Minggu, 07 Maret 2021

‘Hubungan Gelap’ PLN dan Lebaran Cina

 

Sambil menulis artikel ini, sebenarnya saya dihinggapi was-was terus menerus, khawatir kalau Perusahaan Listrik Negara (PLN) tiba-tiba memadamkan aliran listrik di kampung saya tercinta ini.

 

Maklum, baterai laptop yang saya gunakan ini sudah drop, jadi harus melulu di-charge. Kalau listrik tiba-tiba mati, ya mati juga laptop saya.

 

Perkara mati listrik mendadak memang bukan hal baru di kampung saya. Setelah hampir tiga dekade saya melanglang di muka bumi, soal mati listrik tanpa pemberitahuan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup kami di kampung.

 

Saya tinggal di kampung di kaki Gunung Sawal di Jawa Barat. Seperti lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung” yang legendaris itu, kanan-kiri jalan benar-benar dipagari pohon-pohon. Bedanya, yang berjejer di sepanjang jalan di dan menuju kampung saya bukanlah pohon cemara, tapi berbagai macam pohon dari mulai pohon duren sampai makan favorit panda, bambu.

 

Dan sebagaimana di kampung-kampung lain di Indonesia, pohon-pohon yang berusia lebih tua dari saya itu berbagi ruang dengan kabel listrik milik PLN. Tepat di samping rumah, kabel listrik itu bukan saja berbagi ruang, melainkan saling berkelindan, bersilang sengkarut, dengan pohon jeruk dan pisang.

 

Tiap kali pisang matang dan pohonnya harus ditebang, saya harus benar-benar mengukur secara presisi arah jatuhnya pohon itu. Salah hitung bisa panjang urusannya. Listrik satu kampung berpotensi mendadak mati.

 

Ketika musim hujan datang, kemungkinan listrik padam menjadi berkali-kali lipat. Apalagi di bulan-bulan ini. Angin di bulan Junuari hingga Maret biasanya berhembus lebih kencang dari bulan-bulan lain. Secara klimatologis arah dan kecepatan angin disebabkan oleh sekian gejala alam yang terjadi, termasuk kelembaban udara dan perubahan suhu di lautan lepas.

 

Musim angin kencang seperti bulan-bulan ini biasa dikenal oleh orang-orang di kampung saya dan secara umum di Jawa Barat sebagai pertanda sebentar lagi akan Lebaran Cina. Yap, Lebaran Cina alias Tahun Baru Imlek.

 

Mengapa di sebut lebaran? Meski hampir di tiap rumah memasang kalender yang ada tanggalan Masehi dan Hijriahnya, yang jelas kapan tahun barunya, tapi orang-orang di kampung biasanya Idul Fitri atau lebaran sebagai momen “tutup tahun”.

 

Segala usaha “mencari dunia” selama sebelas bulan nyaris diorientasikan sepenuhnya pada lebaran. Tidak heran ketika akhir bulan puasa, orang-orang sibuk menghabiskan uang untuk segela keperluan. Bahkan untuk hal yang ngga perlu-perlu amat.

 

Sebagai penanda waktu, lebaran juga dijadikan patokan. Pertanyaan “kapan kawin?” biasanya akan dibalas dengan lebaran sebagai patokannya: “lebaran tahun depan”.

 

Karena terbiasa memaknai lebaran sebagai momen pergantian tahun, maka Tahun Baru Imlek juga disebut Lebaran Cina. Kenapa 1 Januari tidak disebut lebaran juga? Ah, saya belum nemu jawabannya. Mudah-mudahan lebaran tahun ini saya bisa dapat jawabannya.

 

Kembali ke soal pokok sesuai judul tulisan ini. Nah, karena angin berhembus kencang menjelang Lebaran Cina ini maka banyak ponsia alias pohon lanjut usia yang tak kuat lagi tegak berdiri. Mereka tumbang.

 

Tubuh jangkung mereka tak jarang menimpa kabel yang melintang. Demi mengurasi resiko kesetrum, petugas PLN tentu harus mematikan dulu aliran listrik ketika hendak membetulkan kabel yang malang itu. Walhasil, listrik di kampung saya dan sekian kampung lainnya padam.

 

Kalau itu terjadi di malam hari, kampung kami tahun 2021 ini tak beda dengan Hindia Belanda di zaman kolonial: gelap gulita.

 

Tapi sebenarnya saya dan kebanyak warga di kampung ini masih bersyukur. Kondisi di sini, meski menjelang Lebaran Cina, masih terbilang baik ketimbang saudara-saudara kami di pelosok Papua yang konon masih banyak yang belum menikmati listrik.

 

Tapi, wajar donk kalau saya cerita kaya gini. Saya kan bayar listrik juga tiap bulan. Tanpa subsidi pula. Saya bukan ngeluh kok. Apalagi mengkritik. Cuma curhat ini mah.

 

Moga-moga Bapak Zulkfli Zaini Sang Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara atau sekalian Bapak Erick Thohir adalah salah satu pembaca blog saya sehingga curhatan urang kampung ini bisa membuka mata bahwa Indonesia bukan cuma Jakarta dan Jawa Barat bukan cuma Bandung.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...