Desember adalah
bulan liburan. Tiap kali bulan ke-12 ini menjelang usai, tempat berlibur ramai
diserbu orang-orang, yang penat dengan rutinitas. Keseharian memang sering kali
membosankan. Dari bangun tidur sampai mata memejam, tiap hari dilalui
begitu-begitu saja. Apalagi pekerja kantoran dan anak sekolah. Demikian juga
mahasiswa, kalau sekedar kejar gelar. Sungguh menjemukan!
Liburan bisa
dilakoni dengan bermacam cara. Ada yang pergi ke pantai, ke gunung, ke tempat
yang jauh. Nonton ke bioskop atau bermain ke tempat rekreasi. Atau sekedar
berkunjung ke rumah sanak saudara. Atau di rumah saja, bermalas-malasan.
Orang kota
datang ke kampung, melihat sawah, kebun, alam nan purba. Orang kampung datang
ke kota, melihat mall, gedung-gedung bertingkat, dan sekian pencapaian
peradaban. Orang-orang mencari apa yang tidak mereka dapat dan temukan di
keseharian. Sesuatu yang baru. Kadang yang asing. Kadang yang aneh, yang tidak
biasa,
Demi itu semua,
demi “mengalami” yang tak biasa itu, orang-orang bersedia mengeluarkan biaya
besar: beli tiket bus, kereta, pesawat, atau kapal laut; atau membeli bensin
buat perjalanan ke suatu tempat nan jauh; menginap di hotel, masuk wahana
rekreasi, makan di restoran; membeli oleh-oleh, dan lain sebagainya.
Sepulang
liburan, kembali ke rutinitas. Kembali menghadapi masalah, dan liburan tidak
berdampak apa-apa selain menguras tabungan. Ah, sayang sekali jika liburan
sekedar memindahkan tubuh (organisme) dari satu tempat ke tempat lain, dari
satu situasi ke situasi yang lain sementara segala “aku” yang kompleks itu
tidak turut serta, masih tinggal di tempat kerja, di sekolah, di kampus. Aduh!
Sejatinya
liburan memberi dampak positif. Usai liburan, pengalaman dari situasi yang tak
biasa itu bagusnya membawa pengaruh untuk peningkatan kualias diri. Liburan
macam ini bisa terjadi kalau segala totalitas “aku” terlibat: tubuh, pikiran,
emosi, perasaan, dll.
Salah satu
bentuk liburan adalah bermain peran. Ya, akting.
Bermain peran
juga liburan sebab si pemain peran (aktor) dituntut untuk secara total
berlibur, melancongkan dirinya ke diri yang lain. Dari situasi kesehariannya
yang “biasa” ke situasi tokoh yang “luar biasa” (maksudnya di luar kebiasaan). “Aku”
yang sehari-hari begini harus menjadi begitu, sesuai dengan tuntutan peran. Aktor
harus mau pergi (sementara) ke tubuh, pikiran, dan emosi si tokoh. Singkatnya,
aktor harus melancong, berlibur ke kehidupan si tokoh, lengkap dengan segala
kompleksitas ke-manusia-annya.
Dalam pendekatan
akting realis, akting itu utamanya harus mampu membuat penonton yakin bahwa
yang mereka tonton adalah demikian adanya, adalah sungguh seperti yang
dikisahkan. Ketika dikisahkan A adalah seorang petani tua yang licik, yang
mengakali sistem irigasi agar sawahnya paling banyak mendapat air, maka si
aktor pemeran tokoh A musti mampu meyakinkan penonton bahwa ia benar-benar A.
Tubuh, pikiran, emosi, dan segala ke-diri-an aktor harus menjadi petani, tua,
dan licik.
Namun, jangan
dibiarkan terlampau larut. Jika demikian, namanya kesurupan, bukan akting.
Akting membutuhkan kesadaran. Akting berada dalam tegangan antara “aku” dan “aku”
yang lain, antara “Aku” dan “Aku-Liyan”. Siapa aku siapa liyan, sungguh bisa
berbalik posisi. Ketika memainkan peran, maka “Aku” aktor menjadi liyan bagi
“Aku” tokoh, demikian sebaliknya. Aktor, dalam pendekatan akting realis, musti
mampu berlaku demikian. Bermain dalam tegangan dengan sadar, rileks, total, dan
meyakinkan sekaligus.
Ini merupakan
sejenis liburan sebab pergi ke situasi yang tak biasa. Malah boleh jadi bermain
peran adalah sejatinya liburan sebab melibatkan segenap ke-manusia-an secara
total.
Kalau liburan
menghendaki dampak positif setelahnya, bagaimana dengan seni peran ini? Seturut
dengan liburan yang dipahami khalayak, yang diharapkan membawa dampak positif
itu, demikian pula akting. Seni peran ini janganlah tamat usai lampu panggung
padam saja. Akting ini jangalah usai bersama riuh tepuk tangan penonton selesai
juga. Bagi sang aktor, akting ini sejatinya justru berdampak positif bagi
kehidupan kesehariannya.
Setelah sang
aktor liburan ke tubuh, ke pikiran, ke emosi, ke situasi liyan yang lain itu,
ia akan kembali “menjadi Aku”. “Aku” dengan kualitas yang lebih baik tentunya.
Bagaimana
liburan itu bisa membawa dampak positif? Usai meninggalkan “Aku” sedemikian
waktu, jika benar-benar secara total memasuki “Aku-Liyan” itu, tentu ada satu
dua hal yang bisa dibawa pulang.
Totalitas
menjadi “Aku-Liyan“ akan mengakibatkan lahirnya pengalaman. Nah, pengalaman
sebagai “Aku-Liyan” ini adalah “oleh-oleh” berharga yang bisa memperkaya
pengalaman batin dan intelektualitas aktor. Bahwa mungkin spiritualitas. Hal ini
bila disadari dan dikelola dengan tepat bisa berdampak positif bagi kualitas
diri sang aktor.
Pengalaman yang
diperoleh bukan hanya ketika bermain sebagai tokoh, namun terutama sekali
ketika proses menjadi tokoh itu sendiri. Proses latihan sejatinya ruang
belajar, ngaji. Ini yang penting. Liburan
yang sebenarnya bukan di atas panggung, disoroti lampu dan ditepuki penonton. Justru
ketika proses “menjadi aku” itulah liburan sang aktor sebenarnya.
Makin banyak
“Aku-Liyan” yang dikunjungi, yang dilancongi, makin banyak pula “oleh-oleh”
yang bisa dibawa pulang, buat menyusun dan memperkaya “aku” agar kelak menjadi
“Aku-Otentik”.
“Aku-Otentik”
tentu tidak mudah. Gelas harus kosong agar bisa diisi air. Demikian pula aktor,
harus mampu menjadi “kosong” agar “berisi”. Terlalu penuh juga tidak baik,
nanti luber. Seperti gelas kosong yang
diisi terlalu banyak air, kan akhirnya luber tak karuan. Jam terbang itu
penting, tapi frekuensi juga harus diperhatikan. Musti ada jeda antara liburan
satu ke liburan yang lain. Kalau tanpa jeda sama sekali, seperti pemain peran
sineton atau FTV, atau beberapa pemain peran film, bukan “oleh-oleh” yang
diperoleh, namun hanya rasa lelah.
Alih-alih
berlibur, seni peran justru jadi pekerjaan yang menjemukan meski berganti-ganti
peran. Aktingnya pun jadi garing, cangkang saja. Lihat saja pemain sinetron
kejar tayang itu! Yang aktingnya bukan saja tidak meyakinkan, namun cenderung
dipaksakan. Menjemukan!
Mungpung masih
Desember, masih musim liburan, berliburlah agar tidak jemu dan menjadi orang
yang menjemukan. Selamat liburan!
Panjalu, 27 Desember 2019
(foto ilustrasi: "Kopi Terbalik Di Pantai Pangandaran". Dokumentasi pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar