Sebagian yang hadir mungkin tak
menyadari seorang berpakaian hansip yang nampak tidur nyenyak di pos keamanan
Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT) adalah bagian dari pertunjukan.
Kehadirannya sebagai bagian dari tontonan mulailah disadari tatkala serombongan
orang, laki-laki dan perempuan, menerobos masuk gerbang, berjalan ke arah teras
gedung. Mereka membawa sebentuk tandu dengan empat bambu menyilang seperti
baling-baling helikopter, berbalut kain merah, putih, dan hijau muda. Ilustrasi
musik seolah hendak memberi kesan ngeri, mistis, atau mungkin juga horor pada
adegan ini.
Di sekeliling tandu triwarna itu,
setibanya di teras “rumah Bupati”, tidurlah rombongan orang itu bergelimpangan.
Suara kokok ayam dan musik bernuansa ceria barangkali menandakan pagi hari. Salah
seorang di antara mereka yang lebih dulu bangun bermaksud mengembalikan belati
milik hansip yang diambilnya malam tadi ketika mereka tiba. Bukannya baik-baik,
ia malah dicaci maki, dibentak-bentak, diintimidasi. Orang itu, yang dicaci
maki itu, mengaku hanya sebagai penunjuk jalan belaka, tidak bersangkut paut
dengan tujuan rombongan itu kemari. Percekcokan ini merembet hingga
membangunkan semua anggota rombongan yang melalui percakapan dengan hansip
diketahuilah bahwa mereka rombongan dari udik, sekeluarga, yang sengaja datang
ke rumah Bupati dengan maksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Di antara mereka
nampak seorang perempuan yang dianggap sebagai kepala keluarga.
Adu mulut dan saling bentak itu pun
mereda ketika Bupati menampakkan diri. Dengan kolor, kaos, dan sepatu olah
raga, Bupati terlihat asik lari pagi. Selanjutnya, setelah banyolan-banyolan
tentang Bupati yang berkulit hitam dan berkolor, percakapan mulai memasuki
pokoknya. Kepala keluarga memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud
kedatangan mereka. Mereka hendak mengajukan pertnyaan-pertanyaan dan berharap
jawaban dari sang Bupati. Sebelum melanjutkan percakapan, perempuan itu
memerintahkan Ucok berdoa demi keselamatan. Rombongan pun segera membentuk
formasi doa dengan Ucok sebagai pemimpin. Tak dinyana, Ucok yang didapuk
sebagai pemimpin doa malah buyar. Ia merasa muak dengan doa-doa melulu yang
dirasanya takkan banyak berguna. Seketika setelah ia berbicara keras-keras pada
Tuhan, ia seperti kerasukan. Suasana kacau, gawat, panik. Kepala keluarga
buru-buru memerintahkan anak-anaknya meminjam baju dua hansip dan Bupati
sebagai syarat penyembuhan. Segera orang-orang udik itu melakukan semacam
upacara penyembuhan kerasukan. Bukannya Ucok tersadar, yang lain malah
berjoged-joged seperti turut kerasukan. Berjoged dan terus berjoged diiringi
musik disko sampai ibu membentak dan berakhirlah joged-joged itu.
Selanjutnya adegan mengalir tanpa
tanda pergantian adegan atau babak. Sesekali rombongan orang udik itu membalas
seruan kepala keluaga dengan AUM. Ada pula bagian mereka bernyanyi bersama, “ibu pertiwi / tolonglah kami / buka kembali
rahimmu”, dengan suasana penuh harap dan haru. Nyanyian ini pula yang
memungkas pertunjukan sebelum riuh tepuk tangan penonton. Adegan memuncak
ketika semua orang udik itu memutuskan bunuh diri lantaran tak kunjung mendapat
jawaban.
Secara keseluruhan AUMan Teater
Dongkrak Tasikmalaya ini cukup segar dan renyah. Dialog-dialog banyolan nan
satir a la Putu Wijaya mampu
disampaikan dengan cukup. Kemunculan Bagus atau tokoh menantu, lelaki bunting,
dari tempat pemusik mampu memberi semacam kejutan kecil. Bloking dan moving para pemain yang dinamis menambah
segar petunjukan berdurasi sekitar satu jam ini.
AUM, demikianlah judul lakon karya
Putu Wijaya yang dipentaskan Teater Dongkrak Tasikmalaya di halaman GKKT pada
Festival Putu Wijaya, Rabu, 28 November 2018 malam. Memilih halaman GKKT
sebagai panggung cukup menarik perhatian penonton malam itu lantaran bukan hal yang
biasa terjadi. Ini siasat cerdas untuk setidaknya meminimalisir kerja dan biaya
artistik. Pos kemanan GKKT dijadikan sebagai pos hansipnya rumah Bupati sedang
teras GKKT sebagai teras rumah Bupati. Sebagian penonton mungkin menunggu
kejutan atau ketakterdugaan apa yang akan disajikan. Sayangnya hingga akhir
pertunjukan, kejutan-kejutan yang dinanti tak kunjung datang kecuali satu dua
kejutan kecil. Gimik yang cukup tak terduga itu pun agaknya kurang greget.
Barangkali karena penonton sudah diarahkan menonton ke satu arah dengan
hadirnya tempat duduk berupa pelbet yang ditata sedemikian rupa. Jika saja
penonton dibiarkan liar, menonton dari berbagai arah, di mana dan dari mana
saja, mungkin gimik ini bisa memberi kesan yang lebih kuat.
Meski bermain di halaman gedung yang
cukup luas dan memiliki potensi eksplorasi ruang yang besar, sutradara Jabo
Widiyanto lebih memilih mempertahankan pola pemanggungan prosenium. Ini
diperkuat pula oleh hadirnya pelbet itu yang sebagai tempat menonton.
Adegan-adegan sepertinya memang dirancang untuk ditonton dari satu arah saja.
Pilihan konvensi inipun agaknya
integral dengan bentuk serta konsep pertunjukan yang ditawarkan. AUM-nya Teater
Dongkrak Tasikmalaya masih setia pada dialog-dialog, kata-kata, meski terjadi penyuntingan cukup banyak. Upaya
mempertahankan kata-kata ini sayangnya kurang ditunjang kemampuan vokal para
aktor yang meruang malam itu. Bermain outdoor
tanpa pengeras suara tentu membutuhkan energi yang lebih besar ketimbang indoor. Meski hampir semua dialog
terdengar dengan cukup jelas namun gaya tutur para aktor nyaris seragam padahal
teks ini sangat memungkinkan diartikulasikan dengan berbagam gaya tutur dan
dialek. Barangkali karena fokus energinya pada volume maka segmen lain dalam wilayah
vokal semisal intonasi, gaya tutur, keberagaman warna suara, dan lainnya agak
terkesampingkan. Mungkin hanya tokoh lelaki tua yang berupaya lebih mengolah
segmen vokal lain selain volume.
Selain persoalan gaya tutur yang
seragam itu, power dalam konteks inner energy para aktor kurang terpancar
juga. Beberapa aktor malah nampak kedodoran, semacam kehabisan energi
barangkali. Hal ini tentu cukup mempengaruhi AUMan tontonan ini secara
keseluruhan sebab aktor adalah ujung tombak. AUM yang identik dengan raungan
singa atau harimau itu kurang buas dan perkasa rasanya. Tidak hadirnya set atau
properti yang ditonjolkan membuat aktor harus bekerja lebih keras agar gagasan dan
energi bisa tersampaikan dengan tepat. Tandu triwarna yang hadir di panggung
tidak begitu jelas status dan fungsinya dan tak kunjung mengAUM hingga akhir
pertunjukan. Pada teks AUM memang dijelaskan adanya kerangkeng yang diujung
pertunjukan keluar darinya “manusia bertangan ribuan bagai oktopus”. Namun
malam itu, tandu triwarna itu hanya bergoyang-goyang saja beberapa saat, tak
menemukan momentumnya.
AUM berkisah tentang sekelompok orang
desa, orang udik, yang datang ke rumah Bupati hendak mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Banyak keganjilan yang menimpa mereka yang mereka
sendiri tidak memahaminya: para lelaki yang bunting, kepala orang tua yang
lepas dan melayang-layang, monster
oktopus yang keluar dari kerangkeng, dan lain-lain. Dua keanehan yang terakhir
disebut masuk daftar suntingan AUM-nya Teater Dongkrak. Penyuntingan ini agak
disayangkan padahal hal-hal ganjil itu barangkali bisa membantu penonton
memahami kegelisahan orang-orang udik yang muaranya adalah pesan lakon itu
sendiri. Ini boleh jadi metafor saja dari keganjilan-keganjilan yang
nyata-nyata dialami rakyat kecil di Indonesia. Alam imajinasi Putu Wijaya yang
agaknya lekat dengan tradisi Bali yang sarat mistis menjadikan naskah-naskahnya
berwarna Nusantara, khas, absurd sekaligus meneror.
AUM menyodorkan berbagai persoalan
khas rakyat kecil yang kadang bahkan seringnya mereka sendiri tak mengerti.
Ketika itu, ketika rakyat tidak memahami apa yang terjadi, mereka menanyakannya
pada Bupati setelah sebelumnya dukun, profesor, cendikiawan, dokter, pemimpin
redaksi, tokoh masyarakat, pejabat-pejabat, dan lainnya tak mampu memberi
jawaban. Ketika Bupati tak lagi bisa menjawab, mereka bertanya pada Tuhan. Dan
ketka Tuhan pun dianggap tak memberi jawaban, maka bunuh diri adalah
pilihannya.
Menurut Putu Wijaya sebagai empunya
cerita, adegan bunuh diri atau cerita AUM itu sendiri terinpirasi dari kejadian nyata di Guyana
ketika seorang pendiri Gereja Kuil Rakyat atau Peoples Temple bernama Jim Jones
memerintahkan jemaatnya bunuh diri massal. Dilaporkan 909 orang meninggal
akibat menenggak sianida pada 18 November 1978 di Guyana, Amerika Selatan.
Konon, ini merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan dunia.
Panjalu, 3 Desember
2018
foto : AUM oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di halaman Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar