Minggu, 07 Maret 2021

Pancasila, Resep Penangkal Intoleransi

 


Di tengah pandemi yang tembus satu juta lebih kasus dan bencana alam yang bertubi-tubi menerjang, aroma “dugaan” intoleransi kembali menyeruak. Kini dari Padang, Sumatra Barat. Beberapa waktu lalu santer diberitakan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang mewajibkan siswi nonmuslim untuk berkerudung.

 

Oleh sebagian pihak hal ini dianggap tindakan intoleran terhadap nonmuslim. Pasalnya, kerudung, jilbab, hijab, atau istilah apa pun yang bermakna menutup rambut karena dianggap aurat adalah ajaran agama Islam yang hanya berlaku untuk pemeluknya saja. Mewajibkan perempuan nonmuslim berjilbab dimaknai sama dengan memaksa ia melakukan ajaran agama yang bukan keyakinannya.

 

Sebelum ramai kasus ini, tahun 2018 hal serupa pernah terjadi di salah satu sekolah negeri di Riau. Setahun sebelumnya, salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Banyuwangi, Jawa Timur,  juga menerapan aturan serupa.

 

Hal sebaliknya terjadi di Bali pada tahun 2014. SMA Negeri 2 Denpasar sempat diisukan melarang salah satu siswinya yang beragama Islam mengenakan jilbab saat berada di lingkungan sekolah. Pelarangan jilbab di sekolah bukan kali itu saja terjadi di Indonesia.

 

Tahun 1980-1990-an, siswi berjilbab adalah hal yang tak wajar. Di sekolah negeri, hal ini malah dilarang sama sekali. Dasar hukumnya adalah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No.053/C/Kep/D.82 yang berisi aturan standarisasi seragam sekolah nasional.

 

Tidak ada poin yang secara langsung melarang atau menganjurkan penggunaan jilbab. Pemerintah hanya menyatakan bahwa pakaian seragam di satu sekolah haruslah sama, Jika perempuan ditetapkan berjilbab, maka semua harus berjilbab. Demikian pula jika tidak, Aturan ini lantas dijadikan dasar pelarangan pemakaian jilbab di sekolah karena melanggar “keseragaman”.

 

Baik pelarangan maupun paksaan mengenakan jilbab sama intolerannya. Dalam dua kondisi tersebut yang menjadi sasaran dan korban pastilah kelompok minoritas. Dalam kasus SMKN 2 Padang, terdapat 49 siswi nonmuslim di sekolah tersebut. Aturan ini sebenarnya telah berjalan sejak tahun 2005. Sejak tahun itu, siswi nonmuslim yang bersekolah di sana, entah dengan terpaksa atau sukarela,  turut mengenakan jilbab sebagai bagian dari aturan sekolah seturut arahan Wali Kota Padang waktu itu.

 

Hal ini menjadi ramai diperbincangakan setelah video percakapan salah seorang orang tua siswi nonmuslim dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan mengenai keberatannya atas aturan tersebut viral di media sosial pada Januari 2021 ketika sekolah mulai menerapkan sekolah tatap muka.

 

Terkait hal ini, aturan mengenai seragam sekolah bukanlah akar persoalannya. Akar terdalam dari intoleransi adalah ketidaksiapan mental menghadapi dan bergaul dalam perbedaan. Secara naluriah manusia memang cenderung berpihak atau condong pada hal yang memiliki banyak kesamaan dengannya. Namun, hal ini tidak berarti manusia tidak mampu hidup dalam perbedaan.

 

Sejarah membuktikan bahwa peradaban lahir dan berkembang justru karena manusia yang berbeda satu sama lainnya saling berinterkasi. Peradaban besar selalu ditopang oleh keanekaragaman corak manusia baik kebudayaan maupun alamiah (fisik).

 

Memandang sesuatu yang berbeda sebagai musuh dan ancaman adalah pikiran picik, penuh prasangka buruk. Pikiran semacam ini menjadi semakin mengerikan manakala bersarang di kepala orang yang memiliki kewenangan merumuskan aturan.

 

Sekolah negeri sebagai lembaga pendidikan milik negara seharusnya menjadi ladang penyemaian benih toleransi. Bukan sebaliknya. Indonesia sudah final dan bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya dalam penyelenggaraan pendidikan.

 

Jika saja Pancasila diresapi dan dijalankan sebaik-baiknya, pelarang atau pemaksaan jilbab pada siswi di sekolah negeri tidak akan terjadi. Sekolah negeri seyogianya menjadi miniatur Indonesia yang bhineka tunggal ika.

 

Semangat yang mendasari tidak dicantumkannya frasa “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pancasila sebagaimana dalam Piagam Jakarta adalah toleransi antar umat beragama.

 

Meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun secara terang-terangan mencantumkan ajaran agama dalam dasar negara berpotensi merobek keutuhan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

 

Aturan-aturan keagamaan, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, biarlah menjadi urusan masing-masing umat, diatur dan diurusi oleh komunitas masing-masing. Menjadikannya aturan resmi negara, dalam level apa pun, justru nampak sebagai bentuk arogansi mayoritas. Dan dalam hal demikian, tindak intoleransi sangat mungkin terjadi.   

 

Sekolah negeri dengan “ragam seragam” siswa-siswinya justru bagus sebagai miniatur Indonesia yang aneka. “Persatuan Indonesia” harus dipahami dalam kerangka bhineka tunggal ika.

 

Kasus yang terjadi di Padang, Bali, Banyuwangi, dan Riau akan kembali terulang sejauh Pancasila selesai sebagai hafalan belaka, tidak sepenuhnya membumi menjadi semangat kehidupan serta nilai moral dalam pergaulan berbangsa dan bernegara.

 

Lebih khusus, negara harus hadir dengan ajeg memegang Pancasila sebagai tonggak pemersatu dan tidak berlaku sebagai pembela kelompok tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...