Jumat, 13 September 2019

Stempel

Pernahkah kamu mengisi daftar hadir dalam sebuah acara pemerintah? Atau mendapat undangan untuk sebuah acara? Atau menjadi penanya dalam sebuah kegiatan? Atau mengajukan proposal pada “Lembaga Negara” (Pemeritah)? Singkatnya, pernahkah kamu berurusan dengan pemerintah? Kecuali membuat dokumen kependudukan (Akta Kelahiran, KK, KTP, Surat Nikah, Surat Keterangan Kematian, dsb), urusan pajak perorangan, dan sejumlah kecil urusan lain,  “warganegara” yang berurusan dengan Negara seringkali ditanya: “Dari komunitas mana?”, “ Dari instansi mana?”, “Lembaganya apa?” “Kampus mana?” “Sebagai apa di organisasi itu?” dan pertanyaan sejenisnya yang menyebabkan si warganegara harus menyebut atau menuliskan nama lembaga atau komunitas muasalnya.
 
Dalam hal ini, warganegara seolah tak beda dengan stempel. Ya, stempel. Ia bersaudara dengan kop surat dan logo. Tiga hal itu wajib ada sebagai keabsahan lembaga. Kalau kamu mau mengurusi uang bantuan dari negara, kamu harus punya ketiga hal itu: stempel, kop surat, dan logo.
 
Mengapa warganegara harus diikuti identitas komunitas di belakang namanya?  Tidak bisakah ia, warganegera itu, berhadapan dengan negara yang perkasa dan abstak itu atas “nama” dirinya sendiri, sebagai warganegara, sebagai individu, sebagai “aku”, sebagai manusia?
 
Apakah karena sila ke-4 Pancasila menyebut-nyebut kata “perwakilan”, maka individu yang berhadapan dengan negara harus dipandang sebagai pewakilan dari kelompok tertentu? Aduh, mungkin anggapan itu terlalu sembarangan dan gegabah. Baiklah. Mari tidak perlu membawa-bawa Pancasila, sebagaimana para politisi juga tidak pernah membawa-bawa azas negara itu dalam tiap hasil kerja mereka.
 
Mungkin karena warganegara NKRI yang 250 juta jiwa ini sedang negara belum mampu memperhatikan satu per satu warganya karena keterbatasan ini itu dan kesibukan mempekaya diri sendiri, maka negara “mengkotak-kotakkan” warganya dalam kotak-kotak entitas yang dianggapnya mewakili, represetatif. Biar lebih mudah mengurusnya, 250 juta jiwa itu di ringkas dalam beberapa himpunan saja. Seorang ketua Asosiasi Seniman Tanpa Komunitas, cukup seorang saja, dianggap oleh negara mewakili sekian ribu “seniman tanpa komunitas”. Memberi bantuan pada asosiasi itu—atau hanya pada ketuanya seorang dengan surat resmi yang ber-kop dan dibubuhi stempel—maka tuntaslah “kewajiban” negara memperhatikan nasib seniman-seniman ini. Demikian pula asosiasi, paguyuban, aliansi, lingkaran, himpunan, gabungan, grup, kelompok, forum, serikat, perkumpulan, persatuan, organisasi, komunitas, lembaga, dan sebutan lainnya di bidang lain.
 
Tapi sikap negara itu  tidak sepenuhnya salah. Perkumpulan-perkumpulan itu lazimnya punya daftar anggota yang jelas. Yang dianggap terwakili tentu yang terdafar sebagai anggota perkumpulan. Para anggota tentu dengan sadar dan waras menyatakan diri sebagai anggota, membaca AD ART serta aturan lainnya, dan siap tunduk patuh pada aturan perkumpulan tersebut, termasuk bersedia diwakilkan.
 
Bagaimana nasib individu yang tidak terdaftar sebagai anggota perkumpulan sedang ia melakukan aktivitas yang sama persis dilakukan oleh anggota perkumpulan? Misalnya, seorang tukang bakso kaki lima tidak terdaftar sebagai anggota Paguyuban Pedagang Bakso Kaki Lima? Bagaimana nasibnya? Apakah negara tidak akan “mengakui”nya sebagai tukang bakso kaki lima? Boleh jadi ia tak terdaftar sebab memang enggan, karena satu dan berbagai hal yang menyangkut keyakinannya (baca: idealisme) sebagai tukang bakso kaki lima. Bagaimana negara memandang individu macam itu? Yang selalu ada dalam tiap “profesi”? Selalu ada yang mahiwal (berbeda dari kebanyakan; lain dari lazimnya) dalam segala sesuatu.  
 
Jadi siapa yang salah? Negara atau orang yang tidak mendaftarkan diri sebagai anggota komunitas? Kan negara—melalui seorang Kepala Dinas atau pejabat lain—bisa berdalih: “Salah sendiri, kamu tidak masuk komunitas. Jadinya tidak terdata. Ingat, negara bekerja berdasarkan data!”. Kemudian si mahiwal menjawab: “Berserikat itu hak, bukan kewajiban. Bukankah itu jelas dalam UUD. Kalau negara ngurusi rakyat, itu kewajiban.”
 
Sekian dan terimakasih.
 
Mangunjaya – Panjalu
September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...