Sore
itu, Senin, 13 Juni 2016, untuk pertama kalinya kami melingkar di Padepokan
Seni Budaya Rengganis, tempat yang abadi dalam ingatan biarpun tubuhnya kini
porak-poranda usai dihajar angin puting beliung pada Februari 2018. Secara sederhana,
pemberitahuan kami buat lengkap dengan poster digital. Tak lupa dituliskan juga
agar yang akan hadir (dianjurkan) membawa takjil. Tidak bawa juga tidak
masalah, kan cuma sekedar anjuran. Semuanya gratis alias tanpa biaya. Kami
hanya menyediakan kendi yang boleh diisi dengan uang seberapapun juga. Uang itu
kelak digunakan untuk memperbanyak teks cerpen yang akan kami baca bersama
selain buat membeli air mineral, kopi, dan makanan ringan secukupnya. Tidak
mengisi pun tidak apa.
Karena
perdana, kami tidak bermuluk-muluk bahwa akan banyak jamaah yang hadir. Jikapun
hanya kami-kami saja yang ada, ya tidak masalah juga. Kegiatan akan dan harus
bergulir. Kami sudah mengabarkan, sisanya urusan Tuhan. Lagi pula SaBu kala itu
sama sekali tidak mempunyai target apa-apa selain berkumpul dan membaca cerpen
bersama. Mengakrabi dan memesrai sastra. Syukur-syukur jika sampai pada taraf
paham, ngeh. Jika pun tidak, tidak jadi soal juga. Sesederana itu dan hingga
sekarang pun agaknya demikian.
Saya
tidak ingat persisnya berapa jemaah yang hadir waktu itu. Sepertinya sekitar
belasan orang, barangkali. Pokoknya lumayan banyak lah untuk ukuran acara
perdana. Acara perdana sastra di daerah pula, tanpa sertifikat dan sorotan
media pula.
Latarbelakang
jemaah yang hadir sangatlah beragam yang kebanyakannya justru bukan penggiat
sastra. Ada dosen, mahasiswa berbagai jurusan, pengangguran, pelajar SMA,
pedagang, aktivis, dan lain-lain. Diantara yang hadir, lewat pengakuan mereka
sendiri, banyak kawan yang sama sekali belum pernah mencercapi sastra barang
setitik. Beberapa jamaah mengaku baru kali pertama membaca cerpen dalam arti
yang sebenarnya. Dan keadaan demikian itu hingga kini masih terus terjadi. Marlam,
seperti niatan awalnya, bukan pengadilan atau ruang operasi karya sastra namun
lebih semacam ruang interaksi, ruang perkenalan, ruang silaturrahiem antar
sastra dan pembaca juga pembaca dan pembaca. Antar satu kepala dengan kepala
lain, antar satu hati dengan hati lain.
Sebelum
memulai tadarus, saya setengah dipaksa memberi serupa pengantar sekaligus
menjadi semacam moderator. Saya menjelaskan latarbelakang lahirnya SaBu dan
seluk beluk lainnya. SaBu, yang kemudian berganti nama menjadi Marlam,
berangkat dari keinginan kawan-kawan yang tergabung di Teater Tarian Mahesa
Ciamis (TTMC) untuk membuat sebuah kegiatan rutin. Kegiatan yang tidak telalu
menyedot sumber daya besar untuk mengelolanya. Setelah berdiskusi ke sana kemari,
disepakatilah bentuk kegiatan yang sekarang dikenal dengan Marlam. Sebuah kegiatan
memesrai karya sastra dengan macam-macam cara. Saya pun menjelaskan “aturan dan
tata tertib” kegiatan. Jamaah disilakan membaca satu atau beberapa paragraf
cerpen secara nyaring kemudian dilanjutkan oleh jamaah lain disampingnya, terus
demikian hingga keseluruhan paragraf selesai dibaca. Selanjutnya tiap-tiap
jamaah secara bebas disilakan memberi komentar berupa apa saja. Elaborasi
dengan pelbagai pisau analisa, komentar
berupa pengalaman hidup yang mirip-mirip dengan cerpen itu, cerita tentang emosi
yang terpantik usai membaca cerpen, atau tafsir-tafsir yang menyeret cerpen ke
dimensi di luar sastra itu sendiri. Bebas saja. Setiap jamaah punya hak yang
sama. Boleh saling berdebat asal jangan berkelahi fisik. Demikian segala
kemerdekaan yang diupayakan hadir di Marlam.
Dari
dulu hingga kini, karena beragamnya sudut pandang, sesi diskusi biasanya terasa
sangat kaya bahkan terkadang terlalu kaya sehingga menjauhi sastra itu sendiri.
Jauh, sangat jauh dan dalam sehingga seperti tumbuh dari akar yang lain. Marlam
kadang terasa seperti diskusi atau kuliah sejarah, filsafat, atau agama yang
sangat serius namun tak pernah kehilangan canda. Kadang juga teks cerpen itu
buru-buru diseret, dicocokan secara paksa dengan kondisi sosial yang ada
sekarang. Tidak jarang pula ada tafsir dominan dari salah seorang jamaah
sehingga suasana dialektis menjadi sedikit beku. Ya, begitulah. Tiap jamaah
punya cara pendekatannya sendiri-sendiri.
Dalam
kekacauan arus pemikiran macam itu, sesepuh Marlam, Kang Toni Lesmana dan Teh Wida
Waridah selalu mengingatkan bahwa selain sebagai ajang keakraban dan syi’ar sastra, Marlam juga diharapkan
berkontribusi mengasah daya kritis dan keberanian menyampaikan pendapat jam’atul marlam sekalian. Jadi kalau
lalu lintasnya agak njilmet, nekad,
dan serampangan ya biarkan saja dulu. Toh pada akhirnya semua akan tumbuh dan
saling menyesuaikan. Karena kebebasannya, Marlam dengan sendirinya telah
diwarnai dan mewarnai jamaahnya.
Sepertiya
terlalu lebay kalau saya bilang tidak terasa Marlam sudah berusia tiga tahun. Buat
saya tiga tahun itu terasa betul. Untuk usia sebuah kegiatan seni/sastra, tiga
tahun barangkali bukan waktu yang membanggakan sebab masih banyak kegiatan lain
yang berusia lebih tua. Marlam tentu saja masih bocah. Meski demikian, Marlam
tentu punya nilai tersendiri khususnya bagi para penggiatnya, jamaahnya, jam’atul marlam. Terlebih buat saya yang
awam sastra dan miskin ilmu. Marlam buat saya lebih dari sekedar membaca karya
sastra.
Marlam
pertama hadir meruang pada bulan puasa 2016. Dulu namanya SaBu, kependekan dari
Sastra Ngabuburit. Dinamakan demikian sebab dimulai pada sore menjelang berbuka
dan berakhir, biasanya, menjelang tengah malam. Cerpen pertama yang kami mesrai
yaitu punyanya Umar Kayam berjudul Menjelang
Lebaran. Pemilihan cerpen itu lantaran dirasa pas dengan momen bulan puasa.
Sejak perjumpaan ketiga, karena tidak lagi berada pada momen bulan puasa maka
SaBu berganti nama menjadi Majelis Sore Malam, disingkat Marlam. Majelis yang
dimulai sore dan berakhir malam hari. Meski kadang tidak tepat sesuai namanya,
namun demikian maksud awalnya.
Pada
perjalannnya Marlam memesrai beragam genre sastra baik berbahasa Indonesia,
Sunda maupun sastra terjemahan. Carpon Balada Tukang Bajigur karya Wahyu Heryadi
adalah salah satu teks bahasa Sunda yang pernah kami mesrai selain sebuah teks
drama karya Toni Lesmana, Simpé Karinding Di Kawali. Selain cerpen, sekali
waktu kami mencoba tadarus novel terjemahan. Déng judulnya, sebuah novel bahasa
Sunda karya Godi Suwarna yang terjemahan bahasa Indonesianya dikerjakan Deri
Hudaya. Ada juga suatu fase ketika kami lebih fokus memesrai teks-teks sastra
karya jam’atul marlam yang sudah
dimuat di media.
Karena
kebebasannya, tempat meruangnya Marlam pun tidak bersifat tetap. Selain Padepokan
Seni Budaya Rengganis, pernah juga kami meruang di Stidio Titik Dua,
sekretariat WISMA (LSM yang bergerak di bidang HIV AIDS bianaan Kang Deni Weje,
salah seorang jamaah Marlam yang juga aktivis sosial), salah satu pojok
Universitas Galuh Ciamis, Rumah Koclak Bersama (kediaman Kang Toni dan Teh Wida),
dan kediaman Kang Deni Weje.
Dengan
segala kebebasan, keakraban, dan keanehannya, bagi saya Marlam lebih seperti
rumah. Rumah yang darinya saya belajar menghargai perbedaan, rumah yang darinya
saya menimba banyak, sangat banyak, ilmu dan pengetahuan, rumah tempat memahami
hidup dan kehidupan.
Panjang
umur Marlam, pajang umur cinta kasih.
Baraakallahu
li wa lakum.
Panjalu,
19 Mei 2019