Minggu, 07 Maret 2021

Masa Depan Setelah Pandemi

 

Pandemi masih berlangsung, entah sampai kapan. Di awal-awal bencana non-alam ini masuk ke Indonesia, semua panik. Negara dan rakyat, sama paniknya, khususnya yang tinggal di kota. Orang-orang desa agak telat paniknya sebab penyakit itu memang dirasa jauh, tak mungkin menerpa mereka. Dan mereka mulai panik, terutama, ketika lebaran. Mudik, bagi sebagian wilayah, justru membawa bencana.

 

Kini, semua sudah merasa “biasa”. Normal baru, katanya. Sebagian berupaya patuh dengan kesadaran. Sebagian yang lain patuh dengan terpaksa. Dan kalau kira-kira tidak ada yang mengawasi, balik lagi ke normal lama: tidak bermasker, tidak menjaga jarak, dan tidak perlu mencuci tangan.

 

Selain menekan banyak hal, di sisi lain pandemi ini justru menggenjot banyak hal juga. Salah satu yang menonjol dan dirasakan hampir di semua bidang kehidupan adalah teknologi.

 

Lantaran virus ini menyebar melalui percikan air ludah dari orang yang terpapar dan dalam kondisi tertentu dapat menular melalui udara, maka perjumpaan fisik adalah salah satu hal yang sangat dihindari. Kalaupun harus jumpa, protokol kesehatan ketat wajib dilakukan. Bagaimana manusia bisa saling terhubung dan tetap bekerja tanpa harus jumpa? Jawabnya, teknologi.

 

Komunikasi jarak jauh tanpa jumpa fisik memang bukan barang baru. Tapi, rapat, pertemuan, atau sekolah tanpa tatap muka langsung, masih terbilang baru sebelum pandemi ini menerjang. Sekolah, ya, datang ke sekolah. Rapat, ya, bertemu di ruang rapat. Tapi, gara-gara pandemi, semua berubah.

 

Semua yang mungkin dikerjakan teknologi, demi mengurangi perjumpaan fisik, lebih baik dikerjakan teknologi. Pentas seni pun dilakukan secara daring, secara virtual. Teater, misalnya, akhirnya patuh pada kamera. Gagasan mengawinkan teater dan sinema jadi marak dibicarakan, meski bukan hal yang benar-benar baru.

 

Tahun 2004, seorang sutradara teater dan film cum professor teater di Stanford University, California, Amerika Serikat, Babak A. Ebrahimian, sudah menerbitkan buku The Cinematic Theater [Teater Sinematik]. Sebagaimana judulnya, isinya lebih kurang mengenai “perkawinan” teater dan sinema, hal yang kini marak dilakukan di Indonesia.

 

Tak hanya seni pertunjukan, bisnis kuliner pun bernegosiasi. Sejumlah kafe dan restoran di berbagai negara makin marak yang menggunakan robot baik untuk memasak maupun menyajikan makanan. Sebelum pandemi, motif utamanya pengurangan karyawan demi untung yang lebih besar. Namun kini, ada alasan lain: menghindari kontak antar manusia. Dan gara-gara pandemi pula, restoran dan kafe yang melakukan itu berkali lipat jumlahnya.

 

Dunia pendidikan juga nego. Meski sejumlah negara dan daerah di Indonesia telah melakukan sekolah tatap muka, namun sekolah daring masih dianggap lebih minim resiko daripada harus jumpa fisik. Sebagaimana diketahui, syarat utama sekolah daring adalah adanya perangkat teknologi yang memungkinkan hal itu terjadi. Harus ada, minimalnya, telepon pintar, jaringan internet, dan kuota.

 

Sampai kapan kondisi ini terjadi? Katanya, sampai pandemi benar-benar berakhir. Tapi, apakah benar begitu?

 

Sebelum pandemi terjadi, dunia sedang masuk ke dalam era yang disebut Revolusi Industri 4.0, yaitu suatu masa ketika manusia terkoneksi dengan internet dalam hampir semua bidang kehidupan. Jargonnya, Internet of Thing (IoT) [Internet untuk Segala (-nya)]. Dengan jelas, jargon tersebut telah mengandung semangat dan tujuan Revolusi Indsutri 4.0 itu sendiri.

 

Nantinya, apa yang digambarkan oleh film-film Hollywood semacam I, Robot, Minority Report, A.I. Artificial Intelligence, Transcendence, bahkan Terminator pun boleh jadi bakal jadi kenyataan.

 

Bukannya tersendat, akibat pandemi, Revolusi Industri 4.0 justru mendapat lahan subur. Penelitian, penciptaan, dan pemanfaatan teknologi “dipaksa” ngebut. Semua mengalami percepatan. Awalnya, karena kondisi darurat. Demi memantau persebaran virus, demi kesehatan, demi keselamatan, demi jalannya ekonomi, dan lain sebagainya.

 

Namun, sebagimana yang ditulis Yuval Noah Harari dalam Homo Deus dan beberapa esainya tentang pandemi COVID-19, teknologi yang digunakan atas nama kondisi darurat ini boleh jadi akan ditepakan terus meski status darurat itu sudah dicabut.

 

Yuval memang lebih menyoroti teknologi pengawasan yang dikembangkan untuk memantau kondisi kesehatan yang berpotensi digunakan negara atau pihak tertentu untuk mengontrol masyarakat demi kekuasaan atau bisnis. Tapi tidak menutup kemungkinan masyarakat sendiri terlampau asyik dengan teknologi yang memanjakan itu, merasa nyaman, dan terus menggunakannya.

 

Jika rapat bisa dilakukan melalui aplikasi telekonfrensi, tinggal duduk di kamar di depan laptop atau gawai, waktu lebih efektif digunakan sehingga bisa melakukan banyak hal lain, mengapa harus susah-susah bertemu langsung? Bukankah lebih boros uang dan waktu jika harus bertemu?

 

Meski perjumpaan fisik lebih berkesan, lebih “berasa”, lebih hangat, lebih membuka banyak kemungkinan, dan dalam kondisi tertentu lebih efektif, pikiran “mengapa harus susah-susah bertemu”  bukan suatu yang mustahil ada. Apalagi jika yang logika kapitalisme sudah turut campur, efisiensi demi keuntungan berlimpah adalah poin penting yang harus selalu disadari dan diupayakan.

 

Internet of Thing memang belum sempurna. Di Indonesia sendiri, jaringan internet masih belum tersebar merata. Bagi sebagian orang di Indonesia, jangankan membicarakan, membayangkan segala hal terkoneksi dengan internet saja bukanlah hal mudah.

 

Kehidupan yang serba teknologis, ter-internet-isasi, terdigitalisasi, bagi sebagian orang di Indonesia, memang baru imajinasi. Tiga atau empat generasi (di desa-desa di Indonesia) yang akan datang, boleh jadi baru mengecapnya perlahan-lahan.

 

Namun, kemajuan ilmu pengetahuan membuat perkembangan teknologi kian hari kian mengalami percepatan. Apalagi dengan hantaman pandemi ini, percepatannya dikuadratkan karena darurat. Gempuran teknologi itu pasti datang, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.

 

Maka, daripada tidak siap sama sekali dan akhirnya terseret-seret, bersiap-siap adalah pilihan paling masuk akal. Atau, menyingkir sekalian dan menciptakan masa depan sendiri.


Dimuat di kolom detik.com Selasa, 15 Desember 2020 dengan judul "Percepatan Memasuki Masa Depan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...