Pandemi masih berlangsung, entah
sampai kapan. Di awal-awal bencana non-alam ini masuk ke Indonesia, semua
panik. Negara dan rakyat, sama paniknya, khususnya yang tinggal di kota.
Orang-orang desa agak telat paniknya sebab penyakit itu memang dirasa jauh, tak
mungkin menerpa mereka. Dan mereka mulai panik, terutama, ketika lebaran.
Mudik, bagi sebagian wilayah, justru membawa bencana.
Kini, semua sudah merasa “biasa”.
Normal baru, katanya. Sebagian berupaya patuh dengan kesadaran. Sebagian yang
lain patuh dengan terpaksa. Dan kalau kira-kira tidak ada yang mengawasi, balik
lagi ke normal lama: tidak bermasker, tidak menjaga jarak, dan tidak perlu
mencuci tangan.
Selain menekan banyak hal, di sisi
lain pandemi ini justru menggenjot banyak hal juga. Salah satu yang menonjol
dan dirasakan hampir di semua bidang kehidupan adalah teknologi.
Lantaran virus ini menyebar
melalui percikan air ludah dari orang yang terpapar dan dalam kondisi tertentu
dapat menular melalui udara, maka perjumpaan fisik adalah salah satu hal yang
sangat dihindari. Kalaupun harus jumpa, protokol kesehatan ketat wajib
dilakukan. Bagaimana manusia bisa saling terhubung dan tetap bekerja tanpa
harus jumpa? Jawabnya, teknologi.
Komunikasi jarak jauh tanpa jumpa
fisik memang bukan barang baru. Tapi, rapat, pertemuan, atau sekolah tanpa
tatap muka langsung, masih terbilang baru sebelum pandemi ini menerjang.
Sekolah, ya, datang ke sekolah. Rapat, ya, bertemu di ruang rapat. Tapi,
gara-gara pandemi, semua berubah.
Semua yang mungkin dikerjakan
teknologi, demi mengurangi perjumpaan fisik, lebih baik dikerjakan teknologi.
Pentas seni pun dilakukan secara daring, secara virtual. Teater, misalnya,
akhirnya patuh pada kamera. Gagasan mengawinkan teater dan sinema jadi marak
dibicarakan, meski bukan hal yang benar-benar baru.
Tahun 2004, seorang sutradara
teater dan film cum professor teater di Stanford University, California,
Amerika Serikat, Babak A. Ebrahimian, sudah menerbitkan buku The Cinematic
Theater [Teater Sinematik]. Sebagaimana judulnya, isinya lebih kurang
mengenai “perkawinan” teater dan sinema, hal yang kini marak dilakukan di
Indonesia.
Tak hanya seni pertunjukan, bisnis
kuliner pun bernegosiasi. Sejumlah kafe dan restoran di berbagai negara makin
marak yang menggunakan robot baik untuk memasak maupun menyajikan makanan.
Sebelum pandemi, motif utamanya pengurangan karyawan demi untung yang lebih
besar. Namun kini, ada alasan lain: menghindari kontak antar manusia. Dan
gara-gara pandemi pula, restoran dan kafe yang melakukan itu berkali lipat
jumlahnya.
Dunia pendidikan juga nego. Meski
sejumlah negara dan daerah di Indonesia telah melakukan sekolah tatap muka,
namun sekolah daring masih dianggap lebih minim resiko daripada harus jumpa
fisik. Sebagaimana diketahui, syarat utama sekolah daring adalah adanya
perangkat teknologi yang memungkinkan hal itu terjadi. Harus ada, minimalnya,
telepon pintar, jaringan internet, dan kuota.
Sampai kapan kondisi ini terjadi?
Katanya, sampai pandemi benar-benar berakhir. Tapi, apakah benar begitu?
Sebelum pandemi terjadi, dunia
sedang masuk ke dalam era yang disebut Revolusi Industri 4.0, yaitu suatu masa
ketika manusia terkoneksi dengan internet dalam hampir semua bidang kehidupan.
Jargonnya, Internet of Thing (IoT) [Internet untuk Segala (-nya)].
Dengan jelas, jargon tersebut telah mengandung semangat dan tujuan Revolusi
Indsutri 4.0 itu sendiri.
Nantinya, apa yang digambarkan
oleh film-film Hollywood semacam I, Robot, Minority Report, A.I.
Artificial Intelligence, Transcendence, bahkan Terminator pun
boleh jadi bakal jadi kenyataan.
Bukannya tersendat, akibat pandemi,
Revolusi Industri 4.0 justru mendapat lahan subur. Penelitian, penciptaan, dan
pemanfaatan teknologi “dipaksa” ngebut. Semua mengalami percepatan. Awalnya,
karena kondisi darurat. Demi memantau persebaran virus, demi kesehatan, demi
keselamatan, demi jalannya ekonomi, dan lain sebagainya.
Namun, sebagimana yang ditulis Yuval
Noah Harari dalam Homo Deus dan beberapa esainya tentang pandemi
COVID-19, teknologi yang digunakan atas nama kondisi darurat ini boleh jadi
akan ditepakan terus meski status darurat itu sudah dicabut.
Yuval memang lebih menyoroti
teknologi pengawasan yang dikembangkan untuk memantau kondisi kesehatan yang
berpotensi digunakan negara atau pihak tertentu untuk mengontrol masyarakat
demi kekuasaan atau bisnis. Tapi tidak menutup kemungkinan masyarakat sendiri
terlampau asyik dengan teknologi yang memanjakan itu, merasa nyaman, dan terus
menggunakannya.
Jika rapat bisa dilakukan melalui
aplikasi telekonfrensi, tinggal duduk di kamar di depan laptop atau gawai,
waktu lebih efektif digunakan sehingga bisa melakukan banyak hal lain, mengapa
harus susah-susah bertemu langsung? Bukankah lebih boros uang dan waktu jika
harus bertemu?
Meski perjumpaan fisik lebih
berkesan, lebih “berasa”, lebih hangat, lebih membuka banyak
kemungkinan, dan dalam kondisi tertentu lebih efektif, pikiran “mengapa harus
susah-susah bertemu” bukan suatu yang
mustahil ada. Apalagi jika yang logika kapitalisme sudah turut campur,
efisiensi demi keuntungan berlimpah adalah poin penting yang harus selalu
disadari dan diupayakan.
Internet of Thing memang belum sempurna. Di
Indonesia sendiri, jaringan internet masih belum tersebar merata. Bagi sebagian
orang di Indonesia, jangankan membicarakan, membayangkan segala hal terkoneksi
dengan internet saja bukanlah hal mudah.
Kehidupan yang serba teknologis,
ter-internet-isasi, terdigitalisasi, bagi sebagian orang di Indonesia, memang
baru imajinasi. Tiga atau empat generasi (di desa-desa di Indonesia) yang akan
datang, boleh jadi baru mengecapnya perlahan-lahan.
Namun, kemajuan ilmu pengetahuan
membuat perkembangan teknologi kian hari kian mengalami percepatan. Apalagi
dengan hantaman pandemi ini, percepatannya dikuadratkan karena darurat. Gempuran
teknologi itu pasti datang, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.
Maka, daripada tidak siap sama
sekali dan akhirnya terseret-seret, bersiap-siap adalah pilihan paling masuk
akal. Atau, menyingkir sekalian dan menciptakan masa depan sendiri.
Dimuat di kolom detik.com Selasa, 15 Desember 2020 dengan judul "Percepatan Memasuki Masa Depan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar