Minggu, 19 Mei 2019

Tiga Tahun Marlam

Sore itu, Senin, 13 Juni 2016, untuk pertama kalinya kami melingkar di Padepokan Seni Budaya Rengganis, tempat yang abadi dalam ingatan biarpun tubuhnya kini porak-poranda usai dihajar angin puting beliung pada Februari 2018. Secara sederhana, pemberitahuan kami buat lengkap dengan poster digital. Tak lupa dituliskan juga agar yang akan hadir (dianjurkan) membawa takjil. Tidak bawa juga tidak masalah, kan cuma sekedar anjuran. Semuanya gratis alias tanpa biaya. Kami hanya menyediakan kendi yang boleh diisi dengan uang seberapapun juga. Uang itu kelak digunakan untuk memperbanyak teks cerpen yang akan kami baca bersama selain buat membeli air mineral, kopi, dan makanan ringan secukupnya. Tidak mengisi pun tidak apa.
Karena perdana, kami tidak bermuluk-muluk bahwa akan banyak jamaah yang hadir. Jikapun hanya kami-kami saja yang ada, ya tidak masalah juga. Kegiatan akan dan harus bergulir. Kami sudah mengabarkan, sisanya urusan Tuhan. Lagi pula SaBu kala itu sama sekali tidak mempunyai target apa-apa selain berkumpul dan membaca cerpen bersama. Mengakrabi dan memesrai sastra. Syukur-syukur jika sampai pada taraf paham, ngeh. Jika pun tidak, tidak jadi soal juga. Sesederana itu dan hingga sekarang pun agaknya demikian.
Saya tidak ingat persisnya berapa jemaah yang hadir waktu itu. Sepertinya sekitar belasan orang, barangkali. Pokoknya lumayan banyak lah untuk ukuran acara perdana. Acara perdana sastra di daerah pula, tanpa sertifikat dan sorotan media pula.  
Latarbelakang jemaah yang hadir sangatlah beragam yang kebanyakannya justru bukan penggiat sastra. Ada dosen, mahasiswa berbagai jurusan, pengangguran, pelajar SMA, pedagang, aktivis, dan lain-lain. Diantara yang hadir, lewat pengakuan mereka sendiri, banyak kawan yang sama sekali belum pernah mencercapi sastra barang setitik. Beberapa jamaah mengaku baru kali pertama membaca cerpen dalam arti yang sebenarnya. Dan keadaan demikian itu hingga kini masih terus terjadi. Marlam, seperti niatan awalnya, bukan pengadilan atau ruang operasi karya sastra namun lebih semacam ruang interaksi, ruang perkenalan, ruang silaturrahiem antar sastra dan pembaca juga pembaca dan pembaca. Antar satu kepala dengan kepala lain, antar satu hati dengan hati lain.  
Sebelum memulai tadarus, saya setengah dipaksa memberi serupa pengantar sekaligus menjadi semacam moderator. Saya menjelaskan latarbelakang lahirnya SaBu dan seluk beluk lainnya. SaBu, yang kemudian berganti nama menjadi Marlam, berangkat dari keinginan kawan-kawan yang tergabung di Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) untuk membuat sebuah kegiatan rutin. Kegiatan yang tidak telalu menyedot sumber daya besar untuk mengelolanya. Setelah berdiskusi ke sana kemari, disepakatilah bentuk kegiatan yang sekarang dikenal dengan Marlam. Sebuah kegiatan memesrai karya sastra dengan macam-macam cara. Saya pun menjelaskan “aturan dan tata tertib” kegiatan. Jamaah disilakan membaca satu atau beberapa paragraf cerpen secara nyaring kemudian dilanjutkan oleh jamaah lain disampingnya, terus demikian hingga keseluruhan paragraf selesai dibaca. Selanjutnya tiap-tiap jamaah secara bebas disilakan memberi komentar berupa apa saja. Elaborasi dengan pelbagai pisau analisa,  komentar berupa pengalaman hidup yang mirip-mirip dengan cerpen itu, cerita tentang emosi yang terpantik usai membaca cerpen, atau tafsir-tafsir yang menyeret cerpen ke dimensi di luar sastra itu sendiri. Bebas saja. Setiap jamaah punya hak yang sama. Boleh saling berdebat asal jangan berkelahi fisik. Demikian segala kemerdekaan yang diupayakan hadir di Marlam.
Dari dulu hingga kini, karena beragamnya sudut pandang, sesi diskusi biasanya terasa sangat kaya bahkan terkadang terlalu kaya sehingga menjauhi sastra itu sendiri. Jauh, sangat jauh dan dalam sehingga seperti tumbuh dari akar yang lain. Marlam kadang terasa seperti diskusi atau kuliah sejarah, filsafat, atau agama yang sangat serius namun tak pernah kehilangan canda. Kadang juga teks cerpen itu buru-buru diseret, dicocokan secara paksa dengan kondisi sosial yang ada sekarang. Tidak jarang pula ada tafsir dominan dari salah seorang jamaah sehingga suasana dialektis menjadi sedikit beku. Ya, begitulah. Tiap jamaah punya cara pendekatannya sendiri-sendiri.
Dalam kekacauan arus pemikiran macam itu, sesepuh Marlam, Kang Toni Lesmana dan Teh Wida Waridah selalu mengingatkan bahwa selain sebagai ajang keakraban dan syi’ar sastra, Marlam juga diharapkan berkontribusi mengasah daya kritis dan keberanian menyampaikan pendapat jam’atul marlam sekalian. Jadi kalau lalu lintasnya agak njilmet, nekad, dan serampangan ya biarkan saja dulu. Toh pada akhirnya semua akan tumbuh dan saling menyesuaikan. Karena kebebasannya, Marlam dengan sendirinya telah diwarnai dan mewarnai jamaahnya.
Sepertiya terlalu lebay kalau saya bilang tidak terasa Marlam sudah berusia tiga tahun. Buat saya tiga tahun itu terasa betul. Untuk usia sebuah kegiatan seni/sastra, tiga tahun barangkali bukan waktu yang membanggakan sebab masih banyak kegiatan lain yang berusia lebih tua. Marlam tentu saja masih bocah. Meski demikian, Marlam tentu punya nilai tersendiri khususnya bagi para penggiatnya, jamaahnya, jam’atul marlam. Terlebih buat saya yang awam sastra dan miskin ilmu. Marlam buat saya lebih dari sekedar membaca karya sastra. 
Marlam pertama hadir meruang pada bulan puasa 2016. Dulu namanya SaBu, kependekan dari Sastra Ngabuburit. Dinamakan demikian sebab dimulai pada sore menjelang berbuka dan berakhir, biasanya, menjelang tengah malam. Cerpen pertama yang kami mesrai yaitu punyanya Umar Kayam berjudul Menjelang Lebaran. Pemilihan cerpen itu lantaran dirasa pas dengan momen bulan puasa. Sejak perjumpaan ketiga, karena tidak lagi berada pada momen bulan puasa maka SaBu berganti nama menjadi Majelis Sore Malam, disingkat Marlam. Majelis yang dimulai sore dan berakhir malam hari. Meski kadang tidak tepat sesuai namanya, namun demikian maksud awalnya.
Pada perjalannnya Marlam memesrai beragam genre sastra baik berbahasa Indonesia, Sunda maupun sastra terjemahan. Carpon Balada Tukang Bajigur karya Wahyu Heryadi adalah salah satu teks bahasa Sunda yang pernah kami mesrai selain sebuah teks drama karya Toni Lesmana, Simpé Karinding Di Kawali. Selain cerpen, sekali waktu kami mencoba tadarus novel terjemahan. Déng judulnya, sebuah novel bahasa Sunda karya Godi Suwarna yang terjemahan bahasa Indonesianya dikerjakan Deri Hudaya. Ada juga suatu fase ketika kami lebih fokus memesrai teks-teks sastra karya jam’atul marlam yang sudah dimuat di media.
Karena kebebasannya, tempat meruangnya Marlam pun tidak bersifat tetap. Selain Padepokan Seni Budaya Rengganis, pernah juga kami meruang di Stidio Titik Dua, sekretariat WISMA (LSM yang bergerak di bidang HIV AIDS bianaan Kang Deni Weje, salah seorang jamaah Marlam yang juga aktivis sosial), salah satu pojok Universitas Galuh Ciamis, Rumah Koclak Bersama (kediaman Kang Toni dan Teh Wida), dan kediaman Kang Deni Weje.
Dengan segala kebebasan, keakraban, dan keanehannya, bagi saya Marlam lebih seperti rumah. Rumah yang darinya saya belajar menghargai perbedaan, rumah yang darinya saya menimba banyak, sangat banyak, ilmu dan pengetahuan, rumah tempat memahami hidup dan kehidupan.
Panjang umur Marlam, pajang umur cinta kasih.
Baraakallahu li wa lakum.
 
Panjalu, 19 Mei 2019

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...