Selasa, 09 Juni 2020

Teater Dalam Jaringan, Teaterkah?


Dalam kondisi normal, menonton teater berarti pergi ke tempat pertunjukan dan menyaksikannya secara langsung. Apakah ia pentas di gedung kesenian, gedung olah raga, alun-alun, kafe, jalanan, hajatan, atau di mana pun, menonton teater—di dalam maupun di luar ruangan—adalah langsung di tempat peristiwa teater itu berlangsung.

Pandemi ini memaksa kenormalan itu terkoreksi. Jangankan berkumpul untuk “beribadah”  menonton teater, ibadah ke mesjid, gereja, vihara, klenteng, dan pura saja sangat ketat dibatasi. Untuk mengatasi kondisi demikian, banyak pihak melakukan berbagai “penyelamatan”.

Bakti Budaya Djarum Foundation, misalnya. Melalui Indonesia Kaya, mereka membuat program #NontonTeaterDiRumahAja. Beberapa pertunjukan teater yang sempat mereka sponsori ditayangkan ulang di kanal YouTube Indonesia Kaya tiap akhir pekan.

Beberapa pertunjukan tersebut: “Bunga Penutup Abad” (Titi Mangsa Foundation), “Teater Tari Citraresmi” (Titi Mangsa Foundation & Main Teater), “Republik Sinden” (Kayan Production & Communication), “Preman Perlente” (Kayan Production & Communication), dan lain-lain.

Pemanfaatan dunia maya untuk “penyelamatan” dunia kesenian juga dilakukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Melalui Direktorat Industri Kreatif Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan, kementerian yang dipimpin pendiri NET.TV, Wishnutama Kusubandio, itu membuat program Pentas Di Rumah.

Dalam program tersebut seniman seni pertunjukan dapat mengungah video pertunjukan berdurasi 3-5 menit ke instagram disertai tanda pagar tertentu. Video yang terpilih akan mendapat uang pembinaan sebesar Rp.500.000 untuk perorangan dan Rp.1.000.000 untuk kelompok. Dibuka selama 9 hari (7-15 Mei 2020), 1.652 video terdaftar dalam program tersebut.   

Apakah pemanfaatan internet tersebut sudah cukup memupus rindu nonton teater yang sesungguhnya?

Teater dan Video Teater

Biasanya, pertunjukan teater digagas untuk ditonton secara langsung. Diindra oleh segenap tubuh dan jiwa. Visual langsung ke mata. Audio langung ke telinga. Kalau ada aroma, ya, langsung masuk hidung. Demikian rangsangan yang lain, langsung diterima indra, tanpa perantara. Tanpa media.

Panggung bagi seniman teater ibarat kanvas bagi pelukis. Ia akan menata panggung dengan komposisi sedemikian rupa: bentuk, ukuran, dan warna set; kostum; tata cahaya; properti; bloking aktor ditata agar sedap ditonton secara langsung.

Kadang, ada pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton lebih dari menonton: diajak menari, bertanya jawab, dikasih kue, dipeluk, diteriaki, diajak jalan-jalan, disiram air, dimaki-maki, dipermainkan, dan lain-lain.

Menonton lewat udara (daring), hal yang “kadang” itu tidak semua bisa dilakukan. Atau mungkin ada “kadang” yang lain, yang adaptif terhadap teknologi media menonton. Misalnya, aktor merespon pertanyaan, pernyataan, atau permintaan warganet yang ditulis langusung di kolom komentar live streaming YouTube. Mirip teater tradisional yang komunikatif, tapi lewat perantara. “Kadang” semacam itu tidak bisa dipraktikan ketika nonton teater dengan cara konvensional.

Yang ditonton, baik dalam program #NontonTeaterDiRumahAja, Pentas Di Rumah, maupun program serupa itu, adalah video teater. Bukan teater. Meski ia disiarkan secara live streaming, ada beberapa hal yang menjadikannya berbeda dengan nonton teater.

Meski purba, menonton teater tetaplah punya daya tarik dan keasyikan tersendiri. Pengalaman menonton teater yang langsung, di sini, dan sementara tak mungkin didapat lewat menonton video teater, kendati yang ditonton via layar itu adalah pertunjukan teater (yang direkam).

Setidaknya tiga hal yang membuat menonton teater itu khas. Sebenarnya, kekhasan itu muncul dari sifat teater itu sendiri.

Langsung
Teater adalah tontonan yang peristiwanya (adegan-adegan) disaksikan langsung oleh penonton ketika peristiwa itu berlangsung. Tidak ada proses perekaman dalam teater kecuali untuk efek atau tambahan visual artistik tertentu. Tidak ada “penundaan” untuk menjadikan teater sebagai karya seni. Dalam film, adegan-adegan direkam, disunting, dikonversi, baru bisa ditonton sebagai sebuah karya seni. Ada “penundaan” dalam proses menjadikan film sebagai karya seni.

Di sini
Panggung dalam konteks pertunjukan teater sejatinya bukanlah bidang tertentu berukuran sekian kali sekian kali sekian meter. Yang demikian itu adalah pengejawantahan panggung dalam bentuk fisik. Sejatinya, panggung adalah ruang terjadinya peristiwa teater. Di mana pun. Seberapa pun ukurannya.

Bila kamar mandi diperlukan dan dipersiapkan sebagai ruang terjadinya peristiwa teater, maka panggungnya adalah kamar mandi itu. Ia menjadi panggung ketika ada pertunjukan dan penonton sekaligus. Penonton dan yang ditonton sama-sama bertemu di tempat tontonan. Sama-sama bertemu “di sini”.

Tanpa kehadiran penonton “di sini”, adegan-adegan yang sudah dilatih selama sekian lama itu belum menjadi pertunjukan teater. Disebutnya, ya, latihan saja.

Sementara
Lain dengan karya rupa dan sastra yang “abadi”, seni pertunjukan adalah karya yang “sementara”. Peristiwa teater mengalir dalam waktu. Adegan Romeo meminum racun pada pertunjukan “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare yang dipentaskan (pertama kali) pada tahun 1597 tidak bisa “diulang”. Adegan itu, peristiwa itu, terjadi seketika itu, pada saat itu. Sementara.

Kendati ia dipentaskan kembali, direkonstruksi semirip mungkin dengan kali pertama ia pentaskan, tetap saja beda. Lain pemainnya, lain waktunya. Kalaupun dimainkan oleh aktor yang sama, waktu terjadinya adegan itu tetap saja berbeda. Bukankah waktu itu sementara? “Kau tidak bisa dua kali  masuk ke sungai yang sama,” demikian kira-kira gagasan Herakleitos.

Menonton video teater memang lain dengan menonton teater. Cara mengapresiasi beda. Membuat “pertunjukan” untuk ditonton via layar sekian kali sekian inci lain racikannya dengan pertunjukan untuk ditonton langsung, di sini, dan sementara.

Membuat video teater, mau tak mau, akan melibatkan videografi sebagai jembatan menuju penonton. Itu jembatan pertama. Ada jembatan kedua, ketiga, dan kesekian sebelum “pertunjukan” itu bisa ditonton.  

Agar sedap ditonton, teknik dan perangkat videografi harus jadi perhatian juga. Ingat! Mata dan telinga kamera lain dengan punya manusia.

bersambung…

Panjalu, 9 Juni 2020


keterangan gambar:
dokumentasi "teater dalam jaringan" karya Rika R. Johara & Ridwan Hasyimi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...