Belum sembuh luka pembantaian
Sigi, Indonesia harus kembali berduka. Senin (7/12/2020) dini hari telah
terjadi baku tembak di Tol Jakarta-Cikampek Km 50 antara polisi dengan sejumlah
orang yang oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadli Imran di sebut “kelompok
pengikut MRS (Muhammad Rizieq Shihab)”.
Enam orang yang diduga anggota
Front Pembela Islam (FPI) tewas dalam baku tembak tersebut. Polisi menyebut
penembakan tersebut dilakukan karena mereka terancam. Pihaknya diserang oleh
sepuluh orang dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api ketika
melaksanakan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS dalam kasus
pelanggaran protokol kesehatan.
FPI punya cerita yang berbeda.
Dalam keterangan persnya, mereka menyebut bahwa mobil rombongan MRS dihadang
“preman Orang Tak Dikenal (OTK)” di dekat Pintu Tol Kerawang Timur. Orang-orang
tak dikenal tersebut menyerang dan menembak laskar pengawal keluarga MRS.
Mereka menyebut, enam anggotanya
diculik beserta satu unit mobil yang ditumpanginya. Keberadaannya hingga kini tak diketahui rimbanya. Pihak FPI
menduga bahwa penyerang tersebut dilakukan oleh pihak yang menguntit MRS. Demi
keamanan pimpinannya tersebut, keberadaan MRS dirahasiakan.
Persoalan makin runyam sebab CCTV
di sekitar locus delicti versi polisi, yaitu Tol Jakarta-Cikampek Km 50,
yang dapat menjadi alat bukti, tidak berfungsi. Dua narasi berbeda plus fakta
bahwa CCTV yang berada dibawah kendali Jasa Marga itu mati membuat publik
saling lempar curiga. Media sosial, khususnya Twitter, menjadi medan kurusetra
antar warganet saling adu argumen terkait hal ini.
Tindakan tegas terukur, yang batas
akhirnya adalah menghilangkan nyawa seseorang, memang legal secara hukum. Hal
itu dapat dilakukan polisi dalam kondisi-kondisi yang sangat khusus sebagaimana
diatur ketat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 1 Tahun 2009
tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian (Perkapolri 1/2009) dan
Peraturan Kepala Kepolisian No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan
Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkapolri 8/2009).
Baik dalam narasi versi polisi
maupun FPI, setidaknya, ada satu hal yang sama, yaitu penyerangan dengan senjata.
Siapa pun yang menyerang, tindakan semacam ini sudah bukan lagi tindak
radikalisme biasa, melainkan brutal. Yang bicara sudah bukan lagi pentungan
atau bogem mentah, tapi senjata tajam dan senjata api.
Ribut-ribut Polri versus FPI bukan
cerita baru. Ormas ini memang acap kali diidentikan dengan kekerasan dan
radikalisme. 1 Juni 2008, misalnya, sejumlah orang yang mengenakan atribut FPI
menyerang peserta aksi dari Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan yang tengah melakukan aksi memperingati lahirnya Pancasila. Sejumlah
media disebut sebagai “Insiden Monas”.
Citra radikal yang disematkan
sebagian publik pada FPI tidak sepenuhnya salah sekaligus juga tidak sepenuhnya
benar. FPI bukan ormas yang selalu dan senantiasa menggunakan jalan kekerasan
dalam segala hal. Frasa “senantiasa menggunakan jalan kekerasan” dan
“membolehkan kekerasan” adalah dua hal berdekatan namun berbeda.
Radikalisme dalam arti luas dapat
dimaknai sebagai suatu pandangan yang menjadikan kekerasan sebagai jalannya
mencapai tujuan. Seturut pengertian ini maka radikalisme adalah metode, jalan,
bukan tujuan. Ia bisa hinggap pada ideologi atau aliran apa saja.
Menko Polhukan Mahfud MD, dalam
sebuah keterangan di awal tahun 2020 sebagaimana dikutip Merdeka,
menyebut bahwa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana
Terorisme, radikalisme berarti tindakan melawan hukum untuk mengubah sistem
yang dilakukan dengan kekerasan. Dalam pengertian inilah radikalisme
digandengkan dengan terorisme.
Ada dua poin besar dalam
keterangan tersebut, yaitu mengubah sistem dan kekerasan. Mengenai kekerasan
yang dilakukan FPI, tentu sudah banyak diketahui publik. Beritanya lebih banyak
daripada “kelembutan” mereka ketika melakukan bakti sosial, tanggap bencana,
atau aksi kemanusiaan lainnya sebab sering luput dari amatan pewarta.
Ihwal mengubah sistem, hal ini
yang masih diperdebatkan. Perdebatan ini menemukan momentumnya ketika
Kementerian Dalam Negeri tak kunjung mengeluarkan perpanjangan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) milik FPI yang habis tahun lalu. Mendagri Tito Karnavian
menyebut bahwa hal tersebut dikarenakan terdapat sejumlah poin dalam AD/ART FPI
yang “bermasalah”.
FPI dan segala tindakannya semakin
menyita perhatian manakala mereka masuk pusaran politik, khususnya momen
Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Di Pilkada DKI, “jagoan” mereka
menang. Sementara di Pilpres 2019, sebagaimana diketahui, yang menang adalah
pihak yang tidak mereka dukung.
Sejak dua momen itu, tiap
gerak-gerik FPI dan respon pemerintah terhadapnya kerap kali dibaca sebagai
langkah politik. Dan peristiwa kemarin pun tidak lepas dari analisa semacam
itu.
Perang narasi tak hanya antara polisi
dan FPI, melainkan antar publik, khususnya di media sosial. Publik tak hanya
terbagi dua, yakni yang sepenuhnya pro dan sepenuhnya kontra, melainkan lebih
beragam. Siapa yang bersalah dapat dibuktikan di kemudian hari. Namun, paling
penting adalah jangan sampai perang melawan radikalisme justru menimbulkan
radikalisme baru.
Alih-alih “mengamankan” kedaulatan
NKRI, melawan radikalisme dengan tindak represif malah berpotensi menciptakan
radikalisme baru. Hal semacam ini rentan terhadap penyalah gunaan kewenangan
atau lebih parahnya kejahatan kemanusiaan.
Misteri tragedi ’65 dapat menjadi
cerminan bagaimana kekerasan dilawan dengan kekerasan. Residunya masih terasa
hingga hari ini. Oleh pihak-pihak tertentu, hal semacam ini sering dijadikan
“gorengan” demi kepentingannya sendiri.
Dalam kontek terorisme, Sydney
Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict yang juga peneliti
terorisme di Asia Tenggara, dalam keterangannya di Narasi TV menyebut
bahwa mencari dan memahami motivasi para pelaku terorisme bisa membuat tindak
penanggulangan terorisme lebih cerdas.
Alih-alih menyelesaikan masalah,
membunuh teroris hanya menambah dendam para pengikutnya dan menjadikan semakin
kuat dan menjamur.
Negara tidak boleh kalah oleh
radikalisme dan terorisme namun juga tidak boleh sampai melahirkan radikalisme
baru, dendam baru. Penegakan hukum harus tegas di satu sisi dan efektif di sisi
lain.
Ketika darah telah tumpah, darah
Anak Bangsa, aparat atau pun rakyat, yang sebenarnya terluka adalah bangsa
Indonesia.
Dimuat di Caruban Nusantara pada 11 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar