Kamis, 17 November 2022

Behind The Stage Kalang Béntang (1): Asli atau Tidak Sama Sekali!

Jam sudah menunjukan pukul enam sore. Dua ratus lima puluh penari mulai berdatangan ke back stage lengkap dengan kostum dan make upPemusik sudah bersiap di tenda sarnafil, juga lengkap dengan baju dan senjata tempur mereka. Namun, hujan belum juga reda. Kami mulai disergap cemas dan khawatir.

 

Ebel, Kang Ayi, Ewo, dan saya yang nampaknya paling khawatir. Andai hujan tak kunjung berhenti, pertunjukan akan diiringi musik hasil rekaman. Pemusik bisa saja naik ke panggung untuk bermain “bohong-bohongan”, hal yang sebenarnya umum dalam dunia entertainment. Tapi, buat saya dan semua tim kreatif Kalang Béntang, itu sungguh asing dan tidak nyaman. Sebutlah kami orang purba yang tidak akrab dengan teknologi dan “tradisi” macam demikian. Tak apa. Bermain langsung di atas panggung, dengan segala resikonya, masih lebih nikmat ketimbang “bohongan”.

 

Waktu makin maju dan hujan masih saja betah membasahi Stadion Galuh Ciamis. Atas arahan Idang yang menjadi satelit Bapak-nya Deni Weje untuk soal mengikhtiari hujan, kami melingkar dan berdoa. Berkali-kali saya menanyakan prihal ikhtiar hujan ini padanya. Meminta kepastian di tengah cemas dan ketidakpastian. Ia meyakinkan hujan akan reda. Rasio keberhasilannya 70%-80%. Idan menjanjikan jam tujuh hujan mereda.

 

Kang Ayi, sang jendral musik nan militan juga sama risaunya. Ia bahkan berinisiatif untuk langsung menemui sang pengikhtiar. Telaahnya, hujan belum juga reda karena boleh jadi ada tabrakan frekuensi antara pengikhtiar satu dengan yang lain.

 


Jam tujuh berlalu. Langit nampak cerah tapi hujan masih belum menunjukan tanda mereda. Kami makin khawatir. Kendati berkurang, namun pihak Event Organizer (EO) enggan ambil resiko. Mereka membolehkan kami live hanya jika hujan benar-benar reda. Aduh.

 

Ebel dan saya punya pikiran yang sama: mengakses penguasa. Saya akan meminta bantuan Kasepuhan untuk meminta penguasa untuk meminta EO menangguhkan acara sampai hujan benar-benar reda agar pemusik kami bisa tampil “asli”. Begitu banyak “untuk meminta” sebab demikian political art. Saya sudah yakin rencana ini berhasil. Siapa berani membantah dawuh penguasa.

 

Berkali-kali Kasepuhan saya hubungi, berkali-kali pula ia tak mengangkat.  Jangankan sampai Bupati, sampai Sekretaris Dinas pun tidak. Gagal!

 

Karena saya harus bersiap membaca puisi “Kanjuruhan Adalah Kita” karya Toni Lesmana dan Wida Waridah, EO mempersilakan saya untuk bersiap di samping kanan panggung, di tenda MOH. Berangkatlah saya, meninggalkan kalut dan ketidakpastian di pasukan musik. Di tenda MOH, Dani Sinchan sedang sibuk di depan mixer sound. Ia adalah soundman sekaligus pemilik Rima Sound System, vendor sound untuk Opening Ceremony Pekan Olahraga Provinsi Jawa Barat (Porprov Jabar) ke-XIV tahun 2022. Tak berselang lama saya tiba di sana, Ewo, soundman kami yang baik hati dan teruji tahan dalam segala kondisi, nampak menghampiri pria asal Surabaya itu. Entah apa yang mereka percakapkan. Suara musik yang mendentum kencang menjadi hijab untuk saya menguping. Setelah mereka berdua selesai, saya menghampiri Ewo.

 


Dengan agak dramatis ia menceritakan inti percakapan mereka. Setengah memohon dan dengan bahasa yang menyentuh ia meminta Sinchan untuk mengizinkan pasukan musik kami, Gamelan Ki Pamanah Rasa Plus Plus, live performance. Sincan dan timnya siap asalkan Show Director (SD) Adzha Adamti memberinya waktu untuk cek kelistrikan lebih dulu. Semua alatnya basah diguyur hujan. Ia ingin memastikan tidak ada listrik nakal yang berpotensi membuat pertunjukan kacau.

 

Barangkali karena tak kunjung diberi jawab oleh Adzha, Stage Manager (SM) Deni—pihak EO yang paling bertanggungjawab di panggung—berlari menuju FOH menemui SD. Sejurus kemudian, saya melihatnya berlari ke arah kami, masih mengenakan jas hujan plastik warna hijau.

 

“Bisa,” katanya singkat. Sinchan dan timnya langsung menyerbu panggung, memeriksa semua peralatan dengan teliti dan memastikan semuanya aman. Seraya itu, Deni yang sempat bersitegang dengan Ebel di waktu GR, melepas jas hujannya.

 

“Kita harus optimis, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar. Saya kira kami sudah dalam frekuensi yang sama: hujan pasti reda.

 

Waktu agak terulur sebab ada kekacuan di tribun VIP. Mereka yang tidak seaharusnya berada di tempat para pembesar itu malah sudah duduk manis di sana. Alhamdulillah. Lumayan untuk memberi kesempatan mereka bekerja. Kekacauan yang membawa berkah.

 


Agak lama pasukan sound memeriksa. Menurut Ewo, Sinchan tipe orang yang sangat detil, wajar kalau pemeriksaan butuh waktu tidak sebentar. Berbarengan dengan mereka memeriksa, saya lihat Kang Ayi dan pasukan musiknya sudah bersiap di panggung. Tanpa sepengetahuan saya dan Ewo, ternyata Ebel memerintahkan pasukan naik panggung. Aduh. Bagaimana jika ternyata mereka tidak bisa live?

 

“Bisa, Mas?” tanya saya pada seorang kru sound yang hendak menuruni tangga.

 

“Aman!” katanya sambil mengangkat jempol.

 

Barangkali lebay, tapi sungguh saya hampir menitikan air mata. Baru kali itu acungan jempol seorang kru sound system terasa sangat berarti buat saya.


Bataléngsar, 17 Nopember 2022


Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...