Di tengah pandemi yang tembus satu
juta lebih kasus dan bencana alam yang bertubi-tubi menerjang, aroma “dugaan”
intoleransi kembali menyeruak. Kini dari Padang, Sumatra Barat. Beberapa waktu
lalu santer diberitakan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang
mewajibkan siswi nonmuslim untuk berkerudung.
Oleh sebagian pihak hal ini
dianggap tindakan intoleran terhadap nonmuslim. Pasalnya, kerudung, jilbab,
hijab, atau istilah apa pun yang bermakna menutup rambut karena dianggap aurat
adalah ajaran agama Islam yang hanya berlaku untuk pemeluknya saja. Mewajibkan
perempuan nonmuslim berjilbab dimaknai sama dengan memaksa ia melakukan ajaran
agama yang bukan keyakinannya.
Sebelum ramai kasus ini, tahun
2018 hal serupa pernah terjadi di salah satu sekolah negeri di Riau. Setahun
sebelumnya, salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Banyuwangi, Jawa
Timur, juga menerapan aturan serupa.
Hal sebaliknya terjadi di Bali
pada tahun 2014. SMA Negeri 2 Denpasar sempat diisukan melarang salah satu
siswinya yang beragama Islam mengenakan jilbab saat berada di lingkungan
sekolah. Pelarangan jilbab di sekolah bukan kali itu saja terjadi di Indonesia.
Tahun 1980-1990-an, siswi berjilbab
adalah hal yang tak wajar. Di sekolah negeri, hal ini malah dilarang sama
sekali. Dasar hukumnya adalah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No.053/C/Kep/D.82
yang berisi aturan standarisasi seragam sekolah nasional.
Tidak ada poin yang secara
langsung melarang atau menganjurkan penggunaan jilbab. Pemerintah hanya
menyatakan bahwa pakaian seragam di satu sekolah haruslah sama, Jika perempuan
ditetapkan berjilbab, maka semua harus berjilbab. Demikian pula jika tidak, Aturan
ini lantas dijadikan dasar pelarangan pemakaian jilbab di sekolah karena melanggar
“keseragaman”.
Baik pelarangan maupun paksaan
mengenakan jilbab sama intolerannya. Dalam dua kondisi tersebut yang menjadi
sasaran dan korban pastilah kelompok minoritas. Dalam kasus SMKN 2 Padang,
terdapat 49 siswi nonmuslim di sekolah tersebut. Aturan ini sebenarnya telah
berjalan sejak tahun 2005. Sejak tahun itu, siswi nonmuslim yang bersekolah di
sana, entah dengan terpaksa atau sukarela, turut mengenakan jilbab sebagai bagian dari
aturan sekolah seturut arahan Wali Kota Padang waktu itu.
Hal ini menjadi ramai
diperbincangakan setelah video percakapan salah seorang orang tua siswi
nonmuslim dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan mengenai keberatannya
atas aturan tersebut viral di media sosial pada Januari 2021 ketika sekolah
mulai menerapkan sekolah tatap muka.
Terkait hal ini, aturan mengenai
seragam sekolah bukanlah akar persoalannya. Akar terdalam dari intoleransi
adalah ketidaksiapan mental menghadapi dan bergaul dalam perbedaan. Secara
naluriah manusia memang cenderung berpihak atau condong pada hal yang memiliki
banyak kesamaan dengannya. Namun, hal ini tidak berarti manusia tidak mampu
hidup dalam perbedaan.
Sejarah membuktikan bahwa
peradaban lahir dan berkembang justru karena manusia yang berbeda satu sama
lainnya saling berinterkasi. Peradaban besar selalu ditopang oleh
keanekaragaman corak manusia baik kebudayaan maupun alamiah (fisik).
Memandang sesuatu yang berbeda
sebagai musuh dan ancaman adalah pikiran picik, penuh prasangka buruk. Pikiran
semacam ini menjadi semakin mengerikan manakala bersarang di kepala orang yang
memiliki kewenangan merumuskan aturan.
Sekolah negeri sebagai lembaga
pendidikan milik negara seharusnya menjadi ladang penyemaian benih toleransi.
Bukan sebaliknya. Indonesia sudah final dan bersepakat menjadikan Pancasila
sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Jika saja Pancasila diresapi dan
dijalankan sebaik-baiknya, pelarang atau pemaksaan jilbab pada siswi di sekolah
negeri tidak akan terjadi. Sekolah negeri seyogianya menjadi miniatur Indonesia
yang bhineka tunggal ika.
Semangat yang mendasari tidak
dicantumkannya frasa “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam
Pancasila sebagaimana dalam Piagam Jakarta adalah toleransi antar umat
beragama.
Meski mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam, namun secara terang-terangan mencantumkan ajaran agama dalam
dasar negara berpotensi merobek keutuhan persatuan dan kesatuan rakyat
Indonesia.
Aturan-aturan keagamaan, sepanjang
tidak mengganggu ketertiban umum, biarlah menjadi urusan masing-masing umat,
diatur dan diurusi oleh komunitas masing-masing. Menjadikannya aturan resmi
negara, dalam level apa pun, justru nampak sebagai bentuk arogansi mayoritas.
Dan dalam hal demikian, tindak intoleransi sangat mungkin terjadi.
Sekolah negeri dengan “ragam
seragam” siswa-siswinya justru bagus sebagai miniatur Indonesia yang aneka. “Persatuan
Indonesia” harus dipahami dalam kerangka bhineka tunggal ika.
Kasus yang terjadi di Padang, Bali,
Banyuwangi, dan Riau akan kembali terulang sejauh Pancasila selesai sebagai
hafalan belaka, tidak sepenuhnya membumi menjadi semangat kehidupan serta nilai
moral dalam pergaulan berbangsa dan bernegara.
Lebih khusus, negara harus hadir
dengan ajeg memegang Pancasila sebagai tonggak pemersatu dan tidak berlaku
sebagai pembela kelompok tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar