Kamis, 22 September 2016

Teater Adalah Pendakian : sebuah pengakuan dosa


Teater Adalah Pendakian :
sebuah pengakuan dosa

Hanya tinggal bayang dan sepi. Tak ada kain hitam. Tak ada lampu-lampu. Tak ada panggung, tak ada pertunjukan.

Ya, tepat dua hari lalu adalah pementasan terakhir Kalangkang di Ciamis, tepatnya di Padepokan Seni Budaya Rengganis. Sejak Selasa, 13 September 2016 Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) menggelar pertunjukan drama bahasa Sunda hingga Selasa, 20 September 2016. Delapan hari dengan sembilan pementasan. Minggu, 18 September 2016 TTMC main dua kali karena penonton cukup memadat. Delapan hari menapaki panggung, ada sekian hal yang saya belajar darinya. Belajar dari peristiwa teater.

Teater adalah peristiwa, menubuh pada ruang dan selalu baru tiap waktu. Dengan lakon yang sama, sebuah pertunjukan teater tak pernah benar-benar mengulang. Dengan penonton yang berbeda-beda tiap harinya, teater selau berbeda pula. Sembilan kali pementasan digelar, sembilan kebaruan pula yang hadir. Kemesraan para pemain dan penonton adalah salah satu hal yang membuat seni pertunjukan tak pernah bisa sama dari waktu ke waktu.

Penonton TTMC kali ini adalah para pelajar SMA/sederajat yang ada di seputaran Ciamis Kota. Ada pula beberapa dari SMP namun tak sampai signifikan jumlahnya. Tiap hari, penonton yang datang selalu baru. Mereka adalah tubuh yang lain dari tubuh penonton hari kemarin. Mereka adalah mereka yang lain dari mereka yang kemarin atau esok. Mereka adalah mereka hari ini. Ada penonton yang sangat hening dan khidmat, ada pula penonton yang menganggap pertunjukan teater adalah serupa hiburan elektun di panggung hajat. Dan kami pun, para pemain, meski tetap dengan tubuh yang sama, namun para pemain pun adalah pemain yang hari ini, bukan yang kemarin atau esok. Ridwan Senin bukan Ridwan Selasa, bukan pula Ridwan Minggu  meski adalah tubuh Ridwan yang sama. Dari tiap kebaruan itulah saya belajar. Dari ratusan kesalahan yang saya buat, saya akan mengurai beberapa saja. Ini semacam pengakuan dosa.

Salah satu kesalahan saya adalah persepsi saya terhadap penonton. Jujur saja, selama pementasan, saya kerap memandang penonton sebagai objek yang musti tunduk pada sajian yang kami gelar, atau setidaknya pada peran yang saya mainkan. Penonton adalah objek pasif yang bodoh dan harus mau dijejali apa-apa yang kami siapkan, mirip ceramah agama. Para jemaah adalah sekumpulan orang bodoh dan putus asa yang akan dengan mudah dicekoki doktrin tentang apa saja. Jemaah adalah objek pasif, penonton adalah objek pasif. Ini salah satu kesalahan terbesar saya yang sayangnya saya sadari di akhir-akhir pertunjukan. Saya nyaris menolak realitas bahwa anak-anak SMA ini beragam. Bahwa mereka adalah manusia utuh dengan segenap cipta, rasa, dan karsanya. Mereka saya seragamkan, mereka harus ngerti apa yang saya sajikan, harus menyimak dengan baik, harus sampai menangis jika kami menangis di panggung dan harus ikur tertawa jika kami melakukan hal semacam itu di panggung. Tidak boleh menangis ketika kami melawak dan sebaliknya, tidak boleh tertawa kala kami sedang terharu biru. Saya mempunyai barometer “penonton yang baik” hingga jika ada penonton yang tak sesuai dengan barometer saya, ia adalah penonton yang buruk dan tak layak dihormati. Menonton pertunjukan teater itu harus sunyi dan khidmat memperhatikan tiap dialog dan adegan, menikmati tiap bunyi, terkagum-kagum pada tiap warna lampu, seting, properti, kostum serta tata rias yang hadir. Saya memaksa penonton memakan apa yang kami buat. Ini kesalahan besar. Pandangan saya yang itu adalah pandangan yang menolak realitas peristiwa teater itu sendiri, sebuah pengingkaran pada iman dan takdir.

Secara pemahaman kepala, saya meyakini teater sebagai peristiwa, bahwa penonton adalah syarat mutlak teater. Tontonan tak mungkin ada jika tak ada penonton, begitu barangkali jika meminjam bahasa Putu Wijaya. Saya paham betul. Namun untuk menghayati pemahaman itu, saya masih kerap gagal. Keterlibatan amarah dan ego kedirian yang tinggi sering menjebak saya dalam pengkhianatan keimanan itu sendiri. Saya memahami penonton sebagai rukun peristiwa teater namun objektifikasi masih saja saya lakukan. Bukankah ini paradoks yang dzolim? Saya rasa, dengan demikian saya telah mendzolimi penonton, diri saya sendiri, kawan panggung yang lain, dan seluruh pertunjukan. Saya menciderai peristiwa teater dengan kepicikan.

Penonton seharusnya di tempatkan pada maqom yang layak baik dalam arti lahir maupun batin. Secara lahiriah, penonton kayak mendapat fasilitas yang cukup ketika mereka melibatkan diri dalam sebuah peristiwa teater. Mereka bisa duduk dengan layak, bernapas dengan layak, tidak pengap karena berjejal. Secara batin, mereka harus saya tempatkan dalam posisi yang layak dalam batin saya. Bahwa mereka hakekatnya adalah lawan main, bahwa mereka sama-sama pemain teater, pencipta peristiwa teater. Mereka adalah subjek aktif. Mereka berhak berisik, sebab mereka punya alasan untuk itu. Mereka berhak merespon pertunjukan dengan sedemian rupa sebab mereka adalah insan utuh yang hidup, berakal, dan berperasaan. Sebab saya punya keyakinan bahwa jika para aktor, pemusik, penari, dan operator lampu bermain dengan segenap jiwa, energi pertunjukan akan sampai hingga penonton barisan belakang sekalipun dan mereka akan memberikan energi mereka pula pada tontonan itu dan di sanalah maqom sakralitas teater. Tatkala pemain dan penonton “nyawiji”. Kekhidmatan penonton bukan karena sekian tata tertib yang dibacakan MC sebelum pertunjukan dimulai. Khusu dan khidmat itu lahir sebagai hasil dialog antara sajian karya pertunjuakan (baca : tontonan) dan penontonnya. Ada dialektika, ada harmonitas yang harus diupayakan.

Pencapaian harmoni melalui penyaluran energi para pemain teater tentu tak bisa begitu saja. Ada teknik dan strategi. Ini  bergantung pula pada kematangan pertunjukan itu sendiri. Untuk sampai hingga maqom harmonitas, maka para pemain teater berlatih mati-matian sebelum peristiwa tontonan berlangsung. Ada sekian teknik yang musti dikuasai oleh para pemain teater demi mencapai harmonitas itu, sakralitas “nyawiji” itu. Seperti para biksu yang bermeditasi sekian lama demi mencapai harmonitas dengan “diri”.

Tontonan dalam konteks teater adalah tontonan yang diupayakan manusia. Bukan yang terjadi begitu saja seperti saya menonton kecelakaan lalu lintas, misalnya. Upaya menuju tontonan tersebut bagi saya juga adalah teater. Proses panjang latihan yang sekian bulan itu juga adalah teater sebab selain peristiwa, teater juga adalah proses. Jika presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan kerap menekankan product oriented dalam hal berbirokrasi, yang penting hasilnya, prosedurnya jangan terlalu dipersoalkan, maka bagi saya teater bukan seperti itu. Teater adalah proses oriented, prosedurnya pun adalah bagian penting dari teater. Mengapa menjadi penting? Sebab jika teater berbicara ihwal “menjadi sesuatu” di panggung, maka sama pula dengan bagaimana kita menjadi diri kita di kehidupan sehari-hari. Kita menjadi seperti seperti sekarang bukanlah bagian dari simsalabim, namun adalah proses. Ada pemahaman dan penghayatan terlibat di dalamnya. Untuk lahir ke dunia saja, saya butuh sembilan bulan meringkuk dalam rahim. Menyiapkan peristiwa tontonan teater adalah pula teater.

Bagi saya, bermulanya satu penggarapan teater adalah sejak pertama kita memilih naskah hingga evaluasi akhir atau syukuran pertunjukan, jika ada. Dalam kurun waktu demikian, fase itu saya sebut berteater, melakoni teater. Seperti mendaki gunung, puncak gunung adalah peristiwa tontonan teater, hari saat tontonan ditonton oleh penonton. Usai menikmati puncak, para pendaki harus kembali turun dan kembali ke rumah, untuk kemudian melakukan pendakian baru.

Teater adalah pendakian, adalah proses.

Dan kepada para penonton, para aktor, pemusik, operator lampu, penata rias yang sempat membaca tulisan ini, saya haturkan berjutaa maaf atas kesalahan saya.

Semoga kita bisa “nyawiji” di lain waktu.   




22 September 2016

Minggu, 04 September 2016

Seni Plat Merah


Seni Plat Merah

Ciamis, sebuah kabupaten di selatan Jawa Barat. Dahulu kabupaten ini terbilang kaya akan akulturasi kebudayaan. Memiliki pantai sekaligus dataran tinggi nan mempesona. Kemudian setelah wilayahnya berkurang akibat pemekaran wilayah, Ciamis yang kini terdiri dari 27 kecamatan, kekayaan kebudayaan miliknya pasti turut berkurang sebagai dampak dari berkurang wilayah administratifnya. Namun ini agaknya merupakan langkah yang baik sebab dengan luas wilayahnya, pra-pemekaran DOB Pangandaran, seluas 2.556,75 km² Pemda Ciamis agaknya cukup kerepotan mengurus, khususnya dalam hal pemerataan pembangunan. Alasan klasik yang dilontar tokoh-tokoh sebagai latar belakang pemekaran wilayah di Ciamis selatan ialah pemerataan kesejahteraan meski banyak pihak yang tetap mengendus alasan yang lebih politis, persoalan bagi-bagi kekuasaan.

Berbicara suatu daerah, tak bisa lepas dari membicarakan kebudayaannya dalam arti sempit sebab jika menyoal budaya dalam arti luas tentu kita akan membicarakan segala hal yang non-alamiah sebab kebudayaan ialah segala hal yang dihasilkan manusia sebagai respon mereka atas alam dan diri mereka sendiri. Padi adalah alam tapi menanam dan mengolah padi adalah budaya. Seks adalah alamiah tetapi perkawian adalah budaya. Begitu pun makan ialah alamiah (natur) tetapi kuliner dan segala hal tentangnya ialah budaya. Namun para ahli dan pada akhirnya masyarakat serta pemerintah membatasi arti kebudayaan lebih pada hal-hal yang bersifat lampau, warisan dari para leluhur atau lebih sempit lagi kesenian serta adat-istiadat tinggalan orang-orang lampau.

Sejak lama saya sebenarnya kurang sepakat dengan adanya dinas atau kementerian kebudayaan. Saya lebih setuju jika istilah kebudayaan sama sekali tidak digunakan untuk bidang kerja suatu lembaga sebab kebudayaan terlampau luas. Spesifik saja, misal kementerian kesenian atau kementerian adat nusantara. Tapi sudahlah, ketaksetujuan saya akan menjadi sebatas ketaksetujuan yang akan terus saya dengungkan sebagai kritik. Perkara berubah atau tidak, itu bukan urusan saya.

Membicarkan Ciamis, banyak yang mafhum bahwa Ciamis memiliki sejarah panjang. Dengan nama Ciamis saja, daerah ini sudah berusia 375 tahun. Sebelum bernama Ciamis, wilayah ini bernama Galuh, baik sebagai sebuah kerajaan di bawah imperium Mataram Islam, sebuah kabupaten ataupun sebagai nama kerajaan otonom yang konon berdiri sejak sekitar abad 6 M. Sejarah panjang ini tentu sangat mempengaruhi karakteristik sebagian besar masyarakat Ciamis, begitupun pemerintahnya. Sebagian masyarakat Ciamis memiliki rasa cinta kedaerahan yang besar meski mereka lebih bangga menggunakan nama Galuh ketimbang Ciamis. Rasa cinta daerah yang tinggi ini tentunya memiliki dampak positif sekaligus negatif. Dengan rasa cinta ini sebagian masyarakat Ciamis sangat percaya diri dan berhasil membangun diri mereka dengan membawa spirit kagaluhan ini. Dengan ini pula masyarakat terjebak dalam primordialisme bahkan sauvinisme (chauvinisme) lokal, lebih parah mereka terjebak dalam nostalgia masa lampau tanpa bertindak nyata untuk masa depan yang penuh misteri. Kiranya ini terjadi di tiap wilayah yang masyarakatnya memiliki rasa cinta berlebih pada daerahnya.

Sejarah yang panjang ini pula yang banyak memberi inspirasi bagi para penggiat seni di Ciamis untuk karya-karya mereka. Dalam sastra, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, banyak sudah sastrawan Ciamis yang menarik ruh atau peristiwa sejarah menjadi karya-karya dengan kualitas yang diakui jagat sastra Jawa Barat, nasional bahkan barangkali internasional. Sang Manarah, sebuah lakon drama 3 babak karya Noer JM, penggiat seni di Ciamis yang merupakan murid WS Rendra, bisa jadi contoh. Naskah ini dibuat tahun 2005 berkisah tentang perebutan kekuasaan antara Sang Manarah (Ciung Wanara) dan Kamarasa Sang Banga, putra Tamperan Barmawijaya pada jaman kerajaan Galuh Purba. Lakon ini dipentaskan secara utuh  pertama kali pada tahun 2016 oleh kelompok Teater Tarian Mahesa-Ciamis (TTM-C). Bidang tari pun banyak terinspirasi dari hal ini. Beberapa karya tari kreasi baru ciptaan Rachmayanti Nilakusumah, S. Sen (Neng Peking) misalnya, seorang seniman tari di Ciamis, yang banyak terinspirasi dari kisah-kisah sejarah atau kesenian tradisi Ciamis. Tari Kele yang inspirasinya berasal dari ritual Nyangku di kecamatan Panjalu, Ciamis. Nyangku merupakan acara penyucian benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu yang dihelat tiap tahun. Adapula Wawan Aryaganis, seniman tari lainnya asal Ciamis yang banyak mencipta karya tari yang sumber inspirasinya berasal dari sejarah dan kebudayaan lampau Galuh.

Di wilayah teater, seperti telah disinggung sebelumnya, Galuh dan segala hal tentangnya banyak menjadi sumber kisah yang lantas dipanggungkan. Kisah Galuh ini tak hanya jadi inspirasi untuk seniman Ciamis saja namun telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman di Jawa Barat. Dan yang terbaru, Teater Wastu, sebuah kelompok teater asal Ciamis yang dadakan dibentuk sebagai kontingen kabupaten Ciamis pada Pasanggiri Teater, Tari, dan Musik berhasil menyabet Penyaji Terbaik Teater tingkat provinsi setelah sebelumnya menjuarai untuk tingkat wilayah Priangan Timur. Sebuah prestasi yang membanggakan. Tapi?

*****

Pasanggiri Teater, Tari dan Musik adalah sebuah kompetisi seni yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Kompetisi ini merupakan kerjasama Disparbud Jabar dan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI/STSI) Bandung, sebuah lembaga pendidikan milik negara yang mengkhususkan diri di bidang seni. Kegiatan ini dimulai pertama kali tahun 2014. Kompetisi ini terdiri dari dua tahap. Pertama semacam babak penyisihan di tingkat wilayah. Pembagian ini berdasar pada pembagian Badan Koordinasi Pemerintah dan Pembangunan (BKPP). Jawa Barat membagi wilayahnya menjadi 4 BKPP yakni :
1.      BKPP wilayah I meliputi : Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok.
2.      BKPP wilayah II meliputi : Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi.
3.      BKPP wilayah III meliputi : Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan.
4.      BKPP wilayah IV meliputi : Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang (Priangan Barat); Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Pangandaran (Priangan Timur).

Khusus untuk BKPP wilayah IV, tahap pertama (babak penyisihan) dibagi dua antara wilayah Priangan Barat dan Priangan Timur. Jadi secara keseluruhan Pasanggiri ini memiliki 5 babak penyisihan. Juara pada masing-masing wilayah akan diadu kembali di tahap dua atau babak final yang biasa diadakan di GK Sunan Ambu, ISBI Bandung.

Gelar perdananya tahun 2014, pasanggiri ini menuai banyak kritik. Kritik terbesar tentu saja persoalan penyunatan anggaran. Selain itu, banyak hal terkait petunjuk penyelenggaraan dan petunjuk teknis yang dipertanyakan. Intinya penyelenggaraan untuk tahun pertama banyak mendapat tanda merah. Untuk wilayah Priangan Timur misalnya, kegiatan berlangsung di halaman kantor BKPP setempat. Panggung dibuat seperti panggung konser dengan luas yang kurang memadai. Acara dilaksanakan pagi hingga sore hari. Meski perangkat tata cahaya sudah disediakan di panggung, namun itu benar-benar tak bisa digunakan sebab tak kuat melawan cahaya matahari pagi hingga sore hari. Alhasil, khususnya Pasanggiri Teater yang telah menyiapkan konsep tata cahaya sedemikan rupa, harus rela main di panggung yang sangat menyedihkan. Panggung dan fasilitas yang sangat tidak layak untuk perlombaan seni pertunjukan terlebih teater yang mengharuskan adanya tata cahaya. Ini wujud kebodohan, pembodohan dan kesembronoan pemerintah dalam mengurusi kesenian.

Pihak ISBI yang banyak dikritik oleh para seniman malah seolah diam enggan bersuara. Akademisi-akademisi seni ISBI yang seharusnya menjadi pecerah bagi dunia seni khususnya di Jawa Barat, melalui kegiatan ini malah turut meng-iya-i kebodohan dan pembodohan itu. Jika memang alasannya ingin mengembalikan teater pada akar budaya lokal (yang tidak berorietasi pada gedung pertunjukan seperti di Barat), mengapa pada tahap final kegiatan ini malah diadakan di gedung pertunjukan tertutup? Seperti di Barat?

Selain hal-hal penyelenggaraan, hal keuangan pun banyak dikritik. Penyunatan dan ketidaktransparanan keuangan oleh pihak pemda kota/kabupaten melalui dinas-dinas terkait membuat kegiatan ini makin dipertanyakan. Akhirya kritik tersasar pada kualitas kejuaraan pasanggiri tersebut. Barangkali kritik akan kualitas kejuaraan masih bisa dibantah. Senjata andalan juri yang dalam hal ini pun sebagai penyusun petunjuk penyelenggaraan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), ialah bahwa banyak peserta yang gagal memahami juklak dan juknis tersebut. Para kontingen dari daerah gagal menafsirkan juklak dan juknis dengan tepat. Kegagalan penafsiran itu sebenarnya bisa dipahami akibat dari ketidakikutseraan para seniman penggarap ketika pertemuan teknis. Mengapa seniman penggarap kerap tidak dilibatkan ketika pertemuan teknis? Biasanya dalam pertemuan teknis, selain membahas hal-hal teknis juga membahas hal keuangan sekaligus pencairannya. Ini yang jadi masalah. Kalau seniman penggarap sampai tahu keuangan yang sebenarnya, maka “jatah” untuk dinas Kota/Kabupaten terancam sirna atau setidaknya berkurang. Ini jelas prasangka buruk saya pribadi. Namun saya kira prasangka ini dapat dilacak dan dibuktikan menjadi sebuah fakta, suatu ketika.


Mei 2016

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...