Kamis, 28 November 2019

Perlukah Dewan Kebudayaan?


Beberapa daerah telah sejak lama memiliki dewan kesenian, sebuah lembaga independen yang bertugas mengurusi kesenian di daerah tersebut di luar pemerintah. Artinya lembaga ini adalah lembaga non-pemerintah. Otonom. (seharusnya) Independen. Lembaga ini dipandang sebagai wadah representasi seniman.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), boleh jadi adalah dewan kesenian paling populer. Selain karena sudah berusia lama, lembaga ini dianggap bekerja dengan baik sebab mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional meski dengan sekian banyak pro kontra. Kecuali itu, lembaga yang lahir pada 1968 ini juga diisi oleh individu-individu yang pengalaman dan kemampuan di bidang kesenian sudah sama-sama dikenal publik.

Banyak daerah yang menjadikan DKJ sebagai parameter dan model. Namun, tiap daerah tentu punya karakteristik dan persoalan yang berbeda-beda. Jakarta, sebagai sebuah metropolis merangkap ibu kota negara, tentu punya seabrek keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Di sana, kesenian sudah dipandang dan diperlakukan sebagai bagian dari gaya hidup urban. Dibutuhkan warganya, dan dengan demikian, perlu ada.   

Lain Jakarta, lain pula Jawa Barat. Di provinsi tetangga ibu kota negara ini, tidak ada dewan kesenian. Wacana pembentukannya memang sudah mengemuka sejak lama. Namun, entah mengapa, Dewan Kesenian Jawa Barat tak kunjung lahir.

Lain yang dinanti, lain pula yang datang. Alih-alih menanti kelahiran dewan kesenian, Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) lahir pada 2014 melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 39 tahun 2014. Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA., didapuk sebagai ketua periode 2014-2019.

Dalam perjalannya, DKJB sempat diprotes keras oleh seniman-seniman Jawa Barat, Bandung khususnya. Dipicu oleh robohnya sebagian gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) yang legendaris itu, seniman-seniman yang lantas membuat dewan tandingan bernama Dewan Kebudayaan Jeprut Jawa Barat itu melakukan aksi buligir di depan gedung YPK pada Juni 2016.


Aksi ini sebagai bentuk kritik pada Pemprov Jabar yang dianggap tidak becus dan serius mengelola kesenian di Jawa Barat, terutama dalam hal penganggaran dana. DKJB juga kena semprot. Sejak  dibentuk hingga saat itu, lembaga yang konon sebagai “juru bisik” gubernur dalam bidang kebudayaan tersebut belum juga berfungsi sebagaimana mestinya.  

Lebih kurang setahun setelah kejadian itu, UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan lahir. Katanya, ini angin segar bagi seniman sebab aturan ini menjadi payung hukum utama dalam bidang seni dan budaya. Salah satu klausulnya memuat tentang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang akan menjadi dasar penyusunan Strategi Kebudyaan.

Strategi Kebudyaan ini akan menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah. Demikian termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan.

Aturan pembentukan PPKD ini lebih lanjut diatur dalam Perpres no. 65 tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Dan Strategi Kebudayaan dan Permendikbud no. 45 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Agaknya regulasi inilah yang merangsang lahirnya dewan kebudayaan di tingkat kabupaten/kota. Lembaga ini yang lantas menjadi mitra pemerintah daerah dalam nyusun PPKD.

Salah satu daerah yang terangsang adalah kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pada 17 Juli 2018, sejumlah tokoh dikukuhkan sebagai anggota Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis (DKKC) di alun-alun Ciamis berbarengan dengan acara Galuh Ethnic Carnival. Dr. H. Yat Rospia Brata, Drs. M. Si. yang merupakan rektor Universitas Galuh, didapuk sebagai ketua.

Susunan kepengurusannya terdiri dari unsur Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Dan Olahraga Kabupaten Ciamis, seniman, akademisi, serta individu-individu yang dianggap mewakili sub-bidang kebudayaan.

Setelah setahun tanpa hasil kerja nyata, DKKC menyatakan telah merampungkan PPKD Kabupaten Ciamis. Penyusunan PPKD Ciamis ini terkesan dilakukan secara tertutup tanpa pernah ada sosialisasi sebelumnya, entah karena diburu tengat atau pertimbangan lain. PPKD Ciamis yang katanya telah rampung itu pun tak pernah disosialisasikan pada khalayak seniman dan tokoh budaya diluar lingkaran DKKC.

Namun, kerja DKKC menyusun dan merampungkan PPKD Ciamis tepat waktu perlu diapresiasi. Kecuali itu, berkutat di tataran konsep, perencaan, ide, dan gagasan tanpa ada aksi nyata, ini yang acap kali mengecewakan.

Menyoal lebih lanjut tentang dewan kebudayaan, membentuk sebuah lembaga kebudayaan untuk mengurusi dunia besar bernama budaya, terlalu ngarawu ku siku. Wilayah kerja kebudayaan sangatlah luas. UU Pemajuan Kebudayaan sendiri mendefinisikan kebudayaan sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”. Wow!

Dengan organisasi yang gemuk dan bidang kerja yang luas, dewan kebudayaan akan lamban bergerak dan akan banyak pula bidang yang merasa dianaktirikan. Perkara pelestarian hutan adat, konservasi macan tutul, bahasa, sastra, kesenian tradisi, teater kontemporer, hingga mengurusi grup musik punk jalanan, jika merujuk pada definisi kebudyaan versi pemerintah, adalah urusan dewan kebudayaan.

Memang, UU Pemajuan Kebudayaan membatasi Objek Pemajuan Kebudayaan hanya 10 saja: tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional. Namun, bila 10 bidang ini dibagi lagi menjadi beberapa rumpun, agaknya dewan kebudyaan perlu diganti nomenklaturnya. Sebagai gantinya, harus ada lembaga-lembaga yang lebih spesifik mengurusi satu atau beberapa bidang dalam satu rumpun.

Mari berandai-andai. Jika dewan kebudayaan dibubarkan dan dipecah menjadi lembaga-lembaga yang lebih ramping, merujuk pada 10 Objek Pemajuan Kebudyaan tersebut, setidak-tidaknya akan terbentuk dua lembaga sebagai berikut:

1. Lembaga/Dewan Adat Dan Tradisi. Bidang kerjanya meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus,  pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

2.  Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa. Bidang kerjanya meliputi seni dan bahasa.

Apa yang menjadi dasar pemecahan seperti itu? Bidang kerja yang diurusi Lembaga/Dewan Adat Dan Tradisi merupakan tinggalan budaya lama yang cenderung statis. Kalaupun dimungkinan berubah dan berkembang, perlu banyak sekali pertimbangan sebab berkaitan dengan pelestarian dan konservasi. Sedangkan seni dan bahasa yang diurusi oleh Lembaga/Dewan Kesenian Dan Bahasa merupakan bidang yang sangat dinamis, nyaris selalu baru dan berkembang, dan memang demikian karakteristik seni dan bahasa.

Ada dua cara kerja dan pola pikir yang berbeda, antara pelestarian dan pengembangan. Yang bertugas melestarikan, ya, fokus saja melestarikan agar benar-benar lestari. Yang bertugas mengembangkan, seriuslah mengembangkan agar benar-benar berkembang. Siapa yang menjadi penyambung dan penengah? Idealnya pemerintah. Masyarakat musti didorong untuk fokus pada satu rumpun bidang, agar hasilnya maksimal.

Dengan pembagian tiga bidang seperti itu: pelestarian, pengembangan, dan penengah di antara keduanya, justru itulah yang dinamakan harmoni. Tidak pacorokokod dan ngarawu ku siku.

Prof. Drs. Jacob Sumardjo, seorang ahli ilmu budaya, menggolongkan kebudayaan Sunda sebagai kebudyaan pola 3. Semuanya serba tiga. Dua paradoks, sedangkan satu merupakan penyatuan keduanya, semacam sintesis dalam terminologi Dialektika Hegel. Bila memang demikian adanya, bukankah pembagian tiga wilayah kerja ini sesuai dengan tuntunan leluhur?

Jadi, tidak semua daerah harus mencontoh sistem dan gaya DKJ dalam mengelola hal ihwal seni-budaya. Tiap daerah punya kearifan lokal. Bentuk (form) di masa lampau harus mampu bertransformasi ke dunia kontemporer dengan tetap utuh mempertahankan nilai (value) sebagai identitas.

Panjalu, 28 November 2019

keterangan gambar: infus obat. dokumentasi pribadi

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...