Sabtu, 29 Desember 2018

25 Desember Yang Kudus: Kesaksian Dua Pertunjukan

 


25 Desember Yang Kudus:

Kesaksian Dua Pertunjukan

 

Sejak siang hujan mengguyur Panjalu. Saya jadi ragu apakah harus pergi ke Tasik atau urung saja. Beberapa hari lalu kawan-kawan mengirim poster digital via WA, mengabarkan konser musik kontemporer Kelompok Bunyi Sunya pimpinan Lawe Samagaha di Pendopo Tasikmalaya, 25 Desember 2018 malam. Menyusul kemudian, ada kabar lagi bahwa Jabo Widianto, ponggawa Teater Dongkrak Tasikmalaya, akan mementaskan monolog “Membaca Tanda-Tanda”. Monolog karya Rachman Sabur ini sebelumnya pernah ikut serta dalam sebuah kompetisi monolog pada acara South Borneo Art Festival dan menyabet juara 2.

 

Atas dorongan istri saya yang sebelumnya pernah menyaksikan pertunjukan musik Lawe Samagaha di Bentara Budaya Jakarta, saya akhirnya jadi juga berangkat. Hujan terus membasahi jalanan sejak dari rumah hingga tiba di lokasi pertunjukan sekitar pukul 18.30. Waktu itu nampak beberapa orang sedang duduk melingkar di dalam ruang pertunjukan. Aroma hio tercium kuat sekali, bahkan sampai ke luar gedung. Barangkali ini ucapan selamat datang pada calon penonton sekaligus upaya memberi kesan pembuka. Apa kira-kira kesan yang ditangkap ketika mencium aroma macam ini? Mistis? Suasana klenteng? Ritual? Atau malah puyeng karena bau yang menyengat itu? Ya, kesan bisa macam-macam, tergantung ingatan yang ada di benak penonton sebab kesan sebenarnya ingatan yang dipanggil kembali.     

 

Sekitar jam 20.00, setelah jumlah penonton agak banyak, Tatang Pahat membuka acara. Ia, dan semua penonton, berdiri di halaman gedung. Sebelum konser, Jabo Widianto akan melakonkan monolognya terlebih dahulu di halaman pendopo. Di halaman itu ada sepetak tanah dengan beberapa macam pohon yang didominasi pohon-pohon tinggi. Di tanah berumput itu, beberapa lilin menyala tapi tak cukup kuat untuk menerangi wajah dan tubuh sang aktor.

 

Jabo memulai pertunjukannya dengan salam dan mengajak penonton mendo’akan para korban tsunami Banten dan Lampung. Usai itu barulah ia menjadi tokoh. Awalnya ia bersenandung seperti semacam beluk. Lantas berkeliling memegang pohon satu persatu, seperti menyapa mereka. Kemudian membasuh diri dengan air sisa hujan yang menggenang di tanah. Sesekali ia menirukan suara burung gagak sembari berkeliling memukul-mukul pohon dengan sebilah bambu, seperti mengusir pengganggu. Ya, suara gagak dianggapnya sebagai tanda suatu peristiwa akan terjadi. Pertanda buruk.

 

Ada satu adegan sang tokoh seperti mengajak bicara “sesuatu” yang dipandangnya akan merusak, merampok, memperkosa alam. Ia melawan dengan keras bahkan pasang badan, menantang untuk ditembak. Sesuatu ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam oleh penonton sebab perusak alam bukan hanya gerjaji mesin para pencuri kayu namun lebih dari itu: aturan, perusahaan, pemerintah, atau yang lebih mendasar dari itu yakni hasrat manusia untuk menaklukan alam, menguasai alam bukan berharmoni, selaras dengan alam.  

 

Pesan tentang alam ini semakin terasa dengan “setting” yang alamiah dalam arti sesungguhnya. Ya, Jabo berhasil menjadikan halaman pendopo itu sebagai stage dalam artinya non-formal. Stage adalah ruang bagi aktor untuk melakonkan dirinya. Plastisitas keruangannya membuat monolog ini selalu baru dan tak jemu disaksikan.

 

Secara keseluruahan monolog ini berhasil memikat penonton selama kurang dari 30 menitan. Dengan tempo permianan yang relatif cepat, dinamika pertunjukan masih bisa dimainkan dengan baik. Penonton seolah tidak dibiarkan hanyut dalam kisah sedih alam yang terancam namun terus dihentak oleh adegan-adegan keras sekeras perlawanan tokoh terhadap perusak-perusak alam. Hal ini seperti memberi pesan dan kesan bahwa bagaimanapun, perlawanan terhadap perusak alam harus tanpa lelah. Pun demikian, Jabo mampu mengolah dan mengatur tubuhnya agar terhindar dari kelelahan akibat adegan ketat tanpa jeda menghela nafas panjang. Dan meski pencahayaan sangat minim dan wajah aktor tak bisa dilihat dengan jelas namun kiranya tidak jadi soal besar. Pesan-pesan pertunjukan masih bisa ditangkap karena disampaikan dengan bahasa verbal yang jelas meski beberapa artikulasi terkesan memaksakan.

 
 

Seletah Jabo memberi hormat tanda usai pertunjukan, riuh tepuk tangan penonton benar-benar memungkas dan sekaligus mengawali perjalanan baru memasuki ruang pendopo. Tepat dibagian tengah ruangan daun-daun tua menghampar membentuk lingkaran penuh. Di tengah lingkaran itu sebuah gong tergeletak, ia seperti tertidur dan menunggu sesuatu. Di satu sisi nampak Lawe Samagaha memejamkan mata seperti meditasi. Di sisi lainnya seorang penggesek biola telah siap dihadapan partitur. Ada lima stand book rendah tempat menempel partitur di panggung. Awalnya cuma dua orang itu, kemudian, setelah biola menggesek beberapa nada, tiga orang muncul sembari mengetuk semacam bonang. Adegan ini mengingat saya pada ritual agama-agama kuno, atau thawaf dalam rangkaian ritual haji barangkali. Penonton yang melingkari stage menambah kesan ritual makin kuat.

 

Selanjutnya, sekitar 30 menitan barangkali konser musik kontemporer berjudul  Temumat ini meruang. Saya tidak bisa banyak melukiskan konser itu secara deskriptif karena memang saya buta sama sekali akan musik. Jangankan musik macam ini yang dalam bahasa Lawe Samagaha ia sebut “Musik dengan M besar” yang lantas saya pahami sebagai musik kontemporer, musik konvensional, yang dalam bahasa Lawe dibilangnya “musik dengan m kecil”, pun saya sama sekali buta tentangnya. Hanya sekedar penikmat, hanya menyimak musik, tidak lebih.

 

Dan tentang sajian Musik dengan M besar malam itu, saya sebatas ingin menyampaikan kesan saja. Menurut komposernya, Didit Alamsyah, Temumat ini semacam akronim dari temu umat. Umat yang mana? Saya menafsirkannya umat manusia dari semua suku bangsa, agama, dan latar belakang lainnya. Sajian musik ini sepertinya sengaja diracik agar dapat dinikmati oleh penonton dengan multi latar belakang, khususnya latar belakang agama. Ini bisa dirasakan dari bagian-bagian yang sepertinya campuran macam-macam idiom bunyi, musik atau gaya yang lazimnya ada dalam ritual agama-agama. Ketika mendengar lantunan sholawat, saya kok malah teringat paduan suara gereja? Ketukan bonang itu mengingatkan saya pada salah satu ritus di vihara. Dan bagian-bagian lain yang menjadi jalan pintas saya untuk menengok ingatan tentang ritus agama-agama.

 

Temumat ini merupakan adaptasi dari teks drama Qasidah Barzanji karya W.S. Rendra. Teks terjemahan Syu’bah Asa ini merupakan syair berisi puji-pujian, profil dan biografi Nabi Muhammad saw yang dikarang oleh Sayyid Ja’far bin Husain bin Abdul Karim  Al-Barzanji, seorang ulama besar kelahiran Madinah. Sebagian umat Islam di Nusantara punya tradisi membaca kitab Al-Barzanji yang biasanya dilakukan pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di tiap daerah lagam dan cara membacanya bervariasi, sesuai dengan ekspresi budaya masing-masing. Menurut sang komposer, kekayaan tradisi inilah yang berupaya direpresntasikan oleh Kelompok Bunyi Sunya. Temumat berakar dari tradisi pembacaan Barzanji di Nusantara yang kemudian diracik menjadi bahasa bunyi khas Kelompok Bunyi Sunya. Menurutnya, tidak semua bagian Qasidah Barzanji disajikan, hanya beberapa saja yang dipandang mewakili. Temumat, selain berisi sholawat, juga merupakan gambaran perjalan Nabi Muhammad saw  sampai pada lahirnya perintah sholat. Tentang sholat ini eksplisit sekali digambarkan. Tiga pemian yang berada di tengah mengelilingi gong mengakhiri pertunjukan dengan posisi duduk tawarruk yang biasa dilakukan saat tasyahud atau tahiyyat akhir. Sebelumnya, tiga pemain ini memperlakukan bonang nyaris seperti orang sedang berwudhu.

 

Saya yang buta musik hanya bisa menangkap kesan tanpa mampu menjelaskan apalagi mendedah ihwal musiknya itu sendiri. Menyimak sajian Temumat, saya seperti diajak untuk berdzikir jahhar dan dzikir sirri bergantian. Ada bagian-bagian musik yang berulang dan menghentak-hentak dengan tempo cepat, ada pula bagian ketika tangan pemain menabuh gong tapi tidak ada bunyi terdengar sama sekali. Bunyi-bunyi itu seperti diserahan saja pada imaji penonton, biar membuat musiknya sendiri.

 

Akhirnya, dua pertunjukan yang saya nikmati itu seperti membawa pada ingatan dan kesadaran spiritual dalam arti seluas-luasnya. Menyaksikan kedua pertunjukan itu, saya teringat petikan puisi W.S. Rendra:

 

Kemarin dan esok

adalah hari ini

Bencana dan keberuntungan

sama saja

Langit di luar

langit di dalam

bersatu dalam jiwa

 

Panjalu, 29 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...