2021 telah tiba. Pandemi masih dan
makin menggila. Di seluruh dunia, ia mengoyak semua sendi kehidupan. Yang
dihajar tak hanya kesehatan, tapi juga ekonomi, pendidikan, rumah tangga,
kesenian, sosial, psikologis, politik, ilmu pengetahuan, filsafat, agama,
singkatnya, kebudayaan secara umum.
Berkumpul dan berkerumun yang pada
dasarnya adalah hak tiap-tiap warga negara, dibatasi atas nama keselamatan
rakyat banyak. “Salus populi suprema lex esto [keselamatan rakyat adalah
hukum tertinggi],” kata Cicero. Atas kaidah hukum itu, dalam kondisi seperti
pandemi ini, negara berhak membubarkan kerumunan, suatu hal yang dalam kondisi
normal mencederai azas kebebasan.
Yang lesu bukan hanya tablig akbar
yang selalu penuh sesak, selalu berkerumun. Tiap-tiap yang berkerumun dilarang
dan menjadi tidak terpuji. Harusnya begitu, termasuk kampanye politik.
Tapi, ditutupnya mata Dewi Hukum
tidak melulu harus ditafsir bahwa ia tak pandang bulu, equality alias
“rekep dengdeng papak sarua” before the law. Melainkan juga, terkadang ada
hal yang luput dari pengelihatannya atau sengaja tak diliriknya. Demikian bila
hukum terlalu mesra dengan politik. Rawan main serong.
Tidak seperti politik yang dalam
kondisi pandemi pun tetap bergairah, kesenian justru megap-megap. Seni
pertunjukan yang sukar terhindar dari kerumunan bahkan nyaris padam sama
sekali. Sejak awal pandemi, pemerintah dan sejumlah pihak memang berupaya
melakukan penyelamatan dengan menggagas pertunjukan virtual. Namun, dalam pandemi,
tidak ada yang sepenuhnya selamat.
Pertunjukan Virtual
Seniman menari, bermain musik,
atau berakting di suatu tempat, direkam dengan kamera, diunggah, kemudian
ditonton oleh penontonnya di tempat yang berbeda melalui layar komputer atau
telepon pintar.
Dari sejumlah program pertunjukan
virtual yang ada sejauh ini, format pertunjukan virtual adalah penonton sepenuhnya menyaksikan video
dokumentasi pertunjukan. Djarum Foundation, misalnya, menyelenggarakan program #NontonTeaterdiRumahAja
sejak April 2020. Mereka menyiarkan video pertunjukan teater yang mereka
sponsori tiap akhir pekan di kanal YouTube Indonesia Kaya secara prerecorded
streaming.
Hal serupa juga dilakukan beberapa
lembaga plat merah yang mengurusi kesenian. Sebagai contoh, Dinas Kebudayaan,
Pemuda dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menggelar
#NontonDiRumah sejak Juni 2020. Sejumlah seniman dan kelompok seni menyerahkan
rekaman pertunjukan mereka kepada Disbudpora Ciamis untuk kemudian ditayangkan
di kanal YouTube Disbudpora Ciamis pada waktu yang telah ditentukan.
Suatu yang agak lain disajikan
kelompok teater Artery Performa. Alih-alih merekam pertunjukan utuh di atas
panggung, para pemain yang tersambung melalui video konferensi Skype melakukan
berbagai adegan di tempat yang terpisah secara serentak. Persis seperti halnya webinar.
Video-video tersebut disunting
sedemikian rupa lalu disiarkan sebulan pasca live-online-show
‘pertunjukan-daring-langsung’ tersebut di kanal YouTube Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kemendikbud, Budaya Saya. Yang ditonton memang tetap dokumentasinya,
namun proses penciptaannya boleh dibilang lain dari umumnya pertunjukan
konvensional.
Betapa pun kukuh mempertahankan
hal ihwal “langsung” dalam seni pertunjukan, pertunjukan virtual tetap memangkas
hal yang sejak lama diyakini sebagai kekhasan—jika bukan “syarat sah”—seni
pertunjukan: (1) penonton menyaksikan pertunjukan secara langsung (2) di tempat
yang sama dengan digelarnya pertunjukan tersebut.
Dalam arti luas, tidak ada penonton
sebagai “orang luar” dalam sebuah pertunjukan sebab ia menjadi bagian integral
dari pertunjukan itu sendiri. Teater yang tidak ditonton, bukanlah teater. Oleh
karenanya, Putu Wijaya lebih senang menyebut pertunjukan teater sebagai tontonan.
Kata tersebut dengan sendirinya mengandung tri tunggal: pemain, laku (yang
dimainkan), dan penonton.
Seni-Kerumunan
Terlebih dalam konteks seni
pertunjukan tradisional, selain menonton secara langsung di tempat yang sama,
penonton juga terlibat secara aktif dalam keseluruhan pertunjukan. Dalam beberapa
sajian seni tradisi, penonton benar-benar tidak ada. Tri tunggal itu sepenuhnya
nyawiji, manunggal dalam kosmos peristiwa kesenian.
Ronggeng gunung, misalnya. Yang
disebut (peristiwa) kesenian ronggeng gunung asal Pangandaran itu adalah ketika
seorang ronggeng melantunkan nyanyian tertentu, diiringi tabuhan tertentu
seraya sekelompok orang menari dengan pola tertentu pada waktu dan ruang yang
sama.
“Sekelompok orang” itu adalah
pihak yang lazimnya disebut penonton. Jika “sekelompok orang” itu tidak ada,
batal ia sebagai kesenian ronggeng gunung. Yang ada hanya nyanyian, tabuhan,
atau penyanyi (ronggeng) dari kesenian tersebut saja dan tidak menjadi
(peristiwa) kesenian ronggeng gunung.
Hal demikian juga terjadi dalam
upacara-upacara tradisi. Dalam salah satu rangkaian Upacara Grebeg Maulud di
Yogyakarta, umpamanya, “penonton” (dalam berkerumun yang berdesak-desak) memperbutkan
hasil bumi yang susun dalam gunungan yang telah diarak sebelumnya.
Demikian pula tradisi Panjang
Jimat di Cirebon, Nyangku di Ciamis, atau tradisi larung sajen yang umum
terdapat dalam budaya pesisir di Nusantara, penonton adalah pemain juga. Dan
dalam kemangunggalan itu, hal tidak bisa dihindari adalah kerumunan.
Kerumunan muncul bukan semata-mata
karena ingin menonton. Melainkan masyarakat merasa bahwa dirinya merupakan
bagian tak terpisah dari kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan kebudayaan
rakyat bersifat komunal. Milik masyarakat, miliki bersama. Dan sebagaimana yang
umum diketahui, kerumunan, bahkan berdesak-desakan, telah menjadi bagian tak
terpisah darinya.
Selain dua kekhasan seni
pertunjukan yang disebut di atas, hal ini juga yang tidak teratasi oleh
pertunjukan virtual. Sebaliknya, pertunjukan virtual justru dibuat demi
menghindari perjumpaan fisik, menghindari kerumunan.
Seturut pernyataan WHO, virus
Corona tidak akan sama sekali musnah. Organisasi Kesehatan Dunia itu bahkan
menyebut kemungkinan virus ini akan senasib dengan HIV, menjadi penyakit
endemik yang baru. Yang dapat diupayakan adalah imunitas tubuh terhadap dampak
infeksinya.
Setelah nanti apa yang oleh ahli kesehatan
disebut herd immunity tercapai, bagaimana nasib “seni-kerumunan” itu?
Akankah ronggeng gunung, bajidoran, wayang golek, tradisi sedekah laut, upacara
panen raya, dan segenap ekspresi dari apa yang oleh Saini KM disebut folk
culture (kebudayaan rakyat) lainnya dirayakan habis-habisan sebab membalas
rindu? Atau masyarakat akan disekap was-was sebab Corona selalu gentayangan,
laten dalam kerumunan? Akankah “salus populi suprema lex esto” itu memusnahkan
“seni-kerumunan” sama sekali? Akankah pandemi ini menciptakan kebudayaan tanpa
kerumunan, hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah panjang peradaban
manusia?
Kebudayaan memang terus berkembang
meladeni cipta, rasa, dan karsa manusia. Jika sebentuk kebudayaan, termasuk
kesenian, tidak lagi sesuai dengan umat manusia, dengan sendirinya ia akan
punah. Cepat atau lambat.
Tapi, apakah secepat ini?
Dimuat di Qureta pada 31 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar