Jumat, 29 Juni 2018

Pilkada dan Pil-Pil lainnya

Jika Aku menjadi bupati, bersama DPRD aku akan merancang dan menetapkan Perda yang pro kesenian. Misal saja, wajib hukumnya bagi lembaga pemerintah hingga tingkat desa untuk menghadirkan kesenian pada tiap kegiatannya. Tentu kesenian yang ditampilkan harus diatur, jangan asal kesenian. Utamakan kesenian tradisi yang lahir dan lestari di daerahnya. Boleh mengundang kesenian lain, baik tradisional, modern maupun kontemporer dengan kualifikasi tertentu. Jika tidak diatur, sudah pasti kesenian organ tunggal akan kebanjiran order. Murah, meriah, dan seksi. Tapi tidak sehat buat keadilan sosial.
Atau misalnya membuat acara kesenian periodik di Kantor Bupati. Grup kesenian atau seniman yang tampil musti digilir. Tiap kecamatan, bahkan desa, harus mengalami panggung acara itu. Honornya harus jelas juga. Terencana, terdata, dan terlaporkan secara akuntabel. Itu harus, sebab uang yang digulirkan bukan uangku pribadi.
Sekedar memberi empat puluh lima puluh juta untuk sebuah grup kesenian, seniman, atau acara kesenian tanpa membuat regulasi pro kesenian yang permanen dan sinambung, kehidupan kesenian hanya akan ramai sesaat saja. Yang kebagian, hanya segelintir orang saja. Yang dekat dan nurut saja pada penguasa. Ah, sama saja. Tidak sehat buat sila ke lima Pancasila.
Di bidang lain, Aku pikir perlu juga, bahkan sangat perlu membuat peta digital seluruh wilayah kabupaten yang kupimpin. Peta digital ini barangkali semacam Google Earth, agar nampak gambar nyatanya. Harus detil, sangat detil, hingga ke jalan-jalan tikus. Peta itu bisa diakses oleh siapa saja. Google Earth yang ada saat ini belum mampu menjangkau hingga ke pelosok kampung. Bila perlu Aku sendiri akan melobby dan bekerjasama langsung Google agar pemerintahanku punya peta digital yang jelas dan auto-update.
Optimalisasi teknologi juga tak kalah penting. Semua kepala desa harus melek teknologi. Jika karena keterbatasan kecerdasan, kepala desa, atau siapapun aparat pemerintah yang diharuskan mampu, ternyata tidak mampu dan menguasai teknologi dimaksud maka wajib hukumnya mengangkat pegawai khusus bidang teknologi informasi. Gajinya harus jelas. Misalnya saja, semua kantor camat harus memiliki fasilitas komunikasi video jarak jauh, khususnya untuk berkomunikasi dengan bupati. 
Sedari kabupaten hingga desa, harus punya website yang dikelola secara serius dan selalu terbarukan. Segala informasi terkait proker musti diunggah, lengkap dengan anggaran yang diserap. Kalau perlu, lakukan apa yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama dahulu. Saat menjabat, beliau selalu mengunggah video rapat-rapat yang dipimpinnya di Youtube. Itu ide bagus demi memenuhi azas transparansi dalam pengelolaan pemerintahan.  
Aku juga bakal memangkas pengawalan bupati dan pejabat lain yang berlebihan. Biar irit. Budaya bupati atau pejabat telat datang pada suatu acara tanpa konfirmasi, harus dimusnaskan sama sekali. Displin dan penghormatan pada waktu adalah hukum wajib di lingkungan pemerintahanku.
Pertanian juga harus sangat diperhatikan. Aku akan mencanangkan program pengolahan pertanian berbasis kearifan lokal. Prinsip-prinsipnya musti mengacu pada kearifan lokal masyarakat setempat. Indonesia sebagai, katanya, negara agraris tentu punya sejarah panjang kemesraan dengan tanah dan air sebagai sumber utama pertanian. Prinsip-prinsip kearifan lokal ini harus bisa bersinergi dengan teknologi termutakhir sebagai wujud partisipasi aktif dalam kancah perkembangan zaman. Tidak perlu ngotot ingin panen sekian ton tapi melabrak harmonitas alam. Alam punya kehendak dan hukumnya sendiri. Itu yang terutama sekali harus dijaga dan dihormati. Jangan sampai hasrat dan kebutuhan kita justru merusak alam buat anak cucu kelak. Untung hari ini rugi kemudian. Apa yang mau kita wariskan bila alam sudah rusak dan tak terjaga?
Perdagangan harus dikontrol jangan sampai harga-harga kebutuhan pokok akrobat tak karuan. Harus diberi pengertian pula bahwa demi tercapainya sila ke lima Pancasila, tidak boleh satu pihak mendapat keuntungan melimah ruah dengan memiskinkan pihak lain. Regulasinya harus jelas dan dikawal pelaksaannya. Aparat pemerintah yang main-main dan menyelewengkan aturan wajib ditindak tegas. Pecat saja kalau perlu. Pemerintahanku haruslah clean government. Zero tolerance for corruption!
Bantuan-bantuan sosial berupa uang itu, mungkin ampuh pada suatu waktu, tapi tidak akan lama. Uangnya habis, tidak mampu berdaya saing, tidak kreatif dan produktif, matilah sudah. Inginnya memang welfare state, tapi kemampuan Indonesia belum sampai ke sana. 
Warga-wargaku harus dijamin kebebasannya dalam berekspresi. Yang musti dijaga negara hanya azasnya saja. Gaya dan cara, biar saja rakyat yang kreatif. Sebagai pemimpin, bupati tidak baik terlalu fanatik, berat sebelah. Bupati, gubernur, atau presiden ialah pemimpin yang memimpin banyak kepala, banyak kepentingan, banyak karakter, dan banyak kecenderungan. Bukan hanya memimpin satu komunitas heterogen seperti pemimpin kelompok gorila atau serigala.apa jadinya bila seorang pemimpin menyidap fanatisme ekstrem? Tentu akan ada warga yang tertindas yakni mereka yang tidak sejalan dengan garis kecenderungan sang pemimpin.
Tapi…
Menjadi bupati butuh modal yang tidak sedikit. Milyaran. Politik elektoral itu mahal. Berapa untuk membuat baliho, kaos, dan media marketing lainnya? banyak kandidat bilang bahwa itu semua sumbangan dari simpatisan. Mungkin, tapi tidak semua. Ada cost besar yang musti dikeluarkan. Belum lagi pasti banyak pihak yang mendadak bertamu dan menawarkan dukungan, menawarkan suara yang harus dibayar dengan uang kontan atau proyek di kemudian hari. Hingga saat ini, khususnya di daerah-daerah, politik masih pragmatis dan transaksional. Politik benar-benar seni bedagang. Seperti pesan sebuah pementasan teater, “politik adalah seni berdagang!”, dan memang demikian adanya. 
Tukar seratus suara dengan dua puluh sak semen, satu truk pasir, dan sejumlah uang, itu sudah biasa. Kampung juga kini main politik. Kampung tidak mau angka prosentase partisipasi warganya dalam pemilu terbilang kecil. Kampung akan malu dan tidak enak bila suatu ketika mengajukan proposal ke bupati. Politik balas budi. Kampung akan mengakal-ngakali agar seolah warganya sadar demokrasi dengan menyalurkan hak pilihnya pada salah satu calon. Ketika pemenang di TPS nya benar-benar jadi pemimpin, kampung akan percaya diri membawa proposal ke Pendopo dengan menyertakan info kemenangannya di TPS kampung itu. Tidak ada yang benar-benar idealis. Tidak ada pula ideologi seperti zaman orla dulu. Politik adalah murni persoalan kepentingan. Kekuasaan, itulah satu-satunya tujuan yang ada. Hal selain itu, hanya pemanis, lipstik belaka jika tidak dikatakan kebohongan.
 Dan kemarin-kemarin, banyak teman-teman dan saudaraku yang mati-matian membela dan mengkampanyekan salah satu kontestan pilkada. Sampai pada titik tertentu, tentu itu bukan masalah sama sekali. Mulai jadi persoalan jika keberpihakan itu membuat akal sehat jadi lesu, loyo, bengkok, bahkan mati sama sekali. Sebenarnya bukan masalah buatku selama tidak merugikan. Aku hanya menyayangkan saja. Banyak temanku yang sebelum pilkada nampak cerdas dan bernas bila berargumen, mendekati pilkada, akal sehat dan sikapnya pelan-pelan berubah seperti jadi orang lain sama sekali. Keberpihakannya mencederai akal sehatnya. Mencederai dirinya sendiri. 
Padahal, kemasan kampanye kebanyakan urusan tim sukses. Aku bahkan curiga bahwa visi, misi, dan program-program yang dijanjikan semasa kampanye adalah karya tim sukses. Si pasangan calon sama sekali tinggal terima jadi. Ini prasangka, tentu tidak berdasar temuan faktual. Hanya kecurigaan saja. Sumber kecurigaannya, lihat saja ketika debat pasangan calon, banyak kandidat yang nampat terbata-bata menjelaskan visi, misi, dan prokernya, seperti mahasiswa S1 yang membeli skripsi gugup tatkala sidang.
Oh, sayang sekali. Banyak teman dan saudaraku yang berkacamata kuda, memandang kehidupan hanya perkara Jokowi dan Prabowo saja. Politik identitas jadi mainan tim sukses untuk mendulang suara. Isu-isu seksi macam agama jadi gorengan yang masih dijajakan meski dewasa ini masyarakat perlahan mulai sadar bahwa apa yang mereka dengar dari mulut politisi itu kebanyakan sekedar bohongan belaka, demi kekuasaan kelompoknya saja. 
Menuju 2019, mari jaga akal sehat dan nurani tetap berdaulat. 

Panjalu, 29 Juni 2018   

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...