Pernahkah
kamu mengisi daftar hadir dalam sebuah acara pemerintah? Atau mendapat undangan
untuk sebuah acara? Atau menjadi penanya dalam sebuah kegiatan? Atau mengajukan
proposal pada “Lembaga Negara” (Pemeritah)? Singkatnya, pernahkah kamu berurusan
dengan pemerintah? Kecuali membuat dokumen kependudukan (Akta Kelahiran, KK,
KTP, Surat Nikah, Surat Keterangan Kematian, dsb), urusan pajak perorangan,
dan sejumlah kecil urusan lain, “warganegara”
yang berurusan dengan Negara seringkali ditanya: “Dari komunitas mana?”, “ Dari
instansi mana?”, “Lembaganya apa?” “Kampus mana?” “Sebagai apa di organisasi
itu?” dan pertanyaan sejenisnya yang menyebabkan si warganegara harus menyebut atau menuliskan nama lembaga
atau komunitas muasalnya.
Dalam hal ini, warganegara
seolah tak beda dengan stempel. Ya, stempel. Ia bersaudara dengan kop surat dan
logo. Tiga hal itu wajib ada sebagai keabsahan lembaga. Kalau kamu mau
mengurusi uang bantuan dari negara, kamu harus punya ketiga hal itu: stempel,
kop surat, dan logo.
Mengapa
warganegara harus diikuti identitas komunitas di belakang namanya? Tidak bisakah ia, warganegera itu, berhadapan
dengan negara yang perkasa dan abstak itu atas “nama” dirinya sendiri, sebagai
warganegara, sebagai individu, sebagai “aku”, sebagai manusia?
Apakah
karena sila ke-4 Pancasila menyebut-nyebut kata “perwakilan”, maka individu
yang berhadapan dengan negara harus dipandang sebagai pewakilan dari kelompok
tertentu? Aduh, mungkin anggapan itu terlalu sembarangan dan gegabah. Baiklah.
Mari tidak perlu membawa-bawa Pancasila, sebagaimana para politisi juga tidak
pernah membawa-bawa azas negara itu dalam tiap hasil kerja mereka.
Mungkin
karena warganegara NKRI yang 250 juta jiwa ini sedang negara belum mampu memperhatikan
satu per satu warganya karena keterbatasan ini itu dan kesibukan mempekaya diri
sendiri, maka negara “mengkotak-kotakkan” warganya dalam kotak-kotak
entitas yang dianggapnya mewakili, represetatif. Biar lebih mudah
mengurusnya, 250 juta jiwa itu di ringkas dalam beberapa himpunan saja.
Seorang ketua Asosiasi Seniman Tanpa Komunitas, cukup seorang saja, dianggap
oleh negara mewakili sekian ribu “seniman tanpa komunitas”. Memberi bantuan
pada asosiasi itu—atau hanya pada ketuanya seorang dengan surat resmi yang
ber-kop dan dibubuhi stempel—maka tuntaslah “kewajiban” negara memperhatikan
nasib seniman-seniman ini. Demikian pula asosiasi, paguyuban, aliansi, lingkaran, himpunan,
gabungan, grup, kelompok, forum, serikat, perkumpulan, persatuan, organisasi,
komunitas, lembaga, dan sebutan lainnya di bidang lain.
Tapi sikap negara
itu tidak sepenuhnya salah.
Perkumpulan-perkumpulan itu lazimnya punya daftar anggota yang jelas. Yang
dianggap terwakili tentu yang terdafar sebagai anggota perkumpulan. Para
anggota tentu dengan sadar dan waras menyatakan diri sebagai anggota, membaca
AD ART serta aturan lainnya, dan siap tunduk patuh pada aturan perkumpulan
tersebut, termasuk bersedia diwakilkan.
Bagaimana
nasib individu yang tidak terdaftar sebagai anggota perkumpulan sedang ia
melakukan aktivitas yang sama persis dilakukan oleh anggota perkumpulan?
Misalnya, seorang tukang bakso kaki lima tidak terdaftar sebagai anggota
Paguyuban Pedagang Bakso Kaki Lima? Bagaimana nasibnya? Apakah negara tidak
akan “mengakui”nya sebagai tukang bakso kaki lima? Boleh jadi ia tak terdaftar
sebab memang enggan, karena satu dan berbagai hal yang menyangkut keyakinannya
(baca: idealisme)
sebagai tukang bakso kaki lima. Bagaimana negara memandang individu macam itu?
Yang selalu ada dalam tiap “profesi”? Selalu ada yang mahiwal (berbeda dari kebanyakan;
lain dari lazimnya) dalam segala sesuatu.
Jadi siapa yang salah? Negara
atau orang yang tidak mendaftarkan diri sebagai anggota komunitas? Kan negara—melalui
seorang Kepala Dinas atau pejabat lain—bisa berdalih: “Salah sendiri, kamu
tidak masuk komunitas. Jadinya tidak terdata. Ingat, negara bekerja berdasarkan
data!”. Kemudian si mahiwal menjawab: “Berserikat itu hak, bukan kewajiban. Bukankah
itu jelas dalam UUD. Kalau negara ngurusi rakyat, itu kewajiban.”
Sekian dan terimakasih.
Mangunjaya – Panjalu
September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar