25 Desember Yang Kudus:
Kesaksian
Dua Pertunjukan
Sejak siang hujan
mengguyur Panjalu. Saya jadi ragu apakah harus pergi ke Tasik atau urung saja. Beberapa
hari lalu kawan-kawan mengirim poster digital via WA, mengabarkan konser musik
kontemporer Kelompok Bunyi Sunya pimpinan Lawe Samagaha di Pendopo Tasikmalaya,
25 Desember 2018 malam. Menyusul kemudian, ada kabar lagi bahwa Jabo Widianto,
ponggawa Teater Dongkrak Tasikmalaya, akan mementaskan monolog “Membaca
Tanda-Tanda”. Monolog karya Rachman Sabur ini sebelumnya pernah ikut serta
dalam sebuah kompetisi monolog pada acara South Borneo Art Festival dan
menyabet juara 2.
Atas dorongan istri saya
yang sebelumnya pernah menyaksikan pertunjukan musik Lawe Samagaha di Bentara
Budaya Jakarta, saya akhirnya jadi juga berangkat. Hujan terus membasahi
jalanan sejak dari rumah hingga tiba di lokasi pertunjukan sekitar pukul 18.30.
Waktu itu nampak beberapa orang sedang duduk melingkar di dalam ruang
pertunjukan. Aroma hio tercium kuat sekali, bahkan sampai ke luar gedung.
Barangkali ini ucapan selamat datang pada calon penonton sekaligus upaya
memberi kesan pembuka. Apa kira-kira kesan yang ditangkap ketika mencium aroma
macam ini? Mistis? Suasana klenteng? Ritual? Atau malah puyeng karena bau yang
menyengat itu? Ya, kesan bisa macam-macam, tergantung ingatan yang ada di benak
penonton sebab kesan sebenarnya ingatan yang dipanggil kembali.
Sekitar jam 20.00, setelah
jumlah penonton agak banyak, Tatang Pahat membuka acara. Ia, dan semua
penonton, berdiri di halaman gedung. Sebelum konser, Jabo Widianto akan melakonkan
monolognya terlebih dahulu di halaman pendopo. Di halaman itu ada sepetak tanah
dengan beberapa macam pohon yang didominasi pohon-pohon tinggi. Di tanah
berumput itu, beberapa lilin menyala tapi tak cukup kuat untuk menerangi wajah
dan tubuh sang aktor.
Jabo memulai pertunjukannya
dengan salam dan mengajak penonton mendo’akan para korban tsunami Banten dan
Lampung. Usai itu barulah ia menjadi tokoh. Awalnya ia bersenandung seperti
semacam beluk. Lantas berkeliling
memegang pohon satu persatu, seperti menyapa mereka. Kemudian membasuh diri
dengan air sisa hujan yang menggenang di tanah. Sesekali ia menirukan suara
burung gagak sembari berkeliling memukul-mukul pohon dengan sebilah bambu,
seperti mengusir pengganggu. Ya, suara gagak dianggapnya sebagai tanda suatu
peristiwa akan terjadi. Pertanda buruk.
Ada satu adegan sang tokoh
seperti mengajak bicara “sesuatu” yang dipandangnya akan merusak, merampok,
memperkosa alam. Ia melawan dengan keras bahkan pasang badan, menantang untuk
ditembak. Sesuatu ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam oleh penonton sebab perusak
alam bukan hanya gerjaji mesin para pencuri kayu namun lebih dari itu: aturan,
perusahaan, pemerintah, atau yang lebih mendasar dari itu yakni hasrat manusia
untuk menaklukan alam, menguasai alam bukan berharmoni, selaras dengan alam.
Pesan tentang alam ini
semakin terasa dengan “setting” yang alamiah dalam arti sesungguhnya. Ya, Jabo
berhasil menjadikan halaman pendopo itu sebagai stage dalam artinya non-formal. Stage
adalah ruang bagi aktor untuk melakonkan dirinya. Plastisitas keruangannya
membuat monolog ini selalu baru dan tak jemu disaksikan.
Secara keseluruahan
monolog ini berhasil memikat penonton selama kurang dari 30 menitan. Dengan
tempo permianan yang relatif cepat, dinamika pertunjukan masih bisa dimainkan
dengan baik. Penonton seolah tidak dibiarkan hanyut dalam kisah sedih alam yang
terancam namun terus dihentak oleh adegan-adegan keras sekeras perlawanan tokoh
terhadap perusak-perusak alam. Hal ini seperti memberi pesan dan kesan bahwa
bagaimanapun, perlawanan terhadap perusak alam harus tanpa lelah. Pun demikian,
Jabo mampu mengolah dan mengatur tubuhnya agar terhindar dari kelelahan akibat
adegan ketat tanpa jeda menghela nafas panjang. Dan meski pencahayaan sangat
minim dan wajah aktor tak bisa dilihat dengan jelas namun kiranya tidak jadi
soal besar. Pesan-pesan pertunjukan masih bisa ditangkap karena disampaikan dengan
bahasa verbal yang jelas meski beberapa artikulasi terkesan memaksakan.
Seletah Jabo memberi
hormat tanda usai pertunjukan, riuh tepuk tangan penonton benar-benar memungkas
dan sekaligus mengawali perjalanan baru memasuki ruang pendopo. Tepat dibagian
tengah ruangan daun-daun tua menghampar membentuk lingkaran penuh. Di tengah
lingkaran itu sebuah gong tergeletak, ia seperti tertidur dan menunggu sesuatu.
Di satu sisi nampak Lawe Samagaha memejamkan mata seperti meditasi. Di sisi
lainnya seorang penggesek biola telah siap dihadapan partitur. Ada lima stand book rendah tempat menempel
partitur di panggung. Awalnya cuma dua orang itu, kemudian, setelah biola
menggesek beberapa nada, tiga orang muncul sembari mengetuk semacam bonang. Adegan
ini mengingat saya pada ritual agama-agama kuno, atau thawaf dalam rangkaian
ritual haji barangkali. Penonton yang melingkari stage menambah kesan ritual makin kuat.
Selanjutnya, sekitar 30
menitan barangkali konser musik kontemporer berjudul Temumat ini meruang. Saya tidak bisa banyak
melukiskan konser itu secara deskriptif karena memang saya buta sama sekali
akan musik. Jangankan musik macam ini yang dalam bahasa Lawe Samagaha ia sebut “Musik
dengan M besar” yang lantas saya pahami sebagai musik kontemporer, musik
konvensional, yang dalam bahasa Lawe dibilangnya “musik dengan m kecil”, pun
saya sama sekali buta tentangnya. Hanya sekedar penikmat, hanya menyimak musik,
tidak lebih.
Dan tentang sajian Musik
dengan M besar malam itu, saya sebatas ingin menyampaikan kesan saja. Menurut
komposernya, Didit Alamsyah, Temumat ini semacam akronim dari temu umat. Umat yang
mana? Saya menafsirkannya umat manusia dari semua suku bangsa, agama, dan latar
belakang lainnya. Sajian musik ini sepertinya sengaja diracik agar dapat
dinikmati oleh penonton dengan multi latar belakang, khususnya latar belakang
agama. Ini bisa dirasakan dari bagian-bagian yang sepertinya campuran macam-macam
idiom bunyi, musik atau gaya yang lazimnya ada dalam ritual agama-agama. Ketika
mendengar lantunan sholawat, saya kok malah teringat paduan suara gereja? Ketukan
bonang itu mengingatkan saya pada salah satu ritus di vihara. Dan bagian-bagian
lain yang menjadi jalan pintas saya untuk menengok ingatan tentang ritus
agama-agama.
Temumat ini merupakan
adaptasi dari teks drama Qasidah Barzanji karya W.S. Rendra. Teks terjemahan
Syu’bah Asa ini merupakan syair berisi puji-pujian, profil dan biografi Nabi
Muhammad saw yang dikarang oleh Sayyid Ja’far bin Husain bin Abdul Karim Al-Barzanji, seorang ulama besar kelahiran
Madinah. Sebagian umat Islam di Nusantara punya tradisi membaca kitab Al-Barzanji
yang biasanya dilakukan pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di tiap
daerah lagam dan cara membacanya bervariasi, sesuai dengan ekspresi budaya
masing-masing. Menurut sang komposer, kekayaan tradisi inilah yang berupaya
direpresntasikan oleh Kelompok Bunyi Sunya. Temumat berakar dari tradisi
pembacaan Barzanji di Nusantara yang kemudian diracik menjadi bahasa bunyi khas
Kelompok Bunyi Sunya. Menurutnya, tidak semua bagian Qasidah Barzanji
disajikan, hanya beberapa saja yang dipandang mewakili. Temumat, selain berisi
sholawat, juga merupakan gambaran perjalan Nabi Muhammad saw sampai pada lahirnya perintah sholat. Tentang sholat
ini eksplisit sekali digambarkan. Tiga pemian yang berada di tengah mengelilingi
gong mengakhiri pertunjukan dengan posisi duduk tawarruk yang biasa dilakukan
saat tasyahud atau tahiyyat akhir. Sebelumnya, tiga pemain ini memperlakukan
bonang nyaris seperti orang sedang berwudhu.
Saya yang buta musik hanya
bisa menangkap kesan tanpa mampu menjelaskan apalagi mendedah ihwal musiknya
itu sendiri. Menyimak sajian Temumat, saya seperti diajak untuk berdzikir
jahhar dan dzikir sirri bergantian. Ada bagian-bagian musik yang berulang dan
menghentak-hentak dengan tempo cepat, ada pula bagian ketika tangan pemain
menabuh gong tapi tidak ada bunyi terdengar sama sekali. Bunyi-bunyi itu
seperti diserahan saja pada imaji penonton, biar membuat musiknya sendiri.
Akhirnya, dua pertunjukan
yang saya nikmati itu seperti membawa pada ingatan dan kesadaran spiritual
dalam arti seluas-luasnya. Menyaksikan kedua pertunjukan itu, saya teringat
petikan puisi W.S. Rendra:
Kemarin
dan esok
adalah
hari ini
Bencana
dan keberuntungan
sama
saja
Langit
di luar
langit
di dalam
bersatu
dalam jiwa
Panjalu,
29 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar