20 Maret 2020,
Prof. Yuval Noah Harari menerbitkan sebuah tulisan agak panjang di www.ft.com berjudul “The World After Coronavirus”
Sebagaimana judulnya, tulisan ini membahas tentang gambaran umum dunia pasca
pandemi ini. Salah satu yang cukup panjang dibahas adalah penggunaan dan
optimalisasi teknologi dalam kehidupan manusia.
Pemerintah
Tiongkok telah mengembangkan sebuah aplikasi khusus untuk memantau kesahatan
warganya terkait virus Corona. Nama aplikasinya “Jian Kang Bao” artinya “Sehat
Itu Harta Karun”. Informasi ini saya peroleh dari tulisan Dahlan Iskan di https://radarsolo.jawapos.com tanggal 23
Maret 2020.
Melalui aplikasi
yang dibenamkan ke telepon pintar tersebut, pemerintah Tiongkok memantau
kesehatan dan mobilitas warganya. Setelah menjawab beberapa pertanyaan terkait
kesehatan dan mobilitasnya pengguna aplikasi akan mendapat status kesehatan berupa
warna: hijau, kuning, atau merah. Status ini bisa berubah sesuai dengan
kesahatan sang pengguna.
Yang mengerjakan
semua ini adalah alogaritma canggih yang lazim disebut Big Data. Teknologi ini mampu mengolah data secara otomatis sehingga
mampu mengelompokkan mana yang sehat mana yang sakit. Kalau di Indonesia, pengelompokkan
itu mungkin berarti sehat, ODP, PDP, suspect,
dan positif terinfeksi.
Dengan teknologi
ini pemetaan persebaran SARS-CoV-2 ini bisa terpantau secara efektif dengan
tingkat akurasi tinggi.
Bukan hanya
dalam hal pemantauan kesehatan, teknologi anyar
juga berperan penting dalam hal komunikasi di masa-masa darurat pandemi Covid-19 ini. Hal ihawal tatap muka kini dilakukan secara daring. Memang bukan
hal baru. Namun, kini semua dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan
masif. Kini, belajar dan bekerja adalah menghadap laptop atau telepon pintar.
Apakah optimalisasi
teknologi ini hanya untuk kondisi darurat? Bisa ya, bisa juga tidak. Menurut
Prof. Harari dalam esainya itu, kebijakan dan kebiasaan yang dilakukan dalam
kondisi darurat acap kali terus diterapkan dan dilakukan meski kedaruratan itu
telah berakhir. Jika bekerja dari rumah memungkinkan dan dinilai lebih efektif serta
efisien tanpa mengurangi kualitas, mengapa musti berlelah-lelah pergi ke
kantor? Demikian juga belajar. Selain tak perlu pusing terjebak macet, bekerja
dan belajar dari rumah juga membawa
dampak baik bagi lingkungan: mengurangi polusi udara.
Apakah “kebaikan-kebaikan”
ini akan ditinggalkan pasca darurat Corona? Jika tidak, artinya terus
dilanjutkan bahkan dikembangkan, pandemi ini sungguh akan mengubah tatanan kehidupan
sosial secara radikal. Sekolah dan kantor akan didefinisikan ulang. Harus diakui,
bencana global ini menyumbang besar dalam Revolusi Industri 4.0.
Menggali
Kearifan Lokal
Saya tidak tahu
apakah Prof. Yuval Noah Harari, Ph. D. sempat memperhatikan dampak Covid-19 di
Indonesia? Maksud saya sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap bencana
ini?
Beberapa waktu
setelah Presiden Jokowi mengumumkan pasien #01 dan #02 di Indonesia, sebagian masyarakat—setidaknya
beberapa kawan saya di Facebook—makin gencar mengampanyekan segala hal bernafas
kearifan lokal khususnya yang dirasa relevan dengan kondisi kekinian. Mereka menganalisa
Corona sebagai sebuah peristiwa kosmik yang telah diramalkan karuhun. Sri Sultan HB X malah dengan
jelas mengatakan bahwa bencana ini menyebabkan situasi ketidakpastian, tidha-tidha dalam ungkapan Jawa, yang telah
lama diramalkan Rd. Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha.
Selain memaknai
sebagai penggenapan nubuat, beberapa kenalan saya yang lain rajin membagikan
informasi tentang tanaman-tanaman dan benda-benda yang secara tradisional
diyakini ampuh melawan macam-macam penyakit.
Dalam tradisi masa
lalu, untuk mengobati penyakit yang dikategorikan wabah, biasanya diadakan
suatu ritus komunal yang umum disebut tolak
bala. Dalam tolak bala, sebagaimana
ritus pada umumnya, ada benda-benda yang harus disiapkan sebagai syarat
upacara. Benda-benda itu diyakini memiliki daya yang mampu menyembuhkan atau
menolak bencana.
Daya-daya yang
terkandung dalam benda-benda tersebut sebenarnya merupakan sains-nya para
leluhur. Hanya karena tidak masuk laboratorium moderen dan belum diuji klinis,
maka daya-daya tersebut hingga kini masih disebut sebagai pengobatan
alternatif. Atau bahkan tahayul.
Bagi orang-orang
zaman lampau, atau kebudayaan yang belum meratifikasi ilmu pengetahuan moderen,
amoksisilin, paracetamol, atau vaksin juga dipandang sebagai tahayul. Yang masuk
akal sebagai obat-obatan ya bawang putih, beras kencur, menyan, mantra, dan
sebangsanya. Artinya, masuk akal atau tidak, tergantung dari sisi mana kita
memandang dan kaca mata apa yang kita gunakan. Tergantung weltanschauung-nya.
Karena yang
sedang berkuasa adalah ilmu pengatahuan Barat yang berazas empirisme, maka hal
lain yang tidak sesuai dengan standar dan norma mereka dikategorikan alternatif, atau tahayul sama sekali.
Masa Depan
Pasca Covid-19
Kalau berbicara “dunia”,
yang jadi rujukan pastilah negara-negara Barat utamanya, ditambah beberapa
negara Asia yang dianggap “maju”. Ketika Prof. Harari meramalkan revolusi
manusia (Homo Sapiens) menjadi Dewa (Homo Deus) melalui optimalisasi teknologi,
yang ia tengok adalah fenomena di sebagian negara
maju yang dampaknya akan meluas ke seluruh dunia.
Sementara mereka
di negara-negara maju itu “maju” ke Big Data, Artificial Intelligence (AI), Internet
of Everything (IoT), dan semacamnya, sebagian orang di Nusantara justru “mundur”
ke naskah-naskah kuno, petuah para sepuh, dan rempah-rempah.
Apakah yang
dilakukan sebagian orang di Nusantara itu adalah kemunduran? Apakah ini adalah
langkah kalah sebab tak sanggup mengimbangi zaman? Ataukah upaya menciptakan
suatu alternatif? Membuat rute lain menuju masa depan?
Apakah terlalu prematur untuk mengatakan bahwa gerakan kebudayaan yang sporadis ini bakal
mengubah wajah Indonesia 50 atau 70 tahun mendatang? Siapa yang tahu. Meski
salah satu tugas ilmu pengetahuan adalah memprediksi masa depan, selalu ada
saja celah misteri yang gagal ditafsirkan.
Bila sains karuhun dan sains moderen mampu
bersinergi menjadi suatu sintesis, sains post-modern,
yang relevan dengan zaman, agaknya itu “masa depan alternatif” yang menarik
untuk diupayakan dari sekarang.
Bencana Corona
belum berakhir. Per hari ini, sudah ada 1046 kasus positif terinfeksi
SARS-Cov-2 yang terkonfirmasi di Indonesia. Masa depan pasca Covid-19 seolah
masih jauh untuk ditapaki. Kendati demikian, masa depan adalah keniscayaan. Apapun
bentuknya, lambat laun ia akan datang. Menghampiri orang-orang kota, mendatangi
orang-orang desa. Menyambut kita yang selamat. Semoga.
Sehat selalu,
Kawan-kawan.
Panjalu,
27 Maret 2020
Referensi bacaan:
Sumber gambar:
https://medium.com/@faturshau/homo-deus-sebuah-ocehan-4a94d1679414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar