Minggu, 26 Maret 2017

Kesaksiann Homo Homini Lupus; Catatan Kecil Monolog Kesaksian


Seorang lelaki usia kepala lima terkulai di lantai. Tubuhnya jatuh tepat ketika lampu menyala. Ia menggeliat, seperti hendak mengerang tapi tak kuasa. Samar-samar terdengar suara orang bernyanyi lagu bahasa Muna, salah satu ragam bahasa di propinsi Sulawesi Tenggara. Perempuan berkerudung merah bersuara membacakan dialog demi dialog. Mereka seperti berbicara tapi tak pernah saling benar-benar jumpa. Mereka hanya mampu saling membayang tanpa wajah saling jumpa. Mereka suami istri yang terpisah lantaran fitnah. Sama-sama menunggu kebenaran, kebenaran yang selalu datang terlambat.

Adalah “Kesaksian”, sebuah monolog produksi Teater Sendiri yang meruang di Padepokan Seni Budaya Rengganis Ciamis pada Rabu, 22 Maret 2017. Ini kali  merupakan pentasnya yang ke 26 usai meruang di berbagai titik di Sumatra dan beberapa tempat lain. Teater Sendiri didirikan tahun 1992 di Kota Kedari, Sulawesi Tenggara. Achmad Zain (AZ), pendiri komunitas ini yang juga bermain sebagai aktor merangkap sutradara sekaligus penulis naskah pada monolog kali ini. Ditemani seorang kawannya, Roy, Kak Stone, demikian sapaan akrab AZ, melakukan pentas monolog keliling ke berbagai tempat di Sulawesi, Sumatra, dan Jawa.

“Kesaksian” berkisah tentang seorang Bupati Buton yang dituduh terlibat PKI dan harus mati tanpa kejelasan. Lakon ini terilhami dari sebuah puisi karya Irianto Ibrahim berjudul Repostase Kematian. Konon cerita ini merupakan kisah nyata yang diketahui lewat kesaksian istri sang Bupati. Berawal dari suatu malam ketika sang tertuduh PKI ditangkap paksa oleh militer pada tahun 1969 di Baubau, Sulawesi Tenggara. Pentas ini berakhir dengan kesan sebuah keputusasaan usai penantian panjang menunggu kebenaran yang rupanya selalu datang belakangan. Hingga akhir hayatnya, sang Bupati tak pernah diketahui makam dan sisa jejaknya.

Berkisah tentang PKI memang selalu seksi. Selain memang mengundang dan mengandung banyak kontroversi, berkisah tentang hal satu ini selalu menyuguhkan banyak pembacaan dari pelbagai kaca mata. “Kesaksian” AZ agaknya tidak bermaksud membaca PKI dari sudut ideologi, bukan persoalan isme komunis atau gerakan kepartaiannya, apalagi bermaksud membangkitkan kembali semangat palu arit. “Kesaksian” lebih merupakan sebuah reproduksi realitas Buton masa lampau. AZ ingin berbagi kisah dan kepedihan seorang manusia yang akhirnya musti jadi santapan manusia lain, homo homini lupus. Si Aku tokoh akhirnya harus puas dengan kebenaran yang datang terlambat. Tuduhan yang tak pernah terbukti namun mampu membuatnya berkalang tanah, mampu membuat istrinya enggan menaikan bendera kecuali setengah tiang.

Menyoal homo homini lupus, sejak zaman Habil Qabil hingga era digital dewasa ini, tema ini tak pernah usang dimakan zaman. Manusia yang memangsa manusia lain selalu jadi benang merah yang mampu menyambungkan perbagai peristiwa di sekian ruang dan waktu. Dunia politik adalah salah satu alam yang mana praktik manusia adalah serigala bagi manusia lain merupakan hal yang lumrah, biasa-biasa saja. Masa-masa menjelang pesta demokrasi adalah waktu terbaik menonton bagaimana manusia memangsa manusia lain demi kekuasaan. Bagaimana segala hal seolah tunduk tanpa wibawa di bawah kaki politik demi perampokan yang terstruktur, sistematis, dan masif. “In war, you can only be killed once, but in politics, many times”, demikian Winston Churchill berkata.

Selain materi kisah yang seksi, AZ agaknya berupaya menawarkan teater yang kompromisik. Ia tak mau memberatkan diri dengan persoalan gedung pertunjukan, tata cahaya panggung, perangkat suara, dan hal lain yang sebenarnya bersifat menunjang saja, yang bukan substasi. Bahwa selama ini masih banyak insan atau kelompok teater yang menjadikan fasilitas pentas sebagai kendala dan hambatan sebuah pertunjukan teater, hal ini tidak berlaku bagi Teater Sendiri. Atmosfer teater Kendari sebagai rahim Teater Mandiri menjadi ilham utama bagi gagasan konsep pertunjukan teater yang kompromistik dan meruang. Selain selalu berusaha meruang, menggunakan place apa pun menjadi stage, lelaki 53 tahun ini pun selalu melibatkan penduduk setempat sebagai lawan main. Tokoh istri dalam monolognya selalu dimainkan oleh perempuan setempat di mana ia pentas. Menariknya, justru ia kerap meminta pemain perempuan yang notabene tidak begitu akrab dengan panggung teater. Dengan monolognya, ia mengajak orang lain yang bukan praktisi teater mengalami sebuah pengalaman panggung dengan harapan bahwa panggung perdananya dapat menjadi candu, membuatnya ketagihan dan ingin lagi bermain teater. Ini salah satu bentuk “syi’ar” teater yang menarik. Namun konsep demikian bukanlah tanpa resiko.

Dengan minimalitas artistik visual, tata musik, dan keterbatasan pengadegan, kekuatan utama lakon bertumpu pada alur yang dominan dituturkan aktor secara verbal. Cerita dan aktor menjadi amunisi utama pagelaran ini. Penonton dituntut menjadi khusuk agar cerita dapat termamah secara utuh. Kata-kata menjadi senjata utama selain dari pada akting yang musti benar-benar meyakinkan. Penguasaan teknik pemeranan dan tubuh aktor agaknya menjadi hal wajib sebagai sarana utama penyampaian isi cerita sekaligus konsep pertunjukan. Sayangnya, pada sajian Rabu malam di Ciamis, masih ada beberapa kalimat yang kurang jelas terdengar lataran artikulasi dan volume suara kurang optimal. Pemilihan warga lokal sebagai lawan main pun berresiko membuat pertunjukan terasa campur aduk dalam hal dialek. Bagaimanapun dialek bahasa daerah masih bisa terlacak meski ketika bertutur  bahasa nasional, dan inilah yang terjadi pada pentas “Kesaksian” ke 26 Rabu malam. Lentong Sunda Rini Rahmawati masih cukup kentara nampak pada sekian tuturannya sebagai sosok istri tokoh yang notabene mengambil daerah Sulawesi Tenggara sebagai identitas tokoh. Tentu ini menjadi timpang dengan sang aktor yang bertutur dengan lidah Kendari. Dan agaknya hal macam ini sering terjadi pada pentas-pentas lain di daerah lain.

Dibalik kesederhanaan panggung, totalitas dan loyalitas adalah kemewahan yang dibawa AZ dan Bang Roy bersama Teater Sendiri bertualang ke Bengkulu, Ciamis, Bandung, Tasikmalaya, Surabaya, dan sekian tempat lain. Semangat ini pula yang menghangatkan diskusi Rabu malam usai pertunjukan. Penggiat seni Ciamis dan penonton lainnya terlibat diskusi hangat yang akhirnya mengkerucut pada kesadaran perlunya upaya terus-menerus untuk berproses sambil tak bosan menggedor pemerintah agar mampu berpikir waras dan bekerja sesuai mustinya. Ence Rusmana, S. Pd., M. M. selaku Kepala Seksi Pembinaan Seni Disbudpora Ciamis hadir mengapresiasi bersama para penggiat seni Ciamis, mahasiswa, dan penonton lainnya.

“Banyak yang merasa pintar tapi tidak pintar merasa”
Demikian Achmad Zain mengomentari carut marutnya pemetintah mengurusi kesenian baik di Ciams, Kendari maupun Indonesia.



Rengganis, 23 maret 2017

Jumat, 17 Maret 2017

Waria (III)


Memang, kita tak pernah benar-benar mengetahui masa depan. Sampai saat ini saya masing mengimani kata-kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda tentang masa lalu, masa depan masa kini. Dan begitulah  yang terjadi pada saya malam ini. Seorang kawan, Kang Deni, tiba-tiba menghubungi saya. Ia mengajak saya mengikuti FGD (Focus Group Discussion) bersama teman-teman waria dari komunitas Srikandi Panjalu. Komunitas ini merupakan komunitas yang mengorganisir, mengakomodir, dan memberdayakan para transgender. Nama belakangnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing dan untuk di kabupaten tempat saya tinggal namanya Srikandi Panjalu. Organisasi ini berjenjang hingga kabupaten/kota. Di tingkat Jawa Barat, Srikandi Pasundan adalah nama mereka. Salah satu fokus mereka adalah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Saya banyak mendapat wawasan tentang hal ini dari kawan waria saya yang juga adalah ketua Srikandi Panjalu, Anggur Sanjaya.

Perjumpaan malam ini dengan Srikandi Panjalu memang bukan yang pertama buat saya. Sejak sekitar tiga tahun lalu saya kali pertama bersinggungan dengan mereka dalam sebuah acara, Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN). Kala itu saya tampil membacakan puisi Nyanyian Angsa milik W. S. Rendra. Dan malam tadi rupanya ada salah seorang dari mereka yang masing ingat nama Maria Zaitun, tokoh dalam puisi Nyanyian Angsa. Meski bukan kali pertama jumpa, tapi tiap perjumpaan dengan mereka pasti menyisakan buah renugan.

Jauh-jauh hari setelah berkenalan lebih akrab dengan mereka, saya berniat untuk mementaskan sebuah lakon drama yang bertema tentang waria. Dan malam barusan, Kang Deni sudah menagih lagi. Semoga saja dalam waktu tak begitu lama saya dapat menuntaskannya.

Sebagai pengantar, Kang Deni menyampaikan semacam wejangan. Siapa dan bagaimanapun kita, tetaplah kita pasti akan pulang. Pulang ke rumah (keluarga) atau pulang ke Sang Khalik. Kita pasti pulang. Ia mengingatkan teman-teman waria untuk mempersiapkan kepulangan dengan indah. Bahwa kita adalah makhluk yang memiliki Khalik, bahwa Tuhan adalah milik sesiapa termasuk waria. Ada upaya mengingat kembali “aku” sejati. Menyentuh kesadaran transenden yang memang sudah ada dan tertanam. Saya dan Fajar (Presiden Mahasiswa BEM IAID Ciamis) serta seorang temannya diberi kesempatan pula untuk berbicara.

Salah satu yang menarik dari perjumpaan renyah berseling canda khas waria malam tadi ialah tentang harapan-harapan mereka. Dalam salah satu sesi, mereka diberi secarik kertas yang harus diisi tulisan ihwal harapan-harapan mereka sebagai waria. Apa saja. Dari sekian lembar yang terkumpul, ada yang memiliki harapan kelak ada pesantren untuk kaum LGBT karena ia meyakini bahwa pasti ada rahasia Tuhan dibalik semua hal termasuk fenomena LGBT. Ada pula yang memohon “kesembuhan” pada Tuhan. Ada yang berharap agar waria dapat melakoni lapangan perkerjaan seperti halnya kaum heteroseksual. Dan yang paling banyak tentu saja berharap agar masyarakat dan negara berhenti memberi stigma pada kaum transgender.

Sekilas, barangkali sekian citra buruk akan otomatis terbersit tatkala mendengar kata waria. Penjual diri, pendosa, penentang kodrat, sampah masyarakat, merusak citra kota, dan sekian label buruk lainnya. Sebagian bersar masyarakat barangkali akan langsung terbirit jika berjumpa dengan waria. Kalaupun mereka berani berlama-lama, sebagian besar bertujuan mengolok-olok atau memandang mereka sebagai tontonan, seperti badut. Mereka jadi bahan bulan-bulanan ketika mereka justru sedang mengais rezeki, ngamen misalnya. Memang tak semua demikian, tapi setidaknya itu yang terjadi pada sebagian besar masyarakat, terlebih mereka yang menutup diri dan menutup pikiran mereka. Meski pada dasarnya waria adalah manusia, tetap saja mereka selalu menjadi manusia kelas ketiga. Kelas-kelas ini hadir sebagai dampak kuasa tanpa landasan harmoni, kuasa yang mengharuskan represi satu pada yang lain, kuasa yang menghegemoni dan sangat tidak ramah.

Pencampur adukan ruang publik dan privat ini berdampak pada sulitnya para transgender mendapatkan pekerjaan yang layak. Profesi mereka sebagai penjaja seks atau pengamen jalanan, bukanlah cita-cita mereka sesungguhnya. Saya kenal waria yang punya banyak talenta namun harus terkubur begitu saja karena persoalan orientasi seks dan identitas gender. Mereka seolah tak berhak jadi pegawai bank, dokter, pengacara, pengusaha, politisi, dan profesi lain yang lazim dilakoni kaum heteroseksual. Pemberdayaan waria memang mulai menjadi program di beberapa lembaga baik plat merah atau bukan, namun untuk membersikan mereka dari stigma negatif, perlu upaya dan kesaradan bersama yang lebih baik.

  Setidaknya upaya penyadaran bersama ini bisa dilakukan dengan terlebih dulu mengubah cara pandang. Pandang mereka sebagai manusia, sama dengan saya, Anda, kita, kami. Bahwa mereka adalah umat manusia yang punya hal ihwal ke-diri-an yang sama. Mereka sama-sama makan, kencing, berak, merasakan dingin, sakit, gembira, bahagia, punya kesararan kesehatan, kesarahan moral, mendambakan kebahagiaan, merasakan asmara, berhasrat seks, dan mereka pun punya kesaradaran ber-Tuhan. Mereka percaya, mengimani keberadaan dan kekuasaan Tuhan, setidaknya waria-waria yang saya kenal. Persoalan mereka memilih jalan sebagai waria dan menjadi penjaja seks, hemat saya, tidak bisa dijadikan tolak ukur mutlak tingkat keberdosaan mereka. Apalagi melabeli, otomatis dan niscaya, sebagai calon penghuni neraka, sungguh itu sudah melampaui batasan manusia. Kalaupun mereka berbuat melawan hukum, itu bukan karena mereka waria, tapi lantaran individu itu memang brengsek. Sama saja dengan laki-laki atau perempuan brengsek lain yang berbuat jahat. Si A berbuat jahat, titik, tanpa harus membawa serta orientasi seks dan identitas gender mereka.

Persoalan identitas gender mereka, selain itu adalah pilihan pribadi, membahasnya adalah hal yang panjang dan cukup rumit. Pilihan identitas gender seseorang tidak muncul begitu saja, tapi adalah serangkaian proses panjang yang melibatkan bukan hanya si empunya tubuh namun juga sekian banyak orang lainnya. Membicarakan pilihan ekspresi dan identitas gender serta orientasi seks seseorang tidak sesederhana membuat telur dadar atau berorasi jualan janji politik. Dan kadang pembahasannya tidak bisa digenarilisir untuk semua orang. Karena ini menyangkut individu, pembahasan ihwal ke-waria-an seseorang akhirnya haruslah kasuistis meski sekian teori filsafat, sosial, psikologi, dan ilmu lainnya hadir menyuguhkan formulasi.

Waria adalah realitas. Keberadaannya tidaklah mampu dielakkan. Ia meng-ada  pada ruang dan waktu. Persoalan perbedaan dan salah benar tidak harus menjadi kuburan bagi sikap welas asih dan saling menghormati.

Rengganis,

17 Maret 2017

Kamis, 16 Maret 2017

Tubuh dan Transportasi Publik


Bandung dan Tanggerang adalah yang teranyar ramai ihwal kontroversi ojek/taksi online setelah Yogyakarta. Jakarta sudah lebih dulu heboh. Ratusan sopir taksi konvensioal berdemo menuntut penghapusan angkutan berbasis IT tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan atmosfer panas ini akan merambat ke berbagai kota lain. Di mana ada perusahaan transportasi umum berbasis aplikasi internet, di satu ada demo dan ribut-ribut lainnya. Dan ini sudah sampai pada taraf ekstrem. Lihat saja peristiwa di Bandung. Puluhan sopir angkot mencegat sebuah mobil yang diduga taksi online. Penumpangnya dipaksa turun dan mobilnya dirusak. Videonya tersebar luas di internet, bagaimana para sopir angkot mengamuk dengan gelap mata. Meski si pengemudi menjelaskan bahwa ia bukan taksi online dan memohon belas kasih lantaran di dalam mobil itu ada seorang anak kecil, kemarahan para pencegat itu tak bisa usai seketika.

Mau tak mau, inilah sekian lembar potret dunia transportasi negara ini. Pemerintah seakan kalah cepat dalam mengimbangi lesatan kreativitas di era teknologi infromasi. Regulasi-reguasi baru dibuat setelah terjadi aksi, selalu seperti itu. Dan mereka, pemerintah itu, selelu punya setumpuk alasan ihwal keleletan mereka merespon pelbagai fenomena masyarakat. Selalu. Dalam hal demikian, keadilan selalu datang terlambat.

Saya sebenarnya bukan mau berbicara ihwal ojek/taksi online. Itu mah biar para pengamat transportasi saja. Beberapa hari lalu saya pergi ke sebuah kota berjuluk Kota Kembang. Macet, padat, dan banjir, demikianlah kesan yang melekat selain kemolekan pada mojangnya, tentu. Angkotnya, sama seperti di kota besar lainnya, suka berhenti di mana saja. Mereka bisa berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang di mana saja. Di Jakarta dan sekitarnya, kendaraan besar semacam bis kota melakukan hal yang sama. Mereka bisa berhenti di mana pun tanpa menepi. Tentu ini membuat macet. Memang, beberapa kendaraan umum menerapkan aturan naik dan turun penumpang di tempat tertentu yang sudah di sediakan. Transjakarta sudah melakukan itu. Tiap penumpang harus turun dan naik dari stasiun yang sudah di tentukan. Ihwal naik dan turun penumpang, agaknya sedikit banyak ini memperngaruhi mentalitas masyarakat penggunanya.

Konon katanya, kendaraan umum di luar negeri sudah menerapkan sistem pemberhentian seperti Transjakarta, turun dan naik di tempat tertentu. Kita tidak bisa seenaknya memberhentikan bis di mana saja baik untuk turun atau naik. Sadar atau tidak, agaknya ini mempengaruhi mentalitas, mempengaruhi daya juang dan disiplin.

Kita yang terbiasa memberhentikan kendaraan umum di mana saja bisa lebih santai dan tak butuh daya juang tinggi. Upaya yang kita lakukan untuk mendapatkan jasa transportasi itu cenderung lebih ringan dibanding dengan masyarakat negera maju yang sistem transportasinya lebih tertata. Mereka yang tinggal di negara dengan sistem transportasi umum lebih maju harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan jasa transortasi umum. Setidaknya mereka harus berjalan kaki menuju halte atau tempat pemberhentian yang telah ditentukan. Dengan jadwal tiba dan berangkat yang akurat dan ketat, masyarakat pengguna tentu menjadi lebih sigap dan disilpin terhadap waktu. Ini tentu berpengaruh kuat pada mentalitas mereka dalam dunia kerja dan kehidupan mereka secara umum. Ini tidaklah berlebihan, kiranya. Jadwal ketat transortasi umum ini mereka hadapi tiap hari. Lambat laun, sadar atau tidak, sikap mereka menghadapi hal ini pasti berpengaruh pada kehidupan mereka dan akhirnya pada mentalitasnya secara umum. Mereka terlatih untuk menghormati waktu, menghormati ruang. Mereka tak bisa naik bis kapan saja dan di mana saja. Semua ada ruang dan waktunya masing-masing.

Dan di Indonesia? Mungkin pemerintah mulai mengarah pada kondisi demikian, membuat sistem transportasi umum yang lebih tertata. Namun ini belum terlaksana secara menyeluruh, masih jauh dari ideal. Belum pun sistem ini terlaksana, keberadaan ojek/taksi online malah kontra produktif dengan upaya melatih disiplin dan mentalitas penghormatan pada ruang dan waktu. Dengan hanya menekan layar sentuh pada gawai, calon penumpang sudah tinggal duduk manis dan menunggu jemputan datang. Makin tipis saja daya juang mendapatkan jasa transportasi umum, dan makin seenaknya. Daya juang dan keringat yang harusnya tercucur untuk berjalan kaki menuju halte sudah berganti rupiah atau uang elektronik untuk dibayarkan pada pengemudi ojek/taksi online. Praktis, tentu. Tapi di sisi lain, ini malah mendidik masyarakat makin manja dan makin menggantungkan diri ada uang. Fenomena macam begini lambat laun akan merembes pada mentalitas dan keseharian lainnya. Manusia akan makin meng-uang-kan segala sesuatu. Korporatisme makin leluasa menancapkan taring mereka bahkan sampai level alam pikiran, paradigma.

Tubuh manusia makin terreduksi fungsinya. Optimalisasi tubuh hanya menjadi wacana usang. Alih-alih pemanjaan, tubuh jadi lumpuh. Lambat laun, keringat akan hanya bisa ditemukan di tempat-tempat olah raga, sanggar-sanggar seni, buruh pabrik, petani, pekerja kasar, dan diatas ranjang senggama. Hanya di sana saja. Keringat dan adalah barang langka. Demikianlah kini.

Teknologi dan penataan sistem apa pun seyogianya berpihak pada harmonitas. Kemajuan jangan sampai tidak ramah pada tubuh, jangan sampai memberangus fungsi dan kemestian tubuh.

Rengganis,

16 Maret 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...