersalaman tanda maaf-maafan ketika
lebaran.
Sebagian
menyarankan sholat Id di rumah. Sekeluarga saja. mungkin karena turut fatwa
jadi berjarak juga. Anak perempuan dan ibu, anak lelaki dan ayah, berjarak.
Padahal serumah, makan bersama, duduk sesofa. Ayah dan ibu malah sekasur. Tidak
berjarak.
Kalau yakin
betul, percaya, ia atau mereka tak bervirus, tidak usah berjarak juga tak apa. Memaksa
berjarak malah jadi lucu. Atau aneh. Paradoks. Dengan anak sendiri, yang tiap
hari dipeluk cium, tapi sholat berjauhan sebab manut anjuran. Semalam sepasang
pasutri berhubungan badan. Dempet sekali. Bertukar ludah. Besoknya, mereka duduk
berjauhan dalam satu mobil agar tidak kecipratatan percikan air ludah (droplet). Patuh aturan.
Tapi, ya, memang
repot juga kalau petugas harus bertanya apakah mereka yang semobil itu suami
istri atau keluarga yang tinggal serumah. Harus cek buku nikah atau Kartu
Keluarga. Jadi, ya, pukul rata saja: harus berjarak. Masa darurat memang aneh.
Jarak dibuat
sebagai antisipasi terpapar percikan air ludah yang padanya virus bisa hidup. Intinya
bukan jarak tapi antisipasi terkena percikan air ludah yang, jangan-jangan,
mengandung SARS-CoV-2.
“Jangan-jangan”
itu manifestasi “entah”. Ketidaktahuan memang sering bikin gelagapan. Sebab
tidak tahu dan darurat, kita jadi percaya saja pada pemerintah. Manut tanpa
bertanya. Mungkin, dalam kondisi normal kita sering tidak percaya pada
pemerintah: omongannya, anjurannya, kebijakannya, apalagi janji. Tapi, ya,
karena terdesak, akhirnya percaya juga.
Kenapa harus
percaya pemerintah? WHO? Kenapa harus percaya?
Sebab manusia tidak tahan berada dalam “entah” lama-lama. Harus ada yang
menjawab “entah” kita. Ketidaktahuan kita. Sampai saat ini, mereka yang kita
anggap punya jawabannya, meski tak terlalu pasti. Agama juga menganjurkan
menyerahkan sesuatu pada ahlinya. Tidak perlu punya jawaban sendiri. Cukup makmum
pada yang ‘alim.
Nah, yang ‘alim, yang pura-pura ‘alim, yang sok ‘alim kini campur aduk. Sang ‘alim
A dan sang ‘alim B berdebat tentang
corona, hal biasa dalam dunia ilmu pengetahuan. Tapi sebagian rakyat tidak
biasa. Inginnya yang pasti-pasti. Apalagi dalam masa darurat. Perdebatan itu
bisik-bisik saja. Jangan sampai wartawan tahu. Jangan sampai YouTube tahu.
Bahaya! Lama-lama, bisa bikin rontok kepercayaan.
Kalau saja sejak
kanak-kanak diajarkan bahwa ilmu pasti itu tidak pasti-pasti amat, perbedaan
pandangan para ‘alim, para ilmuwan,
tidak terlalu membuat kaget. Dulu orang percaya bumi datar dan dikelilingi
matahari. Kitab Suci bilang begitu, masa tidak percaya. Setelah ilmu makin
berkembang, dogma itu runtuh. Bumi itu bulat dan berputar mengelilingi
matahari. Bukan geosentris tapi heliosentris. Kitab Suci disingkirkan. Atau
dikoreksi. Atau, setidaknya, direinterpretasi.
Belakangan,
gagasan bumi datar itu ramai lagi. Tidak hanya berdasar “ilmu pasti” tapi juga
dibubuhi teori konspirasi. Pandemi ini juga tidak sepi dari teori konspirasi.
Katanya, virus ini buatan segelintir orang. Tujuannya duit, dengan cara jual
vaksin. Ada juga yang menyisipkkan kemungkinan depopulasi umat manusia. Demi
kebaikan umat manusia dan alam, sebagian manusia harus mati. Mirip-mirip
gagasan Hitler ketika membantai Yahudi dan orang-orang cacat.
Manusia tidak
tahu asal muasal dan mau ke mana akhirnya. Agama memberi tahu, memberi jawaban.
Sebagian percaya. Kemudian, setelah akal “cukup maju”, agama disingkirkan.
Manusia punya jawabannya sendiri atas misteri sangkan paran. Sebagian mengoreksi jawaban lama. Sebagian tidak. Keukeuh pada iman dan agama. Sebagian
ambil jalan tengah: agnostik.
Dalam ilmu alam,
bidang yang mengkaji virus namanya virologi. Tapi, karena agama membahas dan
mengurusi semua aspek kehidupan, hal ihwal virus juga bisa dibahasnya: virus
adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan bukan tanpa tujuan. Tujuannya apa?
Ujian, cobaan, teguran, azab, agar manusia makin bertakwa, agar manusia yakin
bahwa hidup jangan jumawa: oleh mahluk miskroskopik begitu saja kacau seisi
dunia. Tuhan, gitu lho. Maha Kuasa. Demikian,
sebagian, yang beredar luas di media. Perenungan para tokoh agama.
Apakah “jawaban”
itu membuat umat tenang? Ada yang tenang. Ada juga yang tetap resah. Ada yang
puas. Ada yang masih penasaran.
“Entah” pupus
dengan jawab. Terlepas dari benar atau tidak jawaban itu, tapi akhirnya jadi
“tahu”. Yang bikin cemas itu, panik itu, ketidaktahuan. Ketidakpastian. Bukan
ketidakbenaran. Kasarnya, salah juga tak apa asal pasti. Asal jelas.
Tapi, hati-hati.
Kesalahan yang dilazimkan bisa jadi kebenaran juga ujung-ujungnya. Seperti
kesasar di jalan. Bisa saja kesasar sebab jalanan samar. Lagi pula, kalau terus
jalan, lama-lama asik juga menikmati ketersasaran. Yang lain juga banyak yang
kesasar. Sadar dan menyesal kesasar setelah sampai tujuan. Maksud hati ke A,
karena salah ambil jalan, malah sampai ke Q. Kan jauh sekali. Untuk kembali ke
“jalan yang benar” harus putar balik. Melelahkan.
Sayangnya, tidak
ada putar balik dalam rute hidup. Sudah mati, ya, sudah. Tapi dogma eskatologi agama
cukup menenangkan. Mati sejatinya bukan tamat, selesai, melainkan “hanya”
meningggal(kan) dunia (fana ini). Nanti, bakal hidup lagi (di dunia kekal): sorga
atau neraka.
Eits, jangan
terninabobokan. Lagi pula, dunia kekal itu bukan “wilayah hukum” manusia. Kalau
mau terima, iman, terima saja sebagai kabar gembira. Atau jadikan sebagai
motivasi. Kalau tidak terima, jangan nyinyir pada yang menerima. Biasa saja.
Normal
Baru
Pemerintah
Indonesia membuat skenario Normal Baru. Nadi ekonomi akan kembali didenyutkan.
Bertahap. Intinya, kegiatan ekonomi dan lain sebagainya akan berjalan lagi
tetapi dengan variabel baru: protokol kesehatan COVID-19. Tapi, apakah cuma itu
isinya Normal Baru?
Yang diurusi
pemerintah memang itu. Regulasi. Aturan. Tapi, yang terkoreksi bukan cuma hal
ihwal aturan kerja. Bukan sekedar ekonomi. Sistem nilai di masyarakat juga akan
terkoreksi dengan sendirinya. Sebagian orang boleh jadi akan menerapkan
kecurigaan alih-alih waspada dan hati-hati terhadap pendatang. Apalagi yang datang
dari zona merah.
Atau mungkin
orang-orang sudah muak dan lelah dengan syak wasangka. Akhirnya ambil jalan
tegas: membolehkan sama sekali atau melarang sekalian. Jalan tengah selalu
melelahkan. Harus jaga keseimbangan. Tidak terlalu curiga. Tidak terlalu
percaya. Gara-garanya: “entah”.
Hidup dengan
Normal Baru adalah hidup dengan sang “entah”. Hidup dengan “jangan-jangan”.
Awalnya pasti kagok, kikuk, kaku. Merasa aneh. Tidak boleh berdempetan. Harus
ber-masker. Sementara pemeriksaan dan pengobatan berlangsung di laboratorium
dan rumah sakit, pencegahan akan terjadi
di mana-mana. Inilah Normal Baru.
Dunia kosmetik
dan kecantikan wajah akan mengalami pukulan berat. Produsen pemerah bibir atau
pengharum nafas pasti cari akal biar selamat. Mungkin banting stir jadi
produsen masker sebab akan jadi mode juga akhirnya. Jadi fesyen. Akan ada
masker berenda, masker bertahta intan berlian, masker yang dijahit dengan
benang emas. Atau mungkin masker transparan anti sesak.
Kelak,
popularitas masker akan bersaing—secara bisnis—dengan face shield (pelindung wajah). Atau bisa saja memproduksi keduanya.
Sekaligus. Ah, bisnis memang selalu bisa menemukan celah. Dan selalu ada
pembeli yang bersedia “ditipu.”
Setelah masa
kagok itu, semua akan biasa-biasa saja. Akan “normal”. Wajah bermasker adalah
kewajaran. Yang tidak, boleh jadi mendapat cibiran. Meja restoran bersekat
adalah kelaziman. Warteg-warteg akan cari akal sebab “ruang makannya” tak cukup
luas untuk turut protokol kesehatan.
Bagaimana nasib
karnaval, festival-festival, pasar malam, tradisi dan kesenian etnik yang
melekat padanya keberdempetan, keberdesakan, intimasi fisik? Agak sukar
membayangkan Grebek Syawal di Yogyakarta atau panjat pinang Agustusan dengan
jarak fisik. Lantas, apakah tradisi dan hal komunal nan berdesak-desakan
semacam itu akan punah dengan sendirinya? Oleh sang “entah”?
Wabah Maut Hitam
yang melanda Eropa dan Asia 700-an tahun lalu mengajarkan banyak hal. Betapa
sang “entah” membuat koyak kehidupan. 75 juta orang mati. Ribuan Yahudi dan
“yang liyan” diburu sebab diyakini sebagai pembawa petaka wabah. Tatanan sosial
dan budaya saat itu porak-poranda.
Bencana Virus
Corona 2019 tidak semerusak itu. Mudah-mudahan. Ilmu pengetahuan lebih maju
dari 7 abad lalu. Kecurigaan tanpa dasar—seperti memburu Yahudi—akan
ditertawakan. Bahkan tabrakan dengan HAM. Sang “entah” tidak terlalu mengerikan
seperti di masa lalu. Tapi ia tetap ada.
Jika dahulu sang
“entah” muncul karena kurangnya informasi dan pengetahuan, kini ia muncul
justru karena terlalu banyaknya, banjirnya, informasi dan pengetahuan. Selamat
datang di era Pasca Kebenaran. Masa ketika kebenaran menjadi “benar” sejauh ia
viral dan diimani banyak orang. Benar bukan kualitas. Kini, ia jadi kuantitas.
Normal Baru
pasca pandemi yang terjadi di era Pasca Kebenaran butuh kewarasan yang ajeg dan
konsisten untuk dilakoni. Sementara itu, harapan harus terus nyala dan
diupayakan. Bahan bakarnya adalah percaya.
Iman pada sorga
atau tidak, konsiprasi atau bukan, yakinlah corona ini akan berlalu. Percayalah
pada siapa pun, apa pun, yang menawarkan optimisme. Salah atau benar
kepercayaan kita, itu urusan nanti. Percaya saja dulu, agar harapan tak mati.
Sambil terus waspada.
Seperti kata
Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam serat Kalathida-nya: “….begja-begjane kang lali, luwih
begja kang eling lawan waspada”. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
lebih bahagia orang yang eling
(sadar, ngeh, ingat) dan waspada.
Bagaimanapun
nantinya Normal Baru itu, masih berjarak atau tidak sholat berjamaah kelak, life must go on!
Panjalu,
26 Mei 2020
Tayuban, suatu ketika tahun 2009 di Padepokan Seni Rengganis Ciamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar