Seni pertunjukan lumpuh. COVID-19 menghajarnya habis-habisan. Gara-gara pelarangan berkumpul, berkerumun, dan anjuran di rumah saja, banyak pertunjukan diundur. Atau dibatalkan.[1] Sebagai alternatif di masa darurat, banyak pihak menyelenggarakan “seni pertunjukan daring (dalam jaringan)”.
Macam-macam
ragamnya. Bakti Budaya Djarum Foundation menyelenggarakan
#NontonTeaterDiRumahAja lewat kanal YouTube Indonesia Kaya. Pertunjukan teater
yang pernah dipentaskannya “diputar ulang”. Bunga
Penutup Abad (naskah/sutradara: Wawan Sofwan) yang merupakan adaptasi dari
novel Bumi Manusia-nya Pram,[2] Citraresmi (naskah: Toni Lesmana,
sutradara: Wawan Sofwan),[3]
dan Nyanyi Sunyi Revolusi (naskah:
Ahda Imran, sutradara: Iswadi Pratama)[4]
adalah beberapa nomor yang disiarkan dalam program tersebut.
Tanda pagar
#pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah marak sejak masa pandemi. Kemenparekraf
membuat program Pentas Di Rumah: seniman-seniman dapat mengunggah karya
pertunjukannya ke Instagram dengan ketentuan tertentu.[5]
200 karya terpilih akan dapat apresiasi. Selama rentang waktu 7 – 15 Mei 2020
telah ada 1.625 karya yang terdaftar.[6]
Apakah seni
pertunjukan daring semacam itu adalah masa depan yang niscaya bagi teater?
***
Seni selalu
berkembang. Bentuk dan isinya berubah-ubah. Kebaruan adalah hal yang selalu
dikejar seniman, salah satunya. Karena
ingin baru, batas kadang dilabrak. Dilanggar. Ditabrak. Teater dan tari,
batasnya sudah tidak jelas. Dengan seni rupa, dengan musik, dengan sastra, dengan
film, juga begitu. Akademisi seni coba merumuskan. Membuat formula dan
definisi, tapi seniman seringnya bandel. Ingin lebih dari itu. Ingin melampaui
definisi yang baru kemarin sore dibuat para profesor seni.
Dalam kondisi
saat dan pasca pandemi, semua hal terkoreksi. Hampir semua bidang kehidupan meredefinisi
diri. Dengan gerakan #pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah, teater juga—terpaksa
atau dengan sukarela—mengoreksi dirinya.
Sejauh ini,
sebagaimana yang telah dicontohkan di muka, pentas di rumah sangat mengadalkan
teknologi digital dalam praktiknya. Dalam konteks wacana, ada beberapa
persoalan untuk “me-daring-kan” teater.
Menonton teater
umumnya pergi ke gedung pertunjukan. Atau di jalanan. Atau di mana saja
sejauh ruang itu disepakati sebagai panggung. Pada praktiknya, teater itu
luwes. Panggung itu jangan diartikan sempit sebagai bidang tertentu berukuran
sekian kali sekian kali sekian dengan kelengkapan ini dan itu. Itu hanya salah
satu wujud panggung. Sejatinya, panggung adalah ruang eksistensi, ruang
meng-ada, pertunjukan. Di mana pertunjukan itu exist, di sanalah panggung.
Sejatinya,
panggung juga tidak permanen. Ia sementara saja. Panggung (stage) hanya exist, hanya
meng-ada, ketika pertunjukan berlangsung, ketika pertunjukan meng-ada juga.
Setelah pertunjukan usai, ia balik menjadi tempat (place).
Jika turut
pemahaman ini maka menjadikan (halaman, teras, kamar) rumah sebagai panggung tidak
menjadikan pertunjukan itu batal sebagai teater. Sah-sah saja. Unsur ke-panggung-an
teater tidak gugur hanya karena pertunjukan itu tidak digelar di tempat
pertunjukan seni yang khusus, yang ekslusif.
