Sabtu, 29 Desember 2018

25 Desember Yang Kudus: Kesaksian Dua Pertunjukan

 


25 Desember Yang Kudus:

Kesaksian Dua Pertunjukan

 

Sejak siang hujan mengguyur Panjalu. Saya jadi ragu apakah harus pergi ke Tasik atau urung saja. Beberapa hari lalu kawan-kawan mengirim poster digital via WA, mengabarkan konser musik kontemporer Kelompok Bunyi Sunya pimpinan Lawe Samagaha di Pendopo Tasikmalaya, 25 Desember 2018 malam. Menyusul kemudian, ada kabar lagi bahwa Jabo Widianto, ponggawa Teater Dongkrak Tasikmalaya, akan mementaskan monolog “Membaca Tanda-Tanda”. Monolog karya Rachman Sabur ini sebelumnya pernah ikut serta dalam sebuah kompetisi monolog pada acara South Borneo Art Festival dan menyabet juara 2.

 

Atas dorongan istri saya yang sebelumnya pernah menyaksikan pertunjukan musik Lawe Samagaha di Bentara Budaya Jakarta, saya akhirnya jadi juga berangkat. Hujan terus membasahi jalanan sejak dari rumah hingga tiba di lokasi pertunjukan sekitar pukul 18.30. Waktu itu nampak beberapa orang sedang duduk melingkar di dalam ruang pertunjukan. Aroma hio tercium kuat sekali, bahkan sampai ke luar gedung. Barangkali ini ucapan selamat datang pada calon penonton sekaligus upaya memberi kesan pembuka. Apa kira-kira kesan yang ditangkap ketika mencium aroma macam ini? Mistis? Suasana klenteng? Ritual? Atau malah puyeng karena bau yang menyengat itu? Ya, kesan bisa macam-macam, tergantung ingatan yang ada di benak penonton sebab kesan sebenarnya ingatan yang dipanggil kembali.     

 

Sekitar jam 20.00, setelah jumlah penonton agak banyak, Tatang Pahat membuka acara. Ia, dan semua penonton, berdiri di halaman gedung. Sebelum konser, Jabo Widianto akan melakonkan monolognya terlebih dahulu di halaman pendopo. Di halaman itu ada sepetak tanah dengan beberapa macam pohon yang didominasi pohon-pohon tinggi. Di tanah berumput itu, beberapa lilin menyala tapi tak cukup kuat untuk menerangi wajah dan tubuh sang aktor.

 

Jabo memulai pertunjukannya dengan salam dan mengajak penonton mendo’akan para korban tsunami Banten dan Lampung. Usai itu barulah ia menjadi tokoh. Awalnya ia bersenandung seperti semacam beluk. Lantas berkeliling memegang pohon satu persatu, seperti menyapa mereka. Kemudian membasuh diri dengan air sisa hujan yang menggenang di tanah. Sesekali ia menirukan suara burung gagak sembari berkeliling memukul-mukul pohon dengan sebilah bambu, seperti mengusir pengganggu. Ya, suara gagak dianggapnya sebagai tanda suatu peristiwa akan terjadi. Pertanda buruk.

 

Ada satu adegan sang tokoh seperti mengajak bicara “sesuatu” yang dipandangnya akan merusak, merampok, memperkosa alam. Ia melawan dengan keras bahkan pasang badan, menantang untuk ditembak. Sesuatu ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam oleh penonton sebab perusak alam bukan hanya gerjaji mesin para pencuri kayu namun lebih dari itu: aturan, perusahaan, pemerintah, atau yang lebih mendasar dari itu yakni hasrat manusia untuk menaklukan alam, menguasai alam bukan berharmoni, selaras dengan alam.  

 

Pesan tentang alam ini semakin terasa dengan “setting” yang alamiah dalam arti sesungguhnya. Ya, Jabo berhasil menjadikan halaman pendopo itu sebagai stage dalam artinya non-formal. Stage adalah ruang bagi aktor untuk melakonkan dirinya. Plastisitas keruangannya membuat monolog ini selalu baru dan tak jemu disaksikan.

 

Secara keseluruahan monolog ini berhasil memikat penonton selama kurang dari 30 menitan. Dengan tempo permianan yang relatif cepat, dinamika pertunjukan masih bisa dimainkan dengan baik. Penonton seolah tidak dibiarkan hanyut dalam kisah sedih alam yang terancam namun terus dihentak oleh adegan-adegan keras sekeras perlawanan tokoh terhadap perusak-perusak alam. Hal ini seperti memberi pesan dan kesan bahwa bagaimanapun, perlawanan terhadap perusak alam harus tanpa lelah. Pun demikian, Jabo mampu mengolah dan mengatur tubuhnya agar terhindar dari kelelahan akibat adegan ketat tanpa jeda menghela nafas panjang. Dan meski pencahayaan sangat minim dan wajah aktor tak bisa dilihat dengan jelas namun kiranya tidak jadi soal besar. Pesan-pesan pertunjukan masih bisa ditangkap karena disampaikan dengan bahasa verbal yang jelas meski beberapa artikulasi terkesan memaksakan.

 
 

Seletah Jabo memberi hormat tanda usai pertunjukan, riuh tepuk tangan penonton benar-benar memungkas dan sekaligus mengawali perjalanan baru memasuki ruang pendopo. Tepat dibagian tengah ruangan daun-daun tua menghampar membentuk lingkaran penuh. Di tengah lingkaran itu sebuah gong tergeletak, ia seperti tertidur dan menunggu sesuatu. Di satu sisi nampak Lawe Samagaha memejamkan mata seperti meditasi. Di sisi lainnya seorang penggesek biola telah siap dihadapan partitur. Ada lima stand book rendah tempat menempel partitur di panggung. Awalnya cuma dua orang itu, kemudian, setelah biola menggesek beberapa nada, tiga orang muncul sembari mengetuk semacam bonang. Adegan ini mengingat saya pada ritual agama-agama kuno, atau thawaf dalam rangkaian ritual haji barangkali. Penonton yang melingkari stage menambah kesan ritual makin kuat.

 

Selanjutnya, sekitar 30 menitan barangkali konser musik kontemporer berjudul  Temumat ini meruang. Saya tidak bisa banyak melukiskan konser itu secara deskriptif karena memang saya buta sama sekali akan musik. Jangankan musik macam ini yang dalam bahasa Lawe Samagaha ia sebut “Musik dengan M besar” yang lantas saya pahami sebagai musik kontemporer, musik konvensional, yang dalam bahasa Lawe dibilangnya “musik dengan m kecil”, pun saya sama sekali buta tentangnya. Hanya sekedar penikmat, hanya menyimak musik, tidak lebih.

 

Dan tentang sajian Musik dengan M besar malam itu, saya sebatas ingin menyampaikan kesan saja. Menurut komposernya, Didit Alamsyah, Temumat ini semacam akronim dari temu umat. Umat yang mana? Saya menafsirkannya umat manusia dari semua suku bangsa, agama, dan latar belakang lainnya. Sajian musik ini sepertinya sengaja diracik agar dapat dinikmati oleh penonton dengan multi latar belakang, khususnya latar belakang agama. Ini bisa dirasakan dari bagian-bagian yang sepertinya campuran macam-macam idiom bunyi, musik atau gaya yang lazimnya ada dalam ritual agama-agama. Ketika mendengar lantunan sholawat, saya kok malah teringat paduan suara gereja? Ketukan bonang itu mengingatkan saya pada salah satu ritus di vihara. Dan bagian-bagian lain yang menjadi jalan pintas saya untuk menengok ingatan tentang ritus agama-agama.

 

Temumat ini merupakan adaptasi dari teks drama Qasidah Barzanji karya W.S. Rendra. Teks terjemahan Syu’bah Asa ini merupakan syair berisi puji-pujian, profil dan biografi Nabi Muhammad saw yang dikarang oleh Sayyid Ja’far bin Husain bin Abdul Karim  Al-Barzanji, seorang ulama besar kelahiran Madinah. Sebagian umat Islam di Nusantara punya tradisi membaca kitab Al-Barzanji yang biasanya dilakukan pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di tiap daerah lagam dan cara membacanya bervariasi, sesuai dengan ekspresi budaya masing-masing. Menurut sang komposer, kekayaan tradisi inilah yang berupaya direpresntasikan oleh Kelompok Bunyi Sunya. Temumat berakar dari tradisi pembacaan Barzanji di Nusantara yang kemudian diracik menjadi bahasa bunyi khas Kelompok Bunyi Sunya. Menurutnya, tidak semua bagian Qasidah Barzanji disajikan, hanya beberapa saja yang dipandang mewakili. Temumat, selain berisi sholawat, juga merupakan gambaran perjalan Nabi Muhammad saw  sampai pada lahirnya perintah sholat. Tentang sholat ini eksplisit sekali digambarkan. Tiga pemian yang berada di tengah mengelilingi gong mengakhiri pertunjukan dengan posisi duduk tawarruk yang biasa dilakukan saat tasyahud atau tahiyyat akhir. Sebelumnya, tiga pemain ini memperlakukan bonang nyaris seperti orang sedang berwudhu.

 

Saya yang buta musik hanya bisa menangkap kesan tanpa mampu menjelaskan apalagi mendedah ihwal musiknya itu sendiri. Menyimak sajian Temumat, saya seperti diajak untuk berdzikir jahhar dan dzikir sirri bergantian. Ada bagian-bagian musik yang berulang dan menghentak-hentak dengan tempo cepat, ada pula bagian ketika tangan pemain menabuh gong tapi tidak ada bunyi terdengar sama sekali. Bunyi-bunyi itu seperti diserahan saja pada imaji penonton, biar membuat musiknya sendiri.

 

Akhirnya, dua pertunjukan yang saya nikmati itu seperti membawa pada ingatan dan kesadaran spiritual dalam arti seluas-luasnya. Menyaksikan kedua pertunjukan itu, saya teringat petikan puisi W.S. Rendra:

 

Kemarin dan esok

adalah hari ini

Bencana dan keberuntungan

sama saja

Langit di luar

langit di dalam

bersatu dalam jiwa

 

Panjalu, 29 Desember 2018

Selasa, 11 Desember 2018

Tafsir alternatif ADUH oleh Prodi Teater IKJ

ADUH karya Putu Wijaya ditulis pada 1970 – 1973. Drama tiga babak ini berkisah tentang sekelompok orang yang tiba-tiba kedatangan orang yang nampak kesakitan segera setelah terdengar suara sirine dari kejauhan. Orang itu hanya mengatakan aduh dan aduh melulu sampai akhirnya ia mati. Orang-orang terus bercekcok tentang si sakit: siapa, dari mana, sakit apa, hingga tindakan apa yang akan mereka ambil tanpa menolongnya sama sekali. Hanya bicara melulu, saling berdebat dalam nuansa keragu-raguan sampai akhirnya si sakit itu mati. Orang-orang itu merasa menyesal dan berencana menguburkannya namun jangankan mengubur, mengangkatya saja tak mampu. Mereka lantas memutuskan menungggu sampai pagi hari. Sementara yang lain tertidur, salah seorang malah merampok si mayat. Singkat cerita mayat kemudian digotong hendak dikubur. Diperjalanan, gerombolan anjing datang mengganggu. Orang-orang panik, belingsatan dan melempar si mayat ke sumur. Beberapa di antara mereka terluka dan mengaduh. Suara sirine bersahutan menambah suasana jadi kacau. Salah satu di antara mereka mengaduh dan mendatangi kerumuman kawannya persis seperti bagian awal cerita ini. Dan demikian terus berulang.
Teks ini tidak menceritakan seting tempat namun memiliki seting waktu yang cukup jelas. Tidak pula ada identitas berupa nama atau penjelasan karakter tokoh. Ini memang boleh jadi khas Putu Wijaya dalam karya-karya dramanya. Identitas menjadi cair, siapa bisa menjadi apa. Peristiwa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sebab tidak menyebutkan masa waktu tertentu. Dan meski telah berusia hampir 50 tahu, substansi teks ini masih dirasa relevan dengan masa kini sebab yang disampaikan memang perkara kemanusiaan yang tak lekang waktu. Peristiwa macam itu bisa saja benar-benar ada dewasa ini, di mana saja.
Prodi Seni Teater Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) memanggugkan lakon ini pada Minggu malam, 2 Desember 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya pada perhelatan Festival Putu Wijaya. Dimainkan oleh sekitar 13 pemain, ADUH disuguhkan dengan nuansa yang lebih kekinian.
Memasuki ruang pertunjukan, penonton disuguhi mandi cahaya lampu disko diiringi lagu Ayah milik Ebit G. Ade versi koplo. Penonton seperti akan dibawa bertualang ke tempat semacam klub malam barangkali. Setelah lampu disko padam, dalam gelap seseorang masuk panggung membawa semacam lampu darurat dan kertas, ia seperti berupaya membaca. Ilustrasi musik suling Sunda mengantar langkah seseorang yang sekilas terlihat bersorban itu keluar. Mobil remote control yang dipasangi lampu semacam lampu senter yang menyorot ke berbagai arah masuk berkeliling lantas berputar makin kencang berbarengan dengan suara-suara serupa di jalan: deru kendaraan, klakson, dan lain-lain. Setelah lampu panggung benar-benar terang nampak belasan orang berbusana aneka warna. Di belakang, tumpukan kardus-kardus menggunung. Beberapa sobekan kardus beserakan hingga ke tangga panggung. Scaffolding berdiri tegak di lantai depan apron bagian kiri panggung. Beberapa level nampak sengaja ditutupi kardus agar terkesan senada. Kabel-kabel bergelayutan di atas panggung.
Tiba-tiba saja terdengar suara “aduuuh…aduuuuh” entah dari mana. Para pemain membentuk  grouping seperti mencari-cari sumber suara. Tak lama, sosok berbusana putih compang-camping seperti hantu-hantu dalam film produksi dalam negeri datang tergopoh-gopoh, berjalan perlahan dari arah penonton. Orang pucat mirip hantu itu hanya mengaduh saja. Ketika ditanya tentang sakit yang dideritanya ia hanya menjawab aduh dan aduh. Seraya tubuhnya bergerak, terdengar suara seperti suara gerakan robot-robot di film : tiiit, teeet, teeeng, ngiiik, dan lain-lain.
Selanjutnya dialog-dialog perdebatan tentang kesakitan si sakit dan sikap yang akan mereka ambil mengisi adegan. Mereka ragu untuk menolong sebab trauma kejadian yang lalu, yang hampir mirip dengan yang mereka hadapi sekarang. Ada perubahan sikap yang terjadi. Sekelompok orang itu yang asalnya nampak simpati dan bermaksud menolong, karena berdebatan antar mereka sendiri malah berubah jadi seperti benci pada si sakit. Dianggapnya sakitnya itu bohong belaka, tipu-tipu. Tentang sakit bohongan ini mungkin menyegarkan ingatan pemirsa Indonesia tentang seorang politisi kaya raya yang harus membuat drama sakit-sakitan dan kecelakaan lalu lintas lantaran enggan diperiksa KPK. Aduh!
Keragu-raguan dan perdebatan ini terus berlangsung hingga si sakit dipastikan mati setelah diperiksa oleh semacam dokter lewat adegan pantomim. Tubuhnya kaku, tak bergerak. Mereka semua nampak menyesal dan bersedih. Tapi ini justru menimbulkan masalah baru. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Setelah berdebat cukup alot dan berbelit, akhirnya semua sepakat untuk menguburkan si mayat. Namun jangankan mengubur, mengangkatnya saja mereka kesulitan. Mereka memutuskan untuk memeriksa tubuh si mayat, barangkali ada identitas yang bisa jadi petunjuk. Perdebatan tentang jenis kelamin si mayat pun sempat mengemuka dengan tidak menghasilkan solusi berarti.
Setelah sekian kali berusaha mengangkat si mayat, entah mengapa, tiba-tiba mereka semua seperti kerasukan, menggeliat-geliat, mengaduh, berteriak-teriak. Suasana kacau. Beberapa pemain menabrak tumpukan kardus-kardus sampai roboh. Beberapa saat kemudia lampu berubah merah. Tiga boneka dua dimensi berbentuk manusia muncul dan menggatung di atas. Seseorang lantas terlihat membawa dua boneka lain dengan kedua tangannya. Sembari itu lampu panggung memerah. Suasana terasa chaos. Tiba-tiba saja lampu padam dan kekacauan itu berakhir. Panggung gelap. Masuk tokoh pembawa lampu darurat. Ia membantu si mayat bangun dan memapahnya ke arah penonton. Si tokoh bersorban itu keluar dan mobil pembawa lampu masuk kembali seperti adegan awal. mendadak saja lampu menyala terang. Para pemain bangun dan berjingkrak menari. Sementara itu MC mengumumkan bahwa pertunjukan telah usai.
Sekilas melihat dari kostum yang dikenakan para pemain, teks ini berupaya untuk dibawakan dengan nuansa ngepop dan kekinian. Pilihan warna-warna mencolok serta aksesoris yang dikenakan cukup menguatkan itu. Kecuali itu, kesan ini diperkuat pula oleh gaya tutur keminggris yang dibawakan oleh salah seorang pemain. Kekayaan ragam dialek daerah diupayakan pula terangkat dalam lakon ini. Betawi, Jawa, dan Sunda menjadi pilihan dialek beberapa aktor meski tidak secara konsisten dibawakan. Ada bagian ketika salah seorang aktor berbicara bahasa Sunda yang meski terdengar kaku dengan diksi yang aneh pula namun cukup mengundang gelak tawa penonton. Yang bersinar barangkali hanya tokoh kribo dengan logat Betawi kentalnya. Aktingnya terasa natural. Dialog dan tubuhnya seperti menyampaikan kejujuran akting. Di antara belasan pemain, barangkali ia satu-satunya yang lebih “menjadi” ketimbang yang lain yang terasa artifisial.
Agaknya pertunjukan ini diupayakan dinamis sekaligus cair. Upaya menyelipkan interupsi a la Brechtian nampak pada adegan ketika sekelompok orang itu seperti berusaha membangunkan kembali si mayat dengan semacam doa. Ritual itu mereka kemas dengan potongan tari Ratoh Jaroe, mirip tari Saman. Ketika mereka selesai menari dan si mayat tak kunjung bangun, masuk seseorang seperti semacam pelatih atau instruktur dengan pakaian khas Melayu. Ia memarahi para pemain yang diangggapnya tak serius. Adegan cair. Sangat mencair. Belasan pemain itu seketika seperti lepas dari peran panggung dan menjadi diri mereka sendiri. Sayangnya adegan ini seperti kurang mendapat porsi, terkesan sekedar saja, tidak berenegi sehingga terasa hambar dan gaje.
Adegan muntah-muntahnya sekelompok orang itu lantaran bau busuk yang diduga berasal dari si mayat sepertinya diupayakan juga menjadi serupa teror. Semua pemain muntah-muntah sampai keluar panggung, ke kursi penonton diiringi suara-suara serupa suara iklan radio yang tumpang tindih.
Sayangnya upaya-upaya yang dilakukan agaknya belum berhasil menjadikan tontonan cukup menarik tanpa kehilangan makna. Dinamika bloking para pemain agaknya terlalu berlebihan dan diulang-ulang, alih-alih menyuguhkan kesan panik dan kacau malah cenderung menjemukan, menjadikan irama permainan menjadi monoton, kurang terasa kencang kendor. Kejemuan ini diperparah dengan respon dialog yang cenderung lambat, tidak terjadi ping-pong yang barangkali bisa menolong menaikan tensi permainan. Meski tokoh-tokoh pada teks ADUH tidak memiliki nama, agaknya itu tidak bisa menjadi alasan untuk akting yang tidak menubuh. Betapapun dialog-dialog ADUH bisa ditukar-tukar, dituturkan siapa saja namun tetap harus dimiliki sebagai “kataku” oleh si penutur agar kata-kata itu tidak mubadzir, berserakan begitu saja tanpa energi. Hal ini yang agaknya mendominasi pertunjukan ADUH malam itu.
Irama dan dinamika permainan yang disutradarai JR Siregar ini lebih terkesan monoton saja. Perubahan sikap sekelompok orang pada si sakit yang kemudian jadi si mayat itu antara heran, ragu, murka, marah, panik, menyesal, bingung dan sebagainya yang padahal cukup kentara dalam teks agaknya tidak nampak. Hal lain yang cukup menarik adalah ketika salah seorang di antara mereka kesurupan dan lantas menular pada yang lain. Adegan ini seperti menjumpakan dua hal yang selama ini seperti agak berjauhan dalam kehidupan sehari-hari: supranatural dan urban culture. Respon “tubuh-tubuh kota” terhadap fenomena kesurupan yang hadir malam itu bisa jadi perjumpaan yang menarik namun sayangnya sepertinya agak luput dari tangan sutradara. Laku kesurupan yang ada malah tidak menemukan momentumnya lantaran kurang diberi porsi yang cukup dan fokus adegan kabur. Jika saja perjumpaan ini ditunjang oleh gagasan ketubuhan yang dialektis, barangkali akan jadi tawaran sintesa yang menarik.       
Kecuali hal barusan di atas, tentang kehadiran tokoh pembawa lampu darurat pun malah seperti membelokkan premis, mencipta gagasan baru, atau setidak-tidaknya berupaya memberi konklusi. Kehadirannya seolah ingin mengatakan bahwa pada akhirnya, hanya “sosok bersorban”lah yang bersedia menolong si sakit, yang sedari tadi, hingga matinya ia, tak ada satu pun yang bersedia menolong. Meski dirasa terlalu naif dan cenderung simplifikatif, namun barangkali ini sah saja sebagai tafsir alternatif.        
 
 
Panjalu, 3 Desember 2018 

AUM: nasib udik, nasib Indonesia; catatan kecil pementasan AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya

Sebagian yang hadir mungkin tak menyadari seorang berpakaian hansip yang nampak tidur nyenyak di pos keamanan Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT) adalah bagian dari pertunjukan. Kehadirannya sebagai bagian dari tontonan mulailah disadari tatkala serombongan orang, laki-laki dan perempuan, menerobos masuk gerbang, berjalan ke arah teras gedung. Mereka membawa sebentuk tandu dengan empat bambu menyilang seperti baling-baling helikopter, berbalut kain merah, putih, dan hijau muda. Ilustrasi musik seolah hendak memberi kesan ngeri, mistis, atau mungkin juga horor pada adegan ini.
Di sekeliling tandu triwarna itu, setibanya di teras “rumah Bupati”, tidurlah rombongan orang itu bergelimpangan. Suara kokok ayam dan musik bernuansa ceria barangkali menandakan pagi hari. Salah seorang di antara mereka yang lebih dulu bangun bermaksud mengembalikan belati milik hansip yang diambilnya malam tadi ketika mereka tiba. Bukannya baik-baik, ia malah dicaci maki, dibentak-bentak, diintimidasi. Orang itu, yang dicaci maki itu, mengaku hanya sebagai penunjuk jalan belaka, tidak bersangkut paut dengan tujuan rombongan itu kemari. Percekcokan ini merembet hingga membangunkan semua anggota rombongan yang melalui percakapan dengan hansip diketahuilah bahwa mereka rombongan dari udik, sekeluarga, yang sengaja datang ke rumah Bupati dengan maksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Di antara mereka nampak seorang perempuan yang dianggap sebagai kepala keluarga.  
Adu mulut dan saling bentak itu pun mereda ketika Bupati menampakkan diri. Dengan kolor, kaos, dan sepatu olah raga, Bupati terlihat asik lari pagi. Selanjutnya, setelah banyolan-banyolan tentang Bupati yang berkulit hitam dan berkolor, percakapan mulai memasuki pokoknya. Kepala keluarga memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Mereka hendak mengajukan pertnyaan-pertanyaan dan berharap jawaban dari sang Bupati. Sebelum melanjutkan percakapan, perempuan itu memerintahkan Ucok berdoa demi keselamatan. Rombongan pun segera membentuk formasi doa dengan Ucok sebagai pemimpin. Tak dinyana, Ucok yang didapuk sebagai pemimpin doa malah buyar. Ia merasa muak dengan doa-doa melulu yang dirasanya takkan banyak berguna. Seketika setelah ia berbicara keras-keras pada Tuhan, ia seperti kerasukan. Suasana kacau, gawat, panik. Kepala keluarga buru-buru memerintahkan anak-anaknya meminjam baju dua hansip dan Bupati sebagai syarat penyembuhan. Segera orang-orang udik itu melakukan semacam upacara penyembuhan kerasukan. Bukannya Ucok tersadar, yang lain malah berjoged-joged seperti turut kerasukan. Berjoged dan terus berjoged diiringi musik disko sampai ibu membentak dan berakhirlah joged-joged itu.
Selanjutnya adegan mengalir tanpa tanda pergantian adegan atau babak. Sesekali rombongan orang udik itu membalas seruan kepala keluaga dengan AUM. Ada pula bagian mereka bernyanyi bersama, “ibu pertiwi / tolonglah kami / buka kembali rahimmu”, dengan suasana penuh harap dan haru. Nyanyian ini pula yang memungkas pertunjukan sebelum riuh tepuk tangan penonton. Adegan memuncak ketika semua orang udik itu memutuskan bunuh diri lantaran tak kunjung mendapat jawaban.
Secara keseluruhan AUMan Teater Dongkrak Tasikmalaya ini cukup segar dan renyah. Dialog-dialog banyolan nan satir a la Putu Wijaya mampu disampaikan dengan cukup. Kemunculan Bagus atau tokoh menantu, lelaki bunting, dari tempat pemusik mampu memberi semacam kejutan kecil. Bloking dan moving para pemain yang dinamis menambah segar petunjukan berdurasi sekitar satu jam ini.   
AUM, demikianlah judul lakon karya Putu Wijaya yang dipentaskan Teater Dongkrak Tasikmalaya di halaman GKKT pada Festival Putu Wijaya, Rabu, 28 November 2018 malam. Memilih halaman GKKT sebagai panggung cukup menarik perhatian penonton malam itu lantaran bukan hal yang biasa terjadi. Ini siasat cerdas untuk setidaknya meminimalisir kerja dan biaya artistik. Pos kemanan GKKT dijadikan sebagai pos hansipnya rumah Bupati sedang teras GKKT sebagai teras rumah Bupati. Sebagian penonton mungkin menunggu kejutan atau ketakterdugaan apa yang akan disajikan. Sayangnya hingga akhir pertunjukan, kejutan-kejutan yang dinanti tak kunjung datang kecuali satu dua kejutan kecil. Gimik yang cukup tak terduga itu pun agaknya kurang greget. Barangkali karena penonton sudah diarahkan menonton ke satu arah dengan hadirnya tempat duduk berupa pelbet yang ditata sedemikian rupa. Jika saja penonton dibiarkan liar, menonton dari berbagai arah, di mana dan dari mana saja, mungkin gimik ini bisa memberi kesan yang lebih kuat.
Meski bermain di halaman gedung yang cukup luas dan memiliki potensi eksplorasi ruang yang besar, sutradara Jabo Widiyanto lebih memilih mempertahankan pola pemanggungan prosenium. Ini diperkuat pula oleh hadirnya pelbet itu yang sebagai tempat menonton. Adegan-adegan sepertinya memang dirancang untuk ditonton dari satu arah saja.  
Pilihan konvensi inipun agaknya integral dengan bentuk serta konsep pertunjukan yang ditawarkan. AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya masih setia pada dialog-dialog, kata-kata,  meski terjadi penyuntingan cukup banyak. Upaya mempertahankan kata-kata ini sayangnya kurang ditunjang kemampuan vokal para aktor yang meruang malam itu. Bermain outdoor tanpa pengeras suara tentu membutuhkan energi yang lebih besar ketimbang indoor. Meski hampir semua dialog terdengar dengan cukup jelas namun gaya tutur para aktor nyaris seragam padahal teks ini sangat memungkinkan diartikulasikan dengan berbagam gaya tutur dan dialek. Barangkali karena fokus energinya pada volume maka segmen lain dalam wilayah vokal semisal intonasi, gaya tutur, keberagaman warna suara, dan lainnya agak terkesampingkan. Mungkin hanya tokoh lelaki tua yang berupaya lebih mengolah segmen vokal lain selain volume.
Selain persoalan gaya tutur yang seragam itu, power dalam konteks inner energy para aktor kurang terpancar juga. Beberapa aktor malah nampak kedodoran, semacam kehabisan energi barangkali. Hal ini tentu cukup mempengaruhi AUMan tontonan ini secara keseluruhan sebab aktor adalah ujung tombak. AUM yang identik dengan raungan singa atau harimau itu kurang buas dan perkasa rasanya. Tidak hadirnya set atau properti yang ditonjolkan membuat aktor harus bekerja lebih keras agar gagasan dan energi bisa tersampaikan dengan tepat. Tandu triwarna yang hadir di panggung tidak begitu jelas status dan fungsinya dan tak kunjung mengAUM hingga akhir pertunjukan. Pada teks AUM memang dijelaskan adanya kerangkeng yang diujung pertunjukan keluar darinya “manusia bertangan ribuan bagai oktopus”. Namun malam itu, tandu triwarna itu hanya bergoyang-goyang saja beberapa saat, tak menemukan momentumnya.
AUM berkisah tentang sekelompok orang desa, orang udik, yang datang ke rumah Bupati hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Banyak keganjilan yang menimpa mereka yang mereka sendiri tidak memahaminya: para lelaki yang bunting, kepala orang tua yang lepas dan  melayang-layang, monster oktopus yang keluar dari kerangkeng, dan lain-lain. Dua keanehan yang terakhir disebut masuk daftar suntingan AUM-nya Teater Dongkrak. Penyuntingan ini agak disayangkan padahal hal-hal ganjil itu barangkali bisa membantu penonton memahami kegelisahan orang-orang udik yang muaranya adalah pesan lakon itu sendiri. Ini boleh jadi metafor saja dari keganjilan-keganjilan yang nyata-nyata dialami rakyat kecil di Indonesia. Alam imajinasi Putu Wijaya yang agaknya lekat dengan tradisi Bali yang sarat mistis menjadikan naskah-naskahnya berwarna Nusantara, khas, absurd sekaligus meneror.
AUM menyodorkan berbagai persoalan khas rakyat kecil yang kadang bahkan seringnya mereka sendiri tak mengerti. Ketika itu, ketika rakyat tidak memahami apa yang terjadi, mereka menanyakannya pada Bupati setelah sebelumnya dukun, profesor, cendikiawan, dokter, pemimpin redaksi, tokoh masyarakat, pejabat-pejabat, dan lainnya tak mampu memberi jawaban. Ketika Bupati tak lagi bisa menjawab, mereka bertanya pada Tuhan. Dan ketka Tuhan pun dianggap tak memberi jawaban, maka bunuh diri adalah pilihannya.
Menurut Putu Wijaya sebagai empunya cerita, adegan bunuh diri atau cerita AUM itu sendiri  terinpirasi dari kejadian nyata di Guyana ketika seorang pendiri Gereja Kuil Rakyat atau Peoples Temple bernama Jim Jones memerintahkan jemaatnya bunuh diri massal. Dilaporkan 909 orang meninggal akibat menenggak sianida pada 18 November 1978 di Guyana, Amerika Selatan. Konon, ini merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan dunia.
 
Panjalu, 3 Desember 2018
 
foto : AUM oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di halaman Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan)

DOR yang kurang menggeDOR; catatan kecil pementasan DOR-nya Teater Api Indonesia



Kecenderungan sebagian kelompok teater memilih genre teater tubuh jamak ditemukan di berbagai tempat, khususnya kota-kota besar sebagai pusat perkembangan seni teater. Dialog-dialog digubah sedemikian rupa menjadi hanya laku tubuh semata. Kata-kata menjadi penting hanya ketika proses bedah naskah saja guna memahami premis sang penulis naskah. Selanjutnya kata-kata itu akan bertransformasi, menubuh di tubuh-tubuh aktor menjadi gagasan-gagasan yang musti disampaikan lewat bahasa performatif teater minus kata-kata.

Menggubah teks drama verbal menjadi laku tubuh nirkata sejatinya barangkali semacam upaya menggendapkan kata-kata, membuatnya makin padat, mengkristal, semacam puisi barangkali. Upaya ini tentu bukan tanpa resiko. Pilihan menubuhkan teks verbal tentu mensyaratkan tubuh-tubuh aktor yang jujur dan penuh daya agar mampu menyampaikan energi, gagasan, dan motif secara tepat pada penonton. Kecuali itu, metafor-metafor artistik, selain dipahami sebagai simbol, tentu diharapkan mampu memberi impresi yang menghujam dan tepat  agar tontonan menjadi menarik sekaligus tidak kehilangan makna dan terjebak ke dalam parade tubuh-tubuh belaka.

Upaya menubuhkan teks verbal ini nampak dilakukan oleh Teater Api Indonesia asal Surabaya. Lakon DOR karya Putu Wijaya yang cukup tebal dan penuh kata-kata disajikan dalam genre teater tubuh, tanpa kata sama sekali pada Festival Putu Wijaya di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT). Dialog yang panjang dan banyak itu bertransformasi menjadi metafor  audio non verbal, visual, dan laku.

Entah kapan pertunjukan dimulai. Sejak masuk dan memilih tempat duduk, penonton sudah disajikan lampu gantung menyala yang bergoyang-goyang plus bunyi konstan seperti pukulan kaleng. Suasana itu barangkali mirip adegan interogasi di film-film namun tanpa interogator dan tersangka, seolah semua yang hadir menyaksi bisa jadi tersangka atau interogator itu sendiri, atau hanya menonton saja dan merasakan suasana penuh tanda tanya. Tanpa kata-kata pengantar pertunjukan, tanpa pembawa acara, gimik ini cukup berhasil menciptakan atmosfer khas dan merangsang imajinasi penonton, menariknya pada suasana lain tepat ketika memasuki ruang pertunjukan. Barangkali semacam teror juga. Hadir begitu saja tanpa permisi.

Setelah lampu menyala lebih terang, nampaklah tiga buah lampu yang menggantung tepat di atas tanda lingkaran yang melekat di lantai panggung. Satu lingkaran di bagian tengah dibuat serupa visir bidik senapan. Apapun yang berada tepat di tengahnya seolah merupakan target tembak, objek buruan. Di bagian belakang menjulang seng warna perak berbentuk delta terbalik, macam sayap pesawat tatkala menukik. Di atasnya ada bendera-bendera segitiga kecil melintang, mirip dekorasi yang lazim pada acara perayaan-perayaan.  

Kehadiran tokoh pembawa pedang dan timbangan yang berdiri tepat di tengah visir kemudian  dikalahkan tokoh berjas, bercelana bahan, bersepatu pantopel, bertopeng kaleng yang membawa troli berisi kaleng-kaleng di bagian awal menjadi kunci penting memahami adegan-adegan selanjutnya. Barangkali tokoh pembawa pedang dan timbangan ini dimaksudkan sebagai Dewi Themis, tokoh mitologi Yunani yang kemudian diadopsi luas sebagai Dewi Keadilan. Timbangan di kiri sering diartikan sebagai azas hukum justice for all dan equality before the law. Sedang pedang di kanan biasa dimaknai sebagai ketegasan penegakan hukum. Suatu azas yang – setidaknya di Indonesia atau di beberapa tempat lain – hanya ada di dunia ide tanpa benar-benar membumi dan tegak.

Adegan-adegan selanjutnya lebih seperti fragmen-fragmen yang masing-masing berdiri sendiri. Barangkali kehadiran kaleng-kaleng di tiap adegan dimaksudkan sebagai benang merah dari fragmen-fragmen ini. Sedari awal kaleng-kaleng hadir dalam pelbagai varian bentuk dan fungsi. Properti ini dibawa, dimainkan, direspon, diperlakukan oleh aktor sebagai sesuatu yang bukan kaleng semata. Kaleng menjadi topeng, sandal, koper, moncong, timbangan, palu, dan kaleng itu sendiri. Kaleng-kaleng disusun, ditumpuk, dipukul, diinjak, dilempar ke udara, dan dilemparkan membabi buta ke arah set di bagian belakang. Selain brang breng brong suara kaleng berjatuhan, kaleng beradu, dipukul, diinjak-injak, senandung throat singing sempat pula hadir di bagian awal menyapa telinga penonton. 

 

Simplifikasi makna

DOR-nya Teater Api Indonesia yang disutradarai Luhur Kayungga itu meruang sekitar satu jam di panggung prosenium GKKT. Sedari dibuka dengan gimik yang cukup mengetuk, tontonan ini agaknya tidak menemukan DORnya hingga tepuk tangan penonton memungkas pertunjukan. Irama pertunjukan secara keseluruhan nyais monoton. Sejak awal hingga akhir penonton disuguhi adegan-adegan yang cenderung lamban sehingga berpotensi membuat jemu. Kejemuan ini barangkali dipupuk pula oleh tawaran laku tubuh yang terkesan tidak tuntas, dipaksakan, ragu-ragu, canggung, dan tanggung.  

Adegan tersaji secara parsial tanpa jembatan. Aktor keluar masuk silih berganti sangat teratur dengan pola yang hampir mirip satu sama lain. Hal ini barangkali yang membuat alur dramatik pertunjukan ini agak sukar diraba. Adegan kekalahan tokoh pembawa timbangan dan pedang oleh tokoh berjas itu mungkin bisa jadi pemandu untuk membaca metafor-metafor selanjutnya bahwa tema besar pertunjukan ini adalah kalahnya hukum dan keadilan oleh kekuasaan. Adegan ini bisa jadi semacam bingkai di mana semua adegan yang hadir setelahnya berada dalam bingkai persoalan-persoalan hukum dan keadilan. Sayangnya, isi bingkai itu terasa terlampau renggang dan berserakan. Jika pun kehadiran kaleng-kaleng adalah perekatnya, justru itu yang membuat bingung. Apa yang hendak disampaikan kaleng-kaleng itu? Apakah kehadirannya sebatas untuk menggenapi unsur bunyi, dar der dor?

DOR sendiri ditulis Putu Wijaya pada 1979. Seperti kebanyakan karya drama Putu, DOR dimainkan kolosal, mungkin bisa lebih lebih dari 15 orang. Sebut saja tokoh Hakim, Gubernur, Ibu Gubernur, Jaksa, Pembela, Pelayan, Inem, Yulia, Pacar, Ali, Lan Fa, dan Sobat, mereka ialah tokoh dengan porsi dialog yang cukup banyak. Alurnya memang agak membingungkan, melompat-lompat, serba tiba-tiba, berputar-putar, dan banyak yang tak terduga. Meski begitu, meraba alur dramatik teks ini masih lebih mudah ketimbang DOR-nya Teater Api Indonesia. Hal ini mungkin selain karena ada bahasa verbal yang cenderung lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tubuh, identitas tokoh pun masih hadir utuh sebagai penggerak cerita. Tidak jelasnya penokohan dalam DOR pada Rabu, 28 November 2018 malam itu juga yang barangkali membuatnya makin gelap dipahami.

Misalkan saja alur dan tokoh disingkirkan dan hanya esensi atau premis DOR yang diusung malam itu, agaknya ada beberapa hal yang luput atau sengaja tidak diangkat. DOR tidak sekedar membicarakan ketidakadilan dan kepincangan hukum belaka, namun lebih dalam dari itu. DOR sendiri barangkali merujuk bunyi letusan. Apa yang meletus? Di bagian ujung teks DOR memang dikisahkan bagaimana beberapa tokoh menembak tokoh lain. DOR!

Dari kasus pembunuhan pelacur oleh Ali si anak Gubernur, Putu agaknya ingin mengajak pembaca atau penonton menyelam lebih dalam, merenungkan tentang makna hukum dan keadilan itu sendiri. Merenungkan sebuah konsep yang diciptakan, disepakati, dan digunakan manusia. DOR lebih seperti renungan filsafat tentang hukum, keadilan, dan secara luas tentang kemanusiaan yang dikemas dengan gaya jenaka, konyol, banyol, cair, sekaligus meneror.

Dari sekian banyak dan dalam hal-hal yang dibicarakan Putu dalam teks DOR-nya, tawaran dan pilihan laku tubuh serta bahasa visual lain yang diketengahkan Teater Api Indoensia barangkali lebih berupaya mengantar penoton untuk menangkap persoalan ketidakadilan dan  kekalahan hukum oleh kekuasaan saja. Sayangnya upaya ini justru masih dirasa terhambat oleh beberapa pilihan laku tubuh dan bahasa visual itu sendiri. Kecuali itu, premis yang dipilih ini terkesan semacam simplifiasi makna yang justru malah membuat DOR terasa mengambang di permukaan saja. Tidak ada letusan yang cukup impresif.

 
Panjalu, 3 Desember 2018  
 
foto : DOR oleh Teater Api Indonesia pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan (dipinjam dari laman Facebook Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Bode Riswandi)      


Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...