Selasa, 11 Desember 2018

AUM: nasib udik, nasib Indonesia; catatan kecil pementasan AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya

Sebagian yang hadir mungkin tak menyadari seorang berpakaian hansip yang nampak tidur nyenyak di pos keamanan Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT) adalah bagian dari pertunjukan. Kehadirannya sebagai bagian dari tontonan mulailah disadari tatkala serombongan orang, laki-laki dan perempuan, menerobos masuk gerbang, berjalan ke arah teras gedung. Mereka membawa sebentuk tandu dengan empat bambu menyilang seperti baling-baling helikopter, berbalut kain merah, putih, dan hijau muda. Ilustrasi musik seolah hendak memberi kesan ngeri, mistis, atau mungkin juga horor pada adegan ini.
Di sekeliling tandu triwarna itu, setibanya di teras “rumah Bupati”, tidurlah rombongan orang itu bergelimpangan. Suara kokok ayam dan musik bernuansa ceria barangkali menandakan pagi hari. Salah seorang di antara mereka yang lebih dulu bangun bermaksud mengembalikan belati milik hansip yang diambilnya malam tadi ketika mereka tiba. Bukannya baik-baik, ia malah dicaci maki, dibentak-bentak, diintimidasi. Orang itu, yang dicaci maki itu, mengaku hanya sebagai penunjuk jalan belaka, tidak bersangkut paut dengan tujuan rombongan itu kemari. Percekcokan ini merembet hingga membangunkan semua anggota rombongan yang melalui percakapan dengan hansip diketahuilah bahwa mereka rombongan dari udik, sekeluarga, yang sengaja datang ke rumah Bupati dengan maksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Di antara mereka nampak seorang perempuan yang dianggap sebagai kepala keluarga.  
Adu mulut dan saling bentak itu pun mereda ketika Bupati menampakkan diri. Dengan kolor, kaos, dan sepatu olah raga, Bupati terlihat asik lari pagi. Selanjutnya, setelah banyolan-banyolan tentang Bupati yang berkulit hitam dan berkolor, percakapan mulai memasuki pokoknya. Kepala keluarga memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Mereka hendak mengajukan pertnyaan-pertanyaan dan berharap jawaban dari sang Bupati. Sebelum melanjutkan percakapan, perempuan itu memerintahkan Ucok berdoa demi keselamatan. Rombongan pun segera membentuk formasi doa dengan Ucok sebagai pemimpin. Tak dinyana, Ucok yang didapuk sebagai pemimpin doa malah buyar. Ia merasa muak dengan doa-doa melulu yang dirasanya takkan banyak berguna. Seketika setelah ia berbicara keras-keras pada Tuhan, ia seperti kerasukan. Suasana kacau, gawat, panik. Kepala keluarga buru-buru memerintahkan anak-anaknya meminjam baju dua hansip dan Bupati sebagai syarat penyembuhan. Segera orang-orang udik itu melakukan semacam upacara penyembuhan kerasukan. Bukannya Ucok tersadar, yang lain malah berjoged-joged seperti turut kerasukan. Berjoged dan terus berjoged diiringi musik disko sampai ibu membentak dan berakhirlah joged-joged itu.
Selanjutnya adegan mengalir tanpa tanda pergantian adegan atau babak. Sesekali rombongan orang udik itu membalas seruan kepala keluaga dengan AUM. Ada pula bagian mereka bernyanyi bersama, “ibu pertiwi / tolonglah kami / buka kembali rahimmu”, dengan suasana penuh harap dan haru. Nyanyian ini pula yang memungkas pertunjukan sebelum riuh tepuk tangan penonton. Adegan memuncak ketika semua orang udik itu memutuskan bunuh diri lantaran tak kunjung mendapat jawaban.
Secara keseluruhan AUMan Teater Dongkrak Tasikmalaya ini cukup segar dan renyah. Dialog-dialog banyolan nan satir a la Putu Wijaya mampu disampaikan dengan cukup. Kemunculan Bagus atau tokoh menantu, lelaki bunting, dari tempat pemusik mampu memberi semacam kejutan kecil. Bloking dan moving para pemain yang dinamis menambah segar petunjukan berdurasi sekitar satu jam ini.   
AUM, demikianlah judul lakon karya Putu Wijaya yang dipentaskan Teater Dongkrak Tasikmalaya di halaman GKKT pada Festival Putu Wijaya, Rabu, 28 November 2018 malam. Memilih halaman GKKT sebagai panggung cukup menarik perhatian penonton malam itu lantaran bukan hal yang biasa terjadi. Ini siasat cerdas untuk setidaknya meminimalisir kerja dan biaya artistik. Pos kemanan GKKT dijadikan sebagai pos hansipnya rumah Bupati sedang teras GKKT sebagai teras rumah Bupati. Sebagian penonton mungkin menunggu kejutan atau ketakterdugaan apa yang akan disajikan. Sayangnya hingga akhir pertunjukan, kejutan-kejutan yang dinanti tak kunjung datang kecuali satu dua kejutan kecil. Gimik yang cukup tak terduga itu pun agaknya kurang greget. Barangkali karena penonton sudah diarahkan menonton ke satu arah dengan hadirnya tempat duduk berupa pelbet yang ditata sedemikian rupa. Jika saja penonton dibiarkan liar, menonton dari berbagai arah, di mana dan dari mana saja, mungkin gimik ini bisa memberi kesan yang lebih kuat.
Meski bermain di halaman gedung yang cukup luas dan memiliki potensi eksplorasi ruang yang besar, sutradara Jabo Widiyanto lebih memilih mempertahankan pola pemanggungan prosenium. Ini diperkuat pula oleh hadirnya pelbet itu yang sebagai tempat menonton. Adegan-adegan sepertinya memang dirancang untuk ditonton dari satu arah saja.  
Pilihan konvensi inipun agaknya integral dengan bentuk serta konsep pertunjukan yang ditawarkan. AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya masih setia pada dialog-dialog, kata-kata,  meski terjadi penyuntingan cukup banyak. Upaya mempertahankan kata-kata ini sayangnya kurang ditunjang kemampuan vokal para aktor yang meruang malam itu. Bermain outdoor tanpa pengeras suara tentu membutuhkan energi yang lebih besar ketimbang indoor. Meski hampir semua dialog terdengar dengan cukup jelas namun gaya tutur para aktor nyaris seragam padahal teks ini sangat memungkinkan diartikulasikan dengan berbagam gaya tutur dan dialek. Barangkali karena fokus energinya pada volume maka segmen lain dalam wilayah vokal semisal intonasi, gaya tutur, keberagaman warna suara, dan lainnya agak terkesampingkan. Mungkin hanya tokoh lelaki tua yang berupaya lebih mengolah segmen vokal lain selain volume.
Selain persoalan gaya tutur yang seragam itu, power dalam konteks inner energy para aktor kurang terpancar juga. Beberapa aktor malah nampak kedodoran, semacam kehabisan energi barangkali. Hal ini tentu cukup mempengaruhi AUMan tontonan ini secara keseluruhan sebab aktor adalah ujung tombak. AUM yang identik dengan raungan singa atau harimau itu kurang buas dan perkasa rasanya. Tidak hadirnya set atau properti yang ditonjolkan membuat aktor harus bekerja lebih keras agar gagasan dan energi bisa tersampaikan dengan tepat. Tandu triwarna yang hadir di panggung tidak begitu jelas status dan fungsinya dan tak kunjung mengAUM hingga akhir pertunjukan. Pada teks AUM memang dijelaskan adanya kerangkeng yang diujung pertunjukan keluar darinya “manusia bertangan ribuan bagai oktopus”. Namun malam itu, tandu triwarna itu hanya bergoyang-goyang saja beberapa saat, tak menemukan momentumnya.
AUM berkisah tentang sekelompok orang desa, orang udik, yang datang ke rumah Bupati hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Banyak keganjilan yang menimpa mereka yang mereka sendiri tidak memahaminya: para lelaki yang bunting, kepala orang tua yang lepas dan  melayang-layang, monster oktopus yang keluar dari kerangkeng, dan lain-lain. Dua keanehan yang terakhir disebut masuk daftar suntingan AUM-nya Teater Dongkrak. Penyuntingan ini agak disayangkan padahal hal-hal ganjil itu barangkali bisa membantu penonton memahami kegelisahan orang-orang udik yang muaranya adalah pesan lakon itu sendiri. Ini boleh jadi metafor saja dari keganjilan-keganjilan yang nyata-nyata dialami rakyat kecil di Indonesia. Alam imajinasi Putu Wijaya yang agaknya lekat dengan tradisi Bali yang sarat mistis menjadikan naskah-naskahnya berwarna Nusantara, khas, absurd sekaligus meneror.
AUM menyodorkan berbagai persoalan khas rakyat kecil yang kadang bahkan seringnya mereka sendiri tak mengerti. Ketika itu, ketika rakyat tidak memahami apa yang terjadi, mereka menanyakannya pada Bupati setelah sebelumnya dukun, profesor, cendikiawan, dokter, pemimpin redaksi, tokoh masyarakat, pejabat-pejabat, dan lainnya tak mampu memberi jawaban. Ketika Bupati tak lagi bisa menjawab, mereka bertanya pada Tuhan. Dan ketka Tuhan pun dianggap tak memberi jawaban, maka bunuh diri adalah pilihannya.
Menurut Putu Wijaya sebagai empunya cerita, adegan bunuh diri atau cerita AUM itu sendiri  terinpirasi dari kejadian nyata di Guyana ketika seorang pendiri Gereja Kuil Rakyat atau Peoples Temple bernama Jim Jones memerintahkan jemaatnya bunuh diri massal. Dilaporkan 909 orang meninggal akibat menenggak sianida pada 18 November 1978 di Guyana, Amerika Selatan. Konon, ini merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan dunia.
 
Panjalu, 3 Desember 2018
 
foto : AUM oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di halaman Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...