Dalam kondisi
normal, menonton teater berarti pergi ke tempat pertunjukan dan menyaksikannya
secara langsung. Apakah ia pentas di gedung kesenian, gedung olah raga,
alun-alun, kafe, jalanan, hajatan, atau di mana pun, menonton teater—di dalam
maupun di luar ruangan—adalah langsung di tempat peristiwa teater itu
berlangsung.
Pandemi ini
memaksa kenormalan itu terkoreksi. Jangankan
berkumpul untuk “beribadah” menonton
teater, ibadah ke mesjid, gereja, vihara, klenteng, dan pura saja sangat ketat
dibatasi. Untuk mengatasi kondisi demikian, banyak pihak melakukan berbagai “penyelamatan”.
Bakti Budaya
Djarum Foundation, misalnya. Melalui Indonesia Kaya, mereka membuat program
#NontonTeaterDiRumahAja. Beberapa pertunjukan teater yang sempat mereka sponsori
ditayangkan ulang di kanal YouTube Indonesia Kaya tiap akhir pekan.
Beberapa pertunjukan
tersebut: “Bunga Penutup Abad” (Titi Mangsa Foundation), “Teater Tari
Citraresmi” (Titi Mangsa Foundation & Main Teater), “Republik Sinden”
(Kayan Production & Communication), “Preman Perlente” (Kayan Production
& Communication), dan lain-lain.
Pemanfaatan
dunia maya untuk “penyelamatan” dunia kesenian juga dilakukan Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Melalui Direktorat Industri
Kreatif Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan, kementerian yang dipimpin pendiri
NET.TV, Wishnutama Kusubandio, itu membuat program Pentas Di Rumah.
Dalam program
tersebut seniman seni pertunjukan dapat mengungah video pertunjukan
berdurasi 3-5 menit ke instagram disertai tanda pagar tertentu. Video yang
terpilih akan mendapat uang pembinaan sebesar Rp.500.000 untuk perorangan dan
Rp.1.000.000 untuk kelompok. Dibuka selama 9 hari (7-15 Mei 2020), 1.652
video terdaftar dalam program tersebut.
Apakah
pemanfaatan internet tersebut sudah cukup memupus rindu nonton teater yang
sesungguhnya?
Teater
dan Video Teater
Biasanya,
pertunjukan teater digagas untuk ditonton secara langsung. Diindra oleh segenap
tubuh dan jiwa. Visual langsung ke mata. Audio langung ke telinga. Kalau ada
aroma, ya, langsung masuk hidung. Demikian rangsangan yang lain, langsung diterima
indra, tanpa perantara. Tanpa media.
Panggung bagi
seniman teater ibarat kanvas bagi pelukis. Ia akan menata panggung dengan
komposisi sedemikian rupa: bentuk, ukuran, dan warna set; kostum; tata cahaya;
properti; bloking aktor ditata agar sedap ditonton secara langsung.
Kadang, ada
pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton lebih dari menonton: diajak menari,
bertanya jawab, dikasih kue, dipeluk, diteriaki, diajak jalan-jalan, disiram
air, dimaki-maki, dipermainkan, dan lain-lain.
Menonton lewat
udara (daring), hal yang “kadang” itu tidak semua bisa dilakukan. Atau mungkin
ada “kadang” yang lain, yang adaptif terhadap teknologi media menonton.
Misalnya, aktor merespon pertanyaan, pernyataan, atau permintaan warganet yang
ditulis langusung di kolom komentar live
streaming YouTube. Mirip teater tradisional yang komunikatif, tapi lewat
perantara. “Kadang” semacam itu tidak bisa dipraktikan ketika nonton teater
dengan cara konvensional.
Yang ditonton,
baik dalam program #NontonTeaterDiRumahAja, Pentas Di Rumah, maupun program
serupa itu, adalah video teater. Bukan teater. Meski ia disiarkan secara live streaming, ada beberapa hal yang
menjadikannya berbeda dengan nonton teater.
Meski purba,
menonton teater tetaplah punya daya tarik dan keasyikan tersendiri. Pengalaman menonton
teater yang langsung, di sini, dan sementara
tak mungkin didapat lewat menonton video teater, kendati yang ditonton via
layar itu adalah pertunjukan teater (yang direkam).
Setidaknya tiga
hal yang membuat menonton teater itu khas. Sebenarnya, kekhasan itu muncul dari
sifat teater itu sendiri.
Langsung
Teater adalah
tontonan yang peristiwanya (adegan-adegan) disaksikan langsung oleh penonton
ketika peristiwa itu berlangsung. Tidak ada proses perekaman dalam teater
kecuali untuk efek atau tambahan visual artistik tertentu. Tidak ada “penundaan”
untuk menjadikan teater sebagai karya seni. Dalam film, adegan-adegan direkam, disunting, dikonversi, baru bisa ditonton sebagai sebuah karya seni. Ada
“penundaan” dalam proses menjadikan film sebagai karya seni.
Di sini
Panggung dalam
konteks pertunjukan teater sejatinya bukanlah bidang tertentu berukuran sekian
kali sekian kali sekian meter. Yang demikian itu adalah pengejawantahan
panggung dalam bentuk fisik. Sejatinya, panggung adalah ruang terjadinya
peristiwa teater. Di mana pun. Seberapa pun ukurannya.
Bila kamar mandi
diperlukan dan dipersiapkan sebagai ruang terjadinya peristiwa teater, maka
panggungnya adalah kamar mandi itu. Ia menjadi panggung ketika ada pertunjukan
dan penonton sekaligus. Penonton dan yang ditonton sama-sama bertemu di tempat
tontonan. Sama-sama bertemu “di sini”.
Tanpa kehadiran
penonton “di sini”, adegan-adegan yang sudah dilatih selama sekian lama itu belum
menjadi pertunjukan teater. Disebutnya, ya, latihan saja.
Sementara
Lain dengan
karya rupa dan sastra yang “abadi”, seni pertunjukan adalah karya yang “sementara”.
Peristiwa teater mengalir dalam waktu. Adegan Romeo meminum racun pada
pertunjukan “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare yang dipentaskan
(pertama kali) pada tahun 1597 tidak bisa “diulang”. Adegan itu, peristiwa itu,
terjadi seketika itu, pada saat itu. Sementara.
Kendati ia
dipentaskan kembali, direkonstruksi semirip mungkin dengan kali pertama ia
pentaskan, tetap saja beda. Lain pemainnya, lain waktunya. Kalaupun dimainkan
oleh aktor yang sama, waktu terjadinya adegan itu tetap saja berbeda. Bukankah waktu
itu sementara? “Kau tidak bisa dua kali masuk ke sungai yang sama,” demikian kira-kira
gagasan Herakleitos.
Menonton video
teater memang lain dengan menonton teater. Cara mengapresiasi beda. Membuat “pertunjukan”
untuk ditonton via layar sekian kali sekian inci lain racikannya dengan
pertunjukan untuk ditonton langsung, di
sini, dan sementara.
Membuat video
teater, mau tak mau, akan melibatkan videografi sebagai jembatan menuju
penonton. Itu jembatan pertama. Ada jembatan kedua, ketiga, dan kesekian
sebelum “pertunjukan” itu bisa ditonton.
Agar sedap
ditonton, teknik dan perangkat videografi harus jadi perhatian juga. Ingat! Mata
dan telinga kamera lain dengan punya manusia.
bersambung…
Panjalu,
9 Juni 2020
keterangan gambar:
dokumentasi "teater dalam jaringan" karya Rika R. Johara & Ridwan Hasyimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar