Tidak ada masalah dengan takut sebelum
ia dimanipulasi, sebelum takut-takut palsu diciptakan.. Takut berjasa besar
melestarikan spesies homo sapiens. Tanpa takut, mustahil manusia mampu lestari
hingga kini.
Karena takut, manusia mencari perlindungan.
Melihat dahsyatnya angin, lebatnya hujan, hewan buas, dan sekian fenomena alam
yang mengerikan, yang menimbulkan rasa takut, manusia berlindung di gua-gua, di
rumah, atau di mana saja sejauh ia merasa aman.
Takut selalu memiliki objek. Artinya
takut selalu datang beserta hal/objek yang ditakuti. Mati adalah takut paling
purba dan berlaku untuk semua mahluk hidup. Mati adalah kondisi “non-ada”,
sesuatu yang amat sangat ditakuti segenap spesies.
Manusia tidak meminta dirinya
“ada” dan “meng-ada”. Namun, toh manusia “ada” juga. Dari mana asal “ada”, mau
ke mana “ada”, dan ada apa setelah “non-ada” jadi salah satu misteri terbesar
dalam hidup manusia. Mati jadi sumber takut karena manusia tidak memiliki pengetahuan
tentangnya dan setelahnya. Tentang ada apa setelah mati. Takut bisa lahir dari
ketidaktahuan atau sebaliknya, karena saking tahunya. Manusia tidak memiliki
pengetahuan prihal mati, prihal ada apa setelah mati. Karena tidak tahu maka
takut.
Dalam hal ini agama memberi
bocoran ada apa setelah mati. Ada kehidupan setelah mati. Ada “ada” setelah
“non-ada”. Mati, sebagaimana lahir, hanya gerbang menuju fase hidup
selanjutnya. Karena diberi bocoran, takut mati sedikit berkurang. Sebagian
malah tidak takut sama sekali. Justru diburu. Memburu mati. Mati yang mulia.
Tapi bocoran eskatologis agama
tidak memuaskan semua pihak. Takut masih tetap menggelayut. Filsafat tidak puas. Para pemikir berupaya
mencari jawaban sendiri. Demikian pula para ilmuwan. Tiap-tiap mereka berpegang
pada ajaran “ada” dan “meng-ada” yang boleh jadi berbeda-beda.
Satu hal yang mempersatukan mereka
tentang “ada” adalah bahwa bagaimanapun penjelasan prihal “ada” itu, kendatipun
setelah diberi bocoran oleh agama, manusia, pada dasarnya, takut “non-ada”, takut
non-eksis.
Takut mati adalah naluri tiap-tiap
mahluk hidup. Untuk alasan itulah mahluk hidup terus berusaha mempertahankan
kelangsungan spesiesnya; tumbuh dan berkembang; tetap dan terus mencari makan,
berlindung dari bahaya, dan berkembang biak.
Sampai pada titik tertentu, takut
berfungsi sebagai pelestari spesies. Ketakutan terhadap mati telah mendorong
manusia dan semua spesies untuk bertahan hidup. Hewan-hewan memiliki insting
kuat untuk sembunyi, kabur, melawan, atau mengelabui pemangsanya. Atau memangsa
dengan segala cara demi kelangsungan hidup. Karena tidak memiliki akal yang
berkembang seperti manusia, Tuhan melengkapi hewan dengan berbagai macam
kemampuan unik untuk bertahan hidup selaras dengan bentuk tubuh dan habitatnya.
Sebatas demi kelangsungan hidup
dan melindungi diri bahaya alamiah, takut berperan sangat penting. Sampai saat
ini, pada kelompok spesies lain selain manusia, takut masih tetap seperti itu.
Dan tidak ada masalah dengannya.
Mati adalah pasti. Secara alamiah,
tua adalah tangga kematian. Kecuali itu, sakit dan luka juga. Karena manusia
takut mati maka segala yang mendekatkan manusia pada mati dijauhi, dihindari,
dilawan. Kalau perlu dimusnahkan sama sekali.
Entah sejak kapan tua ditakuti.
Entah sejak kapan manusia-manusia menghindari atau mengatasi keriput dan uban
sebagai tanda lanjut usia. Apa benar Cleopatra yang mashur itu minum jamu awet
muda, mengolesi tubuhnya dengan ramuan anti-aging, mengenakan wig hitam,
atau mengecat rambutnya? Entahlah.
Tua adalah pasti. Sepasti,
seniscaya, mati. Tapi sakit dan luka tidak. Ia tidak musti, melainkan potensial terjadi pada manusia. Oleh
karenanya, sakit dan luka dapat dihindari. Kalau sudah terlanjur, maka dengan
segala cara harus dimusnahkan. Diobati. Dipulihkan. Manusia harus pulih seperti
sedia kala, harus jauh dari mati.
Sebab mati adalah takut paling
utama, maka segala hal yang menarik manusia mendekati mati haruslah dijauhi,
termasuk sakit dan luka. Tubuh mesti kembali ke “ada” yang sempurna, yang tanpa
sakit, yang tanpa luka. Yang jauh dari mati.
Atas dasar itu ilmu medis
berkembang. Di semua kebudayaan, dari yang terkecil, sederhana, dan acap kali
disebut primitif, yaitu suku-suku di pedalaman hutan atau pulau terpencil,
sampai peradaban besar, kompleks, dan paling maju di metropolis-metropolis,
dukun/shaman/tabib/dokter atau sebutan lainnya selalu ada. Tugas utama mereka,
pertama-tama sekali adalah memulihkan tubuh lahir atau batin, fisik dan/atau
psikis, dari sakit dan luka, agar jauh dari mati.
Menjauhkan mati dari “aku” yang
lain, yaitu keluarga, kerabat, atau anggota komunitas masih dapat digolongkan
alamiah. Bukan cuma manusia yang melakukannya, tiap-tiap hewan sosial juga
melakukan hal yang sama.
Pada titik ini, “aku” mengalami
perluasan. Yang “aku” bukan hanya “aku-diri-yang-aku-sadari”, melainkan
“aku-yang-lain” sejauh “aku” mengidentifikasi dan menyadarinya sebagai “sama”.
Kesadaran sosial macam ini adalah khas manusia dan hewan-hewan sosial macam
kera, singa, serigala, dan lain sebagainya.
Pada hewan, takut berhenti pada
menjauhi mati meski mati adalah pasti. Tapi tidak demikian dengan manusia.
Takut tak berhenti sampai di sana. Ia berkembang terus sejalan dengan
perkembagan akal budi dan peradaban manusia.
Setelah takut mati, lalu sakit dan
luka, kemudian takut tua, manusia takut kehilangan harta. Hal ini muncul
sejalan dengan lahirnya konsep hak milik dan harta benda. Manusia memperluas lagi
“aku” tak hanya sebatas “tubuh fisik”, tak hanya nyawa, tak hanya “hidupku”,
melainkan “benda di luar tubuh dagingku adalah milikku”, adalah “aku”. Oleh
sebab demikian, benda-benda “milikku” dipertahankan sebagaimana “aku” sebab “ke-non-ada-an
benda adalah ke-non-ada-an aku”.
Setelah hinggap di benda-benda,
termasuk tanah, sumber air, dan sumber makanan lainnya, takut menclok di
kepala. Kemampuan manusia mengolah gagasan tanah air, bangsa, harga diri,
martabat, kehormatan, dan hal-hal abstrak semacam itu membawa serta takut dalam
dirinya.
Takut harga diri diinjak-injak.
Takut martabat dan kehormatan dilecehkan. Takut bangsa dan tanah airnya
“tercemar” oleh bangsa lain. Dan ratusan takut lain yang merupakan kawanan atau
turunan dari takut-takut semacam itu lahir dan terus berkembang hingga kini.
Ketika manusia mulai menyadari
dahsyatnya kekuatan takut, mereka mulai mengelolanya demi tujuan-tujuan
tertentu. Pada titik ini, lahirlah apa yang sekarang kita kenal dengan ancaman.
Ancaman adalah menakut-nakuti. Membuat orang lain takut. Menghantarkan objek
takut mendekati subjeknya demi suatu
tujuan pihak yang menakut-nakuti.
Pada dasarnya ancaman bukan
sesuatu yang buruk. Tuhan juga mengancam manusia. Tujuannya demi kebaikan
manusia sendiri. Sama sekali bukan untukNya. Tuhan tak butuh apa pun dari siapa
pun.
Manusia meniru Tuhan dalam hal
ancam-mengancam. Demi apa? Tidak seperti Tuhan yang mengancam demi kebaikan
yang diancam, manusia mengancam demi keuntungan atau tujuan si pengancam. Itu
bedanya. Pasti beda walau meniru sekuat tenaga. Tuhan tak mungkin disamai oleh
apa pun, oleh siapa pun.
Ketika otoritas manusia
mengejawantah dalam suatu tatanan sosial, pada saat itu, takut tidak lagi hanya
menjadi sumber tenaga dan inspirasi untuk melindungi “diri” (konkret/fisik/daging
maupun abstrak). Takut telah disadari kekuatan dahsyatnya. Oleh sekelompok
orang, sebut saja otoritas, takut dikelola sedemikian rupa.
Takut dijadikan senjata. Wujud
nyatanya adalah ancaman. Lebih rendahnya adalah gertakan. Karena sama-sama
manusia, maka manusia kelompok A tahu bahwa manusia kelompok B juga takut mati,
sakit, luka, kehilangan harta, sama seperti dirinya. Maka sumber takut itu
didekatkan padanya. Ancaman.
“Jika kau …., maka aku akan …..”,
“jika kau ….., maka aku tak akan….”, “jika kau tak…, maka aku akan ….”, “jika
kau tak …., maka aku tak akan…..”, demikian rumusan preposisinya. Ancaman
selalu berupa preposisi implikatif.
Semua hukum dan undang-undang di
seluruh dunia sejak sebelum Masehi hingga kini berisi ancaman. Kodex Hammurabi,
hukum tertulis pertama di dunia, seluruhnya merupakan ancaman hukuman,
disajikan dalam preposisi implikatif “jika…. maka….”.
Aturan selalu beserta ancaman
hukuman bagi pelanggarnya. Dalam bahasa lain disebut sanksi. Di mana pun. Kapan
pun. Negara berdiri di atas dan dengan segenap ancaman. Otoritas mengatur
manusia dengan ancaman. Takut dikelola sedemikian rupa demi tercapai suatu
keteraturan. Demikianlah negara. Demikian otoritas, dalam bentuk apa pun.
Setelah negara, termasuk politisi
di dalamnya, pemilik modal adalah entitas lain yang lebih cerdas mengelola
takut. Boleh jadi yang paling cerdas. Untuk secara efektif dan tepat mengelola
takut, pertama-tama mereka membiaskan kebutuhan dan keinginan manusia.
Apa yang dibutuhkan terkadang
tidak selamanya adalah apa yang diinginkan. Sebagian—untuk tidak mengatakan
kebanyakan—manusia tidak tahu apa yang ia butuhkan. Muasalnya karena ia tidak
secara baik dan mendalam mengenal “aku”. Akibatnya, kebutuhan dan keinginan
acap kali bias (seperti opini dan fakta). Tertukar tanpa niat dan sengaja
karena ketidaktahuan. Karena kebodohan. Atau dengan niat dan sengaja ditukar
oleh pemilik modal. Atau otoritas. Atau siapa saja yang mau.
Kebutuhan adalah bagian konkret
dari “aku”. Ke-non-ada-annya menyebabkan “aku” bukan “aku” atau setidaknya
menyebabkan kondisi “aku” tidak prima sebagaimana “aku” seharusnya. Pada titik
tertentu bahkan dapat mendekatkan mati.
Ketika kebutuhan terpenuhi, hidup
menjadi pas. Cukup. Tidak kurang tidak lebih. Makan yang disarankan agama dan
ilmu pengahuan yang jujur adalah makan yang cukup. Pas untuk keberlangsungan
hidup yang prima.
Demikian pula seks, perlindungan
diri dari bahaya, martabat, harga diri, harta, seni, dan segala hal dalam
hidup, agama dan ilmu pengetahuan yang jujur menganjurkan berhenti pada cukup.
Tetapi hasrat manusia menghendaki lain.
Tidak seperti hewan, manusia
berpotensi untuk hidup lebih dari cukup. Inilah keinginan. Keinginan tidak
selamanya berarti dan tidak sama dengan kebutuhan. “Lebih dari cukup”, dengan
segala keburukannya, adalah pendorong lahir dan majunya peradaban.
Jika merasa cukup dengan surat
menyurat dan tidak menginginkan lebih dari itu, mustahil telepon dan internet
dengan segala keajaibannya lahir. Jika merasa cukup dengan kereta kuda dan
tidak menginkan lebih dari itu, tidak mungkin kereta api, mobil, pesawat
terbang, dan mode transportasi moderen lainnya diciptakan. Jika memulihkan
sakit dan luka di rasa cukup demi kelangsungan hidup, ilmu medis dan kesehatan tidak
akan mengenal bedah estetis. Juga tidak akan ada hal yang bernama binaraga.
Keinginan adalah mengenai lebih.
Memakan daging sapi panggang dirasa cukup mengenyangkan dan nikmat. Namun,
lebih nikmat jika ….. Berhubungan seks dengan pasangan sah sudah cukup. Namun,
lebih asik jika….
Dari keinginan hal ihwal makan
saja, muncullah jutaan restoran dan perusahaan pembuat alat-alat masak. Berkembanglah
ilmu masak-memasak lengkap dengan sekolahnya. Dari soal berhubungan seks,
muncullah bisnis prostitusi yang kemudian melahirkan sekian banyak profesi
turunannya.
Baik ingin maupun butuh sama-sama
mengandung takut, yaitu takut tidak terpenuhinya kebutuhan dan takut tidak
tergapainya keinginan. Apa yang terjadi jika tidak terpenuhi dan tidak
tergapai? Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan disharmoni hidup
secara nyata. Konkret dan seketika itu juga terjadi. Mental, fisik, individual,
maupun sosial acak-acakan. Akan menyebabkan “ada” yang tidak prima. Sakit.
Hidup jadi kacau.
Perlindungan dari bahaya adalah
kebutuhan. Jika tidak terpenuhi, mental akan kacau sebab ketakutan tidak
teratasi. Tubuh daging juga terdampak. Apa yang terjadi jika seorang manusia,
tanpa busana, tiap hari terpapar sinar
matahari dan kehujanan? Apa yang terjadi jika seorang manusia tidak makan dan
minum selama tiga puluh hari?
Dengan beberapa pengeculian
seperti yang dilakukan sejumlah mistikus dan spiritualis, kebutuhan yang tidak
terpenuhi, pada akhirnya, akan mendekatkan mati, mendekatkan kondisi “non-ada”,
yaitu takut paling purba dan eksistensial.
Tapi tidak demikian dengan
keinginan. Dampak paling nyata dari tidak tercapainya keinginan adanya dalam
pikiran. Abstrak. Berupa emosi-emosi dan perasaan: sedih, marah, kecewa,
stress. Semua itu pasti berdampak pada hidup, mirip dengan kebutuhan. Bedanya,
keinginan dapat diatasi bukan hanya dengan menggapainya, melainkan juga dengan mengatasainya
dalam pikiran.
Keinginan sepenuhnya berada dalam
kendali manusia. Up to us, kata orang-orang Stoisisme. Dapat diubah
kapan saja. Kebutuhan tidak demikian. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka,
manusia butuh makan, misalnya. Hal demikian diluar kuasa manusia sebab
merupakan hukum Tuhan demi hidup manusia yang cukup. Yang pas.
Pemilik modal paham betul prihal
takut pada kebutuhan dan keinginan. Takut dalam rupa ini dijadikan bahan bakar
utama menggenjot kontinuitas produksi. Barang selalu dibuat. Terus, tanpa
henti.
Demi keuntungan yang berlipat,
ingin dan butuh ditukar-biaskan. Setelah pandanganya kabur, manusia dimanupasi agar selalu menghendaki
lebih. Dari sini keuntungan ekstra di dapat. Mengandalkan penjualan kebutuhan
hingga terpenuhi kebutuhan saja tidaklah menjamin pabrik terus beroperasi.
Keinginan harus dipupuk terus.
Lagi dan lagi. Lebih dan lebih. Kalau perlu menciptakan keinginan-keinginan
artifisial yang kemudian menyusup ke alam batin menjadi seolah kebutuhan. Ya,
kebutuhan palsu.
Agar nampak nyata, para pemilik
modal menciptakan semesta yang kompatibel dengan kebutuhan palsu itu. Apakah
manusia benar-benar butuh untuk pergi ke bulan? Apakah manusia benar-benar
butuh akan batuan yang ditambang dari bulan?
Pemilik modal mengatakan butuh
sebab energi tak terbarukan yang ada di bumi akan habis. Kebutuhan itu dilegitimasi oleh negara dan
ilmu pengetahuan yang tidak jujur, yang sepenuhnya didanai pemilik modal. Padahal
kebutuhan manusia untuk hidup cukup dan pas, untuk mengatasi takut yang
mendasar, tidak demikian adanya.
Jika bumi sudah demikian keropos,
kenapa tidak berhenti mengebor dan kembali ke cara-cara kuno dalam mengelola
hidup, bumi dan energi? Atau menciptakan cara baru yang lebih sesuai dengan
kebutuhan yang jujur, bukan keinginan?
Contoh yang lebih dekat: apakah
belanja, membeli suatu barang yang ada di warung tetangga, benar-benar
membutuhkan toko daring (online shop)? Apakah membeli telepon pintar
ter-update dari merek dagang tertentu adalah kebutuhan? Apakah
murid-murid benar-benar membutuhkan kursus daring? Apakah asuransi benar-benar
kebutuhan hidup? Dapatkah “aku” prima tanpa asuransi, tanpa telepon pintar
ter-update dari merek tertentu, tanpa kursus daring? “Akankah mati mendekatiku
bila aku tidak memenuhi atau menggapai semua itu?”
Daftar pertanyaan itu bisa
diperpanjang. Dan tiap pertanyaan dengan sendirinya mengandung takut. Kebutuhan palsu dalam dirinya sendiri membawa
takut palsu. Takut yang tidak mendasar, yang sama sekali jauh dari takut paling
eksistensial: takut tidak update, takut ketinggalan gosip, takut tidak
gaul, dan jutaan takut yang lain.
Demikialah takut.
sumber gambar:
https://www.flickr.com/photos/arakrune/5214097092/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar