Nonton teater
dan nonton video (dokumentasi) teater adalah dua hal yang berbeda. Video teater adalah arsip, bukan
teater itu sendiri. Dewasa ini, karena larangan berkumpul akibat pandemi,
banyak kelompok atau seniman teater yang menyelenggarakan pertunjukannya dalam
jaringan (online). Yang ditonton,
tentu saja, video.
Ada yang disiarkan
langsung (live streaming) baik di
YouTube, Facebook, Instagram, atau media lainnya. Ada juga yang disiarkan
secara tak langsung. Beberapa media penyiaran video memiliki pengaturan agar
video yang ditayangkan hanya bisa disaksikan pada saat ia disiarkan. Artinya
video tersebut tidak tersimpan di dunia maya, tidak dapat disaksikan
berulang-ulang.
Hal ini mirip
cara nonton teater secara langsung. Menunggu tayangnya video tersebut persis
seperti menunggu dimulainya pertunjukan di “panggung”. Dan ketika pertujukan
selesai, penonton tak bisa memutar ulang video itu. Video itu langsung dan sementara, namun tak “di sini”.
Prihal “di sini”,
memang bisa diperdebatkan bila definisi ruang mengalami koreksi atau diperluas.
Dalam konteks nonton teater secara konvensional (luring/luar jaringan), “di
sini” dapat dimaknai penonton dan pemain sama-sama berada di satu ruang yang sama, yakni ruang
pertunjukan. Keduanya sama-sama menciptakan “panggung”. Penonton dan pemain tak
butuh media apa pun untuk berinteraksi. Di sanalah letak “ketelanjangan”
teater.
Nah, dalam
teater daring, ruang itu tetap ada. Penonton dan pemain tetap berjumpa di ruang
yang sama: ruang maya. Ruang yang diciptakan dari rangkaian algoritma rumit.
Penonton dan pemain sama-sama meninggalkan ruang tempat tubuh mereka berada.
Yang “hadir
menonton” adalah wakil tubuh dalam bentuk data. Bahkan semuanya telah
ditransformasi menjadi data. Video, ketika masuk jaringan internet, kan jadi
data.
Peristiwa teater
direkam. Peristiwa yang sedemikian kompleks itu dimampatkan menjadi data sekian
gigabita (byte). Lantas diunggah ke
jaringan internet. Enkode. Jadi algoritma. Biasanya termampatkan menjadi lebih
kecil. Ter-compress. Kini peristiwa
itu adalah deretan angka, huruf, tanda baca, dan simbol matematis lainnya.
Agar dapat
ditonton, kode-kode itu harus diterjemahkan. Dekode. Menjadi sajian audio
visual. Menonton teater daring tidak “sesederhana” menonton teater secara
konvensional. Musti ada perangkat teknologi yang mendukung. Termasuk jaringan
internet dan biaya untuk mengaksesnya.
Teknologi itu,
sebut saja media. Atau jembatan. Teater yang disiarkan langsung maupun tak
langsung sama-sama membutuhkan jembatan agar sampai kepada penonton, dengan
reduksi seminimal mungkin.
Secara
sederhana, jembatan itu bisa berupa alat rekam, perangkat keras dan perangkat
lunak yang menungjang semua kegiatan dalam jaringan, aksesibilitas jaringan internet,
dan media penyiar video (YouTube, Facebook, IG, dll.)
Begitu panjang
perjalanan teater agar dapat genap menjadi peristiwa. Itu pun peristiwa
“separo” maya sebab penonton dan pemain berjumpa “ruang ketiga” yang maya.
Nonton teater luar jaringan, ruang hanya ada satu: ruang peristiwa, ruang nyata.
Penonton dan pemain berjumpa “di sini”.
Pada teater daring,
jadi tercipta ruang ketiga: satu ruang pemain (misalnya, kelompok A merekam
pertunjukannya di Ciamis, Jawa Barat), satu ruang penonton (misalnya, salah
satu penontonnya duduk manis di depan laptopnya di Goa, Sulawesi Selatan), satu
ruang perjumpaan (peristiwa “di” Ciamis berjumpa dengan penontonnya “di” Goa
“di” kanal YouTube Indonesia Kaya, umpamanya).
Teater Dalam Jaringan
Videografi
Tidak ada yang
salah dengan menonton atau membuat teater untuk ditonton daring. Yang kadang
mengganggu adalah abainya pegiat teater terhadap videografi padahal
pertunjukannya itu disiapkan untuk ditonton daring. Artinya, yang ditonton,
bagaimanapun, kan video.
Karena yang
(akan) ditonton adalah video, maka ilmu, teknik, serta perangkat videografi
patut untuk diperhatikan.
Yang sederhana:
mata kamera adalah mata penonton, batas panggung adalah bingkai kamera, mikropon adalah telinga penonton. Demikian
pula tata cahaya. Lensa kamera belum ada yang persis 100% dengan lensa mata
manusia. Intensitas cahaya yang dikatakan meujeuh
oleh mata manusia, boleh jadi berlebih oleh lensa kamera. Demikian pula jarak
pandang.
Bila hendak
menghadirkan sudut pandang (angle)
yang mirip dengan sudut pandang penonton di teater luring, satu kamera saja
cukup. Atur jarak kamera ke panggung agar seluruh area bermain masuk dalam
bingkai kamera. Gunakan tripod atau
apa saja untuk menyangga kamera agar ajeg/stabil.
Jika menghendaki audio sebening dalam film, gunakan perangkat audio tersendiri (jangan
mengandalkan audio kamera).
Sajian semacam
itu, sebut saja dokumentasi pertunjukan. Pentas teater yang direkam.
Namun, jika
menghendaki sudut pandang yang macam-macam, seperti dalam film, ya, jangan
nanggung. Mengubah-ubah fokus, sudut, dan jarak pandang secara cepat hanya
dimungkinkan oleh kamera. Mata manusia tidak bisa zoom in-zoom out,
tiba-tiba close up setelah sebelumnya
long shot. Kalau mau begitu, jadikan
saja film sekalian. Atau video art.
Pada karya yang
demikian teater diposisikan sebagai bahan
dasar dari suatu karya videografi atau sinematografi. Jadi objek gambar. Lihat
Opera Jawa-nya Garin Nugroho,
umpamanya. Itu film yang menggunakan, salah satunya, teater sebagai bahan.
Jika demikian,
kan dimungkinkan juga ada efek-efek yang masuk ketika proses penyuntingan.
Kalau yang seperti ini namanya bukan lagi dokumentasi pertunjukan, melainkan
karya seni videografi atau sinematografi sekalian. Atau luasnya: video art. Sudah lintas disiplin (ilmu)
seni. Formulanya tidak hanya menggunakan
tetekon panggung namun juga kaidah
serta kepantasan seni video/film.
Apa pun
pilihanya, yang penting berkarya.
Vita Bravis Ars
Longa.
Panjalu,
23 Juni 2020
keterangan gambar:
tangkapan layar video teater daring "Vaksin" produksi Gardu Teater. Disiarkan di IG TV Gardu Teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar