Rabu, 17 Oktober 2018

Pembelajaran Teater dan Pungli


Tontonan, demikian Putu Wijaya, seorang sastrawan dan maestro teater, lebih suka menyebut pertunjukan teater. Tontonan, dengan sendirinya mengadung dua unsur tak terpisah: yang ditonton dan yang menonton (penonton). Teater tidaklah teater jika tanpa penonton, demikian barangkali jika diartikulasikan berbeda. Aspek ruang, waktu, dan peristiwa pada sebuah pertunjukan teater setidaknya terletak pada dua dimensi, panggung (laku; lakon) dan pertunjukan (panggung dan penontonnya). Lantaran teater muskil tanpa penonton maka dengan berbagai cara kelompok-kelompok teater berupaya mengadirkan penonton agar genap karya mereka menjadi tontonan.
Macam strategi dilakukan untuk menjaring penonton. Ada penjaringan umum ada pula penjaringan khusus. Penjaringan penonton umum biasanya dilakukan dengan memasang iklan atau publikasi di berbagai macam media atau saling memberi kabar secara langsung tentang akan digelarnya pementasan teater dengan harga tiket sekian rupiah. Jika pertunjukan itu berbayar, masyarakat yang terinformasi dan bermaksud mengapresiasi lantas memesan tiket atau membeli langsung di lokasi pementasan. Kelompok teater atau penyelenggara pertunjukan biasa punya target penonton yang disesuaikan dengan kapasitas tampung tempat pertunjukan. Penetapan target oleh manajemen kelompok juga berkaitan erat dengan hitung-hitungan ekonomi, untung rugi. Ini wajar saja sebab sebuah produksi teater tentu memakan biaya dan para pelakunya juga perlu makan minum. Model penjaringan ini tidak bisa mendapat angka penonton (pembeli tiket) secara akurat meski ada prediksi dan target. Untung-untungan saja. Secara dingin dari sudut pandang bisnis, penjaringan model ini biasanya tidak mengikat penonton lebih dari perkara jual beli, pedagang dan pembeli tanpa aturan tambahan. Belum pernah ada kelompok teater yang punya aturan “tidak puas, uang kembali”.
Model penjaringan yang lain adalah penjaringan khusus. Yang dimaksud khusus adalah penjaringan penonton yang dikhususkan menyasar kalangan atau komunitas tertentu. Yang lazim terjadi, misalnya di daerah-daerah macam Tasikmalaya dan Ciamis, adalah penjaringan penonton ke sekolah-sekolah. Penyelenggara atau pihak manajemen kelompok teater akan mendatangi sekolah-sekolah, mengajak kerjasama dengan guru mata pelajaran tertentu atau pihak sekolah secara kelembagaan. Kedatangan pihak manajemen atau penyelenggara ke sekolah biasaya juga membawa serta surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan atau instansi lain yang menaungi sekolah yang dituju. Maksudnya agar kegiatan kerjasama ini rapi dan tertib secara administrasi dan diketahui pemerintah. Biasanya kegiatan menonton ini dijadikan tugas mata pelajaran tertentu lantaran berkaitan dengan materi pelajaran. Tugas mata pelajaran biasa wajib dan mengikat untuk tiap-tiap siswa yang diajar oleh guru si pemberi tugas. Jika menonton teater menjadi tugas mata pelajaran, tentu sudah bisa diterka akurat berapa lembar tiket yang terjual.
Terjadi hubungan mutualisme antara penyelenggara dan guru, satu pihak membutuhkan penonton dan pendapatan rupiah dan pihak lain membutuhkan objek kaji atau bahan ajar. Sebelum dibentuknya Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), kiranya simbiosis mutualisme ini tidak mendapat kendala berarti.
 
Pungli
Sejak dibentuk pada 20 Oktober 2016, Satgas Saber Pungli ini dikabarkan sudah menangani banyak perkara pungutan liar. Salah satu wilayah kerja Satgas ini adalah bidang pendidikan. Ya, pungutan liar di sekolah-sekolah menjadi salah satu fokus kerjanya lantaran banyak laporan dan kasus yang diduga pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah pada peserta didik. Satgas Saber Pungli merilis 58 jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungutan liar.
Dari ke 58 jenis pungutan itu, meski tak termaktub jelas tentang pungutan untuk membeli tiket pertunjukan teater, namun ada saja guru dan pihak sekolah yang cukup was-was jika hendak mengarahkan siswanya untuk menonton pertunjukan teater berbayar, takut tersandung pasal pungutan liar. Dalam kondisi begini, seakan guru yang tergencet dan acap kali tersalahkan.
Apakah membeli tiket petunjukan teater dalam rangka tugas mata pelajaran tergolong pungutan liar di sekolah? Jika dibuat jadi pertanyaan yang lebih mendasar: ketika peserta didik mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan tugas mata pelajaran, apakah itu termasuk pungutan liar?  
Idealnya, semua pihak ingin pendidikan formal gratis 100% dengan mutu yang baik. Faktanya, negara belum mampu menyelenggarakan itu semua. Meski 20% APBN sudah digelontorkan buat pendidikan, tetap saja belum mampu menutupi penuh ongkos pendidikan formal di Indonesia. Masih ada biaya yang harus ditanggung peserta didik untuk terselenggaranya pendidikan yang diinginkan. Beberapa sekolah negeri masih memberlakukan pungutan-pungutan lantaran dana BOS dianggap kurang. Ini memang diperbolehkan, Kemendikbud sudah meluncurkan aturan tentang Sumbangan, Bantuan, dan Pungutan Pendidikan.  
Tentang pungutan liar ini memang pada akhirnya melibatkan semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan. Orang tua/wali siswa pun turut berandil besar dalam persoalan pungli di sekolah. Beberapa orang tua yang menyadari bahwa pendidikan dengan mutu tertentu memerlukan rupiah di luar dana pendidikan dari pemerintah, mungkin tidak akan terlalu rewel dengan pungutan-pungutan dari pihak sekolah selama wajar dan akuntabel. Namun banyak juga orang tua yang hobi protes tanpa memahami duduk perkara dengan seksama. Serta merta saja, jenis orang tua macam ini bisa melapor pada pihak berwajib, mengatakan terlah terjadi pungutan liar di sekolah tempat anaknya menimba ilmu. Apalagi jaman kini, seperti yang banyak bertebaran di kabar berita, lapor melapor polisi seakan menjadi jalan keluar terbaik untuk segala persoalan ketimbang bermusyawarah. Di lain sisi, tubuh Satgas ini pun belum ajeg benar. Masih ada multi persepsi tentang definisi dan kategori pungutan liar itu sendiri. Meski Satgas di bawah kendali Kemenkopolhukam ini sudah merili 58 jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungli, tafsir alternatif masih saja ada. Mungkin demikianlah hukum, sebagaimana sering dipertontonkan, para penegak dan ahli  hukum saling berakrobat, menawarkan tafsir-tafsir pasal yang dibuat selogis mungkin  demi “rasa keadilan”.
 
Ongkos Pembelajaran
Macam ragam motode atau cara guru menyampaikan materi pelajaran pada muridnya. Meski ada teori-teori metode pembelajaran yang dipelajari calon guru di Fakultas Pendidikan namun inovasi metode tetap dituntut demi tercapainya tujuan pembelajaran. Belajar kesenian tentu punya banyak metode selain ceramah di kelas, memaparkan teori-teori. Belajar kesenian, sebagaimana belajar olahraga, tentu membutuhkan praktik. Sukar dibayangkan jika belajar menari hanya dengan metode ceramah saja.
Menugaskan murid menonton pertunjukan teater pun boleh jadi salah satu metode pembelajaran drama yang cukup efektif. Yang jadi kurang tepat adalah ketika silabus mengatakan apresiasi drama atau teater sedangkan yang dilakukan malah menonton rekaman videonya. Salah kaprah karena rekaman video adalah dokumentasi, hasil rekaman, bukan pertunjukan. Seperti telah disinggung di atas tentang aspek ruang, waktu, dan peristiwa, menoton teater via Youtube atau dokumentasi pertunjukan lainnya secara langsung memupus aspek ruang, waktu, dan peristiwa itu. Justru ketiga aspek itulah yang membedakan tontonan dengan film. Cara mengapresiasinya pun berbeda. Jika mengapresiasi teater via video rekaman, sama saja dengan menonton film. Mata, mau tak mau, diwakili kamera. Pengalaman menonton langsung akan memberi pemahaman yang lebih kaya, dan pemahaman itu akan membentuk penilaian yang khas pula. Apresiasi seni pertunjukan via Youtube atau media rekam lainnya bukan tidak boleh, namun kurang tepat jika dikatakan itu adalah kegiatan apresiasi seni pertunjukan.
Metode pembelajaran seni dengan cara apresiasi seni pertunjukan setidak-tidaknya memerlukan biaya, setidaknya ongkos menuju tempat pertunjukan dan biaya tiket. Apakah negara menanggung semua biaya itu? BOS memang meringankan biaya pendidikan namun tidak semua keperluan pembelajaran bisa dibiayai BOS. Jika pun BOS bisa digunakan untuk membeli tiket pertunjukan teater atas nama pembelajaran mata pelajaran SBK, Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, kiranya kurang bijak juga jika masih banyak prioritas lain yang lebih layak didahulukan semisal kesejahteraan tenaga pendidik honorer.
Biaya-biaya macam ini mungkin sama saja ketika guru olahraga memberi materi praktik renang. Lantaran sekolah tidak punya kolam renang maka materi praktik renang musti dilakukan di kolam renang umum yang berbayar. Jika biaya itu dibebankan pada peserta didik, apakah biaya masuk kolam renang ini pun bisa terjerat pasal pungutan liar?
Inilah barangkali secuil realitas pendidikan dewasa ini. Satu sisi guru dituntut  inovatif, murid dituntut cerdas dan mencapai target pembelajaran, sedang ongkos-ongkos yang diberikan negara untuk mencapai itu semua sangat terbatas. Jika pun menyerahkan pembiayaan macam biaya masuk kolam renang atau tiket pertunjukan teater pada murid-murid (yang mungkin tidak lebih dari sekitar 15 atau 20 ribu, sudah berikut ongkos), dengan adanya Satgas Saber Pungli dengan sekian aturan-aturannya itu, posisi guru dan sekolah sebagai penyelenggara dan pengelola satuan tingkat pendidikan cukup terjepit, rikuh, dan serba was-was. Dilema.
Sebagai penutup tulisan ini, tawaran solusi yang mungkin bisa diupayakan terkait persoalan pungutan liar di sekolah adalah adanya dialog, diskusi, musyawarah antara  guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan, dan peserta didik serta orang tua/walinya tentang pungutan liar. Yang penting juga adalah hadirnya unsur Satgas Saber Pungli yang turut serta dalam forum itu agar dapat memberi pemahaman yang sejelas-jelasnya ihwal pungutan liar di lingkungan pendidikan. Persepsinya musti selaras agar tidak timbul saling curiga, was-was, dan ketakutan demi terwujudnya dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik.
 
Oktober 2018
 
Dimuat di tabloid Ganesha edisi 295 Volume VII Oktober 2018

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...