Minggu, 07 Maret 2021

Memberantas Radikalisme tanpa Melahirkan Radikalisme Baru

 

Belum sembuh luka pembantaian Sigi, Indonesia harus kembali berduka. Senin (7/12/2020) dini hari telah terjadi baku tembak di Tol Jakarta-Cikampek Km 50 antara polisi dengan sejumlah orang yang oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadli Imran di sebut “kelompok pengikut MRS (Muhammad Rizieq Shihab)”.

 

Enam orang yang diduga anggota Front Pembela Islam (FPI) tewas dalam baku tembak tersebut. Polisi menyebut penembakan tersebut dilakukan karena mereka terancam. Pihaknya diserang oleh sepuluh orang dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api ketika melaksanakan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan.

 

FPI punya cerita yang berbeda. Dalam keterangan persnya, mereka menyebut bahwa mobil rombongan MRS dihadang “preman Orang Tak Dikenal (OTK)” di dekat Pintu Tol Kerawang Timur. Orang-orang tak dikenal tersebut menyerang dan menembak laskar pengawal keluarga MRS.

 

Mereka menyebut, enam anggotanya diculik beserta satu unit mobil yang ditumpanginya. Keberadaannya  hingga kini tak diketahui rimbanya. Pihak FPI menduga bahwa penyerang tersebut dilakukan oleh pihak yang menguntit MRS. Demi keamanan pimpinannya tersebut, keberadaan MRS dirahasiakan.

 

Persoalan makin runyam sebab CCTV di sekitar locus delicti versi polisi, yaitu Tol Jakarta-Cikampek Km 50, yang dapat menjadi alat bukti, tidak berfungsi. Dua narasi berbeda plus fakta bahwa CCTV yang berada dibawah kendali Jasa Marga itu mati membuat publik saling lempar curiga. Media sosial, khususnya Twitter, menjadi medan kurusetra antar warganet saling adu argumen terkait hal ini.

 

Tindakan tegas terukur, yang batas akhirnya adalah menghilangkan nyawa seseorang, memang legal secara hukum. Hal itu dapat dilakukan polisi dalam kondisi-kondisi yang sangat khusus sebagaimana diatur ketat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian (Perkapolri 1/2009) dan Peraturan Kepala Kepolisian No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 8/2009). 

 

Baik dalam narasi versi polisi maupun FPI, setidaknya, ada satu hal yang sama, yaitu penyerangan dengan senjata. Siapa pun yang menyerang, tindakan semacam ini sudah bukan lagi tindak radikalisme biasa, melainkan brutal. Yang bicara sudah bukan lagi pentungan atau bogem mentah, tapi senjata tajam dan senjata api.

 

Ribut-ribut Polri versus FPI bukan cerita baru. Ormas ini memang acap kali diidentikan dengan kekerasan dan radikalisme. 1 Juni 2008, misalnya, sejumlah orang yang mengenakan atribut FPI menyerang peserta aksi dari Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang tengah melakukan aksi memperingati lahirnya Pancasila. Sejumlah media disebut sebagai “Insiden Monas”. 

 

Citra radikal yang disematkan sebagian publik pada FPI tidak sepenuhnya salah sekaligus juga tidak sepenuhnya benar. FPI bukan ormas yang selalu dan senantiasa menggunakan jalan kekerasan dalam segala hal. Frasa “senantiasa menggunakan jalan kekerasan” dan “membolehkan kekerasan” adalah dua hal berdekatan namun berbeda.

 

Radikalisme dalam arti luas dapat dimaknai sebagai suatu pandangan yang menjadikan kekerasan sebagai jalannya mencapai tujuan. Seturut pengertian ini maka radikalisme adalah metode, jalan, bukan tujuan. Ia bisa hinggap pada ideologi atau aliran apa saja.

 

Menko Polhukan Mahfud MD, dalam sebuah keterangan di awal tahun 2020 sebagaimana dikutip Merdeka, menyebut bahwa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, radikalisme berarti tindakan melawan hukum untuk mengubah sistem yang dilakukan dengan kekerasan. Dalam pengertian inilah radikalisme digandengkan dengan terorisme.

 

Ada dua poin besar dalam keterangan tersebut, yaitu mengubah sistem dan kekerasan. Mengenai kekerasan yang dilakukan FPI, tentu sudah banyak diketahui publik. Beritanya lebih banyak daripada “kelembutan” mereka ketika melakukan bakti sosial, tanggap bencana, atau aksi kemanusiaan lainnya sebab sering luput dari amatan pewarta.

 

Ihwal mengubah sistem, hal ini yang masih diperdebatkan. Perdebatan ini menemukan momentumnya ketika Kementerian Dalam Negeri tak kunjung mengeluarkan perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) milik FPI yang habis tahun lalu. Mendagri Tito Karnavian menyebut bahwa hal tersebut dikarenakan terdapat sejumlah poin dalam AD/ART FPI yang “bermasalah”.

 

FPI dan segala tindakannya semakin menyita perhatian manakala mereka masuk pusaran politik, khususnya momen Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Di Pilkada DKI, “jagoan” mereka menang. Sementara di Pilpres 2019, sebagaimana diketahui, yang menang adalah pihak yang tidak mereka dukung.

 

Sejak dua momen itu, tiap gerak-gerik FPI dan respon pemerintah terhadapnya kerap kali dibaca sebagai langkah politik. Dan peristiwa kemarin pun tidak lepas dari analisa semacam itu.

 

Perang narasi tak hanya antara polisi dan FPI, melainkan antar publik, khususnya di media sosial. Publik tak hanya terbagi dua, yakni yang sepenuhnya pro dan sepenuhnya kontra, melainkan lebih beragam. Siapa yang bersalah dapat dibuktikan di kemudian hari. Namun, paling penting adalah jangan sampai perang melawan radikalisme justru menimbulkan radikalisme baru.

 

Alih-alih “mengamankan” kedaulatan NKRI, melawan radikalisme dengan tindak represif malah berpotensi menciptakan radikalisme baru. Hal semacam ini rentan terhadap penyalah gunaan kewenangan atau lebih parahnya kejahatan kemanusiaan.

 

Misteri tragedi ’65 dapat menjadi cerminan bagaimana kekerasan dilawan dengan kekerasan. Residunya masih terasa hingga hari ini. Oleh pihak-pihak tertentu, hal semacam ini sering dijadikan “gorengan” demi kepentingannya sendiri.

 

Dalam kontek terorisme, Sydney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict yang juga peneliti terorisme di Asia Tenggara, dalam keterangannya di Narasi TV menyebut bahwa mencari dan memahami motivasi para pelaku terorisme bisa membuat tindak penanggulangan terorisme lebih cerdas.

 

Alih-alih menyelesaikan masalah, membunuh teroris hanya menambah dendam para pengikutnya dan menjadikan semakin kuat dan menjamur.

 

Negara tidak boleh kalah oleh radikalisme dan terorisme namun juga tidak boleh sampai melahirkan radikalisme baru, dendam baru. Penegakan hukum harus tegas di satu sisi dan efektif di sisi lain.  

 

Ketika darah telah tumpah, darah Anak Bangsa, aparat atau pun rakyat, yang sebenarnya terluka adalah bangsa Indonesia.


Dimuat di Caruban Nusantara pada 11 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...