Senin, 30 September 2019

Lupa: “Suatu saat nanti kita perlu sederhana. Tak tergesa-gesa” (oleh-oleh menonton dramatisasi puisi “Lupa” oleh Ngaos Art)


Ngecoh. Menipu! Sumur, bingkai jendela, meja-meja, kursi, dan daun pintu sedari penonton mulai masuk sudah ada di panggung, Kecuali sumur, semuanya bercat serba putih. Mereka, benda-benda itu, ditata sedemikian rupa menyerupai ruang sebuah rumah gaya lama, lengkap dengan sumurnya. Ternyata, eh, ternyata, seting itu diangkut. Lebih dari sepuluh orang membawanya keluar panggung, hilang dari jangkauan pandang.

Sebelum diangkut, beberapa pemain masuk membersihkan ruang dan macam-macam benda itu: dilap, dipel, dan disapu. Adegan itu merangsang imajinasi, seolah menggambarkan adegan pagi-pagi. Apalagi kemunculan mereka diiringi musik bernuansa Sunda. Oh, ini pasti ceritanya di Jawa Barat. Pagi hari.

Harapan menyaksikan drama realis pun kandas ketika para pemain memboyong keluar seting itu.

Sejumlah penonton—setidak-tidaknya saya—menungggu-nunggu penuh penasaran kapan seting itu akan dimunculkan kembali. Tentu dengan sekian spekulasi dalam kepala yang sebenarnya tidak bijak dan tidak perlu dalam menonton sebuah pertunjukan teater. Tapi apa daya? Barangkali begitulah manusia, selalu berhasrat mendahului waktu. Penonton—setidak-tidaknya saya—lupa bahwa yang sedang ada di hadapan mata adalah peristiwa yang melekat pada waktu. Mengalir. Seperti hidup. Realitas. Semacam kasunyatan.

Benda-benda representasional itu nyatanya tidak pernah dimunculkan lagi hingga penonton riuh bertepuk tangan tanda usai pertunjukan. Gimik yang cantik.

Adegan-adegan selanjutnya merupakan fragmen-fragmen yang menggambarkan fenomena lupa dalam pelbagai peristiwa. Ada suami lupa istrinya. Lupa (tak sadar), keliru mengenakan baju. Seseorang lupa nama orang yang ditemuinya. Seseorang yang lupa pada “ketelanjangannya”. “Seseorang” yang lupa pada tukang becak. Orang-orang yang tidak lupa membawa topeng saat mandi “Untuk menakut-nakuti sepi./ Menemani wajah sendiri.” namun lupa pada dirinya sendiri. Dan lupa-lupa yang lain.
 
Menyerap semangat zaman yang serba cepat, irama pertunjukan pun dibuat ketat. Adegan-adegan “berlari-lompat” dari satu bagian ke bagian lain. Dari satu lupa ke lupa yang lain. Nyaris tidak ada jeda untuk memamah, menyerap, apalagi merenung(kan) satu persatu adegan sebab boleh jadi tidak diperlukan. Permainan tubuh atraktif-koreografis memang meujeuh (pas) dimainkan cepat.

Jeda untuk “mencerna” ditempatkan di bagian akhir. Semua pemain terlibat melantunkan koor yang agaknya dimaksudkan sebagai “amanat” pertunjukan. Inilah bagian goong. “Konklusi” usai puncak tanjakan.

Adegan demonstrasi jadi tanjakan sebelum dor! Petasan meledak. Puncak. Suaranya mirip letusan senapan. Sebelum meledak, kemunculannya menimbulkan efek cahaya seperti lampu strobo. Berkelip-kedip. Cepat. Silau. Membikin tegang suasana sebelum dor! itu.       

***

Menonton Ngaos Art malam itu, Sabtu, 28 September 2019 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya adalah menyaksikan dua belas tubuh-tubuh yang—meski tidak semua—cukup matang. Terlatih. Dalam beberapa adegan tubuh-tubuh itu membentuk komposisi yang sukar dilakukan bila tanpa latihan memadai dan kepercayaan antar sesamanya.

Beberapa adegan memang nampak kagok seperti ketika tiga lelaki nyaris telanjang menari naked towel dance ‘tari handuk telanjang’. La Serviette (judul pertunjukan ini yang berarti handuk dalam bahasa Prancis) populer (di Youtube) sejak dua pria Prancis yang menamakan diri Les Beaux Fréres menampilkannya dalam sebuah acara tivi setempat bertajuk Le Plus Grand Cabaret du Monde pada 2014.

Pria-pria telanjang itu memainkan-mainkan handuk dengan koreografi tertentu yang dirancang presisi, seksi, jenaka, namun “menegangkan”. Area vital harus “aman”, tidak boleh terlihat penonton sedang mereka tak bercelana sama sekali.

Jimat—salah seorang aktor Ngaos Art—dan dua kawannya tidak benar-benar telanjang. Mereka masih menggunakan semacam celana street super pendek. Mungkin karena pertimbangan teknis dan etis. Mereka juga tidak menggunakan handuk, tapi sarung. Sebelumnya, sarung itu difungsikan sebagai tirai mandi. Tiga lelaki itu mandi dengan sebagian wajah tertutup topeng. Di dada mereka melekat semacam payudara boongan.

Pertunjukan ini kaya akan ragam artikulasi. Gruping pada beberapa fragmen digarap dengan rapi dan presisi. Terlalu presisi. Terlalu rapi. Seperti zaman ini, yang semuanya serba “dikemas”, terlalu rapi dan presisi sehingga kesan alami agak pudar walau tak hilang sama sekali.

Tak hanya gruping, fragmen lain diisi dengan nyanyi dan koreografi juga. Ada juga tiga orang narator yang menyampaikan narasi dengan kanon (berantai-bersahutan) yang seolah berantakan di bagian kanan-depan panggung. Sedang seseorang yang berdiri di seberangnya, kiri-depan panggung, menerjemahkan narasi yang merupakan teks puisi itu ke dalam bahasa isyarat.

Teknik pengucapan dialog kanon ini mewarnai banyak adegan. Agaknya ini khas Ngaos Art setidaknya dalam beberapa pertunjukan terakhir. Teknik ini asik, membuka kemungkinan aneka komposisi. Selain perlu kerjasama tinggi antar pemainnya, kedahirannya juga bisa dimaknai sebagai kesatuan. Bahwa tubuh-tubuh itu adalah satu. Bahwa peristiwa ini bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk yang menonton. Kecuali itu, boleh jadi sebagai siasat juga agar beban aktor untuk “menjadi” bisa terbagi-bagi.

Dengan beragam dan bercampurnya kesemua itu, pertunjukan ini agak mirip-mirip dengan beberapa bentuk teater rakyat (tradisional). Dalam teater tradisi batas antara sastra, tari, rupa, drama, dan musik menjadi tidak jelas dan tidak harus jelas. Tontonan adalah tontonan. Semuanya nyampur untuk kemudian nyawiji. Namun, bila teater tradisional biasanya kental improvisasi dan “komunikasi” dengan penonton, tidak demikian dengan pertunjukan yang di sutradarai Ab Asmarandana ini. Bukan tidak ada, namun berbeda dalam kadar dan wujudnya.

Laku menghancurkan the fourth wall terdapat pada fragmen di bagian awal menuju tengah-tengah pertunjukan. Semua pemain “menggeruduk” penonton, khususnya yang duduk paling depan. Pada penonton mereka menanyakan “sebenarnya mau pergi ke mana?” setelah sebelumnya seperti kebingungan akan tujuan mereka sendiri. Bagian ini terkesan terlalu tertata jika dimaksudkan sebagai improvisasi serta “komunikasi” dengan penonton. Durasinya terlalu pendek pula. Terlalu tergesa-gesa.

Tanpa harus ngobrol, mempertontonkan tontonan juga—sebenarnya—merupakan sebentuk komunikasi seniman dengan penonton. Namun, dalam teater tradisional, komunikasi tersebut biasanya terjalin dalam bentuk verbal, ngobrol. Cair. Komunikasi dalam wujud “komunikasi”.  

Kecenderungan Kang Abuy (demikian sang sutradara akrab disapa)—kalau pun tidak dsebut berpola teater tradisi—memasukan nuansa etnik, selain dalam pertunjukan-pertunjukan terdahulu, dapat pula ditemukan pada pertunjukan ini.

Di bagian awal, lima pasang pemain saling bicara tentang lupa dalam macam-macam dialek dan bahasa Nusantara plus satu bahasa asing (Jepang). Pada bagian ini pula, instrumentasi nadom éling-éling umat yang biasa didengar di kampung-kampung dan pesantren di Jawa Barat hadir. Selain bermakna sebagai penawar lupa, nadoman yang biasa dilantunkan selepas adzan ini bisa pula dibaca sebagai idiom pilemburan (perkampungan dalam bahasa Sunda).  

***

Pertunjukan ini berjudul “Lupa”, sebuah dramatisasi dari puisi Joko Pinurbo dengan judul yang sama. Puisinya sendiri terbagi enam bagian. Bagian satu, dua, dan enam lebih liris. Dimaksudkan sebagai “prolog” dan “epilog”. Tidak ada narasi persitiwa atau dialog.

Bagian tiga, empat, dan lima sebaliknya. Mereka bercerita tentang peristiwa. Bagian tiga dan empat bercerita tantang “ia” yang sudah berdandan rapih, berjas, lengkap dengan segala pernak-perniknya. “Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa./ Sebenarnya mau pergi ke mana?”

Bagian lima yang terpanjang. Lebih realis dengan alur yang jelas. Lengkap dengan dialog, bagian ini menceritakan perjumpaan aku lirik dan tukang becak yang “Tiba-tiba/ aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang/ yang mirip dengan dia di rumah sakit, tapi bukan dia.”

Dua hal “sama” yang terdapat dalam dua cerita tersebut: sama-sama lupa dan menyinggung-nyinggung tentang rumah sakit. Pada cerita pertama dikatakan: “Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!/ Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan/ segala pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk?/ Memasuki rumah sakit jiwa.”

Sedang “aku” pada cerita kedua mengatakan bahwa ia pernah berjumpa dengan orang yang mirip dengan si tukang becak di rumah sakit, tapi bukan dia.

“Aku” tidak menjelaskan lebih lanjut rumah sakit apa yang dimaksud. Apakah sama seperti rumah sakit pada cerita pertama, rumah sakit jiwa? Atau rumah sakit yang lain? Ataukah “ia” merupakan orang pernah ditemui “aku” di rumah sakit, yang mirip dengan tukang becak itu? Agaknya perlu kajian lebih mendalam berupa kritik sastra (puisi) untuk menjawab misteri-misteri itu.

***
Puisi dan dramatisasi puisi adalah dua hal yang berbeda. Dua karya yang berlainan. Dramatisasi puisi merupakan alih wahana puisi dari tulis (teks) ke pertunjukan (laku; lakon; audio visual). Pada prosesnya, puisi akan dibaca, didedah, ditafsir, ditransformasikan menjadi teks drama, dibaca kembali, dilatihkan, dimainkan. Dramatisasi puisi merupakan tafsir teks puisi yang diwujudkan dalam bentuk pertunjukan drama.

Karena ia tafsir maka usaha memahami dramatisasi puisi sejatinya merupakan menafsir tafsir  atas sebuah puisi. Boleh jadi penonton membaca puisinya sebelum atau usai menonton. Berupaya menyambungkan antara teks dengan laku di panggung. Atau sebagai semacam panduan. Menerka-nerka apa yang ada dalam kepala sutradara. Atau tidak. Ya, boleh-boleh saja. Apakah menonton drama harus berarti membaca teksnya juga?

Pada “Lupa”nya Ngaos Art ada hal kekinian yang “disisipkan”: demonstrasi. Ini bisa dipahami sebagai upaya agar pertunjukan—dan puisi itu sendiri—terasa dekat, lekat, dan kontekstual dengan keadaan sosial terbaru yang sama-sama dipahami. Negara (me)lupa(kan) sejarahnya sendiri bahwa kekerasan tidak pernah melahirkan apa-apa selain nganga luka yang lebih pedih-perih dari sekedar tubuh (daging dan tulang) yang terluka.

Kekinian itu bisa dirasakan pula pada sejumlah adegan “ringan” yang agaknya cenderung lebih mudah “diterima” penonton milenial. Macam-macam lupa dihadirkan dalam cara yang jenaka. Yang bikin penonton bergelak tawa. Tontonan didekatkan sedemikian rupa dengan kehidupan mereka agar tidak terasa jauh dan asing. “Main-main” yang serius, tidak main-main.

Jika Joko Pinurbo menutup puisinya dengan “Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?/ Lupa: matawaktu yang tidur sementara.” tidak demikian dengan pertunjukan ini. Justru “matawaktu yang tidur sementara” itu kurang begitu terasa dalam pertunjukan ini. Simbol-simbol waktu yang ditulis jelas dalam bait awal puisi ini berupa “kalender” dan “jam”  justru absen. Tapi, ini yang menarik.   
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
Tafsir bagian inilah yang kemudian diperluasan sekaligus diperdalam untuk dijadikan semacam  “amanat” pertunjukan. “Sederhana” dan “tidak tergesa-gesa”, seperti becak, digubah menjadi koor yang diulang-ulang. Menjadi penutup pertunjukan. Menjadi premis. Menjadi goong. Menjadi ruh pertunjukan.

Suatu saat nanti kita perlu sederhana
Tak tergesa-gesa

Sering kali ketergesa-gesaan menyebabkan lupa. Meski lupa itu enak. Membebaskan. Namun, ia hanya sementara.

Jangan lupa, tulisan ini juga boleh jadi buah ke-lupa-an dan kealpaan saya. Dan sebelum saya lupa, ada petikan tentang “lupa” dari sebuah serat karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Begini tulisnya:

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

Panjalu, 30 September 2019

Selasa, 17 September 2019

Pusat Kesenian Ciamis


Kehadiran pusat-pusat kesenian di kota-kota besar boleh jadi telah menjadi kebutuhan warganya. Menonton teater, tari, dan konser musik; menghadiri dan mengapresiasi pameran seni rupa; hadir  dan turut serta dalam diskusi sastra, telah menjadi bagian dari gaya hidup urban. Seni modern—dan kini postmodern—menjadi tolak ukur keberadaban suatu peradaban.

Meski telah bergeser dari ritual ke tolak ukur keberadaban, di kota-kota besar seni justru  mendapat ruang yang lebih baik ketimbang di “second city”. Masyarakat kota dengan budaya urbannya menjadikan seni sebagai pengisi “ruang kosong” dalam dirinya. Atau setidaknya menjadi hiburan, pelepas penat setelah sepanjang hari berkerja, “ber-materialis” ria.

Karena “pasar” tersedia, maka karya seni—juga senimannya—subur makmur di kota-kota besar. Pemerintah pun memberi perhatian yang lumayan bagi sektor yang oleh mereka disebut “ekonomi kreatif” ini. Pemerintah Pusat bahkan membentuk lembaga khusus untuk “mengurusi” kesenian: Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Bagaimana nasib seniman dan kesenian di daerah-daerah? Di “second city”? Karakteristik dan kecenderungan suatu daerah dalam memperlakukan kesenian memang tidak bisa dipukul rata. Beberapa daerah memuliakan kesenian dengan amat sangat. Ini tentu berkait erat dengan sejarah dan kebudayaan di daerah tersebut.

Yang mengkhawatirkan adalah daerah-daerah “transisi” yang baru mau beranjak “modern” sedang sebagian masyarakatnya masih “tradisional”. Di Jawa Barat terdapat sebuah kabupaten bernama Ciamis. Sejarah mencatat, dulunya daerah ini merupakan pusat kerajaan Sunda dan Galuh yang  merupakan cikal-bakal kerajaan Pajajaran (1482–1579 )  yang berpusat di Bogor.

Sejarah kerajaan Galuh secara keseluruhan membentang panjang sejak 612 masehi dan terus berkait sampai runtuhnya Pajajaran pada 1579. Ciamis sangat kaya akan tinggalan budaya baik tinggalan budaya benda (tangible heritage) maupun tak benda (intangible heritage). Banyak seniman-seniman Ciamis yang menjadikan “artefak budaya” ini sumber inspirasi atau tema dalam karya-karya seni mereka dalam bentuk yang lebih kontemporer.
Sebab pemerintah Ciamis memandang tinggalan-tinggalan itu dengan kaca mata modern yang empiris-materialis maka kebijakannya menyangkut kesenian tidak pernah tepat sasaran. Seperti dikatakan di atas, Ciamis adalah kota yang sedang bertransisi. Dalam kondisi ini, pemerintah—dan sebagian masyarakat—seolah gagap membaca zaman dan bimbang akan identitas.

Tegangan antara keinganan untuk modern—dengan berkiblat ke Kota Bandung, misalnya—dan kondisi sebagian besar masyarakat yang masih berpola pikir tradisional (pra-modern) mengakibatkan kesenian di Ciamis tidak ke kanan tidak pula ke kiri, tidak maju mundur pun enggan. Jalan di tempat dengan identitas yang kabur.

Namun, meski demikian, denyut kesenian di Ciamis tidak pernah padam. Nyiar Lumar, merupakan hajat besar kesenian di Ciamis. Acara bienale yang digelar tiap tahun genap tersebut diadakan  pertama kali pada 1998, bertepatan dengan hancurnya Orde Baru. Nyiar Lumar diadakan di komplek situs Astana Gede, Kawali. Suatu komplek situs yang diyakini peninggalan kerajaan Sunda.  

Penggunaan komplek situs yang terdiri dari makam, hutan, dan beberapa tinggalan berupa prasasti, lingga, dan beberapa tinggalan lain dimaksudkan merespon “kekayaan” budaya yang dimiliki. Konsep kegiatannya pun anti-teknologi modern. Segala keperluan pertunjukan dan acara dihadirkan se-buhun mungkin. Lampu-lampu penerangan panggung dan jalan digantikan obor dan damar sewu. Dekorasi ruang pun menggunakan bahan-bahan alam seperti bambu, kayu, tembikar, janur, dan lain-lain.

Untuk memfasilitasi “modernitas”, panitia menyediakan panggung lain di luar komplek situs. Perjumpaan yang modern dan yang buhun ini seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah sebagai dasar pemikiran dalam membuat kebijakan-kebijakan kesenian, khususnya di Ciamis. Keduanya difasillitasi, meski tak dibiarkan saling berjumpa. Yang “sakral” dan yang “profan” di”representasikan” dalam biliknya sendiri-sendiri. Inilah moderat. Suatu sikap yang sepatutnya dicontoh para pembesar mandatais rakyat (baca: pemerintah).

Apakah Nyiar Lumar sudah cukup untuk mewadahi hasrat berkesenian seniman Ciamis? Sepertinya belum. Sekian kekayaan seni—baik kontemporer, modern, maupun tradisional—yang ada di Ciamis tidak semuanya bisa tertampung di Nyiar Lumar yang dua tahunan itu. Waktu dan sumber daya lainnya amatlah terbatas.

Memang banyak kegiatan kesenian lain yang digagas pemerintah Ciamis baik melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga maupun Dinas Pariwisata Ciamis. Namun, kegiatan-kegiatan ini agaknya lebih merupakan proyek ketimbang program. Sifatnya tentatif dan insidentil, melulu “dalam rangka”. Dua Dinas ini pun agaknya punya persoalan egosektoral. Alih-alih bersinergi, keduanya malah terkesan berkompetisi. Sebetulnya ini sehat. Kompetisi dan persaingan bisa memacu daya kreativitas dan semangat kerja. Seniman sih diuntungkan saja sebab bisa dapat job dari dua pintu. Agar tetap sehat, kompetisi ini harus dibarengi dengan sikap sportif dan semangat yang konstruktif. Bukan saling ejek dan menjelekkan.

Gedung Kesenian/Pusat Kesenian Ciamis
Apakah Ciamis perlu Gedung Kesenian? Menurut hemat saya, Ciamis sudah saatnya memiliki gedung kesenian yang representatif. Gedung kesenian yang dimaksud adalah gedung kesenian yang memiliki auditorium, panggung pertunjukan, instalasi tata cahaya panggung, dan kelengkapan lainnya terkait pertunjukan dalam ruangan (indoor). Lebih baik bila ditunjang dengan ruang pameran, fasilitas pemutaran film, dan perpustakaan sastra. Untuk pertunjukan luar ruangan (outdoor), Ciamis sudah cukup banyak memiliki tempat yang bagus. Terlebih tempat-tempat tersebut memilik nilai historis sebagai tinggalan kerajaan Galuh dan Sunda.

Meski Ciamis subur dan kuat akan seni tradisi, namun di kota kecil yang dijuluki “Kota Pensiunan” ini ada juga orang-orang yang bergerak di bidang seni-seni non-tradisional yang butuh “ruang khusus”. Penggiat seni rupa (lukis, patung, grafiti, kolase, dan seni rupa pertunjukan) dan film pun ada. Hanya saja karena fasilitas di daerah asal tidak mendukung, mereka banyak yang “lari” ke daerah lain macam Bandung atau Tasikmalaya yang fasilitas publik dan “kultur”nya lebih mendukung karya-karya mereka. Tentang sastrawan Ciamis yang moncer di kancah nasional bahkan internasional, ah, tak usah ditanya. Browsing saja!

Pemerintah sebenarnya punya fasilitas (ruang) yang fungsinya mirip gedung kesenian. Balé Réka Paminton Bhumi Niskala namanya. Ia terletak di seputaran komplek Astana Gede Kawali. Tapi,  biarlah ia menjadi kelengkapan komplek situs tersebut. Juga sebagai gedung (ruang) pertunjukan dengan bentuk pendopo. Itu biarlah begitu. “Ciamis Kota” perlu juga memiliki ruang khusus, semacam Pusat Kesenian Ciamis. Bagi kesenian-kesenian “modern”, gedung itu akan jadi wadah bari karya-karya mereka. Bagi kesenian “tradisional”, gedung itu haruslah berfungsi sebagai etalase saja.

Apa sebab? Mementaskan (merepresentasikan) kesenian tradisional bukan di “panggung aslinya” di masyarakat adalah pengkebirian. Panggung “Pusat Kesenian Ciamis” itu biarlah menjadi etalase semata, tempat penonton “mengintip” kesenian tersebut. Jika hendak “mengalami” kesenian itu secara utuh, datanglah ke daerah asal kesenian tersebut. Nikmatilah kesenian itu di rahim dan alamnya, di semestanya,  agar pengalaman yang didapat lebih utuh dan paripurna. 

Kehadiran Pusat Kesenian Ciamis harus pula didukung oleh berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya, menentukan siapa yang mengelola fasilitas tersebut. Pengelola fasilitas kesenian yang tidak memahami kesenian, ya, sama saja dengan menyuruh tukang sol sepatu mereparasi tivi yang rusak.

Buat juga program rutin. Bukan proyek insidentil dan tentatif saja. Lantas bagaimana menyokong kebutuhan operasional gedung? Bayar listrik, mengganti lampu yang mati, bayar air, dan lain-lain? Hemat saya, pada akhirnya gedung itu akan berbayar (sewa). Tapi itu nanti, jika iklim kesenian di Ciamis sudah memungkinkan untuk itu. Semua kan harus merintis dari nol.


Hitung-hitungan (bacaan tidak penting)
Awalnya, gedung itu gratiskan saja dulu. Atau kalaupun harus bayar, ya, ngga usah mahal-mahal. Misalnya, 300-500 ribu. Pemerintah harus paham juga dengan “pasar ekonomi kreatif” di Ciamis. Jangan asal saja menetapkan harga sewa gedung tanpa memahami “daya beli” masyarakat dalam kaitannya dengan kesenian. Sepengalaman saya, menjual tiket pertunjukan teater harga 10 ribu rupiah saja susahnya minta ampun. Banyak yang minta potongan. Padahal harga semangkuk bakso saja sudah rata-rata 15 ribu.

Kalau kapasitas penonton di gedung “Pusat Kesenian Ciamis” itu, misalnya, 300 orang per kali menonton, dengan harga tiket 10 ribu (tanpa potongan), maka per kali pertunjukan akan menghasilkan pemasukan kotor sebesar 3 juta rupiah. Kalau harga sewa gedung 300 – 500 ribu, ya, masih wajar lah (meski pun sebenarnya kemahalan).

Uang 2,5 juta hasil potongan sewa gedung itu kan masih dibagi-bagi lagi untuk konsumsi, bayar hutang bekas biaya produksi, dan lain-lain. Jadi berapa si seniman mendapat untung? Wah, sepertinya omset pertunjukan itu hanya akan cukup buat membeli kuota saja.

Jika orientasinya keuntungan (laba) maka sang seniman atau kelompok seni itu harus pentas sehari tiga kali dengan makan sekali saja, misalnya, biar irit. Katakanlah, tiap pentas itu penontonnya penuh. Jadi dapat 9 juta sehari. Di potong sewa gedung 500 ribu, sisa 8,5 juta. Ya, lumayan lah, meski jatuhnya honor akhir untuk masing-masing pemain tidak akan lebih besar dari UMR Ciamis.

Mau lebih untung lagi, ya, pentasnya jangan sehari saja. Pentaslah seminggu. Kalikan saja! 8,5 juta kali 7. Ya, 59, 5 juta rupiah. Waw! Terdengar besar, ya. Tapi edan juga kalau harus pentas sehari tiga kali selama satu minggu. Lagi pula bagaimana mancari 6.300 penonton (300x3x7) di Ciamis dan sekitarnya?

FYI (for your information), beberapa kelompok teater di kota Tasikmalaya sudah bisa menjual tiket pertunjukan (terbilang lebih dari satu pertunjukan) seharga (paling tinggi) 25 ribu. Dan ada yang beli, sebab dibina dan dibiasakan secara bertahap sejak bertahun-tahun lalu. Memang perlu stategi dan perjuangan panjang. Tapi kan bisa juga akhirnya. Di Ciamis sendiri tiket pertunjukan teater modern termahal (dan satu-satunya), sependek pengetahuan saya, sebesar 100 ribu rupiah per lembar (untuk dua orang). Itu pun dengan strategi pemasaran tersendiri.

***

Tentang keberadaan gedung kesenian atau Pusat Kesenian Ciamis memang sudah sering digunjingkan. Ya, namanya juga manusia, punya kehendak dan pemikiran yang beda-beda. Wajar kalau berdebat atau bergunjing. Asal jangan baper saja. Silaturahmi dan persaudaraan harus tetap dijaga.

Gunjingan itu akan sekedar jadi gunjingan atau buih omongan saja bila tidak dibaca pemerintah sebagai keresahan seniman yang harus ditanggapi secara cepat dan bijak. Pemerintah jangan alergi dengan komunikasi dua arah. Seniman juga harus ada yang berani berteriak, selain ada pula yang berjuang melalui celah-celah birokrasi.

Tapi kalau saja pemerintah menggeser paradigma modernnya yang materialistik itu, memposisikan dan menyikapi kesenian bisa dilakukan dengan wajar dan sepatutnya. Hitung-hitungannya jangan jangka pendek: aku (pemerintah) kasih kamu sekian rupiah, kau (seniman/masyarakat) harus menghasilkan PAD sekian rupiah. Kalau logika itu yang dikedepankan, kita akan terjebak pada materialisme belaka. Padahal membangun kebudayaan, dengan kesenian di dalamnya, bukan cuma perkara materiil belaka. Ada “investasi” jangka panjang, yakni membangun pikir dan rasa, membangun “jeroan” manusia.

Orang mengapresiasi kesenian kan bukan cari untung materiil. Apakah kita mendengarkan lagu atau menonton film untuk mencari keuntungan materiil? Apakah dengan membaca novel, cerpen, atau puisi si pembaca mendadak kaya raya? Mungkin ada saja yang demikian itu, tapi sebagian besar agaknya tidak. Mengapresiasi seni itu mencari “keuntungan” imateriil. Batin. Pemerintah harusnya paham agar kesenian tidak diperlakukan seperti kacang goreng di pinggir jalan.

Panjalu, 17 September 2019
keterangan gambar:
Pertunjukan Heart of Almond Jelly (Wishing Chong), Sutradara Rika R. Johara
Produksi Women In the Zero (WIZ) Project dan Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC). 2017

Jumat, 13 September 2019

Stempel

Pernahkah kamu mengisi daftar hadir dalam sebuah acara pemerintah? Atau mendapat undangan untuk sebuah acara? Atau menjadi penanya dalam sebuah kegiatan? Atau mengajukan proposal pada “Lembaga Negara” (Pemeritah)? Singkatnya, pernahkah kamu berurusan dengan pemerintah? Kecuali membuat dokumen kependudukan (Akta Kelahiran, KK, KTP, Surat Nikah, Surat Keterangan Kematian, dsb), urusan pajak perorangan, dan sejumlah kecil urusan lain,  “warganegara” yang berurusan dengan Negara seringkali ditanya: “Dari komunitas mana?”, “ Dari instansi mana?”, “Lembaganya apa?” “Kampus mana?” “Sebagai apa di organisasi itu?” dan pertanyaan sejenisnya yang menyebabkan si warganegara harus menyebut atau menuliskan nama lembaga atau komunitas muasalnya.
 
Dalam hal ini, warganegara seolah tak beda dengan stempel. Ya, stempel. Ia bersaudara dengan kop surat dan logo. Tiga hal itu wajib ada sebagai keabsahan lembaga. Kalau kamu mau mengurusi uang bantuan dari negara, kamu harus punya ketiga hal itu: stempel, kop surat, dan logo.
 
Mengapa warganegara harus diikuti identitas komunitas di belakang namanya?  Tidak bisakah ia, warganegera itu, berhadapan dengan negara yang perkasa dan abstak itu atas “nama” dirinya sendiri, sebagai warganegara, sebagai individu, sebagai “aku”, sebagai manusia?
 
Apakah karena sila ke-4 Pancasila menyebut-nyebut kata “perwakilan”, maka individu yang berhadapan dengan negara harus dipandang sebagai pewakilan dari kelompok tertentu? Aduh, mungkin anggapan itu terlalu sembarangan dan gegabah. Baiklah. Mari tidak perlu membawa-bawa Pancasila, sebagaimana para politisi juga tidak pernah membawa-bawa azas negara itu dalam tiap hasil kerja mereka.
 
Mungkin karena warganegara NKRI yang 250 juta jiwa ini sedang negara belum mampu memperhatikan satu per satu warganya karena keterbatasan ini itu dan kesibukan mempekaya diri sendiri, maka negara “mengkotak-kotakkan” warganya dalam kotak-kotak entitas yang dianggapnya mewakili, represetatif. Biar lebih mudah mengurusnya, 250 juta jiwa itu di ringkas dalam beberapa himpunan saja. Seorang ketua Asosiasi Seniman Tanpa Komunitas, cukup seorang saja, dianggap oleh negara mewakili sekian ribu “seniman tanpa komunitas”. Memberi bantuan pada asosiasi itu—atau hanya pada ketuanya seorang dengan surat resmi yang ber-kop dan dibubuhi stempel—maka tuntaslah “kewajiban” negara memperhatikan nasib seniman-seniman ini. Demikian pula asosiasi, paguyuban, aliansi, lingkaran, himpunan, gabungan, grup, kelompok, forum, serikat, perkumpulan, persatuan, organisasi, komunitas, lembaga, dan sebutan lainnya di bidang lain.
 
Tapi sikap negara itu  tidak sepenuhnya salah. Perkumpulan-perkumpulan itu lazimnya punya daftar anggota yang jelas. Yang dianggap terwakili tentu yang terdafar sebagai anggota perkumpulan. Para anggota tentu dengan sadar dan waras menyatakan diri sebagai anggota, membaca AD ART serta aturan lainnya, dan siap tunduk patuh pada aturan perkumpulan tersebut, termasuk bersedia diwakilkan.
 
Bagaimana nasib individu yang tidak terdaftar sebagai anggota perkumpulan sedang ia melakukan aktivitas yang sama persis dilakukan oleh anggota perkumpulan? Misalnya, seorang tukang bakso kaki lima tidak terdaftar sebagai anggota Paguyuban Pedagang Bakso Kaki Lima? Bagaimana nasibnya? Apakah negara tidak akan “mengakui”nya sebagai tukang bakso kaki lima? Boleh jadi ia tak terdaftar sebab memang enggan, karena satu dan berbagai hal yang menyangkut keyakinannya (baca: idealisme) sebagai tukang bakso kaki lima. Bagaimana negara memandang individu macam itu? Yang selalu ada dalam tiap “profesi”? Selalu ada yang mahiwal (berbeda dari kebanyakan; lain dari lazimnya) dalam segala sesuatu.  
 
Jadi siapa yang salah? Negara atau orang yang tidak mendaftarkan diri sebagai anggota komunitas? Kan negara—melalui seorang Kepala Dinas atau pejabat lain—bisa berdalih: “Salah sendiri, kamu tidak masuk komunitas. Jadinya tidak terdata. Ingat, negara bekerja berdasarkan data!”. Kemudian si mahiwal menjawab: “Berserikat itu hak, bukan kewajiban. Bukankah itu jelas dalam UUD. Kalau negara ngurusi rakyat, itu kewajiban.”
 
Sekian dan terimakasih.
 
Mangunjaya – Panjalu
September 2019

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...