Kita terkejut.
Panik. Karena panik maka banyak yang bertingkah konyol. Seperti paniknya menghadapi
kemungkinan kalah dalam pemilu, membuat banyak politisi dan fansnya berpikir,
bertindak, bahkan mati konyol.
Panik lahir dari
ketidaktahuan. Atau ketidakjelasan. Samar. Remang-remang, itu bikin panik.
Makanya warung remang-remang sering jadi sasaran kepanikan. Yang sering
mengobrak-abrik warung remang-remang mendahulukan kepanikan alih-alih fakta dan
klarifikasi. Mungkin remang karena watt
bohlamnya kecil atau listriknya spaneng.
Corona ini
samar, remang-remang. Bukan kesakitan yang ditimbulkannya yang remang, tapi
data dan fakta-fakta di baliknya. Berapa (sebenarnya) yang terpapar? Berapa
(sebenarnya) yang meninggal? Apakah SASR-CoV-2 adalah virus alamiah atau
semacam biological warfare? Siapa yang buat? Siapa yang untung? Yang
buntung, ah, sudah tidak samar lagi.
Kita—atau setidaknya
saya yang miskin akses pada informasi kredibel—seperti dipermainkan tanpa jelas
siapa yang mempermainkan. Pemerintah? Bisa jadi. Tapi, mungkin mereka juga
korban permainan. Sama-sama dipermainkan. Toh, mereka juga sama gelagapannya
dengan saya. Atau pura-pura gelagapan padahal sudah punya rencana akbar
(seperti yang ramai belakangan ini tentang Herd
Immunity)? Entahlah.
Tapi, mungkin
sudah fitrahnya manusia suka yang pasti-pasti, yang jelas (meski sebenarnya
hidup justru tumpukan ketidakpastian, tumpukan ketidakjelasan, tumpukan misteri).
Karenanya, kita memilih untuk percaya, karena ingin tenang. Kepastian mendatangkan
ketenangan.
Siapa/apa yang
bisa kita percaya dalam kondisi serba-tak-pasti ini? Percaya saja pada Tuhan,
nurani, dan akal sehat.
Percaya media?
Ayolah! (Pemilik) media itu pedagang. Komoditasnya informasi. Jangan terlalu
naif menganggap bahwa pers itu suci oleh karenanya ia pilar demokrasi. Teorinya
begitu. Tapi kan pers juga macam-macam. Tidak semua suci tidak semua penyesat. Warna-warni,
lah. Kaya hidup dan manusia. Skeptis—yang harus berdampingan dengan kritisme—adalah
sikap yang paling direkomendasikan dalam mengonsumsi informasi dewasa ini.
Pandemi ini
mendesak kita tidak hanya untuk tidak terlalu percaya pada media, namun juga waspada
terhadap orang-orang di sekitar. Ah, hal ini sungguh menyiksa dan bikin tidak
nyaman. Curiga melulu. Pasca corona, melihat atau mendengar orang berusia lanjut
batuk-batuk, apalagi disertai demam, hormon kecurigaan kita melonjak naik. Waspada!
Aih, tidak enak
betul situasi semacam ini. Mau sampai kapan main curiga-curigaan?
Kehangatan berkumpul
dialihkan ke dunia maya. Virtual. Masihkah hangat? Pentas-pentas seni mengusung
tanda pagar #pentasdirumah dan “ditonton” via layar gawai atau komputer. Ini
bukan “menonton seni pertunjukan”. Ini namanya “menonton video seni pertunjukan”. Dua hal yang sama sekali berlainan. Pertunjukan
seni yang ditonton via mata kamera, oh, itu sudah terjadi reduksi.
Kemerdekaan penonton
untuk melihat sudut-sudut tertentu dan detil-detil pertunjukan kandas. Penonton
dipaksa manut pada mata kamera sebagai representasi mereka. Itu, salah satu,
yang membedakan nonton pertunjukan dan nonton film.
Penampilnya—aktor,
penari, seniman seni pertunjukan—seharusnya tidak masalah. Tinggal mengalihwujudkan
“batas panggung” yang memang lazim ada di semua seni pertunjukan menjadi bingkai (frame)
kamera. Secara mendasar, panggung (stage)
itu bukan sebidang lantai tertentu yang terbuat dari bahan anu dengan ukuran
sekian kali sekian kali sekian. Panggung (stage)
itu ruang (space) eksistensi sebuah
pertunjukan. Ukurannya bisa berapa saja, sesuai kebutuhan dan kesepakatan.
Euleuh, jadi bahas
seni pertunjukan. Beberapa waktu lalu saya membuat “video pertunjukan” demi lomba-lomba,
demi keberlangsungan dapur dan kehidupan. Buat saya, tidak haram. Tapi, hal
semacam itu tidak—atau mungkin belum (?)—bisa menggantikan nikmatnya “realitas
panggung.”
Keasikan
belanja, berdesak-desak, bau keringat, lelah, kepanasan, kehujanan, diberantas
atas nama kesehatan, keselamatan. Diam di rumah saja. Pentas di rumah saja.
Ibadah di rumah saja (kecuali konser, bolehlah di luar rumah). Soliter adalah
solider, demikian kata seorang jurnalis perempuan beken.
Tapi…
Kerja dari
rumah? Sekolah dari rumah? Harus ada internet, Bung. Harus makan kuota, Bung. Musti
ada jaringan pula. Beli pulsa, bayar wifi, tidak bisa pakai janji dan
jampi-jampi. Yang akrab pada teknologi punya potensi “exist” lebih lama. Yang punya duit, ya jelas, “usianya akan lebih
panjang.”
Pandemi ini
menyingkap banyak hal. Sebagaimana kata jurnalis perempuan beken itu, wujud solidaritas,
kolektivisme, justru terejawantah dalam individualisme: diam di rumah, berdonasi
via transfer m-banking atau e-wallet, meminimalisir kontak fisik,
asosial. Paradoks. Inilah masa darurat. Sampai kapan kita kuat dan betah
berlama-lama, ber-paradoks-paradoks, seperti ini?
Kita harus
berdamai dengan corona, kata presiden. Kini bergulir wacana Normal Baru: suatu
tatanan hidup pasca (dan selama) COVID-19. Siapa yang menentukan atau yang
membuat tatanan itu? Secara alamiah, tiap-tiap komunitas, tiap-tiap individu,
akan membuat Normal Baru-nya masing-masing. Negara pasti mengeluarkan “versi
resmi.” Tapi, sebagaimana tiap versi resmi apa pun, pasti akan ada alternatif. Makin
kuat masyarakat digenggam, makin banyak yang lolos di sela jemari.
Ya, semua memang
lagi sulit. Panik. Cemas akan masa depan. Mengeluh memang tidak menyelesaikan
masalah. Tapi, perlu! Sebagai pelepas jengkel, membuka katup. Ketimbang dipendam,
ditekan ke dalam. Andai selamat dari corona, besok-besok malah stroke. Jangan! Mengeluh saja. Asal
jangan berlebihan.
Panjalu,
23 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar