Selasa, 23 Juni 2020

Teater Dalam Jaringan, Teaterkah? (II)


Nonton teater dan nonton video (dokumentasi) teater adalah dua hal yang  berbeda. Video teater adalah arsip, bukan teater itu sendiri. Dewasa ini, karena larangan berkumpul akibat pandemi, banyak kelompok atau seniman teater yang menyelenggarakan pertunjukannya dalam jaringan (online). Yang ditonton, tentu saja, video.

Ada yang disiarkan langsung (live streaming) baik di YouTube, Facebook, Instagram, atau media lainnya. Ada juga yang disiarkan secara tak langsung. Beberapa media penyiaran video memiliki pengaturan agar video yang ditayangkan hanya bisa disaksikan pada saat ia disiarkan. Artinya video tersebut tidak tersimpan di dunia maya, tidak dapat disaksikan berulang-ulang.

Hal ini mirip cara nonton teater secara langsung. Menunggu tayangnya video tersebut persis seperti menunggu dimulainya pertunjukan di “panggung”. Dan ketika pertujukan selesai, penonton tak bisa memutar ulang video itu. Video itu langsung dan sementara, namun tak “di sini”.

Prihal “di sini”, memang bisa diperdebatkan bila definisi ruang mengalami koreksi atau diperluas. Dalam konteks nonton teater secara konvensional (luring/luar jaringan), “di sini” dapat dimaknai penonton dan pemain sama-sama berada di satu ruang yang sama, yakni ruang pertunjukan. Keduanya sama-sama menciptakan “panggung”. Penonton dan pemain tak butuh media apa pun untuk berinteraksi. Di sanalah letak “ketelanjangan” teater.

Nah, dalam teater daring, ruang itu tetap ada. Penonton dan pemain tetap berjumpa di ruang yang sama: ruang maya. Ruang yang diciptakan dari rangkaian algoritma rumit. Penonton dan pemain sama-sama meninggalkan ruang tempat tubuh mereka berada.

Yang “hadir menonton” adalah wakil tubuh dalam bentuk data. Bahkan semuanya telah ditransformasi menjadi data. Video, ketika masuk jaringan internet, kan jadi data.

Peristiwa teater direkam. Peristiwa yang sedemikian kompleks itu dimampatkan menjadi data sekian gigabita (byte). Lantas diunggah ke jaringan internet. Enkode. Jadi algoritma. Biasanya termampatkan menjadi lebih kecil. Ter-compress. Kini peristiwa itu adalah deretan angka, huruf, tanda baca, dan simbol matematis lainnya.

Agar dapat ditonton, kode-kode itu harus diterjemahkan. Dekode. Menjadi sajian audio visual. Menonton teater daring tidak “sesederhana” menonton teater secara konvensional. Musti ada perangkat teknologi yang mendukung. Termasuk jaringan internet dan biaya untuk mengaksesnya.

Teknologi itu, sebut saja media. Atau jembatan. Teater yang disiarkan langsung maupun tak langsung sama-sama membutuhkan jembatan agar sampai kepada penonton, dengan reduksi seminimal mungkin.

Secara sederhana, jembatan itu bisa berupa alat rekam, perangkat keras dan perangkat lunak yang menungjang semua kegiatan dalam jaringan, aksesibilitas jaringan internet, dan media penyiar video (YouTube, Facebook, IG, dll.)

Begitu panjang perjalanan teater agar dapat genap menjadi peristiwa. Itu pun peristiwa “separo” maya sebab penonton dan pemain berjumpa “ruang ketiga” yang maya. Nonton teater luar jaringan, ruang hanya ada satu: ruang peristiwa, ruang nyata. Penonton dan pemain berjumpa “di sini”.

Pada teater daring, jadi tercipta ruang ketiga: satu ruang pemain (misalnya, kelompok A merekam pertunjukannya di Ciamis, Jawa Barat), satu ruang penonton (misalnya, salah satu penontonnya duduk manis di depan laptopnya di Goa, Sulawesi Selatan), satu ruang perjumpaan (peristiwa “di” Ciamis berjumpa dengan penontonnya “di” Goa “di” kanal YouTube Indonesia Kaya, umpamanya). 

Teater Dalam Jaringan


Videografi

Tidak ada yang salah dengan menonton atau membuat teater untuk ditonton daring. Yang kadang mengganggu adalah abainya pegiat teater terhadap videografi padahal pertunjukannya itu disiapkan untuk ditonton daring. Artinya, yang ditonton, bagaimanapun, kan video.

Karena yang (akan) ditonton adalah video, maka ilmu, teknik, serta perangkat videografi patut untuk diperhatikan.

Yang sederhana: mata kamera adalah mata penonton, batas panggung adalah bingkai kamera,  mikropon adalah telinga penonton. Demikian pula tata cahaya. Lensa kamera belum ada yang persis 100% dengan lensa mata manusia. Intensitas cahaya yang dikatakan meujeuh oleh mata manusia, boleh jadi berlebih oleh lensa kamera. Demikian pula jarak pandang.

Bila hendak menghadirkan sudut pandang (angle) yang mirip dengan sudut pandang penonton di teater luring, satu kamera saja cukup. Atur jarak kamera ke panggung agar seluruh area bermain masuk dalam bingkai kamera. Gunakan tripod atau apa saja untuk menyangga kamera agar ajeg/stabil. Jika menghendaki audio sebening dalam film, gunakan perangkat audio tersendiri (jangan mengandalkan audio kamera).

Sajian semacam itu, sebut saja dokumentasi pertunjukan. Pentas teater yang direkam.

Namun, jika menghendaki sudut pandang yang macam-macam, seperti dalam film, ya, jangan nanggung. Mengubah-ubah fokus, sudut, dan jarak pandang secara cepat hanya dimungkinkan oleh kamera. Mata manusia tidak bisa zoom in-zoom out, tiba-tiba close up setelah sebelumnya long shot. Kalau mau begitu, jadikan saja film sekalian. Atau video art.

Pada karya yang demikian teater diposisikan sebagai bahan dasar dari suatu karya videografi atau sinematografi. Jadi objek gambar. Lihat Opera Jawa-nya Garin Nugroho, umpamanya. Itu film yang menggunakan, salah satunya, teater sebagai bahan.

Jika demikian, kan dimungkinkan juga ada efek-efek yang masuk ketika proses penyuntingan. Kalau yang seperti ini namanya bukan lagi dokumentasi pertunjukan, melainkan karya seni videografi atau sinematografi sekalian. Atau luasnya: video art. Sudah lintas disiplin (ilmu) seni. Formulanya tidak hanya  menggunakan tetekon panggung namun juga kaidah serta kepantasan seni video/film.

Apa pun pilihanya, yang penting berkarya.
Vita Bravis Ars Longa.

Panjalu, 23 Juni 2020 

keterangan gambar: 
tangkapan layar video teater daring "Vaksin" produksi Gardu Teater. Disiarkan di IG TV Gardu Teater. 

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...