Selasa, 30 Maret 2021

"Geblug”. Siapa/Apa Yang Jatuh? Siapa/Apa Yang Absurd? Oleh-Oleh Menonton Malu-Malu Hatedu: “Geblug” Produksi Ngaos Art

 

Sepanjang jalan pulang dari Studio Ngaos Art ke rumah, ditemani gerimis, saya terus menimbang-nimbang. Merenungkan. Mengunyah dan kembali mengunyah pertunjukan “Geblug” yang tuntas saya tonton malam itu, Sabtu, 27 Maret 2021.

 

“Geblug” adalah adaptasi bebas sutradara AB Asmarandana dari drama “Bencana” karya Samuel Beckett. Menilik kecenderungan Abuy—sapaan akrab AB Asmarandana—yang kerap berikhtiar membumikan teater di tempat ia berpijak, besar kemungkinan “Geblug” yang dimaksud dipinjamnya dari bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata geblug digolongkan kecap panganteur ‘kata pengantar’. Kata ini khusus untuk “mengantar” kata jatuh (labuh). Geblug labuh. Siapa/apa yang jatuh malam itu?

 

Di masa pandemi ini, kecuali industri farmasi, penjual pulsa, paket data, wifi, serta bisnis aplikasi dalam jaringan tertentu, semuanya jatuh. Moral juga. Khususnya sejumlah pejabat di Tanah Air. (Eh, salah. Moral mereka sudah jatuh sejak jauh-jauh hari sebelum Corona menerjang. “Banyak yang main drama di luar panggung,” demikian dialog Bu Mimi dalam “Geblug”.)

 

Teater juga jatuh. Beberapa seniman dan kelompok teater sampai nyungseb. Tak berdaya dalam arti sebenarnya. Geblug.

  

Diciptakan khusus untuk dipentaskan pada momen Hari Teater Sedunia (Hatedu), “Geblug” dapat dimaknai sebagai jatuhnya teater. Dari panggung ke ruang-ruang virtual. Dari “panggung normal” ke “panggung darurat”. Atau ke kesepian sama sekali. Panggung sepi. Lampu-lampu mati. Aktor nganggur. Sutradara bengong. Geblug, teater jatuh.

 

“Geblug”nya Ngaos Art tidak sendiri. Ia juga punya “kecap panganteur”: Malu-Malu Hatedu. Makin jelas siapa yang jatuh. Hatedu yang biasanya diperingati meriah, penuh keyakinan dan percaya diri, kini harus secara malu-malu. Penonton dibatasi. Harus jaga jarak pula.

 

Meski malu-malu, “Geblug” tidak malu-maluin. Pertunjukan dibuka dengan video tentang latar belakang peringatan Hatedu yang dicetuskan International Theater Institute pada tahun 1961. Penonton juga diajak “ziarah” ke reruntuhan theatron kuno di Yunani dan Colosseum di Italia. Tentu saja via layar besar yang disorot proyektor yang juga berfungsi sebagai latar panggung.

 

Setelah jalan-jalan ke tempat bersejarah itu, penonton diajak mengenal wajah para karuhun ‘leluhur’ teater dunia dan Indonesia. Wajah William Shakespeare, Stanislavsky, Bertolt Brecht, Bernard Shaw, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Rendra, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rachman Sabur, dan tokoh teater lainnya hadir silih berganti di layar besar itu. Aya ma baheula hanteu tu ayeuna, kata Amanat Galunggung. Karena ada masa lalu maka ada masa kini.

 

Kapan pertunjukan dimulai? Apakah slide-slide itu juga bagian dari pertunjukan? Semacam “kecap panganteur”?

 

Pertunjukan dimulai ketika sutradara dan penonton menganggapnya dimulai. Slide-slide itu, buat saya, bagian dari pertunjukan juga. Justru penting. Ia memberi konteks pada “Geblug”: Hari Teater Sedunia.

 

Setelah “kecap panganteur”, lima pemain bertopeng setengah wajah muncul (Jimat, Alvin, Mimi, Kahfi, Rizky). Rambut mereka adalah tali rapia berbagai warna. Meski sama-sama berbusana keresek hitam, topeng dan rambut mereka berlainan. Mereka memainkan potongan “Menunggu Godot”nya Beckett. Bagian awalnya. Tentang pencarian.

 


Tak begitu lama mereka “Menunggu Godot”. Adegan berikutnya adalah potongan atau fragmen dari “Kereta Kencana”nya Eugene Ionesco. Juga bagian awalnya, sampai pada dialog “…akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua”. Tentang harapan dalam penantian.

 

Apa yang dinanti Kakek dan Nenek “Kereta Kencana” terjawab di fragmen berikutnya: “Nyanyian Angsa”. Para pemain bertopeng setengah wajah itu sebagiannya berubah menjadi set. Dua di antara mereka menjadi Vasili dan Nikita Ivanitch. Drama karya Anton Chekov ini mengisahkan seorang aktor tua yang sepenuhnya membaktikan diri kepada panggung, yang kaya akan pengalaman pentas, namun perlahan tapi pasti ditinggalkan penonton di usia senjanya. Decak kagum dan tepuk tangan tak semeriah dulu. Vasili mati dalam sepi. Persis seniman teater di masa pandemi. Kisah kesepian.

 

Untuk beralih dari satu fragmen ke fragmen lain, sutaradara membuat adegan jembatan. Atau transisi. Alih-alih menikmati perjalanan di tengah jembatan yang khas, adegan-adegan transisi yang dihadirkan cenderung tergesa-gesa. Seperti wajib pendek dan cepat, tapi harus cair (dan menjadikan cari).

 

Transisi yang take off dan landing-nya paling nyaman adalah perpindahan dari “Nyanyian Angsa” ke “Bencana”. Itu pun jika adegan tersebut dimaksudkan transisi. Durasinya paling panjang di antara adegan transisi yang lain. Di sana, semua pemain membuka topengnya dan menjadi “diri sendiri”. Selayaknya aktor yang rehat latihan, mereka minum, merokok, dan bercanda, sambil sesekali menertawakan nasib mereka sendiri sebagai “anak panggung”.

 


Satu dua dialog berisi kritik kepada penonton teater yang kadang terlalu bersemangat mengomentari pertunjukan sebelum tuntas mengunyahnya. Juga kritik pada kondisi teater sendiri. “Atap bocor? Tambal dengan puisi,” katanya. Berdempetan dengan dialog tentang habisnya beras di sekretariat mereka, menambal atap bocor dengan puisi bikin penonton—yang sebagian besarnya penggiat teater—nangis dengan tawa. Geblug.

 

Pada adegan ini, penonton dengan daya tangkap kelas receh macam saya sedikit demi sedikit ngeh. Oh, fragmen-fragmen yang tadi mereka mainkan itu adalah bagian dari latihan mereka sebagai aktor. Jadi, ada drama dalam drama. Lima aktor berlatih drama “Menunggu Godot”, “Kereta Kencana”, dan “Nyanyian Angsa” dalam drama “Bencana”. Sederhananya, itulah cerita “Geblug”.

 

Sayangnya, meski aktor-aktor itu berakting dan bernyanyi dengan total, sutradara tidak menghendaki mereka berada di panggung. Ketika para aktor itu asik ngobrol, aktor utama (Ikhsan Kumis) datang. Lalu sutradara (Kiki “Kido” Pauji). Mereka mempresentasikan hasil eksplorasi, menyanyikan lagu prihal bencana alam dan bencana lainnya.

 

“Ini kontekstual,” kata asisten sutradara (Wawam Nur). Tapi sang sutradara bertopi  copet abu itu tak terima. Dengan ringan ia menyuruh asistennya untuk tidak lagi memainkan mereka di atas pentas. Di panggung tinggal sutradara, asisten, dan aktor utama.

   

Dalam banyak tradisi kelompok teater di dunia, termasuk di Indonesia, sutradara adalah sentral dari segalanya. Kata-katanya seakan sabda tak terbantahkan. Keinginan dan cita rasa estetiknya adalah jalan kebenaran tak terinterupsi. Aktor kadang kala tak ubahnya bak boneka dalam arti sesungguhnya. Sutradara adalah dewa tanpa cela.  

 

Sutradara macam inilah yang digambarkan dalam “Bencana”nya Beckett. Juga dalam “Geblug”. Sutradara maniak estetika yang sering kali sebelas dua belas dengan “…penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian,” meminjam “Sajak Sebatang Lisong”nya Rendra.

 

Benang merah “Bencana” masih terjaga seperti teks aslinya. Adaptasinya lebih pada menambah adegan di depan. Memberi konteks. “Bencana”nya Beckett “dipinjam” untuk menyalurkan kegelisahan “bencana” versi penggarap.

 

“Bencana” itu berlatar sesi latihan terakhir pertunjukan. Sutradara memeriksa hasil kerja asistennya. Di depannya, seorang aktor berdiri mematung di atas sebuah balok kayu. Ia menanyakan sekaligus mengoreksi banyak hal tentang kostum, rambut, topi, tangan, dan arah pandangan sang aktor kepada asisten.

 


Segala yang dikerjakan asisten dirombaknya habis-habisan. Sekilas saja penonton dapat mengerti bahwa sutradara semacam itu patut disebut sutradara otoriter. Sementara sang aktor manut saja tanpa tawar-menawar. Apalagi memberontak. Di penghujung, sutradara menganggap “hasil ciptaannya” mantap lalu terdengarlah suara penonton bertepuk tangan. Ia pergi. Sambil mengangkat kepala menatap kepergian sutradara, aktor itu bilang, “bajingan, belum juga kau menghabisiku.”

 

Sebagaimana garapan Abuy sebelum-sebelumnya yang kaya akan lagu, “Geblug” pun begitu. Lagu ada di awal, tengah, dan akhir. Yang terakhir, liriknya berisi bencana wabah dan sejumlah bencana alam: banjir, gempa, badai, naiknya permukaan air laut, gunung meletus. “Sampai begitu mata terbuka, kita tak lagi melihat manusia,” demikian lirik terakhir di lagu pamungkas. Geblug. Manusia jatuh karena bencana.

 

Apa sih yang ingin disampaikan sutradara?

 

Jawaban pertanyaan itu saya juga tidak tahu. Harus tanya ke Abuy langsung. Saya enggan bertanya. Ngga asik bertanya tentang maksud sebuah karya seni langsung pada seniman kreatornya. Kecuali senimannya bocor: setelah berdarah-darah menciptakan karya, cermat, teliti, dan hati-hati menggunakan simbol, ujung-ujungnya dijelaskannya juga secara verbal.

 

Kalau masih bertanya juga, apa artinya menonton? Mengapresiasi? Sebagai penonton kelas receh, saya hanya berikhtiar memahami apa yang saya tonton dengan segala keterbatasan saya.

 

Seperti saya tulis di atas, secara singkat “Geblug” bisa saja dikunyah cepat tentang lima aktor nu teu kapaké ku sutradara yang otoriter. Ia malah memilih mematut-matut aktor utama semaunya sendiri. Ditawari hal kontekstual, ia enggan. Geblug. Aktor tak berdaya. Seniman dan kesenian jauh dari kehidupan. Geblug.    

 


Tapi masa iya cuma itu? Sebagai penonton, saya, dan juga barangkali yang lain, kan bertanya: kenapa memilih fragmen lakon-lakon absurd? Kenapa tidak lakon realis saja biar gampang dikunyah? (Eh, siapa bilang realis gampang dikunyah? Drama realis juga terkadang berlapis-lapis. Persis kehidupan.)

 

Ketika ngobrol santai usai pertunjukan, Abuy bilang bahwa kecuali “Bencana”, semua lakon yang fragmennya dimainkan itu pernah ia pentaskan. Semacam nostalgia di Hatedu.

 

Saya tidak puas jika “Geblug” sekedar romantisme personal sutradara belaka.

 

“Geblug” adalah gambaran absudrnya dunia hari ini. Barangkali juga termasuk (kondisi) teater. Orang-orang mencari sesuatu yang bahkan tak diketahuinya secara pasti (“Menunggu Godot”). Lelah mencari, mereka (atau kita?) menanti. Dalam penantian yang juga tak pasti itu, mereka/kita berharap sesuatu itu datang (“Kereta Kencana”). Tapi, setelah semua dilalui, yang dinanti itu tak kunjung tiba. Ujung-ujungnya, sendiri dalam sepi (“Nyanyian Angsa”). Semua adalah sia-sia, seperti aktor yang mati-matian latihan tapi sutradara tak berkenan (“Bencana”).

 

Geblug.

 

Seperti drama realis yang kadang berlapis-lapis, “Geblug” juga begitu. Bencana yang dimaksud bukan cuma bencana absurditas manusia, tapi juga bencana lainnya. Kontekstulisasi “Bencana” dengan kondisi hari ini dilakukan lewat lagu yang isi liriknya tentang bencana, alam dan non alam, yang bertubi datang silih berganti.

 

Lapis dan kontekstualitas yang lain, Malu-Malu Hatedu: “Geblug” juga dipentaskan dalam rangka penggalangan donasi untuk pengobatan dan perawatan Mas Gajah, seorang aktivis budaya Tasikmalaya yang beberapa waktu lalu geblug juga. Ia kena bencana. Kecelakaan motor. Kelingking kaki kirinya harus diamputasi. Beberapa ruas tulang di kaki kirinya patah.

 

Dengan ini, Abuy dan Ngaos Art menolak bencana: terpisahnya kesenian dari kehidupan.

 

(Tak lama setelah “Geblug” pentas, Indonesia kembali diterjang bencana. Bom meledak di depan Gereja Hati Yesus Yang Maha Kudus (Gereja Katedral) Makassar, Sulawesi Selatan. Itu bencana juga. Bencana kemanusiaan. Geblug lagi.)

 


Sekilas “Bencana” karya Samuel Beckett

 

Teks ini pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis pada tahun 1982 dengan judul “Catastrophe”. Pada tanggal 21 Juli 1982, “Catastrophe” dipanggungkan untuk pertama kalinya dalam sebuah festival seni di Prancis, Festival d’Avignon. Dua tahun berikutnya, versi bahasa Inggrisnya dipublikasikan The Evergreen Review di Amerika Serikat.

 

Naskah ini didedikasikan Beckett untuk kawannya sesama dramawan asal Ceko, Václav Havel. Havel adalah seorang dramawan, penulis, sekaligus politisi. Melalui drama-dramanya, ia mengkritik pemerintahan komunis Cekoslowakia yang otoriter.  Seperti umumnya nasib seniman kritis di negeri tiran, ia dipenjara karena lantang bersuara.

 

Havel termasuk aktor utama dalam Revolusi Beludru, revolusi tanpa kekerasan di Cekoslowakia pada tahun 1989 yang mengakhiri kekuasaan komunis di negeri Eropa Tengah itu. Di tahun yang sama, ia didaulat menjadi Presiden Cekoslowakia ke-10. 1 Januari 1993, negara ini bubar dan pecah menjadi dua, Republik Ceko dan Republik Slowakia. Havel menjadi Presiden Republik Ceko yang pertama dan menjabat sampai tahun 2003.

 

“Catastrophe” menggambarkan betapa otoriternya Cekoslowakia di bawah pemerintahan komunis. Aktor atau yang dalam teks aslinya disebut protagonist adalah simbol dari warga negara. Sementara sutradara, asisten, dan operator lampu adalah simbol dari “diktator proletar”.

 

Demikian represifnya negara terhadap warganya. Apa yang dikehendaki sutradara terhadap sang aktor adalah apa yang dikehendaki negara otoriter terhadap warganya. Kepasrahan. Ketakberdayaan. “Semua kutandai ke arah kematian,” kata sutradara dalam satu dialog. Warga negara, perlahan atau segera, ditekan sampai-sampai menuju “ke arah kematian”.

 

Hal ini disimbolkan Beckett secara jelas dengan mengikat tangan aktor dan memintanya menundukan kepala. Jelas, itu tanda tunduk-patuh. Ketika sang asisten mengajukan ide mulut aktor disumbat agar tak bersuara, sang sutradara menolak. Ia bukan kasihan. Melainkan yakin dengan mantap: tanpa sumbat mulut pun, aktor (baca: warga negara) tidak akan bersuara. “Tidak secicit pun,” katanya.

 

Menjelang tamat, asisten mengajukan ide agar kepala aktor sedikti mengangkat. Sutradara murka. Pada bagian ini muncul kata “bencana” dari mulut sutradara: “Ya tuhan! Apa lagi? Mengangkat kepalanya? Kau pikir di mana kita? Di Patagonia? …Baik. Di sanalah bencana kita…”

 

Dalam konteks “Catastrophe” menyebut Patagonia sebagai bencana berarti merujuk Pemberontakan Patagonia atau Patagonia Trágicia. Pemberontakan Patagonia adalah sebutan untuk pemogokan pekerja peternakan domba sekaigus pabrik wol dan penindasan terhadapnya oleh pemerintah yang terjadi antara tahun 1920-1922 di provinsi Santa Cruz, Argentina. Sekitar 300-1.500 pekerja tewas dibantai aparat, termasuk mereka yang telah menyerah.

 

Peristiwa itu dilatarbelakangi krisis ekonomi yang mendera Patagonia-Argentina pasca Perang Dunia I. Usai perang, harga wol turun drastis gara-gara rendahnya permintaan pasar. Argentina yang menjadikan peternakan domba dan wol sebagai salah satu komoditas utamanya kelabakan. Krisis tak terelakan.

 

Para pemilik modal nyaris gulung tikar. Demi menyelamatkan perusahaan, mereka melakukan berbagai efisiensi. Akibat dari upaya ini, yang paling tersiksa adalah para pekerja. Akhirnya, mereka berontak, mengajukan sejumlah hal terkait perbaikan kerja. Salah satunya kenaikan upah dan minta agar libur ditambah. Saat itu hari libur hanya Minggu. Mereka minta agar tidak ada pekerjaan di hari Sabtu.  

 


Tuntutan ditolak. Serikat pekerja membalasnya dengan mengumumkan pemogokan masal. Kerusuhan pecah lantaran polisi bertindak semena-mena terhadap pekerja. Beberapa pimpinan serikat pekerja ditangkap. Dengan cepat kerusuhan menyebar. Kerusuhan dua tahun itu berhasil dipadamkan di bawah pemerintahan Presiden Hipólito Yrigoyen pada tahun 1922.

 

Ini adalah sejarah kelam Patagonia Argentina. Ketika warga negara “mengangkat kepala”, mendongak menatap negara, pada titik itu bencana terjadi. Pemerintah otoriter benci warga negara yang “mengangkat kepala”.

 

Hal ini yang hendak disampaikan Beckett. “Catastrophe” disebut-sebut sebagai naskah Beckett yang paling politis sekaligus optimis. Di akhir cerita, seperti yang saya sebut di atas, aktor mengangkat kepalanya, memastikan (suara tepuk tangan) penonton. Adegan “mengangkat kepala” ini adalah pesan kuat yang hendak disampaikan dramawan pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1969 tersebut. Warga negara, betapa pun nampak pasrah dan tak berdaya, akhirnya akan bangkit juga. Akan “mengangkat kepala” melawan tiran.

 

“Catastrophe”, ya, akhirnya geblug juga. Geblug, warga negara labuh. Tapi bangkit lagi. Seperti teater di masa Corona. Geblug. Tapi (harus) bangkit lagi. Demi hidup yang lebih baik.

 

Panjalu, 28-30 Maret 2021

Keterangan gambar: 

"Geblug", adaptasi bebas oleh sutradara Ab Asmarandana dari naskah "Bencana" karya Samuel Beckett. Produksi Ngaos Art, 26-27 Maret 2021. Dipentaskan di Studio Ngaos Art, Kota Tasikmalaya. (dokumentasi pribadi alias hasil motret sendiri).



Rabu, 24 Maret 2021

Tentang GKC dan (Gerakan) Kebudayaan (di) Ciamis Hari Ini

 


Di sebuah daerah yang dulu berdiri kerajaan besar nan mashur, Galuh, kini berdiri dengan megah sebuah gedung yang resminya bernama Gedung Kesenian Ciamis (GKC). Enam tahun silam saya menyebutnya sebagai sebuah ketololan kolektif untuk berbagai berbagai alasan. Di tahun 2021 ini, meski alasan-alasan itu masih ada, relevan, bahkan bertambah, saya tidak hendak menggunakan istilah itu lagi. Terlalu kasar. Tidak sopan. Khawatir ada yang merasa kurang nyaman. Saya juga kurang nyaman sebenarnya. Kolektif di sana berarti saya pun termasuk. Ikutan tolol. Astagfirullah.

 

Setelah enam tahun sejak diresmikan, saya nyaris lupa bahwa GKC ini patut dipersoalankan. Nyaris lupa sebab terkubur banyak hal. Yang terutama, saya sempat berpikir bahwa apa yang lakukan sia-sia belaka. Pemerintah Ciamis tidak akan pernah mendengar kritik saya sebab suara saya terlalu kecil. Saya tidak punya massa, bukan pula orang berpengaruh. Kecuali saya punya koneksi “orang dalem”, atau punya kekuatan massa, atau kekuatan cuan, atau kombinasi ketiganya sekaligus, kritik saya adalah suatu kesia-siaan.

 

Padahal, sejak diresmikan pada 2015 oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sampai beberapa waktu ke belakang, saya seirng kali menyoal bangunan 6 milyar rupiah ini. Oh, iya. Sekarang harganya naik. Ada gapura yang belum lama dibangun di pintu masuk GKC. Desas-desus, nilai proyeknya 100 juta rupiah.

 

Wah, kalau uang sebanyak itu dibelikan karpet peredam dinding, saya yakin uang kembaliannya masih cukup buat beli kain hitam selebar latar panggung. Mungkin juga masih cukup untuk membuat membeli karpet lantai, seperti di bioskop-bioskop, demi memperbaiki akustik gedung yang buruk.

 

Tapi, dengan dibangunnya gapura 100 juta itu, “sang pemilik gedung” pasti punya tujuan baik. Sayangnya, saya tidak tahu tujuan baik itu. Sayang sekali. Padahal, saya sungguh-sungguh ingin tahu tujuan baik “sang pemilik gedung” itu. Kalau pembaca sekalian yang budiman tahu, tolong kasih tahu saya. Bisa ditulis di kolom komentar di bawah tulisan ini. Di kolom komentar Facebook. Atau di mana saja. Sebaiknya tidak usah japri. Khawatir menimbulkan kecurigaan. Nanti ada yang kira kita main mata. GKC ini urusan publik, sebaiknya dibicarakan secara terbuka. Di ruang publik.

 

Dulu saya gemar sekali mengkritik GKC secara terbuka, ekspresif, bahkan demonstratif. Suatu ketika, Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Ciamis menyelenggarakan pertemuan. Saya lupa judulnya apa. Mungkin semacam workshop atau seminar. Pada sesi tanya jawab, saya mencak-mencak. Dengan meledak-ledak saya menanyakan siapa yang mendesain GKC dengan demikian buruk sehingga malfunction bila ditinjau dari standar gedung kesenian sebagaiaman umumnya. Saya ingin ketemu dengan orang itu. Ngobrol dengannya. Ketimbang bertanya, saya lebih mirip marah-marah atau orasi. Persis seperti orang demonstrasi. Dengan tidak terpantik emosi, Kepada Bidang Kebudayaan menjawab pertanyaan saya. Beliau tidak tahu siapa siapa desainernya. Sisa jawabannya saya lupa.    

 

Momen semacam itu, seingat saya, lebih dari sekali. Tiap kali menyinggung soal GKC, saya pasti serang pemerintah sebagai pihak yang saya anggap paling bertanggungjawab atas ketidakwarasan ini. Di koran juga begitu. Di blog juga begitu. Ketika kawan-kawan Sweat City Movement dan Ngatah Project menggelar acara kesenian pertama di “Gedung Kesunyian” itu pada 14 September 2019 sebagai sebentuk kritik, dengan bersemangat saya datang. Dengan bersemangat dan penuh gairah pula saya perform: mencuci aksara Gedung Kesenian dengan air yang dikumpulkan dari air apa saya yang dibawa penonton waktu itu. Ada yang yang menyumbang air mineral, kopi, es campur, dan sebagainya yang semua itu mereka muntahkan dari mulut mereka dan saya tampung jadi satu dalam botol air mineral. Menjijikan. Tapi tidak lebih menjijikan dari….ah, sudahlah, tidak baik kalau saya teruskan kalimat itu. Tiap muntahan air itu saya anggap niat baik segenap yang peduli. Sekaligus keresahan.

 

Ketika saya mulai bosan dan terlintas pikiran bahwa itu semua sia-sia, sejumlah kawan justru menggelorakan kritik itu dengan lebih segar, cadas, dan cerdas sejak 2019. Mereka adalah anak-anak muda Ciamis yang resah karena peduli. Di mata mereka, banyak hal ganjil berserakan di tempat tinggal mereka, Ciamis. Gedung kesenian itu salah satunya.

 

Mereka bukan anggota ormas. Tidak juga membawa bendera anggota Organinsasi Ekstra Kampus tertentu dengan idealisme, ideologi, dan corak tertentu. Di antara mereka memang ada yang anggota Organisasi Ekstra Kampus. Tapi dalam hal menggugat GKC, sependek ingatan saya, belum pernah ada satu organisasi pun yang bersuara keras secara konsisten dan teguh. Kenapa, ya?

 

Media juga. GKC hanya sesekali diberitakan sebagai hal yang disoal seniman. Dan itu cuma angin lalu buat pemerintah. Tidak pernah sampai jadi polemik. Tidak pernah jadi trending. Tidak pernah viral. Tahun 2016, saya pernah diminta menulis prihal GKC di sebuat koran lokal. Semacam press release sebab wartawan itu mengolahnya lagi. Sampai empat atau lima kali terbitan kalau tak keliru ingat.

 

Dengan sengaja wartawan itu “mengejar” orang-orang dinas yang dianggap terkait dengan pembangunan dan keberadaan GKC: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Dinas Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang; dan lain-lainnya. Saya tidak hapal betul siapa saja yang “dikejar”. Yang saya hapal dengan sangat baik, mereka, para pejabat yang dimintai keterangan itu, saling lempar tanggung jawab. Dan, saya menduga, pejabat mana pun, tidak ada yang menganggap hal ini sebagai persoalan. Semua baik-baik saja sejauh bos mereka tidak ngamuk. Mental ABS (asal bapa senang) masih jadi iman sebagian pejabat pemerintah di Tanah Air.

 

Polemik di koran kecil itu tidak panjang. Gaungnya lemah sebab itu koran kecil. Entah apa motivasi sesungguhnya sang wartawan mengangkat isu ini. Saya hanya tahu, dulu beliau pernah sekolah di jurusan seni. Dengan latar belakang itu, boleh jadi ada kepedulian lebih dalam dirinya terhadap kesenian. Terima kasih dan sehat selalu, Pak Wartawan!   

 

GKC bukan isu seksi. Lain halnya kalau yang disoal adalah bangunan lain yang “lebih mahal”. Bukan harga bangunannya. Tapi nilai jual isunya. Daya guncangnya. Sebetulnya isu bisa dibuat besar atau sebaliknya. Apalagi zaman pendengung (buzzer) kini. Kalau sudah besar sehingga viral, baru dilirik. Yang jadi soal, main dengan cara seperti itu butuh sumber daya yang besar. Cuan. Duit. Kecuali untuk hal-hal tertentu, besar kecilnya isu tergantung besar kecilnya sumber daya yang mem-back up.

 

Menggelindingkan suatu isu, pem-back up sumber daya itu pasti punya kepentingan dengan hal tersebut. Ini sudah masuk ranah politik. Banyak seniman (ngakunya) menjauhkan diri dari dunia abu-abu itu. Sayangnya, segala keputusan pemerintah, termasuk pendirian GKC, lahir dari dunia abu-abu itu: politik.

 

Di politik, kesenian tidak punya tempat. Seniman hanya dibutuhkan untuk hiburan semata. Aspirasi mereka dianggap cukup dibayar dengan “dana aspirasi”, bantuan dana sekian juta saja. Cuan. Urusannya selalu cuan. Belum pernah sampai level kebijakan. Padahal, kebijakan itu lebih mahal ketimbang “dana aspirasi” sebab berusia lebih panjang dari uang. Bisa menghasilkan lebih banyak uang juga. Idealnya. Jangkaunnya juga lebih luas, bukan cuma seniman atau kelompok seni tertentu saja. Dengan satu Peraturan Daerah (Perda) tentang kesenian, termasuk di dalamnya GKC, misalnya, ribuan seniman di Ciamis akan dapat merasakan dampaknya, langsung atau tidak langsung. Itu idealnya. Praktiknya, walah, entahlah.   

 

Sampai saat ini, setahu saya, meski dikritik lewat berbagai cara, pemerintah bergeming. Setidaknya kepada saya dan segelintir kawan seniman lain yang sering “berisik”. Orang-orang “berisik” ini, seperti yang saya tulis di atas, kebanyakannya adalah anak muda Ciamis. Energi mereka berada dalam status optimal. Dunia mereka beragam. Ada yang musisi. Ada penyair. Ada perupa. Ada mahasiswa. Ada guru. Komedian. Editor koran daring. Dosen. Peternak. Barista. Fotografer. Videograper. Pengusaha. Dan banyak lagi.

 

Pemikiran mereka juga bercorak-corak. Dan mereka, sependek saya mengamati, tidak pernah baku hantam atau bermusuhan gara-gara berbeda pendapat, hal yang justru sering dicontohkan orang dengan label “usia bijak” di Indonesia. Dengan ragam corak itu, kegemaran mereka yang sama adalah belajar. Bukan, Mereka tidak gila gelar. Mereka belajar lewat diskusi, nonton film, menyimak musik, membahas buku, dan lain-lain. Di kafe. Di jalanan. Di warung kopi. Di mana saja. Mereka membuka kepala, siap membagi dan menerima ide baru demi sesuatu yang mereka anggap baik. Sebagian menganggap mereka hanya jago “di meja” tapi loyo “di jalan”. Saya kira itu keliru. Mereka juga jago aksi. Tapi bukan dengan cara demonstrasi a la ormas atau persatuan mahasiswa. Mereka punya jalannya sendiri. Punya cara dan karyanya sendiri.

 

Secara politis, mereka boleh jadi receh, remeh, dan remah. Jumlahnya tidak banyak. Tidak pula membentuk organisasi tertentu. Sangat masuk akal pemerintah menyepelekan mereka saat ini.

 

Secara alamiah mereka saling bertaut karena punya peduli dan resah yang sama. Dan tepat itulah salah satu kekuatan besar mereka: tautan. Ketersambungan, kebertautan, adalah kunci. Tidak harus seragam sebab justru membunuh kreativitas. Yang penting saling kenal agar saling nyambung agar saling bantu. Saling peduli. Saling membesarkan tanpa harus ada yang menjadi kecil.

 

Mereka yang otentik ini kini mengarahkan fokusnya pada GKC. Mereka bikin performance, mendesai kaos khusus “Gedung Kesunyian Ciamis”, membuka ruang diskusi, membuat film documenter, membuat tautan-tautan baru, dan menularkan gagasannya ke sebanyak mungkin orang. Fenomena ini, saya kira, adalah suatu gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan kaum muda Ciamis. Apa yang mereka lakukan bisa menular dengan cepat. Ini zaman internet. Dan generasi mereka adalah penguasanya.

 

Terkait GKC, tuntutan mereka sederhana saja: fungsikan gedung ini sebagaimana namanya. Bukankah itu tuntuan yang wajar, masuk akal, dan sehat?

 

Saya menduga pemerintah sudah mengendus hal ini. Saya yakin pemerintah tahu GKC dipersoalkan oleh sejumlah orang. Bahkan sejak lama. Saya juga yakin, para pejabat terkait juga bukan orang bodoh yang tidak ngerti soal seperti ini. Saya duga mereka bukan bodoh tapi enggan. Ogah mengurusi GKC dan kesenian secara umum secara lebih serius dan berintegritas karena tidak masuk akal seturut logika ekonomi. Saya dengar, di atas kertas, biaya sewa GKC ini 3 juta rupiah untuk acara komersil dan 2,5 juta rupiah untuk non-komersil.

 

Kalau angka ini tertuang dalam peraturan resmi pemerintah, pasti ada hitung-hitungannya. Harusnya ilmiah. Mengukur pendapatan per kapita di Ciamis, keumuman tarif sewa gedung di Ciamis, rata-rata besar biaya produksi pertunjukan seni di Ciamis, iklim sponsorship pertunjukan seni di Ciamis, harga tiket pertunjukan di Ciamis umumnya, dan sejumlah data lain. Ingat, ini Gedung Kesenian! Gegabah, tidak realistis, dan bodoh jika menganggap sama antara (dapur) pertunjukan teater (di Ciamis) dengan (dapur) resepsi pernikahan, misalnya. Tidak realistis juga menganggap sama angka rata-rata laba hasil jual tiket pertunjukan dengan hasil jual tiket film di bioskop.

 

Sangat menjijikan rasanya jika 2,5 juta dan 3 juta itu hanya hasil tebak-tebakan atau asumsi yang tidak ilmiah dan realistis. Sayangnya, saya tidak tahu hitung-hitungan ilmiah mereka sehingga muncul hasil 2,5 juta untuk non-komersil dan 3 juta untuk komersil. Tapi saya berbaik sangka, angka itu hasil perhitungan ilmiah dan realistis yang sangat cermat. Hanya saja, sekali lagi, tidak saya ketahui.

 

Lepas dari semua itu, gerakan kebudayaan kaum muda Ciamis akan terus bergulir. Membesar. Dan terus membesar. Setidaknya itu yang saya yakini. Gerakan ini tidak akan pungkas di meja audiensi Bupati atau ngopi bareng anggota DPRD. Ini gerakan kebudayaan. Ia akan terus ada dan mengalir. Ini kehendak zaman. Kebudayaan, termasuk kesenian, di Ciamis, tidak lagi cukup dipandang hanya kebudayaan lama, hanya seni-seni tradisional saja.

 

Purifikasi kebudayaan adalah kesia-siaan sebab bertentangan dengan kodrat kebudayaan itu sendiri yang pada dasarnya hibrid. Apalagi dalam konteks Nusantara. Dalam konteks Ciamis. Dalam konteks Galuh. Pemerintah, khususnya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga, serta Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis, sudahkah punya visi tentang hal ini? Apa kabar pula Dewan Kebudayaan Ciamis? Atau Anda sekalian memilih menghindar, mengkhususkan diri mengurusi kebudayaan masa lalu saja?

 

Dengan atau tanpa dialog terbuka antara pemerintah dan seniaman soal GKC atau soal kebudayaan-kesenian secara umum, gerakan kebudayaan ini adalah keniscayaan. Hari ini boleh jadi masih receh, remeh, dan remah. Tapi tidak sampai satu tahun lagi, ia akan tumbuh, menjalar, bertambah, tumbuh secara eskponensial. Yang diguncang bukan lagi dan bukan saja bangunan fisik, tapi kesadaran. Yang digoyang adalah kebudayaan itu sendiri.

 

Bukan. Ini bukan tentang aksi massa atau demonstrasi. Ini adalah tentang membuka simpul-simpul yang menyumbat dalam kesadaran. Panjang umur kesadaran. Panjang umur kesenian.

 

Ars Longa, vita brevis!

 

Panjalu, 24 Maret 2021

keterangan gambar:

Judul: Edvard Munch Minion The Scream Fine Art Portraits Posters 5383

sumber: https://www.flickr.com/photos/93779577@N00/19315356431 


Minggu, 07 Maret 2021

Bahasa, Soal Manusia Memandang Diri dan Dunia

 

Sejak tahun 2000, berbagai negara di dunia memperingati 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) setelah PPB menetapkannya pada 17 November 1999. Tanggal itu dipilih untuk menghormati korban Gerakan Bahasa Bengali, suatu gerakan yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis pada tahun 1950-an di Pakistan Timur.

 

Gerakan Bahasa Bengali tak bisa dilepaskan dari sejarah lahirnya negara Pakistan dan Bangladesh. Tahun 1947 Pakistan memperoleh kemerdekaan dari Imperium Britania Raya. Kala itu wilayah Pakistan terbagi dua, Pakistan Barat (sebelah barat India, kini menjadi Republik Islam Pakistan) dan Pakistan Timur (sebelah timur India, kini menjadi Republik Rakyat Bangladesh).

 

Dua wilayah ini sepenuhnya berbeda secara geografis dan budaya, termasuk bahasa. Satu hal yang menyatukan mereka adalah agama. Mayoritas penduduk di kedua wilayah sama-sama beragama Islam.

 

Setahun setelah berdiri, Pemerintah Pakistan, yang dikuasai penutur bahasa Urdu dari Pakistan Barat, mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional Pakistan. Penduduk Pakistan Timur yang merupakan penutur bahasa Bengali keberatan dan melakukan melakukan berbagai aksi protes. Demi memperjuangkan aspirasinya, pada tahun 1951 mereka mencetuskan Gerakan Bahasa Bengali.

 

21 Februari 1952, sejumlah mahasiswa Universitas Dhaka dan aktivis politik melakukan demonstrasi menuntuk diakuinya bahasa ibu mereka sebagai bahasa nasional. Dalam situasi kacau dan makin memanas, sejumlah demonstran ditembaki aparat keamanan hingga meregang nyawa.

 

Tahun 1956, Pemerintah Pakistan akhirnya mengakui bahasa Bengali sebagai bahasa nasional. Namun, keributan antar penutur bahasa Urdu dan Bengali tak juga mereda. Puncaknya, tahun 1971 pecahlah Perang Kemerdekaan Bangladesh yang lantas melahirkan sebuah negara berdaulat berpenduduk mayoritas penutur bahasa Bengali, Republik Rakyat Bangladesh. 

 

Tahun 1998, seorang ahli bahasa, sastra, dan budaya Bengali, Rafiqul Islam dan Abdus Salam, seorang insinyur kelautan berdarah Bengali yang tinggal di Kanada, mengusulkan kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan untuk membuat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional.

 

Selain demi melestarikan dan menghormati bahasa ibu, peringatan ini dianggap penting demi terpupuknya sikap toleransi. Tragedi berdarah Gerakan Bahasa Bengali janganlah sampai terulang kembali.   

 

Usul itu diterima. Tanggal 17 November 1999 PBB menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional merujuk pada peristiwa berdarah Gerakan Bahasa Bengali di Dhaka pada tahun 1952.

 

Komposisi Bahasa

 

Bahasa ibu tidak sama dengan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikenal seseorang untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga. Dalam konteks Indonesia, bahasa daerah merupakan istilah yang merujuk pada bahasa yang digunakan suku bangsa tertentu untuk berkomunikasi dengan sesamanya.

 

Namun, karena pada umumnya bahasa yang kali pertama diperkenalkan adalah bahasa daerah, maka bahasa ibu seringkali dimaknai sebagai bahasa daerah. Anggapan ini tentu masih bisa diperdebatkan, terlebih jika melihat kondisi zaman kini, khususnya di perkotaan.

 

Karena sejumlah alasan, para orang tua yang lingua franca masa kecilnya bahasa daerah lebih sering berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris meski mereka masih fasih berbicara bahasa daerah.

 

Akibat kondisi ini, bahasa daerah tergeser menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di beberapa kelompok masyarakat, bukan bahasa Inggris, tapi bahasa Arab yang menjadi bahasa kedua. Alasannya, agama. Dulu, sebelum bisa berbahasa Indonesia dan bahasa asing, anak-anak pasti terlebih dahulu menguasai bahasa daerah. Kini, kondisinya terbalik.

 

Demi melestarikan bahasa daerah, tidak mungkin juga negara memaksa para orang tua untuk menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya atau ketika berada di lingkungan keluarga. Janganlah lagi negara menambah panjang daftar intervensinya ke ranah privat warga negara.

 

Yang masih mungkin, negara menganjurkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di lembaga-lembaga pendidikan negeri. Selain sebagai upaya pelestarian, hal ini juga akan mendorong bahasa daerah berkembang sebab mau tak mau musti beradaptasi secara langsung dengan “bahasa akademik dan ilmiah” yang—sebagaimana diketahui bersama—nota bene bersumber dari belahan bumi bagian barat.

 

Bahasa daerah yang diyakini memiliki kekayaan ungkapan rasa akan berjumpa dengan bahasa ilmiah yang cenderung dingin, rigid, dan baku. Bisa dibayangkan betapa asiknya belajar teori relativias Einstein, fisika kuantum, atau biologi molekuler menggunakan bahasa Sunda Ciamisan, umpamanya.

 

Hal ini tentu bukan tanpa masalah. Pelajar-pelajar pindahan atau “anak rantau” yang bukan penutur bahasa daerah tempat ia menimba ilmu akan kesulitan. Pada praktiknya, kebijakan ini tentu harus menimbang banyak aspek. Salah satunya, komposisi pelajar di lembaga bersangkutan berdasarkan penguasaan bahasa daerah setempat.

 

Di kota-kota besar atau di lembaga pendidikan tinggi yang pelajarnya berasal dari berbagai berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, agak sulit menerapkan kebijakan ini. Tapi di daerah yang komposisi pelajarnya cenderung homogen, hal ini masih memungkinkan.

 

Hal lain yang mungkin dilakukan negara adalah upaya penerjemahan buku-buku tertentu ke dalam bahasa daerah. Misalnya saja, menerjemahkan buku populer Sapiens, A Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari ke dalam bahasa Bakati’ (Kalimantan Barat).

 

Pertanyaan besar dibalik semua upaya tersebut adalah tepatkah komposisi bahasa yang kini berlaku di Indonesia? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kini bahasa daerah telah menjadi bahasa ketiga, atau bahkan keempat, dalam kehidupan keseharian masyarakat perkotaan di Indonesia. Hidup di Indonesia hari ini berarti hidup di antara bahasa Indonesia (bahasa nasional; bahasa pemersatu; lingua franca masyarakat di perkotaan), bahasa Inggris (bahasa internasional; bahasa ilmiah/akademik; bahasa “keren-kerenan”), bahasa Arab (“bahasa agama mayoritas”), bahasa daerah (lingua franca masyarakat di daerah), dan bahasa asing selain Inggris dan Arab (dipelajari untuk kepentingan tertentu).

 

Meski pada akhirnya kelangsungan dan kelestarian suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh penuturnya, namun dalam konteks Indonesia yang majemuk dan hibrid, negara perlu memikirkan racikan komposisi bahasa yang pas demi terwujudnya manusia Indonesia yang utuh.

 

Bahasa Adalah Alam Pikir Manusia

 

Bahasa menentukan bagaimana alam pikir manusia bekerja. Atau dalam formula lain, bahasa mencerminkan bagaimana seseorang berpikir. Bahasa Sunda mengenal sejumlah istilah untuk menyebut kegiatan yang dalam bahasa Indonesia disebut makan.

 

Tuang bermakna ‘Anda makan’. Neda bermakna ‘saya makan’. Dahar bermakna makan namun dengan kesan tertentu, bisa terkesan akrab atau kurang sopan dalam situasi tertentu. Madang juga bermakna makan dengan kesan tertentu: akrab, tidak sopan (lebih tidak sopan dari dahar), bahkan kurang ajar. Ada pula kata nyatu (kata makan untuk hewan), tetegek, jajablog, ngalebok, dan lain sebagainya.

 

Satu kata bisa memiliki banyak kesan, tergantung siapa berbicara kepada siapa dalam situasi apa. Secara umum kata tuang memiliki kesan sopan, namun bisa pula terkesan kaku bila diucapkan dalam situasi obrolan akrab antar teman sebaya. Sebaliknya, kata madang bisa mengesankan keakraban yang sangat ketika diucapkan oleh seorang sahabat alih-alih kurang ajar. 

 

Apakah hal ini mengindikasikan alam pikir urang Sunda yang feodal? Boleh jadi. Tapi, boleh jadi juga hal ini menunjukan betapa urang Sunda dibina untuk selalu peka terhadap situasi dan selalu mawas diri. Keliru memilih kata antara dahar dan tuang berpotensi membuat jamuan makan meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan.         

 

Bahasa tidak lahir dari dan di ruang kosong. Padanya berkelindan etika, filosofi, sentimen politik, dan lain sebagainya. Bahasa adalah representasi alam pikir. Bahasa adalah cara manusia mempersepsi dirinya dan dunia. Adalah weltanschauung. Mengapa istilah kesatu (first) dan kedua (second) dalam bahasa Inggris jauh berbeda dengan ketiga dan seterusnya (third, fourth, fifth….)? Tentu ini berkaitan dengan cara pandang penutur bahasa Inggris hal ihwal awal/pertama/kesatu dan “hal lain” yang “ada” setelahnya.  

 

Karena demikian dahsyatnya bahasa, sangat beralasan ketika bangsa Bengali keukeuh agar bahasa ibunya diakui sebagai bahasa nasional Pakistan disamping bahasa Urdu. Hal ini bukan semata-mata perkara “dengan bahasa apa Anda berkomunikasi”. Lebih dari itu, kedaulatan bahasa adalah juga adalah martabat dan harga diri bangsa; politik, sejarah; menyangkut aspek sosialogis, psiko-sosial, antropologis; dan secara umum hal ihwal manusia sebagai satu-satunya mahluk berbudaya.

 

Hatur nuhun urang Bengali.

Hatur nuhun Bah Rafiqul Islam kalih Bah Abdus Salam.

Wilujeng miéling Poé Basa Indung Internasional!  


Dimuat di The Writers pada 23 Februari 2021 

Sabda Alam dan Kearifan Lokal Anti Bencana

 

Hari-hari ini, hampir tidak ada media yang tidak memberikatakan bencana di Indonesia. Sejak peristiwa jatuhnya pesawat Boing 737-500 Sriwijaya Air SJ-182 di laut sekitar Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021, bertubi-tubi kabar bencana memenuhi pemberitaan sehari-hari.

 

Di hari yang sama dengan jatuhnya pesawat itu, longsor hebat terjadi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tanah dan reruntuhan bangunan dari Perumahan Pondok Daud yang berdiri nyaris di bibir tebing menimbun puluhan rumah dibawahnya. Puluhan orang dikabarkan meninggal, termasuk beberapa aparat yang bermaksud memberikan pertolongan.

 

Tiap tahun ketika musim hujan datang, Indonesia harus ekstra waspada. Potensi fenomena alam  longsor, banjir, dan pohon tumbang menjadi berkali lipat. Selain karena curah hujan yang tinggi, perilaku manusia terhadap alam juga menjadi faktor yang memperparah dampak bencana ini.

 

Terkait istilah “bencana alam”, budayawan Sujiwo Tedjo mengajukan keberatan. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis senior Karni Ilyas, ia menyebut bahwa istilah tersebut kurang tepat dan cenderung “kurang ajar kepada alam”.

 

Banjir, longsor, pohon tumbang, dan sekian fenomena alam yang lantas disebut “bencana” itu menurutnya adalah gerak alam mencari keseimbangan baru. Sebagai ganti “bencana alam”, dalang eksentrik itu mengajukan istilah “sabda alam”.

 

Sabda alam yang dimaksud tentu bukan dalam arti alam berkata-kata secara verbal sebagaimana manusia. “Sabda” alam adalah segala gerak dan laku (fenomena) alam seturut hukum yang ada padanya: hukum alam.

 

Air, misalnya. Sejak dulu hingga kini sifat air tetaplah begitu: mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, meresap ke tanah, memenuhi ruang, dan lain sebagainya. Hingga saat ini, belum ada temuan terbaru yang menyatakan adanya perubahan sifat dan karakteristik air.

 

Banjir boleh jadi fenomena alam. Namun, dampaknya pada manusia sebagian besarnya disebabkan oleh manusia sendiri. Sejarah mencatat bagaimana bangsa Mesir Kuno mampu memanfaatkan banjir tahunan Sungai Nil yang disebabkan salju yang mencair di Pegunungan Ethiopia dan hujan lebat musim panas.

 

Setelah luapan air sungai surut, lumpur akan mengendap di tanah yang dibanjiri. Hal ini membuat tanah menjadi subur. Oleh orang-orang Mesir Kuno, lahan bekas endapan tersebut dimanfaatkan sebagai lahan bercocok tanam.

 

Menganai kearifan manusia merespon “sabda alam”, leluhur Nusantara tidak kalah bijak dengan bangsa Mesir Kuno. Hal ini dapat dilihat, salah satunya, dalam bentuk rumah dan tata pemukiman di perkampungan-perkampungan adat.

 

Karuhun ‘leluhur’ Sunda, misalnya. M. Arif Wibowo, seorang arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung yang telah meneliti 7 kampung tradisional Sunda, menyatakan bahwa penataan kampung-kampung adat dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan dampak “sabda alam” yang mungkin terjadi.

 

Dari hasil penelitiannya untuk buku Peradaban Sunda Kuno, ia menemukan bahwa pemukiman urang Sunda masa lampau selalu dibangun di kontur tanah yang lebih rendah dari hutan di sekitarnya. Hutan tersebut lantas ditetapkan sebagai “leuweung karamat” (hutan larangan).

 

Dan sebagaimana hutan yang dikeramatkan, pohon-pohon di sana tidak boleh ditebang. Hutan berserta isinya harus dibiarkan asli sebagaimana adanya. Hutan keramat ini berfungsi sebagai daerah resapan air. Larangan penebangan pohon dibuat agar tidak terjadi longsor sebab akar-akar pohon adalah “pasak bumi” alami.

 

Hal lain yang dicatat Arif adalah pantangnya orang-orang di kampung adat itu mengambil air dari dalam tanah, seperti menggunakan sumur bor. Mereka hanya mengambil dan memanfaatkan air yang ada di permukaan tanah.

 

Menurut Arif, hal ini demi menjaga keutuhan komposisi tanah. Air yang secara masif disedot dari dalam tanah berpotensi menyebabkan perubahan kepadatan dan komposisi tanah. Hal ini berdampak pada kekuatan tanah menopang bangungan yang ada di atasnya.

 

Selain dari tata letak pemukiman, bentuk dan arah hadap rumah adat Sunda juga memiliki fungsi tersendiri. Rumah adat Sunda atau imah panggung dibuat berjarak dengan tanah. Bagian “kolong” rumah dibiarkan kosong. Selain itu, rumah-rumah tersebut dibangun memanjang ke arah hutan keramat.

 

Selain memiliki makna filosofis dan kosmologis, arah hadap dan bentuk semacam ini berfungsi agar rumah tak menghambat aliran air ketika mengalir dari dataran yang lebih tinggi tatkala hujan tiba.

 

Yang mendasari semua hal tersebut adalah cara pandang urang Sunda terhadap alam. Bagi urang Sunda, dan secara umum bagi masyarakat adat di seluruh Nusantara, alam adalah saudara. Dan sebagaimana perlakuan manusia pada saudaranya, alam bukan untuk ditaklukan, melainkan dijadikan patner dalam menjalankan dan mengelola hidup.

 

Leluhur Nusantara bukanlah manusia-manusia terbelakang yang asing pada ilmu pengetahuan. Dalam hal tata pemukiman dan bidang geospasial, umpamanya, urang Sunda memiliki sebuah naskah kuno bernama Warugan Lemah yang diprediksi ditulis atau disalin sebelum abad ke-17. Dalam bahasa Indoensia, istilah tersebut dapat dimaknai bentuk tanah.

 

Menurut filolog Aditia Gunawan, naskah yang kini tersimpan di Perpusatakaan Nasional RI dengan nomor koleksi L 622 Peti 88 ini memuat setidaknya 18 pola pemukiman berdasarkan topografi tanah.

 

Dikatakan bahwa beberapa pola, seperti Talaga Hangsa (tanah condong ke kiri), Singha Purusa (kawasan antara puncak dan kaki bukit), dan Sumara Dadaya (tanah datar/lapang), adalah jenis topografi yang baik untuk dijadikan pemukiman. Sementara topografi Ngalingga Manik (puncak yang rata) biasanya digunakan sebagai kawasan tempat peribadatan.

 

Sedangkan pola Luak Maturun (tanah berceruk karena ditengah wilayahnya terdapat lembah), Sri Mandayung (tanah di anara dua aliran sungai), dan Si Bareubeu (kawasan yang berada di bawah aliran sungai), disebut kurang baik dijadikan tempat pemukiman.

 

Di era Revolusi 4.0 yang serba canggih kini, kearifan lokal semacam itu cenderung hanya menjadi koleksi museum belaka. Sebatas ditonton dan dikagumi. Mengapa berhenti pada kagum saja?

 

Akan sangat berguna bila tinggalan-tinggalan budaya semacam itu dikaji secara mendalam dan diserap ke dalam ilmu pengetahuan moderen agar dapat selaras dengan perkembangan sains dan teknologi mutakhir.

 

Nantinya, Indonesia akan mengembangkan sendiri corak khas sains dan teknologinya berdasarkan kearifan lokal. Kecuali itu, yang tidak boleh terlupa dan menjadi utama adalah mewarisi cara pandang leluhur Nusantara terhadap alam.

 

Alam adalah saudara. Hidup harmoni dengan alam adalah pilihan paling masuk akal dibanding habis-habisan mengeksploitasinya demi keuntungan materi semata. Bila alam “telah bersabda”, siapa mampu melawannya?


Dimuat di Qureta pada 22 Februari 2021

Bencana: Soal Memperlakukan Alam dan Manusia

 

Beberapa jam setelah pesawat Boing 737-500 Sriwijaya Air SJ-182 dikabarkan tenggelam di laut sekitar Kepulauan Seribu, 9 Januari 2021, Perumahan Pondok Daud yang dibangun nyaris di bibir tebing di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggu, Sumedang, Jawa Barat, merosot bersama tanah yang menopangnya, menimpa pemukiman yang tepat berada di bawahnya. Empat puluh orang meninggal dalam bencana tersebut.

 

Sejak itu, hampir semua headline berita mengabarkan bencana di Indonesia: banjir di Kalimantan Selatan; gempa di Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat; longsor di Manado, Sulawesi Utara; erupsi Gunung Semeru; banjir bandang di Bogor, dan lain sebagainya.

 

Indonesia berduka. Setelah bela sungkawa, bantuan, dan doa, yang tak kalah penting adalah evaluasi dan introspeksi. Fenomena alam seperti gempa bumi dan gunung meletus adalah niscaya. Namun, besarnya dampak adalah urusan tata kelola.

 

Meski dikategorikan bencana alam, banjir dan tanah longsor tidak sepenuhnya habitus alam. Manusia punya andil besar memperbesar skala dan dampaknya. Di sisi lain, bisa mencegahnya agar tak sampai terjadi. Pengelolaan lahan dan tata kelola pemukiman adalah salah kuncinya.

 

Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah cukup canggih untuk membaca jalur gempa, pola letusan gunung berapi, curah hujan, serta kemiringan dan kepadatan tanah. Dari data ini, wilayah mana saja yang berpotensi terkena dampak bencana sebenarnya bisa terpetakan.

 

Hal ini sepatutnya menjadi dasar penyusunan segala kebijakan, terutama sekali menyangkut pengelolaan lahan, tata kelola pemukiman, dan arsitektur. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, pemilik modal, dan masyarakat harus sama-sama seiman dalam hal “salus populi suprema lex esto”.

 

Demi keselamatan manusia, musti ada kesadaran bahwa tidak semua lahan dapat dijadikan perkebunan sebagaimana tidak semua kawasan layak dijadikan pemukiman. Demikian pula, tidak semua kawasan cocok menggunakan satu desain arsitektur tertentu. Idealnya, tiap wilayah mengembangkan sendiri tata kelola lahan, pemukiman, dan arsitekturnya sesuai dengan kondisi alam.

 

Dalam hal ini, leluhur Nusantara telah sejak lama mawas diri. Beberapa bentuk rumah adat Sunda seperti Julang Ngapak, Tagog Anjing, Badak Heuay, Saung Ranggon, dan lain sebagainya menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan utama. Dinding yang disebut bilik terbuat dari anyaman bambu. Demikian pula sejumlah tiang dan rusuk atap rumah juga berbahan dasar bambu dan kayu.

 

Untuk menyatukannya, alih-alih menggunakan paku atau mur-baud besi, karuhun Sunda menggunakan kayu atau bambu yang disebut paseuk. Untuk memperkuat, beberapa sendi rumah diikat menggunakan tali berbahan ijuk. Bangunan berbahan bambu dan kayu yang disatukan oleh paseuk dan ijuk, telah banyak dibuktikan tahan terhadap gempa sampai batas tertentu.

 

Ketika tanah terguncang, alih-alih roboh, bangunan justru akan lebih fleksibel mengikuti arah guncangan. Selain bantuk bangunan, leluhur Sunda juga telah memetakan kawasan-kawasan berdasarkan tipografi tanah dan geospasialnya dalam sebuah naskah kuno: Warugan Lemah.

 

Naskah tersebut berisi informasi mengenai berbagai jenis topografi tanah berikut sifat dan fungsinya bagi manusia. Warugan Lemah jika diterjemahkan bebas berarti ‘bentuk tanah’.

 

Filolog Aditia Gunawan menyebut bahwa naskah yang terdiri dari tiga lempir daun lontar ini memuat delapan belas pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya bagi manusia serta mantra-mantra untuk menyucikannya.

 

Disebutkan bahwa salah satu bentuk topografi tanah yang tidak cocok untuk dihuni yaitu Sri Mandayung: tanah yang berada di antara satu sungai kecil disebelah kiri dan satu sungai besar di sebelah kanan. Tanah yang berada di antara dua sungai berpotensi terdampak banjir manakala volume air sungai naik akibat hujan lebat.

 

Sebaliknya, salah satu jenis topografi yang baik untuk dijadikan hunian adalah Sumara Dadaya yang berarti tanah yang datar. Hal ini sangat masuk akal sebab tanah yang datar relatif cocok untuk dijadikan pemukiman sebab minim resiko dampak bencana alam.

 

Dua istilah di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak hal bagaimana para leluhur Nusantara cermat dan seksama dalam menjalani kehidupan. Soal topografi tanah dan tata kelola pemukiman diatur sedemikian rupa. Selain karena keyakinan teologis, pengaturan tersebut juga dibuat demi keselamatan manusia manakala terjadi bencana.       

 

Boleh jadi apa yang tertera di naskah tersebut sudah harus ditafsir ulang sesuai dengan kondisi kekinian. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era 4.0 ini, alam nyaris teratasi. Namun, kala ia mengamuk, manusia, dengan segala pencapaiannya, tetap kalah perkasa.

  

Bencana yang datang bertubi di awal tahun ini, bergandengan dengan pandemi yang kurvanya tak kunjung melandai, boleh jadi mengajari manusia bahwa sikap mawas diri dan menghormati alam lebih arif dan bermanfaat ketimbang pongah dan sok gagah.

 

Warisan kekayaan mental, spiritual, dan intelektual dari para leluhur Nusantara adalah modal berharga bagi Indonesia untuk mengelola alam dan manusia secara arif. Tetapi semua itu akan gagap bila tidak diperjumpakan dengan ilmu pengetahuan moderen dan teknologi mutakhir. Di era post-modern, dikotomi Timur dan Barat, arus utama dan alternatif, kuno dan moderen, sudah seharusnya diruntuhkan.

 

Yang tak kalah penting—dan boleh jadi yang utama—semua kearifan ini akan kembali mentah manakala para pemangku kebijakan, pemilik modal, dan masyarakat tidak berada di frekuensi yang sama, setidaknya dalam soal memperlakukan alam dan manusia.


Dimuat di The Columnist pada 12 Februari 2021

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...