Jumat, 27 Maret 2020

Kita Setelah Corona


20 Maret 2020, Prof. Yuval Noah Harari menerbitkan sebuah tulisan agak panjang di www.ft.com berjudul “The World After Coronavirus” Sebagaimana judulnya, tulisan ini membahas tentang gambaran umum dunia pasca pandemi ini. Salah satu yang cukup panjang dibahas adalah penggunaan dan optimalisasi teknologi dalam kehidupan manusia.

Pemerintah Tiongkok telah mengembangkan sebuah aplikasi khusus untuk memantau kesahatan warganya terkait virus Corona. Nama aplikasinya “Jian Kang Bao” artinya “Sehat Itu Harta Karun”. Informasi ini saya peroleh dari tulisan Dahlan Iskan di https://radarsolo.jawapos.com tanggal 23 Maret 2020.

Melalui aplikasi yang dibenamkan ke telepon pintar tersebut, pemerintah Tiongkok memantau kesehatan dan mobilitas warganya. Setelah menjawab beberapa pertanyaan terkait kesehatan dan mobilitasnya pengguna aplikasi akan mendapat status kesehatan berupa warna: hijau, kuning, atau merah. Status ini bisa berubah sesuai dengan kesahatan sang pengguna.

Yang mengerjakan semua ini adalah alogaritma canggih yang lazim disebut Big Data. Teknologi ini mampu mengolah data secara otomatis sehingga mampu mengelompokkan mana yang sehat mana yang sakit. Kalau di Indonesia, pengelompokkan itu mungkin berarti sehat, ODP, PDP, suspect, dan positif terinfeksi.

Dengan teknologi ini pemetaan persebaran SARS-CoV-2 ini bisa terpantau secara efektif dengan tingkat akurasi tinggi.

Bukan hanya dalam hal pemantauan kesehatan, teknologi anyar juga berperan penting dalam hal komunikasi di masa-masa darurat pandemi Covid-19 ini. Hal ihawal tatap muka kini dilakukan secara daring. Memang bukan hal baru. Namun, kini semua dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kini, belajar dan bekerja adalah menghadap laptop atau telepon pintar.

Apakah optimalisasi teknologi ini hanya untuk kondisi darurat? Bisa ya, bisa juga tidak. Menurut Prof. Harari dalam esainya itu, kebijakan dan kebiasaan yang dilakukan dalam kondisi darurat acap kali terus diterapkan dan dilakukan meski kedaruratan itu telah berakhir. Jika bekerja dari rumah memungkinkan dan dinilai lebih efektif serta efisien tanpa mengurangi kualitas, mengapa musti berlelah-lelah pergi ke kantor? Demikian juga belajar. Selain tak perlu pusing terjebak macet, bekerja dan belajar dari  rumah juga membawa dampak baik bagi lingkungan: mengurangi polusi udara.

Apakah “kebaikan-kebaikan” ini akan ditinggalkan pasca darurat Corona? Jika tidak, artinya terus dilanjutkan bahkan dikembangkan, pandemi ini sungguh akan mengubah tatanan kehidupan sosial secara radikal. Sekolah dan kantor akan didefinisikan ulang. Harus diakui, bencana global ini menyumbang besar dalam Revolusi Industri 4.0.     

Menggali Kearifan Lokal
Saya tidak tahu apakah Prof. Yuval Noah Harari, Ph. D. sempat memperhatikan dampak Covid-19 di Indonesia? Maksud saya sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap bencana ini?

Beberapa waktu setelah Presiden Jokowi mengumumkan pasien #01 dan #02 di Indonesia, sebagian masyarakat—setidaknya beberapa kawan saya di Facebook—makin gencar mengampanyekan segala hal bernafas kearifan lokal khususnya yang dirasa relevan dengan kondisi kekinian. Mereka menganalisa Corona sebagai sebuah peristiwa kosmik yang telah diramalkan karuhun. Sri Sultan HB X malah dengan jelas mengatakan bahwa bencana ini menyebabkan situasi ketidakpastian, tidha-tidha dalam ungkapan Jawa, yang telah lama diramalkan Rd. Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha.

Selain memaknai sebagai penggenapan nubuat, beberapa kenalan saya yang lain rajin membagikan informasi tentang tanaman-tanaman dan benda-benda yang secara tradisional diyakini ampuh melawan macam-macam penyakit.

Dalam tradisi masa lalu, untuk mengobati penyakit yang dikategorikan wabah, biasanya diadakan suatu ritus komunal yang umum disebut tolak bala. Dalam tolak bala, sebagaimana ritus pada umumnya, ada benda-benda yang harus disiapkan sebagai syarat upacara. Benda-benda itu diyakini memiliki daya yang mampu menyembuhkan atau menolak bencana.

Daya-daya yang terkandung dalam benda-benda tersebut sebenarnya merupakan sains-nya para leluhur. Hanya karena tidak masuk laboratorium moderen dan belum diuji klinis, maka daya-daya tersebut hingga kini masih disebut sebagai pengobatan alternatif. Atau bahkan tahayul.

Bagi orang-orang zaman lampau, atau kebudayaan yang belum meratifikasi ilmu pengetahuan moderen, amoksisilin, paracetamol, atau vaksin juga dipandang sebagai tahayul. Yang masuk akal sebagai obat-obatan ya bawang putih, beras kencur, menyan, mantra, dan sebangsanya. Artinya, masuk akal atau tidak, tergantung dari sisi mana kita memandang dan kaca mata apa yang kita gunakan. Tergantung weltanschauung-nya.  

Karena yang sedang berkuasa adalah ilmu pengatahuan Barat yang berazas empirisme, maka hal lain yang tidak sesuai dengan standar dan norma mereka dikategorikan alternatif, atau tahayul sama sekali.

Masa Depan Pasca Covid-19
Kalau berbicara “dunia”, yang jadi rujukan pastilah negara-negara Barat utamanya, ditambah beberapa negara Asia yang dianggap “maju”. Ketika Prof. Harari meramalkan revolusi manusia (Homo Sapiens) menjadi Dewa (Homo Deus) melalui optimalisasi teknologi, yang ia tengok adalah fenomena di sebagian negara maju yang dampaknya akan meluas ke seluruh dunia.

Sementara mereka di negara-negara maju itu “maju” ke Big Data, Artificial Intelligence (AI), Internet of Everything (IoT), dan semacamnya, sebagian orang di Nusantara justru “mundur” ke naskah-naskah kuno, petuah para sepuh, dan rempah-rempah.

Apakah yang dilakukan sebagian orang di Nusantara itu adalah kemunduran? Apakah ini adalah langkah kalah sebab tak sanggup mengimbangi zaman? Ataukah upaya menciptakan suatu alternatif? Membuat rute lain menuju masa depan?

Apakah terlalu prematur untuk mengatakan bahwa gerakan kebudayaan yang sporadis ini bakal mengubah wajah Indonesia 50 atau 70 tahun mendatang? Siapa yang tahu. Meski salah satu tugas ilmu pengetahuan adalah memprediksi masa depan, selalu ada saja celah misteri yang gagal ditafsirkan. 

Bila sains karuhun dan sains moderen mampu bersinergi menjadi suatu sintesis, sains post-modern, yang relevan dengan zaman, agaknya itu “masa depan alternatif” yang menarik untuk diupayakan dari sekarang.

Bencana Corona belum berakhir. Per hari ini, sudah ada 1046 kasus positif terinfeksi SARS-Cov-2 yang terkonfirmasi di Indonesia. Masa depan pasca Covid-19 seolah masih jauh untuk ditapaki. Kendati demikian, masa depan adalah keniscayaan. Apapun bentuknya, lambat laun ia akan datang. Menghampiri orang-orang kota, mendatangi orang-orang desa. Menyambut kita yang selamat. Semoga.

Sehat selalu, Kawan-kawan. 

Panjalu, 27 Maret 2020

Referensi bacaan:


Sumber gambar:
https://medium.com/@faturshau/homo-deus-sebuah-ocehan-4a94d1679414

Jumat, 20 Maret 2020

Corona dan Kita


Sejak Desember 2019 dunia diguncangkan oleh kehadiran mahluk berukuran kira-kira 125 nanometer yang kemudian dinamai SARS-CoV-2 atau tenar disebut Virus Corona. Per 20 Maret 2020, 182 negara telah melaporkan adanya kasus individu yang positif terinfeksi virus ini di wilayah mereka. China masih yang tetinggi (80.967 kasus) disusul Italia (41.035 kasus) dan Iran (18.408 kasus). Indonesia sendiri berada di peringkat 29 dengan 369 kasus. Ini data menurut www.worldometers.info yang saya akses pada 20 Maret 2020 pukul 17.13 WIB.

Berbagai cara diupayakan untuk mencegah penularan virus yang muasalnya belum diketahui pasti ini. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) secara nasional. Sebagian lain tidak,—atau belum?—.temasuk Indonesia. Pemerintah “hanya” baru mengimbau beberapa hal: penjarakkan sosial (social distancing), bekerja dari rumah (work from home), belajar dan beribadah di rumah, isolasi diri atau karantina rumah, dan pembatasan beberapa aktivitas warga yang berpotensi terjadinya konsentrasi massa.

Dikutip dari asiantimes.com Indonesia menduduki ranking teratas untuk tingkat kematian (mortality rate) akibat virus yang menyerang saluran pernafasan ini. Tingkat kematian di Indonesia mencapai 8,37%, lebih tinggi dari tingkat kematian dunia sekitar 4,07%.

Dengan angkat kematian setinggi itu, sebagian masyarakat masih tenang-tenang saja menghadapi pandemi ini. Imbauan pemerintah untuk membatasi aktivitas di luar rumah, masih banyak dianggap angin lalu oleh sebagian masyarakat, terlebih di daerah yang konon “masih steril.”

Di kampung saya, Corona tidak banyak berdampak pada kehidupan masyarakat kecuali liburnya anak-anak sekolah dari rutinitas berseragam. Warga masih berkegiatan seperti biasa, pasar masih ramai, dan harga-harga kebutuhan pokok masih stabil. Tidak ada kelangkaan kebutuhan pokok. Semua tampak normal. Objek wisata Situ Lengkong andalan Kecamatan Panjalu, masih tetap beroperasi. Bahkan peringatan Isra Mi’raj atau familiar disebut Rajaban masih digelar di beberapa tempat.

Warga di sini, mungkin, tidak bermaksud membangkang imbauan pemerintah atau menganggap remeh virus mematikan ini. Mereka punya argumen logis untuk tindakan mereka. Namun, saya kira ada variabel yang diremehkan dari penalaran sebagian warga di sini, mungkin juga warga-warga di tempat lain.

Ah, Corona mah aya na gé di Jakarta. Paling deukeut di Bandung. Jauh kénéh ka dieu mah.
(Ah, Corona itu adanya di Jakarta. Paling dekat, ya, di Bandung. Masih jauh dari sini.)

Argumen itu yang jadi andalan sebagian warga di kampung saya untuk menjustifikasi normalitas kami. Jakarta–Panjalu memang jauh secara jarak. Jangankan begitu, Bandung–Panjalu saja berjarak 100 km lebih. Itu fakta! Tapi, mereka lupa bahwa mobilitas warga Panjalu juga tinggi. Yang paling nyata, ada transportasi umum dengan rute Bandung–Panjalu. Tiap  hari, puluhan angkutan umum itu pulang-pergi dari dan ke Terminal Panjalu.

Sebagaimana kecamatan di daerah-daerah pada umumnya, Terminal Panjalu juga masih berada satu komplek dengan pasar dan alun-alun Panjalu. Singkatnya, Terminal Panjalu berada di jantung keramaian Panjalu. Di sana terkonsentrasi puluhan orang dengan berbagai kepentingan dan profesi. Tiap hari orang berdatangan dari Bandung atau pergi ke sana, ke tempat yang telah terpapar Virus Corona. Dan kita—setidaknya saya—tidak tahu pasti apa yang pendatang itu lakukan di ibu kota sana, ke mana saja mereka pergi, dan siapa saja yang mereka temui.

Meski Panjalu berstatus nol kasus positif Corona, namun bukan berarti bisa santuy aja. Ketika Desember 2019, pemerintah China melaporkan adanya kasus pneumonia “baru” di Wuhan yang diduga berasal dari virus SARS-CoV-2, kita tenang-tenang saja. “Wah, di China. Jauh!” Namun, hanya berselang 3 bulan, Jokowi mengumumkan kasus #1 dan #2 Virus Corona di Indonesia. Dan tidak menunggu lama, kini—masih di bulan yang sama—angkanya sudah sampai 300 lebih kasus.

Angka-angka yang diperbaharui tiap hari, bahkan tiap jam, itu bukan angka sebenarnya dalam arti memang segitu yang terinfeksi virus. Angka itu merupakan angka korban Corona yang terdata oleh pemerintah, yang “ketahuan” oleh pemeritah. Apakah semua sudah terdata? Apakah sudah semua “ketahuan”? Saya yakin belum. Angka riilnya, boleh jadi jauh lebih banyak dari data pemerintah.

Diluar semua angka-angka itu, diluar semua realitas objektif yang ada, fenomena Covid-19 ini sudah banyak dimaknai, ditafsirkan, diinterpretasi jauh keluar dari ranah kesehatan. Seorang pemuka agama dengan lantang menyebut Corona sebagai “tentara Allah”. Yang lain menyebutnya sebagai adzab.

Ada pula yang sudah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pandemi ini adalah akibat dosa umat manusia melupakan Tuhan. Agaknya ini adalah hikmah umum dari tiap bencana. Agama-agama mengajarkan demikian. Bila ada bencana, alam maupun wabah penyakit, itu sudah pasti adalah teguran Tuhan karena manusia lalai atau kelewatan memperlakukan dunia. Tsunami, gunung meletus, gempa bumi, kebakaran hutan, angin putting beliung, dan banjir adalah bencana akibat manusia semena-mena memperlakukan alam.

Perkara hikmah, tafsir, dan interpretasi, semuanya benar sejauh ada yang meyakininya demikian. Ini bisa menjadi keyakinan personal maupun kolektif. Bahwa SARS-CoV-2 menyebabkan infeksi saluran pernafasan, menyebabkan gagal nafas, dan virus ini menyebar melalui butiran halus air ludah (droplet), ini adalah fakta biologis yang agak sukar dibantah, apa pun agama dan keyakinan Anda.

Dari kaca mata fenomenologi, memang ini juga interpretasi: persepsi sains tehadap peristiwa yang dialami orang-orang secara massif dan simultan, dimulai dari Wuhan kemudian meluas ke 182 negara. Kalau kita bertanya pada dukun, mereka mungkin punya jawaban lain terkait apa yang menyebabkan semua bencana ini terjadi. Dan kemungkinan besar, jawabnnya bukanlah SARS-Cov-2.

Beda pendekatan dan sudut pandang berpotensi melahirkan kesimpulan, hikmah, tafsir, interpretasi, dan persepsi yang beda pula. Sah-sah saja, mau pilih yang mana. Sejauh ini, saya pribadi (masih)  percaya pada persepsi sains tentang fenomena ini. Karenanya—dan karena saya belum mampu “berijtihad” sendiri—saya memilih untuk menuruti saran dokter dan ilmuwan. Seraya itu, saya mengamini dan berupaya manut pada nasihat para pemuka agama yang menghormati akal sehat dan kemanusiaan.

Sehat selalu, Kawan-kawan.
Semoga Tuhan Seru Sekalian Alam senantiasa menjaga kesadaran kita.  

Panjalu, 20 Maret 2020

sumber gambar:

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...