Beberapa daerah
telah sejak lama memiliki dewan kesenian, sebuah lembaga independen yang
bertugas mengurusi kesenian di daerah tersebut di luar pemerintah. Artinya lembaga
ini adalah lembaga non-pemerintah. Otonom. (seharusnya) Independen. Lembaga ini
dipandang sebagai wadah representasi seniman.
Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ), boleh jadi adalah dewan kesenian paling populer. Selain karena
sudah berusia lama, lembaga ini dianggap bekerja dengan baik sebab mampu
menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional meski dengan sekian banyak
pro kontra. Kecuali itu, lembaga yang lahir pada 1968 ini juga diisi oleh individu-individu
yang pengalaman dan kemampuan di bidang kesenian sudah sama-sama dikenal
publik.
Banyak daerah
yang menjadikan DKJ sebagai parameter dan model. Namun, tiap daerah tentu punya
karakteristik dan persoalan yang berbeda-beda. Jakarta, sebagai sebuah
metropolis merangkap ibu kota negara, tentu punya seabrek keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Di sana, kesenian
sudah dipandang dan diperlakukan sebagai bagian dari gaya hidup urban. Dibutuhkan
warganya, dan dengan demikian, perlu ada.
Lain Jakarta,
lain pula Jawa Barat. Di provinsi tetangga ibu kota negara ini, tidak ada dewan
kesenian. Wacana pembentukannya memang sudah mengemuka sejak lama. Namun, entah
mengapa, Dewan Kesenian Jawa Barat tak kunjung lahir.
Lain yang
dinanti, lain pula yang datang. Alih-alih menanti kelahiran dewan kesenian, Dewan
Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) lahir pada 2014 melalui Peraturan Gubernur Jawa
Barat no. 39 tahun 2014. Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA., didapuk sebagai
ketua periode 2014-2019.
Dalam perjalannya,
DKJB sempat diprotes keras oleh seniman-seniman Jawa Barat, Bandung khususnya. Dipicu
oleh robohnya sebagian gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) yang legendaris
itu, seniman-seniman yang lantas membuat dewan tandingan bernama Dewan
Kebudayaan Jeprut Jawa Barat itu melakukan aksi buligir di depan gedung YPK
pada Juni 2016.
Aksi ini sebagai
bentuk kritik pada Pemprov Jabar yang dianggap tidak becus dan serius mengelola
kesenian di Jawa Barat, terutama dalam hal penganggaran dana. DKJB juga kena
semprot. Sejak dibentuk hingga saat itu,
lembaga yang konon sebagai “juru bisik” gubernur dalam bidang kebudayaan
tersebut belum juga berfungsi sebagaimana mestinya.
Lebih kurang
setahun setelah kejadian itu, UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
lahir. Katanya, ini angin segar bagi seniman sebab aturan ini menjadi payung
hukum utama dalam bidang seni dan budaya. Salah satu klausulnya memuat tentang Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang akan menjadi dasar penyusunan Strategi
Kebudyaan.
Strategi Kebudyaan
ini akan menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang
dan menengah. Demikian termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan.
Aturan pembentukan
PPKD ini lebih lanjut diatur dalam Perpres no. 65 tahun 2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Dan Strategi Kebudayaan dan
Permendikbud no. 45 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah. Agaknya regulasi inilah yang merangsang lahirnya dewan
kebudayaan di tingkat kabupaten/kota. Lembaga ini yang lantas menjadi mitra
pemerintah daerah dalam nyusun PPKD.
Salah satu
daerah yang terangsang adalah kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pada 17 Juli 2018,
sejumlah tokoh dikukuhkan sebagai anggota Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis
(DKKC) di alun-alun Ciamis berbarengan dengan acara Galuh Ethnic Carnival. Dr. H.
Yat Rospia Brata, Drs. M. Si. yang merupakan rektor Universitas Galuh, didapuk sebagai
ketua.
Susunan
kepengurusannya terdiri dari unsur Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Dan Olahraga
Kabupaten Ciamis, seniman, akademisi, serta individu-individu yang dianggap
mewakili sub-bidang kebudayaan.
Setelah setahun
tanpa hasil kerja nyata, DKKC menyatakan telah merampungkan PPKD Kabupaten
Ciamis. Penyusunan PPKD Ciamis ini terkesan dilakukan secara tertutup tanpa
pernah ada sosialisasi sebelumnya, entah karena diburu tengat atau pertimbangan
lain. PPKD Ciamis yang katanya telah rampung itu pun tak pernah disosialisasikan
pada khalayak seniman dan tokoh budaya diluar lingkaran DKKC.
Namun, kerja
DKKC menyusun dan merampungkan PPKD Ciamis tepat waktu perlu diapresiasi. Kecuali
itu, berkutat di tataran konsep, perencaan, ide, dan gagasan tanpa ada aksi
nyata, ini yang acap kali mengecewakan.
Menyoal lebih
lanjut tentang dewan kebudayaan, membentuk sebuah lembaga kebudayaan untuk
mengurusi dunia besar bernama budaya, terlalu ngarawu ku siku. Wilayah kerja kebudayaan sangatlah luas. UU
Pemajuan Kebudayaan sendiri mendefinisikan kebudayaan sebagai “segala sesuatu
yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”. Wow!
Dengan organisasi
yang gemuk dan bidang kerja yang luas, dewan kebudayaan akan lamban bergerak
dan akan banyak pula bidang yang merasa dianaktirikan. Perkara pelestarian
hutan adat, konservasi macan tutul, bahasa, sastra, kesenian tradisi, teater
kontemporer, hingga mengurusi grup musik punk jalanan, jika merujuk pada definisi
kebudyaan versi pemerintah, adalah urusan dewan kebudayaan.
Memang, UU
Pemajuan Kebudayaan membatasi Objek Pemajuan Kebudayaan hanya 10 saja: tradisi
lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi
tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Namun,
bila 10 bidang ini dibagi lagi menjadi beberapa rumpun, agaknya dewan kebudyaan
perlu diganti nomenklaturnya. Sebagai gantinya, harus ada lembaga-lembaga yang
lebih spesifik mengurusi satu atau beberapa bidang dalam satu rumpun.
Mari berandai-andai.
Jika dewan kebudayaan dibubarkan dan dipecah menjadi lembaga-lembaga yang lebih
ramping, merujuk pada 10 Objek Pemajuan Kebudyaan tersebut, setidak-tidaknya akan
terbentuk dua lembaga sebagai berikut:
1. Lembaga/Dewan Adat Dan Tradisi. Bidang kerjanya meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
2. Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa. Bidang kerjanya meliputi seni dan bahasa.
Apa yang menjadi
dasar pemecahan seperti itu? Bidang kerja yang diurusi Lembaga/Dewan Adat Dan
Tradisi merupakan tinggalan budaya lama yang cenderung statis. Kalaupun dimungkinan
berubah dan berkembang, perlu banyak sekali pertimbangan sebab berkaitan dengan
pelestarian dan konservasi. Sedangkan seni dan bahasa yang diurusi oleh
Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa merupakan bidang yang sangat dinamis, nyaris
selalu baru dan berkembang, dan memang demikian karakteristik seni dan bahasa.
Ada dua cara
kerja dan pola pikir yang berbeda, antara pelestarian dan pengembangan. Yang bertugas
melestarikan, ya, fokus saja melestarikan agar benar-benar lestari. Yang bertugas
mengembangkan, seriuslah mengembangkan agar benar-benar berkembang. Siapa yang
menjadi penyambung dan penengah? Idealnya pemerintah. Masyarakat musti didorong
untuk fokus pada satu rumpun bidang, agar hasilnya maksimal.
Dengan pembagian
tiga bidang seperti itu: pelestarian, pengembangan, dan penengah di antara
keduanya, justru itulah yang dinamakan harmoni. Tidak pacorokokod dan ngarawu ku
siku.
Prof. Drs. Jacob
Sumardjo, seorang ahli ilmu budaya, menggolongkan kebudayaan Sunda sebagai
kebudyaan pola 3. Semuanya serba tiga. Dua paradoks, sedangkan satu merupakan
penyatuan keduanya, semacam sintesis dalam terminologi Dialektika Hegel. Bila memang
demikian adanya, bukankah pembagian tiga wilayah kerja ini sesuai dengan
tuntunan leluhur?
Jadi, tidak
semua daerah harus mencontoh sistem dan gaya DKJ dalam mengelola hal ihwal
seni-budaya. Tiap daerah punya kearifan lokal. Bentuk (form) di masa lampau harus mampu bertransformasi ke dunia
kontemporer dengan tetap utuh mempertahankan nilai (value) sebagai identitas.
Panjalu,
28 November 2019
keterangan gambar: infus obat. dokumentasi pribadi
Sepakat
BalasHapus