Senin, 30 September 2019

Lupa: “Suatu saat nanti kita perlu sederhana. Tak tergesa-gesa” (oleh-oleh menonton dramatisasi puisi “Lupa” oleh Ngaos Art)


Ngecoh. Menipu! Sumur, bingkai jendela, meja-meja, kursi, dan daun pintu sedari penonton mulai masuk sudah ada di panggung, Kecuali sumur, semuanya bercat serba putih. Mereka, benda-benda itu, ditata sedemikian rupa menyerupai ruang sebuah rumah gaya lama, lengkap dengan sumurnya. Ternyata, eh, ternyata, seting itu diangkut. Lebih dari sepuluh orang membawanya keluar panggung, hilang dari jangkauan pandang.

Sebelum diangkut, beberapa pemain masuk membersihkan ruang dan macam-macam benda itu: dilap, dipel, dan disapu. Adegan itu merangsang imajinasi, seolah menggambarkan adegan pagi-pagi. Apalagi kemunculan mereka diiringi musik bernuansa Sunda. Oh, ini pasti ceritanya di Jawa Barat. Pagi hari.

Harapan menyaksikan drama realis pun kandas ketika para pemain memboyong keluar seting itu.

Sejumlah penonton—setidak-tidaknya saya—menungggu-nunggu penuh penasaran kapan seting itu akan dimunculkan kembali. Tentu dengan sekian spekulasi dalam kepala yang sebenarnya tidak bijak dan tidak perlu dalam menonton sebuah pertunjukan teater. Tapi apa daya? Barangkali begitulah manusia, selalu berhasrat mendahului waktu. Penonton—setidak-tidaknya saya—lupa bahwa yang sedang ada di hadapan mata adalah peristiwa yang melekat pada waktu. Mengalir. Seperti hidup. Realitas. Semacam kasunyatan.

Benda-benda representasional itu nyatanya tidak pernah dimunculkan lagi hingga penonton riuh bertepuk tangan tanda usai pertunjukan. Gimik yang cantik.

Adegan-adegan selanjutnya merupakan fragmen-fragmen yang menggambarkan fenomena lupa dalam pelbagai peristiwa. Ada suami lupa istrinya. Lupa (tak sadar), keliru mengenakan baju. Seseorang lupa nama orang yang ditemuinya. Seseorang yang lupa pada “ketelanjangannya”. “Seseorang” yang lupa pada tukang becak. Orang-orang yang tidak lupa membawa topeng saat mandi “Untuk menakut-nakuti sepi./ Menemani wajah sendiri.” namun lupa pada dirinya sendiri. Dan lupa-lupa yang lain.
 
Menyerap semangat zaman yang serba cepat, irama pertunjukan pun dibuat ketat. Adegan-adegan “berlari-lompat” dari satu bagian ke bagian lain. Dari satu lupa ke lupa yang lain. Nyaris tidak ada jeda untuk memamah, menyerap, apalagi merenung(kan) satu persatu adegan sebab boleh jadi tidak diperlukan. Permainan tubuh atraktif-koreografis memang meujeuh (pas) dimainkan cepat.

Jeda untuk “mencerna” ditempatkan di bagian akhir. Semua pemain terlibat melantunkan koor yang agaknya dimaksudkan sebagai “amanat” pertunjukan. Inilah bagian goong. “Konklusi” usai puncak tanjakan.

Adegan demonstrasi jadi tanjakan sebelum dor! Petasan meledak. Puncak. Suaranya mirip letusan senapan. Sebelum meledak, kemunculannya menimbulkan efek cahaya seperti lampu strobo. Berkelip-kedip. Cepat. Silau. Membikin tegang suasana sebelum dor! itu.       

***

Menonton Ngaos Art malam itu, Sabtu, 28 September 2019 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya adalah menyaksikan dua belas tubuh-tubuh yang—meski tidak semua—cukup matang. Terlatih. Dalam beberapa adegan tubuh-tubuh itu membentuk komposisi yang sukar dilakukan bila tanpa latihan memadai dan kepercayaan antar sesamanya.

Beberapa adegan memang nampak kagok seperti ketika tiga lelaki nyaris telanjang menari naked towel dance ‘tari handuk telanjang’. La Serviette (judul pertunjukan ini yang berarti handuk dalam bahasa Prancis) populer (di Youtube) sejak dua pria Prancis yang menamakan diri Les Beaux Fréres menampilkannya dalam sebuah acara tivi setempat bertajuk Le Plus Grand Cabaret du Monde pada 2014.

Pria-pria telanjang itu memainkan-mainkan handuk dengan koreografi tertentu yang dirancang presisi, seksi, jenaka, namun “menegangkan”. Area vital harus “aman”, tidak boleh terlihat penonton sedang mereka tak bercelana sama sekali.

Jimat—salah seorang aktor Ngaos Art—dan dua kawannya tidak benar-benar telanjang. Mereka masih menggunakan semacam celana street super pendek. Mungkin karena pertimbangan teknis dan etis. Mereka juga tidak menggunakan handuk, tapi sarung. Sebelumnya, sarung itu difungsikan sebagai tirai mandi. Tiga lelaki itu mandi dengan sebagian wajah tertutup topeng. Di dada mereka melekat semacam payudara boongan.

Pertunjukan ini kaya akan ragam artikulasi. Gruping pada beberapa fragmen digarap dengan rapi dan presisi. Terlalu presisi. Terlalu rapi. Seperti zaman ini, yang semuanya serba “dikemas”, terlalu rapi dan presisi sehingga kesan alami agak pudar walau tak hilang sama sekali.

Tak hanya gruping, fragmen lain diisi dengan nyanyi dan koreografi juga. Ada juga tiga orang narator yang menyampaikan narasi dengan kanon (berantai-bersahutan) yang seolah berantakan di bagian kanan-depan panggung. Sedang seseorang yang berdiri di seberangnya, kiri-depan panggung, menerjemahkan narasi yang merupakan teks puisi itu ke dalam bahasa isyarat.

Teknik pengucapan dialog kanon ini mewarnai banyak adegan. Agaknya ini khas Ngaos Art setidaknya dalam beberapa pertunjukan terakhir. Teknik ini asik, membuka kemungkinan aneka komposisi. Selain perlu kerjasama tinggi antar pemainnya, kedahirannya juga bisa dimaknai sebagai kesatuan. Bahwa tubuh-tubuh itu adalah satu. Bahwa peristiwa ini bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk yang menonton. Kecuali itu, boleh jadi sebagai siasat juga agar beban aktor untuk “menjadi” bisa terbagi-bagi.

Dengan beragam dan bercampurnya kesemua itu, pertunjukan ini agak mirip-mirip dengan beberapa bentuk teater rakyat (tradisional). Dalam teater tradisi batas antara sastra, tari, rupa, drama, dan musik menjadi tidak jelas dan tidak harus jelas. Tontonan adalah tontonan. Semuanya nyampur untuk kemudian nyawiji. Namun, bila teater tradisional biasanya kental improvisasi dan “komunikasi” dengan penonton, tidak demikian dengan pertunjukan yang di sutradarai Ab Asmarandana ini. Bukan tidak ada, namun berbeda dalam kadar dan wujudnya.

Laku menghancurkan the fourth wall terdapat pada fragmen di bagian awal menuju tengah-tengah pertunjukan. Semua pemain “menggeruduk” penonton, khususnya yang duduk paling depan. Pada penonton mereka menanyakan “sebenarnya mau pergi ke mana?” setelah sebelumnya seperti kebingungan akan tujuan mereka sendiri. Bagian ini terkesan terlalu tertata jika dimaksudkan sebagai improvisasi serta “komunikasi” dengan penonton. Durasinya terlalu pendek pula. Terlalu tergesa-gesa.

Tanpa harus ngobrol, mempertontonkan tontonan juga—sebenarnya—merupakan sebentuk komunikasi seniman dengan penonton. Namun, dalam teater tradisional, komunikasi tersebut biasanya terjalin dalam bentuk verbal, ngobrol. Cair. Komunikasi dalam wujud “komunikasi”.  

Kecenderungan Kang Abuy (demikian sang sutradara akrab disapa)—kalau pun tidak dsebut berpola teater tradisi—memasukan nuansa etnik, selain dalam pertunjukan-pertunjukan terdahulu, dapat pula ditemukan pada pertunjukan ini.

Di bagian awal, lima pasang pemain saling bicara tentang lupa dalam macam-macam dialek dan bahasa Nusantara plus satu bahasa asing (Jepang). Pada bagian ini pula, instrumentasi nadom éling-éling umat yang biasa didengar di kampung-kampung dan pesantren di Jawa Barat hadir. Selain bermakna sebagai penawar lupa, nadoman yang biasa dilantunkan selepas adzan ini bisa pula dibaca sebagai idiom pilemburan (perkampungan dalam bahasa Sunda).  

***

Pertunjukan ini berjudul “Lupa”, sebuah dramatisasi dari puisi Joko Pinurbo dengan judul yang sama. Puisinya sendiri terbagi enam bagian. Bagian satu, dua, dan enam lebih liris. Dimaksudkan sebagai “prolog” dan “epilog”. Tidak ada narasi persitiwa atau dialog.

Bagian tiga, empat, dan lima sebaliknya. Mereka bercerita tentang peristiwa. Bagian tiga dan empat bercerita tantang “ia” yang sudah berdandan rapih, berjas, lengkap dengan segala pernak-perniknya. “Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa./ Sebenarnya mau pergi ke mana?”

Bagian lima yang terpanjang. Lebih realis dengan alur yang jelas. Lengkap dengan dialog, bagian ini menceritakan perjumpaan aku lirik dan tukang becak yang “Tiba-tiba/ aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang/ yang mirip dengan dia di rumah sakit, tapi bukan dia.”

Dua hal “sama” yang terdapat dalam dua cerita tersebut: sama-sama lupa dan menyinggung-nyinggung tentang rumah sakit. Pada cerita pertama dikatakan: “Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!/ Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan/ segala pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk?/ Memasuki rumah sakit jiwa.”

Sedang “aku” pada cerita kedua mengatakan bahwa ia pernah berjumpa dengan orang yang mirip dengan si tukang becak di rumah sakit, tapi bukan dia.

“Aku” tidak menjelaskan lebih lanjut rumah sakit apa yang dimaksud. Apakah sama seperti rumah sakit pada cerita pertama, rumah sakit jiwa? Atau rumah sakit yang lain? Ataukah “ia” merupakan orang pernah ditemui “aku” di rumah sakit, yang mirip dengan tukang becak itu? Agaknya perlu kajian lebih mendalam berupa kritik sastra (puisi) untuk menjawab misteri-misteri itu.

***
Puisi dan dramatisasi puisi adalah dua hal yang berbeda. Dua karya yang berlainan. Dramatisasi puisi merupakan alih wahana puisi dari tulis (teks) ke pertunjukan (laku; lakon; audio visual). Pada prosesnya, puisi akan dibaca, didedah, ditafsir, ditransformasikan menjadi teks drama, dibaca kembali, dilatihkan, dimainkan. Dramatisasi puisi merupakan tafsir teks puisi yang diwujudkan dalam bentuk pertunjukan drama.

Karena ia tafsir maka usaha memahami dramatisasi puisi sejatinya merupakan menafsir tafsir  atas sebuah puisi. Boleh jadi penonton membaca puisinya sebelum atau usai menonton. Berupaya menyambungkan antara teks dengan laku di panggung. Atau sebagai semacam panduan. Menerka-nerka apa yang ada dalam kepala sutradara. Atau tidak. Ya, boleh-boleh saja. Apakah menonton drama harus berarti membaca teksnya juga?

Pada “Lupa”nya Ngaos Art ada hal kekinian yang “disisipkan”: demonstrasi. Ini bisa dipahami sebagai upaya agar pertunjukan—dan puisi itu sendiri—terasa dekat, lekat, dan kontekstual dengan keadaan sosial terbaru yang sama-sama dipahami. Negara (me)lupa(kan) sejarahnya sendiri bahwa kekerasan tidak pernah melahirkan apa-apa selain nganga luka yang lebih pedih-perih dari sekedar tubuh (daging dan tulang) yang terluka.

Kekinian itu bisa dirasakan pula pada sejumlah adegan “ringan” yang agaknya cenderung lebih mudah “diterima” penonton milenial. Macam-macam lupa dihadirkan dalam cara yang jenaka. Yang bikin penonton bergelak tawa. Tontonan didekatkan sedemikian rupa dengan kehidupan mereka agar tidak terasa jauh dan asing. “Main-main” yang serius, tidak main-main.

Jika Joko Pinurbo menutup puisinya dengan “Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?/ Lupa: matawaktu yang tidur sementara.” tidak demikian dengan pertunjukan ini. Justru “matawaktu yang tidur sementara” itu kurang begitu terasa dalam pertunjukan ini. Simbol-simbol waktu yang ditulis jelas dalam bait awal puisi ini berupa “kalender” dan “jam”  justru absen. Tapi, ini yang menarik.   
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
Tafsir bagian inilah yang kemudian diperluasan sekaligus diperdalam untuk dijadikan semacam  “amanat” pertunjukan. “Sederhana” dan “tidak tergesa-gesa”, seperti becak, digubah menjadi koor yang diulang-ulang. Menjadi penutup pertunjukan. Menjadi premis. Menjadi goong. Menjadi ruh pertunjukan.

Suatu saat nanti kita perlu sederhana
Tak tergesa-gesa

Sering kali ketergesa-gesaan menyebabkan lupa. Meski lupa itu enak. Membebaskan. Namun, ia hanya sementara.

Jangan lupa, tulisan ini juga boleh jadi buah ke-lupa-an dan kealpaan saya. Dan sebelum saya lupa, ada petikan tentang “lupa” dari sebuah serat karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Begini tulisnya:

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

Panjalu, 30 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...