Sabtu, 01 April 2017

Apa Kabar Kesenian Di Sekolah?


Ada yang tak biasa pagi itu di sebuah sekolah menengah di Ciamis. Selasa, 14 Maret 2017, sejak subuh hari, para siswa sudah stand by di kelas masing-masing. Bahkan, beberapa siswa yang tempat tinggalnya cukup jauh menyediakan diri menginap di sekolah. Ya, mereka sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pagelaran seni dalam rangka ujian praktik mata pelajaran (matpel) kesenian. Ini khusus untuk kelas XII. Lebih dari belasan kelas yang akan tampil. Satu kelas diharuskan mementaskan sebuah pertunjukan selama 25 menit berupa drama tari atau kompilasi tarian nusantara yang musti diakhiri dengan sajian flash mob.

Sekitar pukul 8 pagi, acara dimulai. Speaker dari perangkat suara yang sengaja di sediakan pihak sekolah sudah mulai meneriakkan musik-musik pengiring tari. Acara berlangsung di sebuah Gedung Olah Raga (GOR) milik sekolah. Lazimnya sebuah GOR, gedung itu pun beratapkan genting almunium. Dan sudah bisa dibayangkan, bagaimana gaungnya suara-suara musik tersebut. Pertunjukan menjadi kurang nikmat diapresiasi lantaran kualitas akustik gedung yang buruk. Para penampil pun harus ekstra ketat menjaga pendengaran mereka agar gerak tari tetap mampu harmonis dengan musik. Usai melakoni proses latihan lebih dari 2 bulan dengan pengeluaran biaya yang tidak sedikit, mereka harus puas dengan sebuah pertunjukan dengan tata suara yang kurang baik lantaran ruang gelar yang tidak representatif.

Kegiatan seperti ini memang sudah bukan barang baru. Matpel kesenian di sekolah baik SD/sederajat, SMP/sederajat, atau SMA/sederajat memang menuntut adanya ujian praktik sebagai salah satu bentuk evaluasi hasil belajar, sama seperti matpel olah raga. Sama-sama harus melewati ujian praktik tapi berbeda nasib dalam sarana penunjangnya.  

Kalau mau dibandingkan secara kuantiatif antara sekolah yang memiliki ruang (space) untuk kegiatan olah raga dan ruang untuk kegiatan kesenian, tentunya sekolah dengan fasilitas olah raga punya angka yang jauh lebih banyak. Setidaknya, sebagian besar sekolah pasti memiliki lapang basket yang dapat pula digunakan untuk upacara bendera, olah raga voli, atau bulu tangkis. Malah beberapa sekolah elit punya kolam renang sendiri untuk kepentingan pendidikan. Banyak juga sekolah yang punya lebih dari satu lapangan olah raga, indoor dan outdoor. Lantas bagaimana dengan kesenian?

Hingga saat ini, agaknya belum banyak sekolah yang menaruh perhatian lebih pada salah satu dari tujuh unsur kebudayaan ini. Di Ciamis, misalnya, belum ada sekolah yang benar-benar punya ruang yang representatif untuk menggelar sebuah pertunjukan seni. Para siswa harus menikmati panasnya terik matahari persis ketika mereka berlenggak lenggok menari atau berakting lantaran hanya lapangan basket outdoor saja yang memadai untuk dijadikan stage di sekolah, misalnya. Hal demkian tentu mempengaruhi materi tampilan itu sendiri. Teater, misalnya. Teknik vokal akan menjadi sulit diaplikasikan (tanpa bantuan perangkat pengeras suara)  mengingat stage yang terlampau luas dan terbuka. Belum lagi persoalan penataan cahaya dan konsep panggung yang “harus selalu” menggunakan konsep teater terbuka sebagai hasil negosiasi dengan ruang gelar. Konsep panggung prosenium, sementara masih berupa angan-angan saja.  

 Kalaupun indoor, biasanya pertunjukan-pertunjukan seni ditampilkan di aula sekolah (bagi sekolah yang memiliki, sebab tidak semua sekolah memiliki aula) atau di kelas dengan sekat-sekat pemisah yang bisa dibuka sewaktu-waktu. Jika ada kegiatan semacam ujian praktik matpel kesenian yang melibatkan seluruh siswa dalam satu angkatan, bisa dibayangkan penuh sesaknya ruang itu. Jangankan  mengenal tata cahaya panggung pertunjukan sebagai salah satu penunjang sebuah pertunjukan seni, perhatian mereka masih terfokus pada penyiasatan pola lantai, bloking, atau penempatan seting di panggung yang terlampau sempit (indoor) atau terlampau luas (outdoor). Ihwal kualitas akustik, mungkin tak terbersit sama sekali bahkan oleh para pengajarnya pun, barangkali.

Lantas siapa yang bertanggungjawab untuk hal ini? Menimpakan kesalahan kiranya bukan solusi pemecah masalah yang baik. Persoalan ini agaknya sudah mengakar. Bahwa kesenian sebagai mata pelajaran sekolah jelas kalah pamor dibanding matematika, kimia, biologi, bahasa Inggris, dan pelajaran “bergengsi” lainnya. Agaknya, pengesampingan ini sudah terjadi sejak dari hulu, dari para pembuat kurikulum pendidikan di ibu kota sana. Penyelenggaraan lomba-lomba kesenian berjenjang macam Festival Dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) yang rutin dihelat pemerintah tiap tahunnya agaknya belum mampu memberi stimulus yang cukup untuk menaikan marwah kesenian baik di tataran paradigama, apalagi kebijakan kongkret di lapangan.

Jangankan di lingkungan sekolah, di lingkup yang lebih besar semisal kabupaten pun, fasilitas kesenian yang disediakan negara masih jauh dari kata memadai. Di Priangan Timur saja, tidak semua kota/kabupaten memiliki gedung kesenian. Hingga saat ini, agaknya hanya Kota Tasikmalaya yang memiliki gedung kesenian dengan fasilitas yang cukup memadai sebagai tempat pertunjukan seni di wilayah Priangan Timur. Kabupaten Ciamis masih belum mampu “memperbaiki” Gedung Kesenian Ciamis (GKC) yang malfunction itu. GKC yang megah berdiri di Jl. Ir. H. Djuanda, Ciamis itu, masih menjadi pemandangan janggal sebagai representasi sebuah gedung kesenian. Kesalahannya mungkin berasal dari niatan awal dan prosesnya yang sama sekali tidak menyentuh seniman-seniman sebagai calon pengguna utama gedung tersebut. Nyaris tidak ada komunikasi sama sekali antara pemerintah dan seniman dalam hal pembuatan gedung yang menelan biaya milyaran rupiah tersebut.

Kondisi-kondisi kesenian yang minus baik di dunia pendidikan maupun di lingkup yang lebih masif sejatinya bukan hal yang harus disikapi dengan ratapan dan perasaan kecewa pada pemungut pajak (baca : negara) tanpa ada upaya mandiri. Kerja simultan agaknya pilihan yang logis untuk dilakoni. Selain terus mengingatkan para pembuat kebijakan, otonomi sekolah pun harus terus berbenah. Insan kesenian, guru-guru matpel kesenian, siswa, kepala sekolah, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat secara umum tentu harus saling terhubung dan bekerjasama demi membangun atmosfer kesenian yang lebih baik. Hal ini bisa dimulai dari hal sederhana : mengoreksi cara pandang. Janganlah kesenian diposisikan sebagai hal (atau mata pelajaran) sampingan, pelengkap, unimportant, “kelas dua”, tak berguna, tak bergengsi. Meski pembuat kurikulum nasional menghendaki klasifikasi kualitas mata pelajaran, setidaknya ada satu dua hal otonom yang bisa dilakukan untuk memberikan kesenian tempat yang lebih layak.
 

Rengganis,

20 Maret 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...