Jumat, 27 Desember 2019

Liburan Sang Aktor

 

Desember adalah bulan liburan. Tiap kali bulan ke-12 ini menjelang usai, tempat berlibur ramai diserbu orang-orang, yang penat dengan rutinitas. Keseharian memang sering kali membosankan. Dari bangun tidur sampai mata memejam, tiap hari dilalui begitu-begitu saja. Apalagi pekerja kantoran dan anak sekolah. Demikian juga mahasiswa, kalau sekedar kejar gelar. Sungguh menjemukan!

Liburan bisa dilakoni dengan bermacam cara. Ada yang pergi ke pantai, ke gunung, ke tempat yang jauh. Nonton ke bioskop atau bermain ke tempat rekreasi. Atau sekedar berkunjung ke rumah sanak saudara. Atau di rumah saja, bermalas-malasan.

Orang kota datang ke kampung, melihat sawah, kebun, alam nan purba. Orang kampung datang ke kota, melihat mall, gedung-gedung bertingkat, dan sekian pencapaian peradaban. Orang-orang mencari apa yang tidak mereka dapat dan temukan di keseharian. Sesuatu yang baru. Kadang yang asing. Kadang yang aneh, yang tidak biasa,

Demi itu semua, demi “mengalami” yang tak biasa itu, orang-orang bersedia mengeluarkan biaya besar: beli tiket bus, kereta, pesawat, atau kapal laut; atau membeli bensin buat perjalanan ke suatu tempat nan jauh; menginap di hotel, masuk wahana rekreasi, makan di restoran; membeli oleh-oleh, dan lain sebagainya.

Sepulang liburan, kembali ke rutinitas. Kembali menghadapi masalah, dan liburan tidak berdampak apa-apa selain menguras tabungan. Ah, sayang sekali jika liburan sekedar memindahkan tubuh (organisme) dari satu tempat ke tempat lain, dari satu situasi ke situasi yang lain sementara segala “aku” yang kompleks itu tidak turut serta, masih tinggal di tempat kerja, di sekolah, di kampus. Aduh!

Sejatinya liburan memberi dampak positif. Usai liburan, pengalaman dari situasi yang tak biasa itu bagusnya membawa pengaruh untuk peningkatan kualias diri. Liburan macam ini bisa terjadi kalau segala totalitas “aku” terlibat: tubuh, pikiran, emosi, perasaan, dll.  

Salah satu bentuk liburan adalah bermain peran. Ya, akting.

Bermain peran juga liburan sebab si pemain peran (aktor) dituntut untuk secara total berlibur, melancongkan dirinya ke diri yang lain. Dari situasi kesehariannya yang “biasa” ke situasi tokoh yang “luar biasa” (maksudnya di luar kebiasaan). “Aku” yang sehari-hari begini harus menjadi begitu, sesuai dengan tuntutan peran. Aktor harus mau pergi (sementara) ke tubuh, pikiran, dan emosi si tokoh. Singkatnya, aktor harus melancong, berlibur ke kehidupan si tokoh, lengkap dengan segala kompleksitas ke-manusia-annya.

Dalam pendekatan akting realis, akting itu utamanya harus mampu membuat penonton yakin bahwa yang mereka tonton adalah demikian adanya, adalah sungguh seperti yang dikisahkan. Ketika dikisahkan A adalah seorang petani tua yang licik, yang mengakali sistem irigasi agar sawahnya paling banyak mendapat air, maka si aktor pemeran tokoh A musti mampu meyakinkan penonton bahwa ia benar-benar A. Tubuh, pikiran, emosi, dan segala ke-diri-an aktor harus menjadi petani, tua, dan licik.

Namun, jangan dibiarkan terlampau larut. Jika demikian, namanya kesurupan, bukan akting. Akting membutuhkan kesadaran. Akting berada dalam tegangan antara “aku” dan “aku” yang lain, antara “Aku” dan “Aku-Liyan”. Siapa aku siapa liyan, sungguh bisa berbalik posisi. Ketika memainkan peran, maka “Aku” aktor menjadi liyan bagi “Aku” tokoh, demikian sebaliknya. Aktor, dalam pendekatan akting realis, musti mampu berlaku demikian. Bermain dalam tegangan dengan sadar, rileks, total, dan meyakinkan sekaligus.

Ini merupakan sejenis liburan sebab pergi ke situasi yang tak biasa. Malah boleh jadi bermain peran adalah sejatinya liburan sebab melibatkan segenap ke-manusia-an secara total.    

Kalau liburan menghendaki dampak positif setelahnya, bagaimana dengan seni peran ini? Seturut dengan liburan yang dipahami khalayak, yang diharapkan membawa dampak positif itu, demikian pula akting. Seni peran ini janganlah tamat usai lampu panggung padam saja. Akting ini jangalah usai bersama riuh tepuk tangan penonton selesai juga. Bagi sang aktor, akting ini sejatinya justru berdampak positif bagi kehidupan kesehariannya.

Setelah sang aktor liburan ke tubuh, ke pikiran, ke emosi, ke situasi liyan yang lain itu, ia akan kembali “menjadi Aku”. “Aku” dengan kualitas yang lebih baik tentunya.

Bagaimana liburan itu bisa membawa dampak positif? Usai meninggalkan “Aku” sedemikian waktu, jika benar-benar secara total memasuki “Aku-Liyan” itu, tentu ada satu dua hal yang bisa dibawa pulang.

Totalitas menjadi “Aku-Liyan“ akan mengakibatkan lahirnya pengalaman. Nah, pengalaman sebagai “Aku-Liyan” ini adalah “oleh-oleh” berharga yang bisa memperkaya pengalaman batin dan intelektualitas aktor. Bahwa mungkin spiritualitas. Hal ini bila disadari dan dikelola dengan tepat bisa berdampak positif bagi kualitas diri sang aktor.  

Pengalaman yang diperoleh bukan hanya ketika bermain sebagai tokoh, namun terutama sekali ketika proses menjadi tokoh itu sendiri. Proses latihan sejatinya ruang belajar, ngaji. Ini yang penting. Liburan yang sebenarnya bukan di atas panggung, disoroti lampu dan ditepuki penonton. Justru ketika proses “menjadi aku” itulah liburan sang aktor sebenarnya.

Makin banyak “Aku-Liyan” yang dikunjungi, yang dilancongi, makin banyak pula “oleh-oleh” yang bisa dibawa pulang, buat menyusun dan memperkaya “aku” agar kelak menjadi “Aku-Otentik”.

“Aku-Otentik” tentu tidak mudah. Gelas harus kosong agar bisa diisi air. Demikian pula aktor, harus mampu menjadi “kosong” agar “berisi”. Terlalu penuh juga tidak baik, nanti luber. Seperti  gelas kosong yang diisi terlalu banyak air, kan akhirnya luber tak karuan. Jam terbang itu penting, tapi frekuensi juga harus diperhatikan. Musti ada jeda antara liburan satu ke liburan yang lain. Kalau tanpa jeda sama sekali, seperti pemain peran sineton atau FTV, atau beberapa pemain peran film, bukan “oleh-oleh” yang diperoleh, namun hanya rasa lelah.

Alih-alih berlibur, seni peran justru jadi pekerjaan yang menjemukan meski berganti-ganti peran. Aktingnya pun jadi garing, cangkang saja. Lihat saja pemain sinetron kejar tayang itu! Yang aktingnya bukan saja tidak meyakinkan, namun cenderung dipaksakan. Menjemukan!

Mungpung masih Desember, masih musim liburan, berliburlah agar tidak jemu dan menjadi orang yang menjemukan. Selamat liburan!


Panjalu, 27 Desember 2019

(foto ilustrasi: "Kopi Terbalik Di Pantai Pangandaran". Dokumentasi pribadi)

Kamis, 28 November 2019

Perlukah Dewan Kebudayaan?


Beberapa daerah telah sejak lama memiliki dewan kesenian, sebuah lembaga independen yang bertugas mengurusi kesenian di daerah tersebut di luar pemerintah. Artinya lembaga ini adalah lembaga non-pemerintah. Otonom. (seharusnya) Independen. Lembaga ini dipandang sebagai wadah representasi seniman.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), boleh jadi adalah dewan kesenian paling populer. Selain karena sudah berusia lama, lembaga ini dianggap bekerja dengan baik sebab mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional meski dengan sekian banyak pro kontra. Kecuali itu, lembaga yang lahir pada 1968 ini juga diisi oleh individu-individu yang pengalaman dan kemampuan di bidang kesenian sudah sama-sama dikenal publik.

Banyak daerah yang menjadikan DKJ sebagai parameter dan model. Namun, tiap daerah tentu punya karakteristik dan persoalan yang berbeda-beda. Jakarta, sebagai sebuah metropolis merangkap ibu kota negara, tentu punya seabrek keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Di sana, kesenian sudah dipandang dan diperlakukan sebagai bagian dari gaya hidup urban. Dibutuhkan warganya, dan dengan demikian, perlu ada.   

Lain Jakarta, lain pula Jawa Barat. Di provinsi tetangga ibu kota negara ini, tidak ada dewan kesenian. Wacana pembentukannya memang sudah mengemuka sejak lama. Namun, entah mengapa, Dewan Kesenian Jawa Barat tak kunjung lahir.

Lain yang dinanti, lain pula yang datang. Alih-alih menanti kelahiran dewan kesenian, Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) lahir pada 2014 melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 39 tahun 2014. Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA., didapuk sebagai ketua periode 2014-2019.

Dalam perjalannya, DKJB sempat diprotes keras oleh seniman-seniman Jawa Barat, Bandung khususnya. Dipicu oleh robohnya sebagian gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) yang legendaris itu, seniman-seniman yang lantas membuat dewan tandingan bernama Dewan Kebudayaan Jeprut Jawa Barat itu melakukan aksi buligir di depan gedung YPK pada Juni 2016.


Aksi ini sebagai bentuk kritik pada Pemprov Jabar yang dianggap tidak becus dan serius mengelola kesenian di Jawa Barat, terutama dalam hal penganggaran dana. DKJB juga kena semprot. Sejak  dibentuk hingga saat itu, lembaga yang konon sebagai “juru bisik” gubernur dalam bidang kebudayaan tersebut belum juga berfungsi sebagaimana mestinya.  

Lebih kurang setahun setelah kejadian itu, UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan lahir. Katanya, ini angin segar bagi seniman sebab aturan ini menjadi payung hukum utama dalam bidang seni dan budaya. Salah satu klausulnya memuat tentang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang akan menjadi dasar penyusunan Strategi Kebudyaan.

Strategi Kebudyaan ini akan menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah. Demikian termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan.

Aturan pembentukan PPKD ini lebih lanjut diatur dalam Perpres no. 65 tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Dan Strategi Kebudayaan dan Permendikbud no. 45 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Agaknya regulasi inilah yang merangsang lahirnya dewan kebudayaan di tingkat kabupaten/kota. Lembaga ini yang lantas menjadi mitra pemerintah daerah dalam nyusun PPKD.

Salah satu daerah yang terangsang adalah kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pada 17 Juli 2018, sejumlah tokoh dikukuhkan sebagai anggota Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis (DKKC) di alun-alun Ciamis berbarengan dengan acara Galuh Ethnic Carnival. Dr. H. Yat Rospia Brata, Drs. M. Si. yang merupakan rektor Universitas Galuh, didapuk sebagai ketua.

Susunan kepengurusannya terdiri dari unsur Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Dan Olahraga Kabupaten Ciamis, seniman, akademisi, serta individu-individu yang dianggap mewakili sub-bidang kebudayaan.

Setelah setahun tanpa hasil kerja nyata, DKKC menyatakan telah merampungkan PPKD Kabupaten Ciamis. Penyusunan PPKD Ciamis ini terkesan dilakukan secara tertutup tanpa pernah ada sosialisasi sebelumnya, entah karena diburu tengat atau pertimbangan lain. PPKD Ciamis yang katanya telah rampung itu pun tak pernah disosialisasikan pada khalayak seniman dan tokoh budaya diluar lingkaran DKKC.

Namun, kerja DKKC menyusun dan merampungkan PPKD Ciamis tepat waktu perlu diapresiasi. Kecuali itu, berkutat di tataran konsep, perencaan, ide, dan gagasan tanpa ada aksi nyata, ini yang acap kali mengecewakan.

Menyoal lebih lanjut tentang dewan kebudayaan, membentuk sebuah lembaga kebudayaan untuk mengurusi dunia besar bernama budaya, terlalu ngarawu ku siku. Wilayah kerja kebudayaan sangatlah luas. UU Pemajuan Kebudayaan sendiri mendefinisikan kebudayaan sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”. Wow!

Dengan organisasi yang gemuk dan bidang kerja yang luas, dewan kebudayaan akan lamban bergerak dan akan banyak pula bidang yang merasa dianaktirikan. Perkara pelestarian hutan adat, konservasi macan tutul, bahasa, sastra, kesenian tradisi, teater kontemporer, hingga mengurusi grup musik punk jalanan, jika merujuk pada definisi kebudyaan versi pemerintah, adalah urusan dewan kebudayaan.

Memang, UU Pemajuan Kebudayaan membatasi Objek Pemajuan Kebudayaan hanya 10 saja: tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Namun, bila 10 bidang ini dibagi lagi menjadi beberapa rumpun, agaknya dewan kebudyaan perlu diganti nomenklaturnya. Sebagai gantinya, harus ada lembaga-lembaga yang lebih spesifik mengurusi satu atau beberapa bidang dalam satu rumpun.

Mari berandai-andai. Jika dewan kebudayaan dibubarkan dan dipecah menjadi lembaga-lembaga yang lebih ramping, merujuk pada 10 Objek Pemajuan Kebudyaan tersebut, setidak-tidaknya akan terbentuk dua lembaga sebagai berikut:

1. Lembaga/Dewan Adat Dan Tradisi. Bidang kerjanya meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus,  pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

2.  Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa. Bidang kerjanya meliputi seni dan bahasa.

Apa yang menjadi dasar pemecahan seperti itu? Bidang kerja yang diurusi Lembaga/Dewan Adat Dan Tradisi merupakan tinggalan budaya lama yang cenderung statis. Kalaupun dimungkinan berubah dan berkembang, perlu banyak sekali pertimbangan sebab berkaitan dengan pelestarian dan konservasi. Sedangkan seni dan bahasa yang diurusi oleh Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa merupakan bidang yang sangat dinamis, nyaris selalu baru dan berkembang, dan memang demikian karakteristik seni dan bahasa.

Ada dua cara kerja dan pola pikir yang berbeda, antara pelestarian dan pengembangan. Yang bertugas melestarikan, ya, fokus saja melestarikan agar benar-benar lestari. Yang bertugas mengembangkan, seriuslah mengembangkan agar benar-benar berkembang. Siapa yang menjadi penyambung dan penengah? Idealnya pemerintah. Masyarakat musti didorong untuk fokus pada satu rumpun bidang, agar hasilnya maksimal.

Dengan pembagian tiga bidang seperti itu: pelestarian, pengembangan, dan penengah di antara keduanya, justru itulah yang dinamakan harmoni. Tidak pacorokokod dan ngarawu ku siku.

Prof. Drs. Jacob Sumardjo, seorang ahli ilmu budaya, menggolongkan kebudayaan Sunda sebagai kebudyaan pola 3. Semuanya serba tiga. Dua paradoks, sedangkan satu merupakan penyatuan keduanya, semacam sintesis dalam terminologi Dialektika Hegel. Bila memang demikian adanya, bukankah pembagian tiga wilayah kerja ini sesuai dengan tuntunan leluhur?

Jadi, tidak semua daerah harus mencontoh sistem dan gaya DKJ dalam mengelola hal ihwal seni-budaya. Tiap daerah punya kearifan lokal. Bentuk (form) di masa lampau harus mampu bertransformasi ke dunia kontemporer dengan tetap utuh mempertahankan nilai (value) sebagai identitas.

Panjalu, 28 November 2019

keterangan gambar: infus obat. dokumentasi pribadi

Senin, 30 September 2019

Lupa: “Suatu saat nanti kita perlu sederhana. Tak tergesa-gesa” (oleh-oleh menonton dramatisasi puisi “Lupa” oleh Ngaos Art)


Ngecoh. Menipu! Sumur, bingkai jendela, meja-meja, kursi, dan daun pintu sedari penonton mulai masuk sudah ada di panggung, Kecuali sumur, semuanya bercat serba putih. Mereka, benda-benda itu, ditata sedemikian rupa menyerupai ruang sebuah rumah gaya lama, lengkap dengan sumurnya. Ternyata, eh, ternyata, seting itu diangkut. Lebih dari sepuluh orang membawanya keluar panggung, hilang dari jangkauan pandang.

Sebelum diangkut, beberapa pemain masuk membersihkan ruang dan macam-macam benda itu: dilap, dipel, dan disapu. Adegan itu merangsang imajinasi, seolah menggambarkan adegan pagi-pagi. Apalagi kemunculan mereka diiringi musik bernuansa Sunda. Oh, ini pasti ceritanya di Jawa Barat. Pagi hari.

Harapan menyaksikan drama realis pun kandas ketika para pemain memboyong keluar seting itu.

Sejumlah penonton—setidak-tidaknya saya—menungggu-nunggu penuh penasaran kapan seting itu akan dimunculkan kembali. Tentu dengan sekian spekulasi dalam kepala yang sebenarnya tidak bijak dan tidak perlu dalam menonton sebuah pertunjukan teater. Tapi apa daya? Barangkali begitulah manusia, selalu berhasrat mendahului waktu. Penonton—setidak-tidaknya saya—lupa bahwa yang sedang ada di hadapan mata adalah peristiwa yang melekat pada waktu. Mengalir. Seperti hidup. Realitas. Semacam kasunyatan.

Benda-benda representasional itu nyatanya tidak pernah dimunculkan lagi hingga penonton riuh bertepuk tangan tanda usai pertunjukan. Gimik yang cantik.

Adegan-adegan selanjutnya merupakan fragmen-fragmen yang menggambarkan fenomena lupa dalam pelbagai peristiwa. Ada suami lupa istrinya. Lupa (tak sadar), keliru mengenakan baju. Seseorang lupa nama orang yang ditemuinya. Seseorang yang lupa pada “ketelanjangannya”. “Seseorang” yang lupa pada tukang becak. Orang-orang yang tidak lupa membawa topeng saat mandi “Untuk menakut-nakuti sepi./ Menemani wajah sendiri.” namun lupa pada dirinya sendiri. Dan lupa-lupa yang lain.
 
Menyerap semangat zaman yang serba cepat, irama pertunjukan pun dibuat ketat. Adegan-adegan “berlari-lompat” dari satu bagian ke bagian lain. Dari satu lupa ke lupa yang lain. Nyaris tidak ada jeda untuk memamah, menyerap, apalagi merenung(kan) satu persatu adegan sebab boleh jadi tidak diperlukan. Permainan tubuh atraktif-koreografis memang meujeuh (pas) dimainkan cepat.

Jeda untuk “mencerna” ditempatkan di bagian akhir. Semua pemain terlibat melantunkan koor yang agaknya dimaksudkan sebagai “amanat” pertunjukan. Inilah bagian goong. “Konklusi” usai puncak tanjakan.

Adegan demonstrasi jadi tanjakan sebelum dor! Petasan meledak. Puncak. Suaranya mirip letusan senapan. Sebelum meledak, kemunculannya menimbulkan efek cahaya seperti lampu strobo. Berkelip-kedip. Cepat. Silau. Membikin tegang suasana sebelum dor! itu.       

***

Menonton Ngaos Art malam itu, Sabtu, 28 September 2019 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya adalah menyaksikan dua belas tubuh-tubuh yang—meski tidak semua—cukup matang. Terlatih. Dalam beberapa adegan tubuh-tubuh itu membentuk komposisi yang sukar dilakukan bila tanpa latihan memadai dan kepercayaan antar sesamanya.

Beberapa adegan memang nampak kagok seperti ketika tiga lelaki nyaris telanjang menari naked towel dance ‘tari handuk telanjang’. La Serviette (judul pertunjukan ini yang berarti handuk dalam bahasa Prancis) populer (di Youtube) sejak dua pria Prancis yang menamakan diri Les Beaux Fréres menampilkannya dalam sebuah acara tivi setempat bertajuk Le Plus Grand Cabaret du Monde pada 2014.

Pria-pria telanjang itu memainkan-mainkan handuk dengan koreografi tertentu yang dirancang presisi, seksi, jenaka, namun “menegangkan”. Area vital harus “aman”, tidak boleh terlihat penonton sedang mereka tak bercelana sama sekali.

Jimat—salah seorang aktor Ngaos Art—dan dua kawannya tidak benar-benar telanjang. Mereka masih menggunakan semacam celana street super pendek. Mungkin karena pertimbangan teknis dan etis. Mereka juga tidak menggunakan handuk, tapi sarung. Sebelumnya, sarung itu difungsikan sebagai tirai mandi. Tiga lelaki itu mandi dengan sebagian wajah tertutup topeng. Di dada mereka melekat semacam payudara boongan.

Pertunjukan ini kaya akan ragam artikulasi. Gruping pada beberapa fragmen digarap dengan rapi dan presisi. Terlalu presisi. Terlalu rapi. Seperti zaman ini, yang semuanya serba “dikemas”, terlalu rapi dan presisi sehingga kesan alami agak pudar walau tak hilang sama sekali.

Tak hanya gruping, fragmen lain diisi dengan nyanyi dan koreografi juga. Ada juga tiga orang narator yang menyampaikan narasi dengan kanon (berantai-bersahutan) yang seolah berantakan di bagian kanan-depan panggung. Sedang seseorang yang berdiri di seberangnya, kiri-depan panggung, menerjemahkan narasi yang merupakan teks puisi itu ke dalam bahasa isyarat.

Teknik pengucapan dialog kanon ini mewarnai banyak adegan. Agaknya ini khas Ngaos Art setidaknya dalam beberapa pertunjukan terakhir. Teknik ini asik, membuka kemungkinan aneka komposisi. Selain perlu kerjasama tinggi antar pemainnya, kedahirannya juga bisa dimaknai sebagai kesatuan. Bahwa tubuh-tubuh itu adalah satu. Bahwa peristiwa ini bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk yang menonton. Kecuali itu, boleh jadi sebagai siasat juga agar beban aktor untuk “menjadi” bisa terbagi-bagi.

Dengan beragam dan bercampurnya kesemua itu, pertunjukan ini agak mirip-mirip dengan beberapa bentuk teater rakyat (tradisional). Dalam teater tradisi batas antara sastra, tari, rupa, drama, dan musik menjadi tidak jelas dan tidak harus jelas. Tontonan adalah tontonan. Semuanya nyampur untuk kemudian nyawiji. Namun, bila teater tradisional biasanya kental improvisasi dan “komunikasi” dengan penonton, tidak demikian dengan pertunjukan yang di sutradarai Ab Asmarandana ini. Bukan tidak ada, namun berbeda dalam kadar dan wujudnya.

Laku menghancurkan the fourth wall terdapat pada fragmen di bagian awal menuju tengah-tengah pertunjukan. Semua pemain “menggeruduk” penonton, khususnya yang duduk paling depan. Pada penonton mereka menanyakan “sebenarnya mau pergi ke mana?” setelah sebelumnya seperti kebingungan akan tujuan mereka sendiri. Bagian ini terkesan terlalu tertata jika dimaksudkan sebagai improvisasi serta “komunikasi” dengan penonton. Durasinya terlalu pendek pula. Terlalu tergesa-gesa.

Tanpa harus ngobrol, mempertontonkan tontonan juga—sebenarnya—merupakan sebentuk komunikasi seniman dengan penonton. Namun, dalam teater tradisional, komunikasi tersebut biasanya terjalin dalam bentuk verbal, ngobrol. Cair. Komunikasi dalam wujud “komunikasi”.  

Kecenderungan Kang Abuy (demikian sang sutradara akrab disapa)—kalau pun tidak dsebut berpola teater tradisi—memasukan nuansa etnik, selain dalam pertunjukan-pertunjukan terdahulu, dapat pula ditemukan pada pertunjukan ini.

Di bagian awal, lima pasang pemain saling bicara tentang lupa dalam macam-macam dialek dan bahasa Nusantara plus satu bahasa asing (Jepang). Pada bagian ini pula, instrumentasi nadom éling-éling umat yang biasa didengar di kampung-kampung dan pesantren di Jawa Barat hadir. Selain bermakna sebagai penawar lupa, nadoman yang biasa dilantunkan selepas adzan ini bisa pula dibaca sebagai idiom pilemburan (perkampungan dalam bahasa Sunda).  

***

Pertunjukan ini berjudul “Lupa”, sebuah dramatisasi dari puisi Joko Pinurbo dengan judul yang sama. Puisinya sendiri terbagi enam bagian. Bagian satu, dua, dan enam lebih liris. Dimaksudkan sebagai “prolog” dan “epilog”. Tidak ada narasi persitiwa atau dialog.

Bagian tiga, empat, dan lima sebaliknya. Mereka bercerita tentang peristiwa. Bagian tiga dan empat bercerita tantang “ia” yang sudah berdandan rapih, berjas, lengkap dengan segala pernak-perniknya. “Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa./ Sebenarnya mau pergi ke mana?”

Bagian lima yang terpanjang. Lebih realis dengan alur yang jelas. Lengkap dengan dialog, bagian ini menceritakan perjumpaan aku lirik dan tukang becak yang “Tiba-tiba/ aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang/ yang mirip dengan dia di rumah sakit, tapi bukan dia.”

Dua hal “sama” yang terdapat dalam dua cerita tersebut: sama-sama lupa dan menyinggung-nyinggung tentang rumah sakit. Pada cerita pertama dikatakan: “Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!/ Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan/ segala pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk?/ Memasuki rumah sakit jiwa.”

Sedang “aku” pada cerita kedua mengatakan bahwa ia pernah berjumpa dengan orang yang mirip dengan si tukang becak di rumah sakit, tapi bukan dia.

“Aku” tidak menjelaskan lebih lanjut rumah sakit apa yang dimaksud. Apakah sama seperti rumah sakit pada cerita pertama, rumah sakit jiwa? Atau rumah sakit yang lain? Ataukah “ia” merupakan orang pernah ditemui “aku” di rumah sakit, yang mirip dengan tukang becak itu? Agaknya perlu kajian lebih mendalam berupa kritik sastra (puisi) untuk menjawab misteri-misteri itu.

***
Puisi dan dramatisasi puisi adalah dua hal yang berbeda. Dua karya yang berlainan. Dramatisasi puisi merupakan alih wahana puisi dari tulis (teks) ke pertunjukan (laku; lakon; audio visual). Pada prosesnya, puisi akan dibaca, didedah, ditafsir, ditransformasikan menjadi teks drama, dibaca kembali, dilatihkan, dimainkan. Dramatisasi puisi merupakan tafsir teks puisi yang diwujudkan dalam bentuk pertunjukan drama.

Karena ia tafsir maka usaha memahami dramatisasi puisi sejatinya merupakan menafsir tafsir  atas sebuah puisi. Boleh jadi penonton membaca puisinya sebelum atau usai menonton. Berupaya menyambungkan antara teks dengan laku di panggung. Atau sebagai semacam panduan. Menerka-nerka apa yang ada dalam kepala sutradara. Atau tidak. Ya, boleh-boleh saja. Apakah menonton drama harus berarti membaca teksnya juga?

Pada “Lupa”nya Ngaos Art ada hal kekinian yang “disisipkan”: demonstrasi. Ini bisa dipahami sebagai upaya agar pertunjukan—dan puisi itu sendiri—terasa dekat, lekat, dan kontekstual dengan keadaan sosial terbaru yang sama-sama dipahami. Negara (me)lupa(kan) sejarahnya sendiri bahwa kekerasan tidak pernah melahirkan apa-apa selain nganga luka yang lebih pedih-perih dari sekedar tubuh (daging dan tulang) yang terluka.

Kekinian itu bisa dirasakan pula pada sejumlah adegan “ringan” yang agaknya cenderung lebih mudah “diterima” penonton milenial. Macam-macam lupa dihadirkan dalam cara yang jenaka. Yang bikin penonton bergelak tawa. Tontonan didekatkan sedemikian rupa dengan kehidupan mereka agar tidak terasa jauh dan asing. “Main-main” yang serius, tidak main-main.

Jika Joko Pinurbo menutup puisinya dengan “Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?/ Lupa: matawaktu yang tidur sementara.” tidak demikian dengan pertunjukan ini. Justru “matawaktu yang tidur sementara” itu kurang begitu terasa dalam pertunjukan ini. Simbol-simbol waktu yang ditulis jelas dalam bait awal puisi ini berupa “kalender” dan “jam”  justru absen. Tapi, ini yang menarik.   
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
Tafsir bagian inilah yang kemudian diperluasan sekaligus diperdalam untuk dijadikan semacam  “amanat” pertunjukan. “Sederhana” dan “tidak tergesa-gesa”, seperti becak, digubah menjadi koor yang diulang-ulang. Menjadi penutup pertunjukan. Menjadi premis. Menjadi goong. Menjadi ruh pertunjukan.

Suatu saat nanti kita perlu sederhana
Tak tergesa-gesa

Sering kali ketergesa-gesaan menyebabkan lupa. Meski lupa itu enak. Membebaskan. Namun, ia hanya sementara.

Jangan lupa, tulisan ini juga boleh jadi buah ke-lupa-an dan kealpaan saya. Dan sebelum saya lupa, ada petikan tentang “lupa” dari sebuah serat karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Begini tulisnya:

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

Panjalu, 30 September 2019

Selasa, 17 September 2019

Pusat Kesenian Ciamis


Kehadiran pusat-pusat kesenian di kota-kota besar boleh jadi telah menjadi kebutuhan warganya. Menonton teater, tari, dan konser musik; menghadiri dan mengapresiasi pameran seni rupa; hadir  dan turut serta dalam diskusi sastra, telah menjadi bagian dari gaya hidup urban. Seni modern—dan kini postmodern—menjadi tolak ukur keberadaban suatu peradaban.

Meski telah bergeser dari ritual ke tolak ukur keberadaban, di kota-kota besar seni justru  mendapat ruang yang lebih baik ketimbang di “second city”. Masyarakat kota dengan budaya urbannya menjadikan seni sebagai pengisi “ruang kosong” dalam dirinya. Atau setidaknya menjadi hiburan, pelepas penat setelah sepanjang hari berkerja, “ber-materialis” ria.

Karena “pasar” tersedia, maka karya seni—juga senimannya—subur makmur di kota-kota besar. Pemerintah pun memberi perhatian yang lumayan bagi sektor yang oleh mereka disebut “ekonomi kreatif” ini. Pemerintah Pusat bahkan membentuk lembaga khusus untuk “mengurusi” kesenian: Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Bagaimana nasib seniman dan kesenian di daerah-daerah? Di “second city”? Karakteristik dan kecenderungan suatu daerah dalam memperlakukan kesenian memang tidak bisa dipukul rata. Beberapa daerah memuliakan kesenian dengan amat sangat. Ini tentu berkait erat dengan sejarah dan kebudayaan di daerah tersebut.

Yang mengkhawatirkan adalah daerah-daerah “transisi” yang baru mau beranjak “modern” sedang sebagian masyarakatnya masih “tradisional”. Di Jawa Barat terdapat sebuah kabupaten bernama Ciamis. Sejarah mencatat, dulunya daerah ini merupakan pusat kerajaan Sunda dan Galuh yang  merupakan cikal-bakal kerajaan Pajajaran (1482–1579 )  yang berpusat di Bogor.

Sejarah kerajaan Galuh secara keseluruhan membentang panjang sejak 612 masehi dan terus berkait sampai runtuhnya Pajajaran pada 1579. Ciamis sangat kaya akan tinggalan budaya baik tinggalan budaya benda (tangible heritage) maupun tak benda (intangible heritage). Banyak seniman-seniman Ciamis yang menjadikan “artefak budaya” ini sumber inspirasi atau tema dalam karya-karya seni mereka dalam bentuk yang lebih kontemporer.
Sebab pemerintah Ciamis memandang tinggalan-tinggalan itu dengan kaca mata modern yang empiris-materialis maka kebijakannya menyangkut kesenian tidak pernah tepat sasaran. Seperti dikatakan di atas, Ciamis adalah kota yang sedang bertransisi. Dalam kondisi ini, pemerintah—dan sebagian masyarakat—seolah gagap membaca zaman dan bimbang akan identitas.

Tegangan antara keinganan untuk modern—dengan berkiblat ke Kota Bandung, misalnya—dan kondisi sebagian besar masyarakat yang masih berpola pikir tradisional (pra-modern) mengakibatkan kesenian di Ciamis tidak ke kanan tidak pula ke kiri, tidak maju mundur pun enggan. Jalan di tempat dengan identitas yang kabur.

Namun, meski demikian, denyut kesenian di Ciamis tidak pernah padam. Nyiar Lumar, merupakan hajat besar kesenian di Ciamis. Acara bienale yang digelar tiap tahun genap tersebut diadakan  pertama kali pada 1998, bertepatan dengan hancurnya Orde Baru. Nyiar Lumar diadakan di komplek situs Astana Gede, Kawali. Suatu komplek situs yang diyakini peninggalan kerajaan Sunda.  

Penggunaan komplek situs yang terdiri dari makam, hutan, dan beberapa tinggalan berupa prasasti, lingga, dan beberapa tinggalan lain dimaksudkan merespon “kekayaan” budaya yang dimiliki. Konsep kegiatannya pun anti-teknologi modern. Segala keperluan pertunjukan dan acara dihadirkan se-buhun mungkin. Lampu-lampu penerangan panggung dan jalan digantikan obor dan damar sewu. Dekorasi ruang pun menggunakan bahan-bahan alam seperti bambu, kayu, tembikar, janur, dan lain-lain.

Untuk memfasilitasi “modernitas”, panitia menyediakan panggung lain di luar komplek situs. Perjumpaan yang modern dan yang buhun ini seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah sebagai dasar pemikiran dalam membuat kebijakan-kebijakan kesenian, khususnya di Ciamis. Keduanya difasillitasi, meski tak dibiarkan saling berjumpa. Yang “sakral” dan yang “profan” di”representasikan” dalam biliknya sendiri-sendiri. Inilah moderat. Suatu sikap yang sepatutnya dicontoh para pembesar mandatais rakyat (baca: pemerintah).

Apakah Nyiar Lumar sudah cukup untuk mewadahi hasrat berkesenian seniman Ciamis? Sepertinya belum. Sekian kekayaan seni—baik kontemporer, modern, maupun tradisional—yang ada di Ciamis tidak semuanya bisa tertampung di Nyiar Lumar yang dua tahunan itu. Waktu dan sumber daya lainnya amatlah terbatas.

Memang banyak kegiatan kesenian lain yang digagas pemerintah Ciamis baik melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga maupun Dinas Pariwisata Ciamis. Namun, kegiatan-kegiatan ini agaknya lebih merupakan proyek ketimbang program. Sifatnya tentatif dan insidentil, melulu “dalam rangka”. Dua Dinas ini pun agaknya punya persoalan egosektoral. Alih-alih bersinergi, keduanya malah terkesan berkompetisi. Sebetulnya ini sehat. Kompetisi dan persaingan bisa memacu daya kreativitas dan semangat kerja. Seniman sih diuntungkan saja sebab bisa dapat job dari dua pintu. Agar tetap sehat, kompetisi ini harus dibarengi dengan sikap sportif dan semangat yang konstruktif. Bukan saling ejek dan menjelekkan.

Gedung Kesenian/Pusat Kesenian Ciamis
Apakah Ciamis perlu Gedung Kesenian? Menurut hemat saya, Ciamis sudah saatnya memiliki gedung kesenian yang representatif. Gedung kesenian yang dimaksud adalah gedung kesenian yang memiliki auditorium, panggung pertunjukan, instalasi tata cahaya panggung, dan kelengkapan lainnya terkait pertunjukan dalam ruangan (indoor). Lebih baik bila ditunjang dengan ruang pameran, fasilitas pemutaran film, dan perpustakaan sastra. Untuk pertunjukan luar ruangan (outdoor), Ciamis sudah cukup banyak memiliki tempat yang bagus. Terlebih tempat-tempat tersebut memilik nilai historis sebagai tinggalan kerajaan Galuh dan Sunda.

Meski Ciamis subur dan kuat akan seni tradisi, namun di kota kecil yang dijuluki “Kota Pensiunan” ini ada juga orang-orang yang bergerak di bidang seni-seni non-tradisional yang butuh “ruang khusus”. Penggiat seni rupa (lukis, patung, grafiti, kolase, dan seni rupa pertunjukan) dan film pun ada. Hanya saja karena fasilitas di daerah asal tidak mendukung, mereka banyak yang “lari” ke daerah lain macam Bandung atau Tasikmalaya yang fasilitas publik dan “kultur”nya lebih mendukung karya-karya mereka. Tentang sastrawan Ciamis yang moncer di kancah nasional bahkan internasional, ah, tak usah ditanya. Browsing saja!

Pemerintah sebenarnya punya fasilitas (ruang) yang fungsinya mirip gedung kesenian. Balé Réka Paminton Bhumi Niskala namanya. Ia terletak di seputaran komplek Astana Gede Kawali. Tapi,  biarlah ia menjadi kelengkapan komplek situs tersebut. Juga sebagai gedung (ruang) pertunjukan dengan bentuk pendopo. Itu biarlah begitu. “Ciamis Kota” perlu juga memiliki ruang khusus, semacam Pusat Kesenian Ciamis. Bagi kesenian-kesenian “modern”, gedung itu akan jadi wadah bari karya-karya mereka. Bagi kesenian “tradisional”, gedung itu haruslah berfungsi sebagai etalase saja.

Apa sebab? Mementaskan (merepresentasikan) kesenian tradisional bukan di “panggung aslinya” di masyarakat adalah pengkebirian. Panggung “Pusat Kesenian Ciamis” itu biarlah menjadi etalase semata, tempat penonton “mengintip” kesenian tersebut. Jika hendak “mengalami” kesenian itu secara utuh, datanglah ke daerah asal kesenian tersebut. Nikmatilah kesenian itu di rahim dan alamnya, di semestanya,  agar pengalaman yang didapat lebih utuh dan paripurna. 

Kehadiran Pusat Kesenian Ciamis harus pula didukung oleh berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya, menentukan siapa yang mengelola fasilitas tersebut. Pengelola fasilitas kesenian yang tidak memahami kesenian, ya, sama saja dengan menyuruh tukang sol sepatu mereparasi tivi yang rusak.

Buat juga program rutin. Bukan proyek insidentil dan tentatif saja. Lantas bagaimana menyokong kebutuhan operasional gedung? Bayar listrik, mengganti lampu yang mati, bayar air, dan lain-lain? Hemat saya, pada akhirnya gedung itu akan berbayar (sewa). Tapi itu nanti, jika iklim kesenian di Ciamis sudah memungkinkan untuk itu. Semua kan harus merintis dari nol.


Hitung-hitungan (bacaan tidak penting)
Awalnya, gedung itu gratiskan saja dulu. Atau kalaupun harus bayar, ya, ngga usah mahal-mahal. Misalnya, 300-500 ribu. Pemerintah harus paham juga dengan “pasar ekonomi kreatif” di Ciamis. Jangan asal saja menetapkan harga sewa gedung tanpa memahami “daya beli” masyarakat dalam kaitannya dengan kesenian. Sepengalaman saya, menjual tiket pertunjukan teater harga 10 ribu rupiah saja susahnya minta ampun. Banyak yang minta potongan. Padahal harga semangkuk bakso saja sudah rata-rata 15 ribu.

Kalau kapasitas penonton di gedung “Pusat Kesenian Ciamis” itu, misalnya, 300 orang per kali menonton, dengan harga tiket 10 ribu (tanpa potongan), maka per kali pertunjukan akan menghasilkan pemasukan kotor sebesar 3 juta rupiah. Kalau harga sewa gedung 300 – 500 ribu, ya, masih wajar lah (meski pun sebenarnya kemahalan).

Uang 2,5 juta hasil potongan sewa gedung itu kan masih dibagi-bagi lagi untuk konsumsi, bayar hutang bekas biaya produksi, dan lain-lain. Jadi berapa si seniman mendapat untung? Wah, sepertinya omset pertunjukan itu hanya akan cukup buat membeli kuota saja.

Jika orientasinya keuntungan (laba) maka sang seniman atau kelompok seni itu harus pentas sehari tiga kali dengan makan sekali saja, misalnya, biar irit. Katakanlah, tiap pentas itu penontonnya penuh. Jadi dapat 9 juta sehari. Di potong sewa gedung 500 ribu, sisa 8,5 juta. Ya, lumayan lah, meski jatuhnya honor akhir untuk masing-masing pemain tidak akan lebih besar dari UMR Ciamis.

Mau lebih untung lagi, ya, pentasnya jangan sehari saja. Pentaslah seminggu. Kalikan saja! 8,5 juta kali 7. Ya, 59, 5 juta rupiah. Waw! Terdengar besar, ya. Tapi edan juga kalau harus pentas sehari tiga kali selama satu minggu. Lagi pula bagaimana mancari 6.300 penonton (300x3x7) di Ciamis dan sekitarnya?

FYI (for your information), beberapa kelompok teater di kota Tasikmalaya sudah bisa menjual tiket pertunjukan (terbilang lebih dari satu pertunjukan) seharga (paling tinggi) 25 ribu. Dan ada yang beli, sebab dibina dan dibiasakan secara bertahap sejak bertahun-tahun lalu. Memang perlu stategi dan perjuangan panjang. Tapi kan bisa juga akhirnya. Di Ciamis sendiri tiket pertunjukan teater modern termahal (dan satu-satunya), sependek pengetahuan saya, sebesar 100 ribu rupiah per lembar (untuk dua orang). Itu pun dengan strategi pemasaran tersendiri.

***

Tentang keberadaan gedung kesenian atau Pusat Kesenian Ciamis memang sudah sering digunjingkan. Ya, namanya juga manusia, punya kehendak dan pemikiran yang beda-beda. Wajar kalau berdebat atau bergunjing. Asal jangan baper saja. Silaturahmi dan persaudaraan harus tetap dijaga.

Gunjingan itu akan sekedar jadi gunjingan atau buih omongan saja bila tidak dibaca pemerintah sebagai keresahan seniman yang harus ditanggapi secara cepat dan bijak. Pemerintah jangan alergi dengan komunikasi dua arah. Seniman juga harus ada yang berani berteriak, selain ada pula yang berjuang melalui celah-celah birokrasi.

Tapi kalau saja pemerintah menggeser paradigma modernnya yang materialistik itu, memposisikan dan menyikapi kesenian bisa dilakukan dengan wajar dan sepatutnya. Hitung-hitungannya jangan jangka pendek: aku (pemerintah) kasih kamu sekian rupiah, kau (seniman/masyarakat) harus menghasilkan PAD sekian rupiah. Kalau logika itu yang dikedepankan, kita akan terjebak pada materialisme belaka. Padahal membangun kebudayaan, dengan kesenian di dalamnya, bukan cuma perkara materiil belaka. Ada “investasi” jangka panjang, yakni membangun pikir dan rasa, membangun “jeroan” manusia.

Orang mengapresiasi kesenian kan bukan cari untung materiil. Apakah kita mendengarkan lagu atau menonton film untuk mencari keuntungan materiil? Apakah dengan membaca novel, cerpen, atau puisi si pembaca mendadak kaya raya? Mungkin ada saja yang demikian itu, tapi sebagian besar agaknya tidak. Mengapresiasi seni itu mencari “keuntungan” imateriil. Batin. Pemerintah harusnya paham agar kesenian tidak diperlakukan seperti kacang goreng di pinggir jalan.

Panjalu, 17 September 2019
keterangan gambar:
Pertunjukan Heart of Almond Jelly (Wishing Chong), Sutradara Rika R. Johara
Produksi Women In the Zero (WIZ) Project dan Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC). 2017

Jumat, 13 September 2019

Stempel

Pernahkah kamu mengisi daftar hadir dalam sebuah acara pemerintah? Atau mendapat undangan untuk sebuah acara? Atau menjadi penanya dalam sebuah kegiatan? Atau mengajukan proposal pada “Lembaga Negara” (Pemeritah)? Singkatnya, pernahkah kamu berurusan dengan pemerintah? Kecuali membuat dokumen kependudukan (Akta Kelahiran, KK, KTP, Surat Nikah, Surat Keterangan Kematian, dsb), urusan pajak perorangan, dan sejumlah kecil urusan lain,  “warganegara” yang berurusan dengan Negara seringkali ditanya: “Dari komunitas mana?”, “ Dari instansi mana?”, “Lembaganya apa?” “Kampus mana?” “Sebagai apa di organisasi itu?” dan pertanyaan sejenisnya yang menyebabkan si warganegara harus menyebut atau menuliskan nama lembaga atau komunitas muasalnya.
 
Dalam hal ini, warganegara seolah tak beda dengan stempel. Ya, stempel. Ia bersaudara dengan kop surat dan logo. Tiga hal itu wajib ada sebagai keabsahan lembaga. Kalau kamu mau mengurusi uang bantuan dari negara, kamu harus punya ketiga hal itu: stempel, kop surat, dan logo.
 
Mengapa warganegara harus diikuti identitas komunitas di belakang namanya?  Tidak bisakah ia, warganegera itu, berhadapan dengan negara yang perkasa dan abstak itu atas “nama” dirinya sendiri, sebagai warganegara, sebagai individu, sebagai “aku”, sebagai manusia?
 
Apakah karena sila ke-4 Pancasila menyebut-nyebut kata “perwakilan”, maka individu yang berhadapan dengan negara harus dipandang sebagai pewakilan dari kelompok tertentu? Aduh, mungkin anggapan itu terlalu sembarangan dan gegabah. Baiklah. Mari tidak perlu membawa-bawa Pancasila, sebagaimana para politisi juga tidak pernah membawa-bawa azas negara itu dalam tiap hasil kerja mereka.
 
Mungkin karena warganegara NKRI yang 250 juta jiwa ini sedang negara belum mampu memperhatikan satu per satu warganya karena keterbatasan ini itu dan kesibukan mempekaya diri sendiri, maka negara “mengkotak-kotakkan” warganya dalam kotak-kotak entitas yang dianggapnya mewakili, represetatif. Biar lebih mudah mengurusnya, 250 juta jiwa itu di ringkas dalam beberapa himpunan saja. Seorang ketua Asosiasi Seniman Tanpa Komunitas, cukup seorang saja, dianggap oleh negara mewakili sekian ribu “seniman tanpa komunitas”. Memberi bantuan pada asosiasi itu—atau hanya pada ketuanya seorang dengan surat resmi yang ber-kop dan dibubuhi stempel—maka tuntaslah “kewajiban” negara memperhatikan nasib seniman-seniman ini. Demikian pula asosiasi, paguyuban, aliansi, lingkaran, himpunan, gabungan, grup, kelompok, forum, serikat, perkumpulan, persatuan, organisasi, komunitas, lembaga, dan sebutan lainnya di bidang lain.
 
Tapi sikap negara itu  tidak sepenuhnya salah. Perkumpulan-perkumpulan itu lazimnya punya daftar anggota yang jelas. Yang dianggap terwakili tentu yang terdafar sebagai anggota perkumpulan. Para anggota tentu dengan sadar dan waras menyatakan diri sebagai anggota, membaca AD ART serta aturan lainnya, dan siap tunduk patuh pada aturan perkumpulan tersebut, termasuk bersedia diwakilkan.
 
Bagaimana nasib individu yang tidak terdaftar sebagai anggota perkumpulan sedang ia melakukan aktivitas yang sama persis dilakukan oleh anggota perkumpulan? Misalnya, seorang tukang bakso kaki lima tidak terdaftar sebagai anggota Paguyuban Pedagang Bakso Kaki Lima? Bagaimana nasibnya? Apakah negara tidak akan “mengakui”nya sebagai tukang bakso kaki lima? Boleh jadi ia tak terdaftar sebab memang enggan, karena satu dan berbagai hal yang menyangkut keyakinannya (baca: idealisme) sebagai tukang bakso kaki lima. Bagaimana negara memandang individu macam itu? Yang selalu ada dalam tiap “profesi”? Selalu ada yang mahiwal (berbeda dari kebanyakan; lain dari lazimnya) dalam segala sesuatu.  
 
Jadi siapa yang salah? Negara atau orang yang tidak mendaftarkan diri sebagai anggota komunitas? Kan negara—melalui seorang Kepala Dinas atau pejabat lain—bisa berdalih: “Salah sendiri, kamu tidak masuk komunitas. Jadinya tidak terdata. Ingat, negara bekerja berdasarkan data!”. Kemudian si mahiwal menjawab: “Berserikat itu hak, bukan kewajiban. Bukankah itu jelas dalam UUD. Kalau negara ngurusi rakyat, itu kewajiban.”
 
Sekian dan terimakasih.
 
Mangunjaya – Panjalu
September 2019

Jumat, 26 Juli 2019

GWS: tubuh-tubuh yang berharap; catatan kecil pertunjukan GWS produksi Yayasan Lanjong Indonesia

Sudah sejak lama kata-kata menjadi sarana manusia mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dengan kata-kata manusia menjalin komunikasi, bertukar pemikiran, saling mencurahkan perasaan dan lain sebagainya. Namun sebelum itu, sebelum kata-kata menjadi wakil realitas, tubuh sebenarnya, mungkin, bisa lebih fasih membicarakan realitas sebab ia lebih dulu mencerap realitas dan merupakan realitas itu sendiri. Tubuh mampu lebih jujur merasa dan merespon “sakit” sebab ia mencerap secara utuh sakit itu ketimbang kata sakit yang hanya “mewakili” pengalaman sakit belaka. Ungkapan “auw” atau “aduh” tatkala jari terjepit pintu tidak bisa benar-benar dan utuh menggambarkan pengalaman sakitnya jari (tubuh) terjepit pintu.
Namun kejujuran tubuh ini barangkali lambat laun terkubur lantaran kata-kata,  dengan segala kehebatannya, telah menahbiskan diri sebagai wakil realitas paling otoritatif. Manusia terlalu mempercayakan segala sesuatunya pada kata-kata sampai-sampai lupa pada potensi tubuhnya sendiri. Akibatnya tubuh tereduksi menjadi sebatas objek, kandang jiwa, atau sangkar pemikiran belaka. Belum lagi ditambah dengan keyakinan-keyakinan dogmatis yang mengatakan bahwa tubuh adalah kotor sedang jiwa adalah bersih, tubuh adalah jahat sedang jiwa adalah baik, yang makin membenamkan saja tubuh sebagai eksistensi manusia paling purba.
Persoalan-persoalan tubuh dan kebertubuhan ini sudah sejak lama diperbincangkan oleh para pemikir. Gaungnya kemudian sampai ke pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali teater. Tubuh dipertanyakan kembali, dipersoalkan kembali, dimaknai kembali, dan diperlakukan dengan cara-cara yang berbeda dengan yang telah dikenal sebelumnya dalam teater konvensional. Ketika tubuh menjadi representasi pengalaman paling utama, kalau tidak satu-satunya, di atas panggung, para ahli lantas menyebutnya teater tubuh.
Meski istilah teater tubuh masih memantik riak perdebatan khususnya ihwal batasan-batasan dan perbedaannya dengan tari namun kiranya ini tidak harus menjadi persoalan dalam berkarya. Setidaknya Ab Asmarandana sudah melakukan itu melalui karya teater terbarunya berjudul “GWS”.  Pertunjukan produksi Yayasan Lanjong Indonesia yang tercatat sebagai salah satu penampil pada Festival Teater Tubuh Payung Hitam 2019 ini sukses membuat puluhan penonton bertahan hingga pungkas pada Senin malam, 22 Juli 2019 di Lapangan Parkir FKIP UNSIL, Kota Tasikmalaya.
Kapan “cerita” GWS ini dimulai sebenarnya agak membingungkan juga. Pertunjukan ini seolah terdiri dari tiga bagian. Bagian awal dimulai sejak lampu menyala dan nampak beberapa orang berkaos putih, bercelana hot pants, serta mengenakan masker bergambar bibir, gigi, dan lidah membentuk komposisi tertentu di atas alas berbentuk lingkaran yang penuh dengan gambar dan tulisan sampai mereka semua menghilang. Alas yang mungkin dimaksudkan sebagai simbol visual itu barangkali akan lebih mudah dipahami bila dilihat dari jarak dan sudur tertentu. Jarak pandang yang terlalu dekat antara penonton dan gambar itu–dan  dengan sendirinya membatasi sudut pandang–sepertinya justu menghambat penonton menangkap makna dan gambar itu secara lebih utuh dan  menyeluruh.
Bagian kedua dimulai sejak kemunculan tokoh berkemeja biru membawa serta meja dan kusi yang mengkilap seperti terbuat dari alumunium. Ia tidak mengenakan masker. Awalanya ia duduk dan nampak gelisah. Beberapa kali menggaruk-garuk  kepala seperti kebingungan. Kemudian melakukan gerakan-gerakan yang mengesankan keragu-raguan dan bingung. Tokoh ini nampak seperti sedang berpantomim. Ada juga bagian ia seperti kesulitan mengucapkan kata-kata, seperti orang bisu yang memaksakan diri bicara. Beberapa ungkapannya seperti bermaksud menggugat kata-kata atau lebih tepatnya definisi verbal tentang sesuatu. Hal ini seperti menggugah ingatan atas Nietzsche yang sempat mengingatkan tentang penjara makna melalui konsep dan kata. Menjelang akhir kehadirannya, tubuh yang beberapa gerak-geriknya sanggup mengingatkan sebagian penonton pada Mr. Bean-nya Rowan Atkinson ini memanggil tuan rumah (UKM Teater 28 UNSIL) untuk memberi sambutan. Tepat pada bagian ini pertunjukan seolah terputus oleh sambutan dengan derajat verbalistik sangat tinggi. Namun barangkali ini salah satu kekhasan karya-karya Abuy, sapaan akrab Ab Asmarandana. Dalam beberapa pertunjukannya, ia kerap “mengganggu” kekhusuan menonton dengan menggedor batas pamain dan penonton atau memainkan irama pertunjukan yang tak diduga-duga sebelumnya.
Bagian ketiga sepertinya dimulai sejak orang-orang ber-hot pants itu masuk kembali, mengerumuni si tokoh berkemeja biru dan membuatnya keluar. Bila diamati lebih rinci, mungkin bagian ketiga ini juga bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub-bagian atau adegan yang lebih spesifik. Satu adegan puitik pada bagian ini adalah tatkala orang-orang jatuh, lampu temaram nyaris gelap, masuk sesosok berkostum serba putih, berselendang putih dengan kepala terbungkus kotak transparan dengan lampu LED di dalamnya. Sosok serba putih itu memainkan selendangnya, melintasi tubuh-tubuh yang berupaya menggapainya namun tak bisa sampai ia menghilang di kegelapan. Entah apa yang dimaksudkan sutrdadara dengan kotak transparan yang membungkus kepala si sosok serba putih, namun adegan itu seolah ingin menggambarkan kerinduan tubuh-tubuh pada sesuatu yang boleh jadi mesianik atau profetik. Kesan ini makin kuat lantaran tubuh-tubuh yang nampak lelah itu seolah menyambut sosok serba putih dengan melantunkan sholawat berirama lagu Silent Night (Malam Kudus) yang populer dibawakan Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya.
Selain gerak-gerak akrobatik, pada beberapa adegan pertunjukan ini juga cukup kaya dengan gerak-gerak koreografis. Salah satunya yakni ketika para pemain bergerak secara ritmis dengan iringan musik tertentu bernuansa etnik. Tentang nuansa etnik ini agaknya tidak hanya diwakili oleh petikan Sape khas Dayak saja namun juga oleh Tutang (tato) di betis para pemain dan adegan semacam permainan anak-anak tradisional. Hal ini menjadi menarik sebab selain sebagai penanda identitas etnis mayoritas anggota kelompok Yayasan Lanjong Indonesia, lokalitas ini pun hadir bersama modernitas yang diwakili kamera drone yang turut “bermain” di bagian awal, misalnya, atau telepon pintar yang menjadi properti para pemain. Alih-alih berbenturan, dua unsur yang mewakili, sebut saja, dua jiwa zaman ini justru dibiarkan berkelindan saja, campur aduk. Barangkali inilah potret realitas zaman kini. Orang-orang Nusatara berada dalam tegangan antara identitas masa lampau di satu sisi dan tawaran-tawaran kebaruan a la Barat di sisi yang lain.
Perjuampaan lokalitas dan budaya kekinian dalam GWS tidak hanya diwakili oleh telepon pintar dan Tatung saja. Perjumpaan lain dengan bernuansa satir dengan apik dihadirkan melalui suara raungan gergaji mesin yang mengiringi permianan anak-anak tradisional. GWS sendiri merupakan kependekan dari Get Well Soon, sebuah ungkapan bahasa asing yang sudah akrab di telinga sebagian masyarakat sebagai ganti ungkapan “semoga lekas sembuh”. Pemilihan judul berbahasa asing yang akrab di telinga milenials ini agaknya bisa juga dimaknai sebagai semacam proklamasi tentang gaya pertunjukan yang mengusung semangat kekinian atau kebaruan melalui medium teater tubuh atau teater non-verbal.
Selain sebagai pengejawantahan semangat kekinian, GWS juga mungkin bisa dimaknai sebagai ruh pertunjukan itu sendiri. Berbagai macam adegan yang dimainkan sepertinya sudah cukup memberi gambaran tentang sakit. Berulang-ulangnya tubuh yang berupaya bangun namun kembali terjatuh dengan keras sementara tubuh-tubuh lain malah menertawakan agaknya cukup jelas menggambarkan tentang sakit. Atau adegan seseorang dengan pakaian necis yang makan dengan rakus sementara seseorang lain memukul-mukul tubuhnya dan nampak kesakitan; di sudut lain nampak sekumpulan orang dengan balon dibalik kaosnya, mirip perut buncit busung lapar terkapar, kiranya itu sudah cukup “verbal” menyampaikan kesakitan. Bahwa tak acuh, apalagi menertawakan orang sakit adalah bentuk kesakitan lain yang lebih sakit. Siapa/apa yang sakit, tentu tiap-tiap penonton bisa sangat beragam memaknainya.  Sebagai sebuah ungkapan harapan, GWS menggenapi pertunjukan itu dengan menyuapi kue ke penonton sembari berucap ”semoga lekas sembuh”.
(Cara) menonton teater non-verbal semisal teater tubuh barangkali berbeda dengan menonton teater verbal, Penonton setidak-tidaknya dituntut untuk membaca simbol-simbol non-verbal yang berada dipanggung baik berupa gerakan/koreografi dan komposisi tubuh, seting, kostum, tata cahaya, dan lain sebagainya untuk memahami keseluruhan pertunjukan. Bagi penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater verbal, menonton jejaring simbol non-verbal dalam pertunjukan teater tubuh untuk kemudian memahaminya secara utuh agaknya tidak semudah memahami tuturan dialog drama. Perlu kecermatan serta referensi yang cukup agar makna simbol-simbol itu bisa dipahami dan dirangkai utuh.
Atau bisa saja tidak sama sekali. Boleh jadi pertunjukan teater tubuh  justru tidak mensyaratkan apa-apa untuk dipahami sebab boleh jadi ia tidak dipertunjukan untuk dipahami. Ia mungkin lebih ingin dinikmati, dirasakan, atau sekedar “mengatakan” sesuatu. Sebab bahasa yang digunakan adalah bahasa tubuh, bahasa jujur yang sebenarnya lebih purba ketimbang kata-kata, bahasa yang boleh jadi lebih universal, maka syarat menikmatinya adalah menontonnya sebagai tubuh-tubuh utuh, tidak lebih tidak kurang.
Tulisan ini bukan sebuah catatan analitis yang layak. Barangkali lebih sebagai ungkapan ketidaktahuan belaka.
Semoga lekas sembuh!
 
Panjalu, 27 Juli 2019     

Minggu, 14 Juli 2019

Catatan Kecil Perayaan Hari Jadi Ciamis ke 377

Pesta telah usai. Tinggallah kemeriahan itu dalam ingatan dan jejak-jejak. Bulan Juni di Ciamis agaknya selalu punya cerita tersendiri. Pada bulan ini Ciamis merayakan hari jadinya. Meski masih jadi perdebatan khususnya di pemerhati sejarah, namun setidaknya sejak 1972 hingga hari ini 12 Juni diyakini dan ditetapkan pemerintah sebagai hari jadi kabuaten Ciamis. Rangkaian peringatan hari jadi ini biasanya dilakukan sejak awal Juni. Macam-macam kegiatan digelar mulai dari kegiatan ziarah Bupati Ciamis ke beberapa tempat yang dianggap memiliki kaitan sejarah dengan kabupaten Ciamis sampai pentas-pentas seni buat memeriahkan dan menghibur masyarakat Ciamis, khususnya di pusat kota. 

Semasa masih hidup, pertunjukan wayang goleh Giri Harja 3 pimpinan Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya adalah puncak sekaligus penutup rangkaian kegiatan yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Ciamis. Setelah beliau berpulang, pertunjukan wayang golek sarat makna dan humor itu agaknya hanya tinggal jadi rindu. Panitia peringatan hari jadi Ciamis sepertinya berupaya menghadirkan hal lain yang tak kalah monumental. Sebagaimana kematian tokoh atau seniman besar lainnya, kematian Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya setidaknya membawa “berkah” tersendiri bagi seniman lain. Seniman-seniman lain yang biasanya duduk sebagai penonton Ki Asep, kini berkesempatan lebih besar “manggung” sebagai yang ditonton.

Selain prosesi seni Ngebral Pataka pada 12 Juni yang dihelat di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis, tahun ini setidaknya ada tiga pentas utama yang mengisi peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 : Galuh Ethnic Carnival (GEC), Karnaval SCTV, dan Pesona Galuh Nagari. 

GEC tahun ini digelar pada 25 – 26 Juni 2019 di Alun-Alun Ciamis. Seperti gelar perdananya ada 2018, GEC tahun ini pun agaknya menjadikan seni helaran sebagai primadona. Banyaknya kesenian helaran di Ciamis, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang dibuat dadakan, menjadi latar belakang diadakannya kegiatan ini. Jika Jember bisa mendunia dengan Jember Fashion Carnival-nya, maka Ciamis sepertinya ingin muncul mengusung ethnic carnival. Beberapa seni helaran Ciamis yang turut serta diantaranya: Marching Band Gema Galuh Ciamis, Wayang Landung Panjalu, Pontrangan Cimaragas, Mengmleng Winduraja, Mabokuy Rajadesa, Bebegig Sawah Saung Sadulur Kawali, Barongan Purwadadi, dan Bebegig Baladewa Sukamantri. Selain dari Ciamis, ada pula peserta helaran dari Bandung Barat, Indramayu, Karawang, Garut, Banjar, dan Purwakarta. Tidak hanya helaran, kegiatan yang dimotori oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) kabupaten Ciamis ini dimeriahkan pula oleh sajian pertunjukan dari Padepokan Seni Budaya Rengganis dan Padepokan Suryalaga Banjarsari, Sanggar Galuh Pakuan Panumbangan, Studio Titik Dua, Uceng Grup Cijeungjing, dan pada malam hari sajian ronggeng dari SGBS 2 memungkas hari pertama Galuh Ethnic Carnival. Kegiatan yang berbarengan dengan acara Ngobi Bareng di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis ini diisi pula oleh pameran benda-benda pusaka koleksi museum-museum yang ada di Ciamis. 

Setelah dua hari tanpa kemeriahan, Alun-Alun Ciamis kembali ramai lantaran Karnaval SCTV pada 29 – 30 Juni 2019. Dimulai pada Sabtu pagi hingga Minggu sore secara off-air dan on-air, acara ini diramaikan oleh sajian musik dari kelompok musik industri, sulap, pemutaran film, bazar prodak sponsor, lomba-lomba, dan karnaval artis-artis sinetron SCTV. Selayaknya acara-acara stasiun tv nasional lainnya, SCTV pada kesempatan ini memboyong pula para pesohor dunia hiburan buat mengisi acara. 

Jika Disbudpora punya Galuh Ethnic Carnival maka mantan teman sekantornya, Dinas Pariwisata Ciamis, punya Pesona Galuh Nagari. Frasa ini agaknya bukan sekedar judul acara dalam rangka memperingati Hari Jadi Ciamis sebab dalam banyak kesempatan lain Dinas Pariwisata kerap kali menggunakan frasa ini sebagai nama kegiatannya. Pesona Galuh Nagari yang diperkenalkan sejak 2016 ini lebih seperti istilah untuk “paket wisata Ciamis” produksi Dinas Pariwisata Ciamis. Selain sajian pertunjukan, Pesona Galuh Nagari tahun ini diisi pula pameran produk pariwisata dan bazar kuliner jajanan Ciamis. Sajian pertunjukannya sendiri dihelat pada 29 Juni 2019 malam di area timur Taman Raflesia Ciamis. Masyarakat Ciamis akrab menyebut tempat itu dengan istilah “bilbor” sebab di sana terpampang billboard raksasa milik Pemda Ciamis. 

Kedatangan rombongan pawai obor dari Pendopo Kabupaten Ciamis ke lokasi acara menandai dimulainya kegiatan. Selain Bupati, Wakil Bupati, dan pejabat Ciamis  lainnya, turut pula Bebegig Baladewa Sukamantri, Genjring Ronyok Kawali, tokoh dan anggota komunitas adat, serta beberapa penari dalam rombongan. Malam itu, sejak dimulai sekitar jam 8, ratusan penonton yang meski dengan berjejal dan penuh sesak  mampu bertahan menonton hingga pungkas menjelang tengah malam. Sederet sajian pertunjukan yang manggung malam itu diantaraya: tari oleh Studio Titik Dua (Tari Kele, Tari Kedok, Tari Karembong Koneng, Tari Girimis), baca puisi oleh Godi Suwarna, musik dan tari oleh EMKA 9 dan Dwi Khan Bintang Pantura 5 (Jaipong Wangsit Siliwangi, Karembong Koneng, Tari Dangiang Ki Sunda, Girimis). Selain tari, musik, dan baca puisi, kegiatan penutup rangkaian peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 ini pun dimeriahkan oleh pelawak Ohang yang dengan canda khasnya berhasil membuat Bupati dan penonton lainnya terpingkal-pingkal. Kelucuannya makin menjadi tatkala ia berkolaborasi dengan kelompok calung asal Ciamis pimpinan Kuwu Uceng dan pelawak perempuan legendaris Ciamis, Ma Apay. Selain memantik tawa para pejabat tamu undangan, Ohang cs pun sukses merayu mereka merokoh kocek buat nyawer. Sungguh rejeki nomplok. Malam Minggu di akhir Juni itu pun dipungkas dengan ngibing bersama dipirig tepak Bajidoran oleh kelompok musik asal Purwakarta, EMKA 9.

Kemeriahan peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 kemarin cukup sukses menghibur dan memberdayakan masyarakat. Namun sejatinya tidak ada kesuksesan yang sempurna. Ada saja satu dua hal yang acap kali luput dan menjadi pekerjaan rumah buat perbaikan hari esok. Terkait kemeriahan peringatan kemarin, dengan menggunakan kaca mata salah satu pola kerja teater, ada beberapa hal yang barangkali bisa menjadi masukan buat perbaikan di masa mendatang.

Pertama, konsep. Alangkah baik kiranya bilamana seluruh rangkaian kegiatan  peringatan Hari Jadi Ciamis mengusung satu gagasan dasar atau konsep yang sama. Konsep ini bisa berupa visi yang kemudian diartikulasikan menjadi logo dan tema besar kegiatan. Biarlah konsep dasar ini diterjemahkan secara kreatif oleh pelaksana kegiatan menjadi bentuk acara yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan kesatuan konsep dasar ini kegiatan-kegiatan yang digelar akan terasa sinambung dan jelas benang merahnya. Tidak terkesan sporadis dan mungkin bisa menekan ego sektoral  yang hingga kini masih terasa di kalangan instansi pemerintah khususnya yang memiliki irisan  macam Disbudpora dan Dinas Pariwisata.

Kedua, koordinasi dan komunikasi. Hal lain yang tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah besar dari kegiatan kemarin adalah tentang koordinasi dan komunikasi. Lantaran dua hal ini kurang terbangun dengan baik maka terjadi kesimpang siuran dalam beberapa kegiatan. Misalnya saja tentang agenda acara pada pembukaan Galuh Ethnic Carnival yang selain simpang siur sehingga membuat tim kesenian prosesi seni pembukaan melakukan improvisasi tepat pada saat pertunjukan berlangsung, juga bertabrakan waktu dengan agenda Ngobi Bareng di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis. Koordinasi dan komunikasi harus terjalin baik dengan semua pihak yang terlibat, bukan hanya antar instansi namun juga dengan pengisi acara atau pihak terkait diluar kepanitiaan lainnya.

Ketiga, pemahaman teknis. Ini yang sering kali dilupakan, ya, persoalan teknis. Sebuah gagasan yang bagus sukar terwujud mendekati sempurna bilamana hal-hal teknis tidak mendukung. Panitia pelaksana memang tidak harus secara mendetil memahami hal teknis. Bisa saja mereka meminta pendapat pihak lain yang memang mengusai hal tersebut. Yang wajib dipahami adalah bahwa dalam sebuah penyelanggaraan kegiatan, apalagi pertunjukan seni, hal teknis punya andil besar untuk kesuksesan acara. Misalnya saja, pada panggung Pesona Galuh Nagari. Lantaran sebagian besar pertunjukan diisi oleh sajian yang membutuhkan tata cahaya panggung tertentu yang dapat mendukung suasana dramatis yang sesuai, maka perangkat tata cahayanya pun mustilah menyesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Lampu panggung pertunjukan punya peruntukan dan fungsi-fungsi yang berbeda. Demikian pula media pengatur atau mixernya pun punya spesifikasi tersendiri sesuai kebutuhan. Sayangnya, perangkat tata cahaya yang tersedia kemarin tidak mendukung untuk itu. Perangkat yang ada kemarin lebih sesuai untuk pertunjukan musik/band. Alhasil, keberadaan lampu panggung kurang optimal dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan yang digelar.       

Keempat, manajemen organisasi. Dalam melaksanan suatu kegiatan pastilah ada sekumpulan orang yang mengerjakan pekerjaan tertentu guna mewujudkan kegiatan tersebut. Idelanya, siapa melakukan apa sudahlah terencana sejak awal agar tidak terjadi tumpang tinding dan kesimpang siuran. Patut pula diberi kejelasan siapa komandan atau penanggungjawab dari masing-masing divisi kerja agar kerja-kerja, khususnya kerja lapangan yang butuh eksekusi cepat, bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Hal manajeman organisasi ini agaknya terkait erat sekali dengan koordinasi dan komunikasi. Dalam hal manajemen organisasi agaknya penting juga mengingat pepatah asing “the right man in the right place” dan satu pepatah lain yang sering sekali dikutip almarhum Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, “Not gun! But the man behind the gun”. 

Lepas dari semua kritik, kerja-kerja Pemda Ciamis khususnya Disbudpora dan Dinas Pariwisata patut diapreasiasi. Sejauh ini, setidaknya melalui dua kegiatan yang baru saja digelar, cukup banyak potensi kesenian yang berupaya digali, diangkat, dan diperkenalkan ke khalayak. Hal ini tentu membawa dampak positif tersendiri dan semoga di waktu yang akan datang, dampak positif ini bisa jadi pemicu untuk dampak-dampak positif lainnya. 

Salah satu dampak positif kegiatan kesenian adalah terlupakannya polaritas sebagian masyarakat akibat Pemilu 2019. Hal ini secara bijak dipotret oleh Dr. K. H. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA., M. Ag., (Kang Icep) yang menyamapaikan do’a pada malam panggung Pesona Galuh Nagari. Semoga tontonan bisa menjadi tuntunan.

Dirgahayu Ciamis.

Pakéna kerta bener
Pakeun nanjeur na juritan
Pakéna gawé rahayu   
Pakeun heubeul jaya dina buana

Panjalu, 2 Juli 2019 



Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...