Teater
(Di Rumah) Bukan Film
Yang dimaksud
pentas (teater) di rumah, seharusnya, bukan membuat film. Menonton teater
daring juga semustinya tidak jadi nonton film. Meski ia sama-sama direkam, mematut
diri di depan kamera, dan ditonton “tidak secara langsung”, namun ada beda
mendasar antar keduanya.
Sebut saja,
misalnya, penyuntingan. Dalam film, setelah adegan “diambil”, ia lantas akan
disunting: dipotong-sambung, disisipi musik, efek visual (jika diperlukan), dan
lain sebagainya. Beberapa adegan mungkin dibuang jika, akhirnya, dinilai kurang
pas.
Penyuntingan
film menentukan dari sudut mana dan dari jarak seberapa adegan akan
diperlihatkan pada penonton. Apakah close
up, long shot, over shoulder shot, atau apa? Penonton
tidak bisa memilih mau nonton bagian mana. Kedaulatan penonton untuk memilih
sudut dan fokus sudah dimandatkan pada kameraman dan penyunting.
Nah, hasil
suntingan itulah yang ditonton penonton sebagai karya seni rekam yang final
bernama film.
Teater tidak
demikian. Adegan dibuat, dipotong-sambung, dikoreksi, disisipi musik, tegasnya
disunting ketika latihan. Jika ada unsur efek visual, pada latihan pula ia
diadakan, diuji-cobakan. Hasil dari latihan sekian panjang dan melelahkan itu
kemudian dipertontonkan pada penonton secara langsung.
Penonton dengan
sangat merdeka boleh memilih mau fokus melihat bagian mana dari adegan yang
sedang berlangsung. Bila ada lima orang di panggung dengan satu orang yang
sedang bermonolog, penonton tidak harus fokus pada tokoh yang sedang berbicara itu. Suka-suka penonton
saja. Boleh jadi penonton A lebih tertarik memperhatikan respon tokoh lain yang
sedang menyimak ketimbang si pembicara itu sendiri. Sedang penonton B lebih
senang memperhatikan business-acting
si pembicara daripada apa yang ia ucapkan.
“Fokus dan jarak
pandang” inilah yang, salah satunya, membedakan film dan teater secara
mendasar. Hal ini akan mempengaruhi, misalnya, akting (pemeranan realis). Karena
adanya jarak pandang dari penonton ke panggung dan tidak mungkin memperbesar
visual tertentu sebagaimana dalam film, maka akting teater cenderung mengalami
proyeksi, pembesaran.
Jika di depan
kamera, dengan pengambilan gambar close
up ke wajah, lirikan mata ketika mendengar dering telepon, umpamanya, sudah
cukup sebagai respon. Dalam (akting) teater, lirikan mata tersebut tidak akan
terlalu nampak, apalagi oleh penonton yang duduk di barisan belakang. Maka
respon semacam itu bisa pula dikuatkan
(diproyeksikan) dengan tolehan wajah.
Menonton video
pertunjukan teater dalam program #NontonTeaterDiRumahAja lebih mirip menonton
film. Adanya perubahan gambar, perubahan shot,
persis film. Kenapa tidak memilih long/wide
shot saja sepanjang pertunjukan, agar tampak seluruh panggung? Cukup satu
kamera sebagai “wakil” mata penonton. Bukankah itu asyiknya nonton teater?
Memang, dengan pesatnya
kemajuan teknologi, batas antara seni A dan seni seni B jadi kabur. Pertunjukan
teater sudah sedemikian bermacam-macam. Efek visual menggunakan teknologi
proyektor atau yang umum disebut video
mapping sudah lazim digunakan dalam pentas-pentas teater. Musik pun sudah
banyak yang tidak dimainkan secara langsung. Rekaman. Tinggal klik, musik
nyala. Fade in dan fade out-nya dikontrol lewat laptop atau
mixer sound.
Namun, meski
ditunjang pelbagai teknologi canggih, teater tetap saja lain dengan film.
Selain persoalan “fokus dan jarak pandang”, hal lain yang membedakannya adalah
cara menontonnya.
Cara
Menonton Teater
Dalam pandangan
konvensional, menonton teater via gawai atau komputer sejatinya bukanlah
“menonton teater”. Yang ditonton adalah dokumentasi
pertunjukan teater. Menonton teater adalah menyaksikan secara langsung segala
peristiwa yang terjadi di panggung.
Dalam konteks pertunjukan teater, terjadi
mengandung beberapa variabel: sekarang, di sini, dan sementara.
Jika tidak
sekarang, tidak langsung pada saat itu, artinya ada delay atau jeda antara saat
berlangsungnya peristiwa (adegan) dan saat
diindranya peristiwa tersebut oleh penonton, maka gugurlah satu variabel
menonton teater.
Jika penonton
dan yang ditonton tidak berada di ruang yang sama, bukan nonton teater namanya.
Menonton teater itu, antara penonton dan yang ditontonnya musti berada “di
sini”, di ruang yang sama, ruang pertunjukan.
Dan jika
pertunjukan itu bisa diputar-ulang kapan saja, jelas namanya seni rekam. Film.
Menonton teater itu sekali habis. Tidak ada siaran ulang. Meski pentas
berkali-kali, tiap pertunjukan mewaktu pada saatnya
sendiri. Pentas hari ini, ya, hari ini. Lain dengan yang kemarin meski lakon
dan pemainnya sama. Bahkan meski penontonnya sama.
Karena teater
dimainkan dan ditonton secara langsung (live),
secara “hidup (live)”, maka ia terus
menerus terikat dimensi waktu. Tidak final sebagaimana film. Ia me-waktu. Bagi teater
waktu adalah salah satu media ekspresi.
Karena ke-me-waktu-an-nya—sebagimana
waktu—maka pertunjukan teater bersifat sementara. Lain dengan seni rupa,
sastra, film, dan musik yang mana karya sang seniman “membeku” pada medianya
(lukisan, patung, desain; tulisan; gambar bergerak (motion pictures); bunyi (yang direkam)), teater dan tari tidak
demikian. Seperti sungai, meski melewati kelok yang sama, air yang lewat detik
ini bukan air yang lewat satu detik yang lalu.
Tapi, dengan
kemajuan teknologi digital, tiga hal tersebut, yang selama ini dianggap
“keunikan” teater, agaknya akan terkoreksi juga.
Tentang “langsung”,
kini dimungkinkan “siaran langsung” di berbagai macam aplikasi media sosial.
Akting para aktor, “peristiwa panggung”, bisa langsung diindra seketika itu. Kelompok
teater Artery Performa melakukan “siaran langsung” itu baru-baru ini.[7]
Tentang “di sini”,
definisi ruang bisa terkoreksi
seiring berkembangnya teknologi digital. Ruang tidak lagi musti entitas fisik
yang bisa diindra. Ruang, maknanya, berkembang menjadi ruang maya. Berjumpa di
Zoom Meeting, IG Live, video conference,
dan hal semacamnya bisa juga dimaknai berjumpa di “ruang yang sama”: ruang
maya.
Dinding, atap,
serta lantai yang biasanya menjadi batas ruang berubah menjadi alogaritma rumit
yang “membatasi” satu ruang dan data digital dengan hal serupa lainnya. Bedanya,
ruang maya menjadi “ruang antara”, tempat perjumpaan tontonan dan penonton,
ruang mediasi.
Dalam pertunjukan
luring (luar jaringan), konvensional, tidak ada ruang antara. Ruang pemain,
ruang peristiwa, ruang adegan, adalah ruang yang sama dengan ruang yang
“dialami” penonton. Meksi ada jarak (fisik) antara pemain (di panggung) dan
penonton (di kursi atau tempat menonton), namun sejatinya tidak ada “ruang
antara”. Pada dasarnya penonton tidak membutuhkan media lain selain dirinya
sendiri untuk “mengalami’ peristiwa teater itu.
Meski demikian,
variabel “di sini” masih dipertahakan sebab baik (tubuh virtual) pemain maupun
(tubuh virtual) penonton berjumpa dalam ruang yang sama, dalam “di sini” yang
sama.
Lantas bagaimana
dengan kesementaraan? Teknologi “siaran langsung” itu memungkinkan suatu
tayangan tidak dapat disaksikan kecuali hanya pada saat itu.
Tiga variabel
kekhasan menonton teater itu lambat laun agar diredefinisi, secara terpaksa
atau sukarela.
Namun, meski
sedemikian digitalnya teater di masa pandemi ini, satu hal, barangkali, yang
tak kunjung tergantikan: tubuh. Tentu saja tubuh dengan segala kompleksitas dan
dinamikanya.
Ke-Daging-An
Yang Tak Ter-Virtual-Kan
Beralihnya
aktivitas manusia ke dunia digital sejatinya bukanlah migrasi tubuh, melainkan transformasi.
Bukan saja berpindah tempat (trans-migrasi) namun berubah bentuk
(trans-formasi). Tubuh daging ini di-enkode menjadi alogaritma, di-avatar-kan
menjadi tubuh virtual di dunia maya. Tidak ada sensasi ke-daging-an. Dingin.
Kaku. Tubuh tanpa darah, daging, tulang, dan kulit; tubuh tanpa “realitas”.
Bagaimana nasib
teater-teater tradisional, teater komunal, teater yang “dialami”, yang
mensyaratkan ke-daging-an itu sebagai bagian tak terpisahkan dalam
pertunjukannya? Bagaimana Grebeg Mulud di Yogyakarta harus di-virtual-kan,
tanpa ada perjumpaan fisik? Bagaimana kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis dan
Pangandaran, Jawa Barat, akan tetap meng-ada, exist, dalam “ruang antara” dunia maya?
Dalam teater
tradisional—dan lebih luasnya seni pertunjukan tradisional—sejatinya, tidak ada
penonton dan yang ditonton dalam konteks relasi subjek-objek. Kesenian
tradisional beralaskan kesadaran kosmologis bahwa seni pertunjukan—sebagaimana segala
bentuk kesenian—adalah sesembahan, adalah ritual. Upacara.
Alih-alih
membuat dikotomi pemain dan penonton, dalam teater tradisional yang ada adalah
pembagian tugas: siapa yang bermain dan siapa yang menonton permainan. Keduanya
nyawiji dalam suatu harmoni kosmologis.
Dengan kesadaran
relasi harmoni semacam itu, menonton adalah mengalami. Pertunjukan itu dialami
oleh siapa siapa saja yang hadir “langsung, di sini, dan sementara” itu.
Mengalami teater semacam itu tidak bisa di-virtual-kan sebab mengalami berarti
melibatkan seluruh kualitas tubuh, lahir batin.
Apakah pentas di
rumah dan kegiatan sejenisnya mampu mengakomodir hal semacam ini? Sejauh ini,
tidak. Dan semoga saja bentuk-bentuk “seni pertunjukan daring” ini hanyalah
sementara, hanya teater masa darurat.
Normal Baru? Ah,
selama masih ada penjarakan fisik, mengalami
teater masih dalam kenangan. Apakah Normal Baru akan turut serta
me-normal-baru-kan teater tradisional atau justru perlahan menghabisinya?
Entah. Semoga
tidak.
Panjalu,
28 Mei 2020
[1] https://portalteater.com/antisipasi-virus-corona-sejumlah-pertunjukan-ditunda-hingga-dibatalkan/
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.00 WIB)
[2] https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200416121143-241-494092/teater-bunga-penutup-abad-diputar-streaming-akhir-pekan-ini
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.00 WIB)
[3] https://hot.detik.com/art/d-4990006/teater-tari-citraresmi-diputar-streaming-untuk-temani-kamu-di-rumah
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.02 WIB)
[4] https://www.thejakartapost.com/life/2020/05/01/nyanyi-sunyi-revolusi-play-to-be-streamed-this-weekend.html
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.04 WIB)
[5] https://www.antaranews.com/berita/1490116/kemenparekraf-gelar-pentas-di-rumah-cara-seniman-berkarya-saat-wabah
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.07 WIB)
[6] https://www.instagram.com/stories/highlights/17891949895509221/?hl=id
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 17.11 WIB)
[7] https://mediaindonesia.com/read/detail/303100-orang-orang-yang-dijemur
(diakses pada 28 Mei 2020 pukul 23.20 WIB)
keterangan gambar: pentas virtual Gardu Teater berjudul Covid The Killer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar