Ngecoh. Menipu! Sumur, bingkai jendela,
meja-meja, kursi, dan daun pintu sedari penonton mulai masuk sudah ada di
panggung, Kecuali sumur, semuanya bercat serba putih. Mereka, benda-benda itu, ditata
sedemikian rupa menyerupai ruang sebuah rumah gaya lama, lengkap dengan
sumurnya. Ternyata, eh, ternyata, seting itu diangkut. Lebih dari sepuluh orang
membawanya keluar panggung, hilang dari jangkauan pandang.
Sebelum diangkut, beberapa pemain masuk membersihkan ruang
dan macam-macam benda itu: dilap, dipel, dan disapu. Adegan itu merangsang
imajinasi, seolah menggambarkan adegan pagi-pagi. Apalagi kemunculan mereka
diiringi musik bernuansa Sunda. Oh, ini pasti ceritanya di Jawa Barat. Pagi
hari.
Harapan menyaksikan drama realis pun kandas ketika para
pemain memboyong keluar seting itu.
Sejumlah penonton—setidak-tidaknya saya—menungggu-nunggu
penuh penasaran kapan seting itu akan dimunculkan kembali. Tentu dengan sekian
spekulasi dalam kepala yang sebenarnya tidak bijak dan tidak perlu dalam
menonton sebuah pertunjukan teater. Tapi apa daya? Barangkali begitulah
manusia, selalu berhasrat mendahului waktu. Penonton—setidak-tidaknya saya—lupa bahwa yang sedang ada di hadapan
mata adalah peristiwa yang melekat pada waktu. Mengalir. Seperti hidup. Realitas.
Semacam kasunyatan.
Benda-benda representasional itu nyatanya tidak pernah
dimunculkan lagi hingga penonton riuh bertepuk tangan tanda usai pertunjukan.
Gimik yang cantik.
Adegan-adegan selanjutnya merupakan fragmen-fragmen yang
menggambarkan fenomena lupa dalam pelbagai peristiwa. Ada suami lupa istrinya. Lupa
(tak sadar), keliru mengenakan baju. Seseorang lupa nama orang yang ditemuinya.
Seseorang yang lupa pada “ketelanjangannya”. “Seseorang” yang lupa pada tukang
becak. Orang-orang yang tidak lupa membawa topeng saat mandi “Untuk menakut-nakuti
sepi./ Menemani wajah sendiri.” namun lupa pada dirinya sendiri. Dan lupa-lupa
yang lain.
Menyerap semangat zaman yang serba cepat, irama pertunjukan
pun dibuat ketat. Adegan-adegan “berlari-lompat” dari satu bagian ke bagian
lain. Dari satu lupa ke lupa yang lain. Nyaris tidak ada jeda untuk memamah,
menyerap, apalagi merenung(kan) satu persatu adegan sebab boleh jadi tidak
diperlukan. Permainan tubuh atraktif-koreografis memang meujeuh (pas) dimainkan cepat.
Jeda untuk “mencerna” ditempatkan di bagian akhir. Semua pemain
terlibat melantunkan koor yang agaknya dimaksudkan sebagai “amanat” pertunjukan.
Inilah bagian goong. “Konklusi” usai
puncak tanjakan.
Adegan demonstrasi jadi tanjakan sebelum dor! Petasan meledak. Puncak. Suaranya mirip letusan senapan.
Sebelum meledak, kemunculannya menimbulkan efek cahaya seperti lampu strobo. Berkelip-kedip.
Cepat. Silau. Membikin tegang suasana sebelum dor! itu.
***
Menonton Ngaos Art malam itu, Sabtu, 28 September 2019 di
Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya adalah menyaksikan dua belas tubuh-tubuh
yang—meski tidak semua—cukup matang. Terlatih. Dalam beberapa adegan tubuh-tubuh
itu membentuk komposisi yang sukar dilakukan bila tanpa latihan memadai dan
kepercayaan antar sesamanya.
Beberapa adegan memang nampak kagok seperti ketika tiga lelaki nyaris telanjang menari naked towel dance ‘tari handuk
telanjang’. La Serviette (judul pertunjukan ini yang berarti handuk dalam
bahasa Prancis) populer (di Youtube) sejak dua pria Prancis yang menamakan diri
Les Beaux Fréres menampilkannya dalam sebuah acara tivi setempat bertajuk Le Plus Grand Cabaret du Monde pada 2014.
Pria-pria telanjang itu
memainkan-mainkan handuk dengan koreografi tertentu yang dirancang presisi,
seksi, jenaka, namun “menegangkan”. Area vital harus “aman”, tidak boleh
terlihat penonton sedang mereka tak bercelana sama sekali.
Jimat—salah seorang aktor Ngaos
Art—dan dua kawannya tidak benar-benar telanjang. Mereka masih menggunakan
semacam celana street super pendek. Mungkin karena pertimbangan teknis
dan etis. Mereka juga tidak menggunakan handuk, tapi sarung. Sebelumnya, sarung
itu difungsikan sebagai tirai mandi. Tiga lelaki itu mandi dengan
sebagian wajah tertutup topeng. Di dada mereka melekat semacam payudara boongan.
Pertunjukan ini kaya akan ragam artikulasi.
Gruping pada beberapa fragmen digarap dengan rapi dan presisi. Terlalu presisi.
Terlalu rapi. Seperti zaman ini, yang semuanya serba “dikemas”, terlalu rapi
dan presisi sehingga kesan alami agak pudar walau tak hilang sama sekali.
Tak hanya gruping, fragmen lain
diisi dengan nyanyi dan koreografi juga. Ada juga tiga orang narator yang
menyampaikan narasi dengan kanon (berantai-bersahutan) yang seolah
berantakan di bagian kanan-depan panggung. Sedang seseorang yang berdiri di
seberangnya, kiri-depan panggung, menerjemahkan narasi yang merupakan teks
puisi itu ke dalam bahasa isyarat.
Teknik pengucapan dialog kanon ini
mewarnai banyak adegan. Agaknya ini khas Ngaos Art setidaknya dalam beberapa
pertunjukan terakhir. Teknik ini asik, membuka kemungkinan aneka komposisi. Selain
perlu kerjasama tinggi antar pemainnya, kedahirannya juga bisa dimaknai sebagai
kesatuan. Bahwa tubuh-tubuh itu adalah satu. Bahwa peristiwa ini bisa terjadi
pada siapa saja. Termasuk yang menonton. Kecuali itu, boleh jadi sebagai siasat
juga agar beban aktor untuk “menjadi” bisa terbagi-bagi.
Dengan beragam dan bercampurnya
kesemua itu, pertunjukan ini agak mirip-mirip dengan beberapa bentuk teater
rakyat (tradisional). Dalam teater tradisi batas antara sastra, tari, rupa,
drama, dan musik menjadi tidak jelas dan tidak harus jelas. Tontonan adalah
tontonan. Semuanya nyampur untuk kemudian nyawiji. Namun, bila
teater tradisional biasanya kental improvisasi dan “komunikasi” dengan
penonton, tidak demikian dengan pertunjukan yang di sutradarai Ab Asmarandana
ini. Bukan tidak ada, namun berbeda dalam kadar dan wujudnya.
Laku menghancurkan the fourth
wall terdapat pada fragmen di bagian awal menuju tengah-tengah pertunjukan.
Semua pemain “menggeruduk” penonton, khususnya yang duduk paling depan. Pada penonton
mereka menanyakan “sebenarnya mau pergi ke mana?” setelah sebelumnya seperti
kebingungan akan tujuan mereka sendiri. Bagian ini terkesan terlalu tertata
jika dimaksudkan sebagai improvisasi serta “komunikasi” dengan penonton.
Durasinya terlalu pendek pula. Terlalu tergesa-gesa.
Tanpa harus ngobrol, mempertontonkan
tontonan juga—sebenarnya—merupakan sebentuk komunikasi seniman dengan penonton.
Namun, dalam teater tradisional, komunikasi tersebut biasanya terjalin dalam
bentuk verbal, ngobrol. Cair. Komunikasi dalam wujud “komunikasi”.
Kecenderungan Kang Abuy (demikian
sang sutradara akrab disapa)—kalau pun tidak dsebut berpola teater tradisi—memasukan
nuansa etnik, selain dalam pertunjukan-pertunjukan terdahulu, dapat pula
ditemukan pada pertunjukan ini.
Di bagian awal, lima pasang pemain
saling bicara tentang lupa dalam macam-macam dialek dan bahasa Nusantara plus
satu bahasa asing (Jepang). Pada bagian ini pula, instrumentasi nadom éling-éling
umat yang biasa didengar di kampung-kampung dan pesantren di Jawa Barat hadir.
Selain bermakna sebagai penawar lupa, nadoman yang biasa dilantunkan selepas
adzan ini bisa pula dibaca sebagai idiom pilemburan (perkampungan dalam
bahasa Sunda).
***
Pertunjukan ini berjudul “Lupa”, sebuah dramatisasi dari
puisi Joko Pinurbo dengan judul yang sama. Puisinya sendiri terbagi enam
bagian. Bagian satu, dua, dan enam lebih liris. Dimaksudkan sebagai “prolog”
dan “epilog”. Tidak ada narasi persitiwa atau dialog.
Bagian tiga, empat, dan lima sebaliknya. Mereka bercerita
tentang peristiwa. Bagian tiga dan empat bercerita tantang “ia” yang sudah
berdandan rapih, berjas, lengkap dengan segala pernak-perniknya. “Sampai di
depan pintu tiba-tiba lupa./ Sebenarnya mau pergi ke mana?”
Bagian lima yang terpanjang. Lebih realis dengan alur yang jelas. Lengkap dengan dialog, bagian ini
menceritakan perjumpaan aku lirik dan
tukang becak yang “Tiba-tiba/ aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang/ yang
mirip dengan dia di rumah sakit, tapi bukan dia.”
Dua hal “sama” yang terdapat dalam dua cerita tersebut:
sama-sama lupa dan menyinggung-nyinggung tentang rumah sakit. Pada cerita
pertama dikatakan: “Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!/ Apa
salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan/ segala pernik-perniknya? Anggap
saja simulasi. Untuk?/ Memasuki rumah sakit jiwa.”
Sedang “aku” pada cerita kedua mengatakan bahwa ia pernah
berjumpa dengan orang yang mirip dengan si tukang becak di rumah sakit, tapi
bukan dia.
“Aku” tidak menjelaskan lebih lanjut rumah sakit apa yang
dimaksud. Apakah sama seperti rumah sakit pada cerita pertama, rumah sakit
jiwa? Atau rumah sakit yang lain? Ataukah “ia” merupakan orang pernah ditemui “aku”
di rumah sakit, yang mirip dengan tukang becak itu? Agaknya perlu kajian lebih
mendalam berupa kritik sastra (puisi) untuk menjawab misteri-misteri itu.
***
Puisi dan dramatisasi puisi adalah dua hal yang berbeda. Dua
karya yang berlainan. Dramatisasi puisi merupakan alih wahana puisi dari tulis
(teks) ke pertunjukan (laku; lakon; audio visual). Pada prosesnya, puisi akan
dibaca, didedah, ditafsir, ditransformasikan menjadi teks drama, dibaca
kembali, dilatihkan, dimainkan. Dramatisasi puisi merupakan tafsir teks puisi
yang diwujudkan dalam bentuk pertunjukan drama.
Karena ia tafsir maka usaha memahami dramatisasi puisi
sejatinya merupakan menafsir tafsir atas
sebuah puisi. Boleh jadi penonton membaca puisinya sebelum atau usai menonton.
Berupaya menyambungkan antara teks dengan laku di panggung. Atau sebagai
semacam panduan. Menerka-nerka apa yang ada dalam kepala sutradara. Atau tidak.
Ya, boleh-boleh saja. Apakah menonton
drama harus berarti membaca teksnya
juga?
Pada “Lupa”nya Ngaos Art ada hal kekinian yang “disisipkan”: demonstrasi. Ini bisa dipahami sebagai
upaya agar pertunjukan—dan puisi itu sendiri—terasa dekat, lekat, dan
kontekstual dengan keadaan sosial terbaru yang sama-sama dipahami. Negara (me)lupa(kan)
sejarahnya sendiri bahwa kekerasan tidak pernah melahirkan apa-apa selain
nganga luka yang lebih pedih-perih dari sekedar tubuh (daging dan tulang) yang
terluka.
Kekinian itu bisa dirasakan pula pada
sejumlah adegan “ringan” yang agaknya cenderung lebih mudah “diterima” penonton
milenial. Macam-macam lupa dihadirkan dalam cara yang jenaka. Yang bikin penonton bergelak tawa. Tontonan
didekatkan sedemikian rupa dengan kehidupan mereka agar tidak terasa jauh dan
asing. “Main-main” yang serius, tidak main-main.
Jika Joko Pinurbo menutup puisinya dengan “Adakah yang benar-benar
habis digerogoti lupa?/ Lupa: matawaktu yang tidur sementara.” tidak demikian
dengan pertunjukan ini. Justru “matawaktu yang tidur sementara” itu kurang
begitu terasa dalam pertunjukan ini. Simbol-simbol waktu yang ditulis jelas
dalam bait awal puisi ini berupa “kalender” dan “jam” justru absen. Tapi, ini yang menarik.
…
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak
melintas
di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
…
Tafsir bagian inilah yang kemudian diperluasan sekaligus diperdalam
untuk dijadikan semacam “amanat”
pertunjukan. “Sederhana” dan “tidak tergesa-gesa”, seperti becak, digubah
menjadi koor yang diulang-ulang. Menjadi penutup pertunjukan. Menjadi premis.
Menjadi goong. Menjadi ruh
pertunjukan.
Suatu saat nanti kita perlu sederhana
Tak tergesa-gesa
Sering kali ketergesa-gesaan menyebabkan lupa. Meski lupa itu
enak. Membebaskan. Namun, ia hanya sementara.
Jangan lupa, tulisan ini juga boleh jadi buah ke-lupa-an dan
kealpaan saya. Dan sebelum saya lupa, ada petikan tentang “lupa” dari sebuah
serat karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Begini tulisnya:
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
Panjalu, 30
September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar