Senin, 24 Februari 2020

Gaduh Galuh


Ridwan Saidi bikin geger. Pernyataan dalam sebuah video yang diunggah di Youtube menuai reaksi keras dan panas dari masyarakat Ciamis. Dalam pernyataannya, ia menyatakan bahwa di Ciamis tidak ada kerajaan, Galuh adalah kerajaa fiktif, dan prasasti yang ada di Ciamis adalah palsu. Yang membuat sangat marah tentu saja pernyataannya tentang arti Galuh. Ia mengatakan bahwa kata Galuh berasal dari bahasa Armenia yang berarti brutal. Keyakinan itu ia asalkan dari kamus Armenia – English yang terbit akhir abad 19.

Belakangan ia mengklarifikasi penyatannnya. Katanya, brutal yang ia maksud bermakna mengaum. Brutal berasal dari bahasa Belanda, artinya mengaum. Kata aslinya berbunyi “brital”, namun diucapkan brutal oleh orang Indonesia dan mengalami pergeseran makna.

Apapun klarifikasinya, sebagian masyarakat Ciamis marah, geram, dan kesal. Merasa harga dirinya diinjak-injak. Saya katakan sebagian masyarakat, sebab memang tidak semua. Masyarakat di kampung saya, yang sehari-hari ke sawah, berkebun, atau jadi kuli bangunan, sama sekali tidak merespon hal itu.

Apakah karena mereka tidak tahu sebab tidak mengakses berita? Atau mereka tahu namun tak mau ambil pusing sebab banyak hal lain yang lebih utama untuk dipusingkan? Entahlah. Nyatanya, kehidupan berjalan normal dan baik-baik saja di sini.

Sebagai reaksi dari pernyataan Babe Ridwan tersebut, diadakan berbagai diskusi di Ciamis dengan tema hal ihwal Galuh. Pemda Ciamis menggelar diskusi bertajuk Gelar Usik Galuh yang dilaksanakan di Aula Adipati Kusumahdiningrat, Setda Ciamis pada Kamis, 20 Februari 2020. Meski yang hadir berasal dari beragam latar belakang, ini adalah panggung para sejarahwan akademis dan pemerhati budaya.

Muara dari riungan tersebut adalah simpulan harus disusun, dipatenkan, dan dicetaknya buku sejarah Galuh. Nantinya, sejarah Galuh ini akan jadi semacam muatan lokal yang akan dipelajari di sekolah-sekolah di Ciamis. Bupati Ciamis mengawali patungan dana penyusunan buku tersebut yang konon membutuhkan dana Rp195 juta. Beliau menyumbang Rp20 juta. Selanjutnya semua yang hadir disilakan turut menyumbang hingga terkumpullah Rp44,7 juta.

Ridwan Saidi, sang pemantik kegaduhan terkait Galuh ini, sama sekali tidak pernah datang ke Ciamis, baik atas inisiatifnya maupun undangan dari masyarakat/pemerintah Ciamis. Padanyalah sepatutnya ucapan terimakasih disampaikan. Lantaran pernyataannya itulah, diskusi ke-Galuh-an ramai kembali. Bahkan sampai memantik “aksi sangat nyata”: patungan duit untuk penyusunan buku sejarah Galuh.

Pada pemilik akun Macan Idealis, Vasco Ruseimy, padanya pula patut disampaikan terimakasih. Ia jadi cukang lantaran dan musabab awal dari semua kegaduhan ini. Apakah ini bermotif ekonomi politik, atau benar-benar rekonstruksi sejarah seperti pengakuan pria jebolan Teknik Kimia UI itu, boleh jadi cuma Tuhan, Rokib, Atid, jin qorin, kawan-kawannya, dan Ketua DPP Partai Berkarya itu sendiri yang tahu.

Semuanya bermula di Youtube. Siapa yang mau sangkal kekuatan media sosial? Kegaduhan ini makin berkembang karena persebaran di media sosial begitu luas. Ia jadi viral, jadi berita nasional. TvOne, Kompas TV, dan beberapa media nasional lainnya menyorotkan kameranya ke Ciamis, menerjunkan jurnalisnya ke Tatar Galuh. Ciamis makin tenar. Sebelumnya, Ciamis memang sudah tenar di nasional. Yang teranyar sebelum gaduh Galuh, tentu saja, aksi jalan kaki Ciamis – Jakarta yang dilakukan para santri dan tokoh agama dalam rangka mengikuti aksi 212 di Monas, Jakarta.

Marahnya sebagian warga Ciamis adalah wajar. Pernyataan Ridwa Saidi tentang Galuh yang berarti brutal memang tidak disampaikan dalam kerangka forum ilmiah. Bisa saja itu merupakan asumsi. Kalau berasumsi, beropini, ya bebas saja. tidak musti berlandaskan suatu teori atau pendapat ilmiah. Opini boleh sangat subjektif. Reaksi dari asumsi itu juga tentu boleh sangat subjektif.

Namun, ketika ia menyatakan merujuk pada kamus, ini yang kiranya perlu ditelusuri secara ilmiah-akademis. Titel yang kadung disematkan media padanya sebagai budayawan dan sejarahwan  sepatutnya diuji lewat suatu forum ilmiah: debat. Mari adu data, mari adu argumen yang jelas pondasinya. Bukan asumsi berbasis prasangka, pseudo-science, atau sentimen irasional.

Tugas ini baik kiranya diemban atau diamanahkan pada para sejarahwan atau akademisi. Perdebatan ilmiah dalam ranah ilmu pengetahuan adalah biasa, hal yang niscaya, bahkan keharusan. Ia merupakan syarat perkembangan ilmu pengetahuan. Argumen ilmiah yang tak lolos falsifikasi, gugur dengan sendirinya. Namun, argumen usang itu tidak serta merta menjadikannya berita bohong, hoaks. Kan repot kalau dissenting opinion yang gugur lantaran falsifikasi kemudian dikasuskan menjadi hoaks. Ilmu pengetahuan akan mandeg untuk kemudian mundur.

Agaknya, forum debat ilmiah ini yang absen dalam kasus Ridwan Saidi. Perdebatan Ridwan dan Yat Rospia Brata, rektor Universitas Galuh cum Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, yang terjadi pada acara Apa Kabar Indonesia Malam di tvOne pada Minggu, 16 Februari 2020 padahal sudah cukup baik. Ridwan yang banyak mengutip buku karya Fernao Mendes Pinto dikritik oleh Yat. Sumber itu tidak valid, katanya. Yat menyampaikan juga temuannya terkait Mendes Pinto dalam sebuah artikel yang ditulis Stuart Schwartz yang muat di New York Times, 4 Maret 1990. Penjelajah Portugal itu disebutnya The Greatest Liar, Sang Pembohong Besar.

Pada kesempatan itu, mantan Dekan FKIP UNIGAL ini pun menunggu kehadiran Ridwan Saidi di Ciamis pada Kamis, 20 Februari 2020 pukul 08.00. Ridwan siap datang jika ada yang menanggung ongkos. Yat, katanya, siap mengongkosi. Namun, pertemuan itu tak kunjung terjadi. Sekretariat Daerah Ciamis sebagai penyelenggara acara Gelar Usik Galuh tidak pernah menyampaikan undagan tertulis pada tokoh Betawi tersebut.

Kalau saja perdebatan ilmiah itu terjadi, saya kira Ciamis justru akan makin naik pamor, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Sikap ini sudah sukar sekali ditemukan. Politisi dan para pesohor yang sering diberitakan media malah lebih suka jalur hukum ketimbang debat sehat.

Namun, kalaupun debat itu terjadi, ia tidak akan berdampak dan mempengaruhi apapun jika berurusan dengan sense of belonging, ownership, rasa memiliki. Mau dikatakan Galuh itu brutal, Galuh adalah kerajaan fiktif, dan lain secamacamnya, hal itu tidak akan mengubah keyakinan sebagian warga Ciamis prihal ke-Galuh-an. Seperti kecintaan dan rasa memiliki sebagian warga Jawa Barat pada Persib Bandung. Meski ia kalah dan bermain buruk, para Bobotoh tidak lantas mengoreksi dukungannya dan berpaling ke lain hati. Demikian logika keyakinan dan rasa memiliki. Kalau sudah yakin, ya, sudah.

Namun, karena sifatnya subjektif, ia cenderung sensitif. Mirip agama, mirip asmara. Rentan sekali memantik emosi. Demikian yang terjadi pada kasus Galuh belakangan ini. Yang jadi soal bukan saja tentang fakta sejarahnya, namun juga perasaan yang terciderai. Selama ini, sebagian masyarakat Ciamis begitu memuliakan dan meyakini Galuh, tidak hanya sebagai fakta sejarah, namun juga sebagai identitas, jati diri, dan nilai warisan leluhur. Ketika hal tersebut, yang selama ini dimuliakan, diagungkan, dipupusti, dan dimumulé dikatakan bermakna leksikal brutal dan fiktif secara historis, wajar kalau marah.

Momen gaduh Galuh ini baik digunakan sebagai introspeksi dan otokritik. Selama ini ke-Galuh-an  dikaji masih sebatas nilai dan kearifan lokal. Secara luas, ia masih sebatas informasi. Dimensinya masih terbatas pada moral-etik, kesenian, mistisme, bahasa, sejarah, arkeologi, dan semacam itu. Sangat jarang sekali—untuk tidak mengatakan sama sekali tak ada—diskusi atau kajian yang fokus pada implementasi nilai-nilai ke-Galuh-an dalam tataran pemerintahan, umpamanya.

Rumusan pertanyaan sederhananya: apakah regulasi di lingkungan Pemerintah Daerah Ciamis yang selama ini diproduksi telah sesuai dengan nilai-nilai ke-Galuh-an atau tidak? Ataukah aturan-aturan tersebut justu lekat dengan nilai-nilai dan sistem ekonomi liberal a la Adam Smith?

Tak hanya politik dan pemerintahan, kajian ke-Galuh-an juga bisa dperluas ke dunia pertanian, umpamanya. Bagaimana masyarakat Galuh zamam dulu mengolah sawah?

Tentang pertanian a la Galuh, ada hal yang cukup menarik. Konon, sistem pertanian yang dilakukan masyarakat Osing di Banyuwangi saat ini merupakan warisan dari Galuh. Dan terkait hal ini, seorang warga suku Osing yang pernah berkunjung ke Karang Kamulyan berpendapat bahwa situs yang selama ini diyakini sebagai bekas ibu kota kejaraan Galuh Purba itu, justru merupakan laboratorium pertanian pada masanya. Nah, dissenting opinion macam ini akan menarik bila dikaji lebih jauh.

Segala macam reaksi dan komentar masyarakat yang merasa tersinggung dengan pernyataan Ridwan Saidi patut dihormati. Hal demikian itu lahir dari kecintaan. Ukuran kebablasan atau tidaknya ungkapan rasa cinta itu, ya, itu persoalan adab dan kebijaksanaan.

Wacana dekonstruksi sejarah memang menarik sajauh ia dilakukan dengan cara yang arif. Sesuatu yang dirasa sudah ajeg, kemudian digoyang, disentil-sentil, diobrak-abrik, pasti gaduh. Yang jadi penting justru pengelolaan kegaduhan itu, bagaimana ia tak kemudian kontra produktif dengan tujuan akhir dekontruksi itu sendiri (dalam hal ini, dekonstruksi adalah metode, bukan tujuan). Terlebih bila ada pihak yang memanfaatkan situasi gaduh demi mendulang untuk materi, citra, dan popularitas, wah, ini namanya lauk buruk milu mijah.

Panjalu, 24 Februari 2020

keterangan gambar:
foto pertunjukan teater "Sang Manarah" produksi TTMC 2016
naskah karya Nur JM sutradara Ridwan Hasyimi

Kamis, 13 Februari 2020

Agama Yang Menggelisahkan: Catatan Dua Monolog Arisan Teater Tasikmalaya

Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri, dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa. Tetapi berapa banyaknya dosa yang diperbuat orang atas nama agama itu.

(Habis Gelap Terbitlah Terang—surat R. A. Kartini pada Stella Zeehandelar tanggal 6 November 1899)

Bicara agama selalu seksi, ngeri-ngeri sedap. Agama sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Makanya, isu agama pasti dijadikan amunisi menjelang pemilu sebab cukup ampuh mendulang suara.
                                                                                                                                   
Dua pertunjukan monolog yang dipentaskan dalam kegiatan Arisan Teater pada Rabu, 5 Februari 2020 bertempat di SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya konon tidak bersepakat untuk mengangkat atau setidaknya menyingung-nyinggung hal ihwal agama. Namun, baik Tatang Pahat yang membawakan “Sepotong Kayu” karya Nazarudin Azhar maupun Kiki Ihsan Pauji yang membawakan “Sang Mualaf” karya Yusef Muldiyana sama-sama menyinggung agama dalam pertunjukannya.

Tatang Pahat dapat giliran pertama. Monolog yang dimainkannya berkisah tentang perjalanan seseorang yang dianggap gila, tepatnya ringkasan cerita perjalanan sedari ia lahir hingga saat itu ia bercerita.

Setnya sebuah penjara, disimbolkan dengan 4 bilah bambu yang menjulang hingga ke langit-langit. Di kiri-belakang, bingkai merah tergantung miring. Tepat di tengah-belakang, sebuah level tergeletak, menanjak ke arah belakang.

Seseorang berpeci hitam berbaju kusam bersenandung tentang kesepian. Kakinya pincang. Wajahnya pucat. Entah sudah berapa lama ia di sana. Yang jelas, ia ditangkap pada suatu malam atas tuduhan penganiayaan seorang tokoh agama, tindakan yang sebenarnya tak pernah ia lakukan.

Sebagaimana kebanyakan monolog, pertunjukan berdurasi 30 menitan ini beralur mundur: dari sekarang (present) melompat ke masa lalu (past) dan maju mengalir ke masa sekarang (present). Alurnya kronologis namun fragmentatif.

Orang gila ini bercerita bahwa ia dilahirkan di sebuah lokalisasi prostitusi dari rahim seorang PSK. Nasib membawanya akrab dengan jalanan. Ibunya meninggal sementara ia tak tahu siapa ayahnya. Tiap kali berjumpa seorang lelaki, dipanggilnya lelaki itu ayah. Aduh. Ini jelas sebuah kritik yang jenaka namun menusuk. Mau tak mau, terima atau tak terima, kondisi ini nyata dan merupakan “anak kandung masyarakat”.

Nahas. Tempat kelahiran orang gila itu digeruduk massa “bersorban putih”. Ya, tentu. Kita sama-sama tahu apa maksud istilah dalam tanda petik itu. Yang paradoks adalah ucapan tokoh itu yang menyatakan bahwa di “tempat bejat” itu, yang digeruduk massa “bersorban putih” itu, masih ada seorang yang mulia, yakni ibunya. Yang bejat dan yang mulia berkelindan. Ibu bagi si gila dan PSK dari kaca mata yang lain adalah tubuh yang satu, sang  perempuan yang itu-itu juga. Betapa realitas itu penuh warna, tak sesederhana hitam dan putih belaka.

Pengalamannaya “tabrakan” dengan “agama” bukan sekali itu saja. Sekali waktu ia pernah diusir dari sebuah mesjid karena tubuh dan pakaiannya dekil lagi bau padahal ia hendak wudhu dan sembahyang. Ironis. Akhirnya ia “menemui” Tuhan di jalanan, bukan di “rumah-Nya” yang serba megah namun tak ramah itu.

Bukan cuma itu. Suatu malam ia menolong seorang tua yang roboh di depan sebuah mesjid. Kepala bapak tua itu bocor, darah mengalir. Orang-orang berhamburan dari dalam mesjid: menyerbu dan memukuli si gila seraya menghardik “PKI! PKI!” Tanpa pernah diberi kesempatan menjelaskan, ia diamankan aparat: mendekam di penjara. Ia dituduh menganiaya seorang tokoh agama.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada fenomena orang gila di Jawa Barat pada 2018. Ketika itu ramai diberitakan orang gila yang menyerang dan menganiaya tokoh-tokoh agama tanpa sebab. Sebagian orang mengaitkannya dengan isu kebangkitan PKI yang memang sedang hangat menjelang Pilpres 2019.

Kisah pembantaian tokoh-tokoh agama oleh PKI memang telah menjadi memori kolektif sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Hal ini diabadikan—dan dipropagandakan—oleh film produksi Orde Baru berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai salah seorang maestro teater Indonesia, Arifin C. Noer.

“Sepotong Kayu” memang tidak banyak mengupas PKI. Ia hanya menukil bagian kecil dari akibat sejarah yang tak pernah tuntas digali. Yang kentara jelas justru hal-hal paradoks: yang bejat dan yang mulia; rumah Tuhan yang tak ramah; pemeluk agama yang gemar main hakim sendiri; orang gila yang “menjumpai Tuhan” di jalanan, tidakkah itu cukup sebagai contoh paradoks yang bertaburan sepanjang petunjukan?  

Paradoks-paradoks itu membenam dengan halus, nyaris tak terbaca kecuali dalam kalimat-kalimat sang tokoh. Visual pertunjukan sama sekali tak memberi celah pembacaan itu. Permainan Tatang Pahat pun tak mengarah pada hal-hal paradoksal. Yang nampak justru akting yang “lepas” pada beberapa bagian akibat hapalan teks yang belum tuntas.

Meski minim unsur musik, pertunjukan ini tak bisa dibilang sederhana. Set dan tata cahaya memiliki porsi yang cukup berperan sebagai pembentuk ruang imaji meski masih terbuka kemungkinan untuk dieksplorasi lebih jauh. Minimnya unsur bunyi berupa musik jadi poin yang cukup menarik. Hal ini dapat mengurangi keutuhan pertunjukan namun dapat pula menjadi nilai lebih sebagai bagian dari konsep utuh sang sutradara.

Musik dalam sebuah pertunjukan teater memungkinkan untuk dikembalikan ke bentuknya yang paling purba: bunyi. Nyanyian yang dilantunkan sang tokoh di awal dan di akhir pertunjukan tanpa iringan musik berpotensi menjadi “musik yang berisi”. Selain karena lirik dan pilihan nada, yang menjadi senjata utama tentu saja kedalaman penghayatan aktor dalam membawakan lagu ini. Terlebih si tokoh mengatakan bahwa tiap kali ia sholat, ia bernyanyi. Baginya, bernyanyi adalah sembahyang, adalah ibadah. Oleh karenanya musti khusyuk dan mendalam.

Akan mengagumkan bila bagian nyanyian di awal dan di akhir pertunjukan itu dioptimalkan dengan segala instrumen keaktoran, meski tanpa bantuan bunyi-bunyi lain diluar bunyi tubuh dan jiwanya. 

Berbeda dengan “Sepotong Kayu” yang cenderung padat, lurus, berupaya puitik, dan berusaha setia pada gagasan realis, “Sang Mualaf” yang tampil kedua cenderung longgar, prosais, dan condong pada bentuk non-realis. Sebagaimana judulnya, lakon ini mengisahkan luka-liku perjalanan seorang lelaki menjadi mualaf.

Gustofa Ahmadun Dirham, namanya. Ia lahir sebagai seorang Hindu Bali. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah dengan lelaki Buddhis. Ia pindah agama turut suami dan hijrah ke Jawa, demikian pula Gustofa. Ketika berusia 12, ibu Gustofa meninggal. Ia dimakamkan secara Hindu sebab anak sulungnya menghendaki itu. Ayah tiri Gustofa kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan Katholik dan pindah agama menuruti istrinya. Gustofa turut serta.

Perjalanan agama Gustofa tak henti di sana. Ia pindah menjadi Protestan lantaran kekasih calon istrinya seorang Protestan. Agama non-mayoritas itu ternyata tidak banyak menguntungkan dalam dunia kerja. Gustofa terpaksa keluar kerja lantaran perusahaan tempatnya bekerja membuat aturan   seluruh karyawan musti memeluk agama mayoritas.

Atas dasar mimpi yang didapatkannya di tengah kebimbangan antara memilih menjadi mualaf atau di-PHK, ia mantap menjadi mualaf meski harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Meski telah mualaf, ia tetap memilih keluar kerja dan pergi ke luar negeri. Di Teheran, ia mengelola sebuah hotel mewah. Kesempatan itu ia manfaatkan juga untuk mendalami agama lebih serius.

Setelah sekian lama, akhirnya ia pulang ke Indonesia dan menjadi pemimpin kelompok teroris. Sekian aksi bom bunuh diri ia rancang dan perintahkan. Ujungnya, ia sendiri memutuskan menjadi “pengantin”. Bom tak meledak dan ia diciduk: mendekam di penjara.

Dengan mengesampingkan logika cerita yang melompat-lompat dan beberapa data yang janggal, pertunjukan yang dikemas dalam bentuk non-relias ini justru sangat realis. Maksudnya, kisah ini sangat mungkin terjadi di alam nyata.

Sepanjang cerita perpindahan agama itu, yang absen justru aspek spiritual-transendental, hal yang  sangat penting dalam agama. Tokoh dengan mudah pindah-pindah agama disebabkan hal yang pragmatis, yang duniawi. Meski pindahnya Gustofa menjadi muslim berdasar mimpi bertemu Yesus Kristus, namun alasan awalnya lantaran pekerjaan. Pada bagian ini, sedikit saja ia menyinggug tentang imannya pada Sang Juru Selamat. Selebihnya adalah alasan-alasan pragmatis: turut serta orang  tua, alasan pernikahan, dan pekerjaan.

Ketika spiritualitas absen dari para pemeluk agama, banalitas dan dehumanisasi atas nama agama mudah sekali terjadi. Puncak banalitas Gustofa, yakni tatkala ia melakukan bom bunuh diri, “digagalkan” dengan mudah oleh “dirinya sendiri”.

Tepat ketika ia hendak meledakkan diri, Gustofa tetiba berubah menjadi tokoh yang lain. Ini adalah alienasi kedua. Sebelumnya, alienasi pertama “menginterupsi” tatkala Gustofa memutuskan menjadi mualaf.

Sebagai tokoh “entah siapa”, pada alienasi kedua, ia menyampaikan “amanat pertunjukan” secara verbal. Sayangnya, adegan ini terlalu berdempetan dengan bagian ending: visual penjara dengan Gustofa yang tertidur di atas kubus. Kejutan terakhir itu kehilangan momentum. Membingungkan.

Sama seperti lakon yang pertama, lakon berdurasi hampir 1 jam ini berseting penjara. Seluruh visual pertunjukan dihadirkan melalui proyektor, termasuk jeruji penjara. Di panggung hanya ada kubus tiga sisi berdimensi sekira 150 x 30 x 60 cm. Kubus itu multifungsi dengan fungsi dominannya sebagai screen, medium penampil visual multimedia.

Mengawali pertunjukan, musik nuansa Bali mengantar kemunculan sang tokoh yang dikisahkan berasal dari sana. Ini diperkuat dengan aksen Bali yang digunakan Kido, sapaan akrab Kiki. Sayangnya, konsistensi aksen ini agak terganggu, khususnya ketika menghadapi adegan-adegan emosional.

Penegasan non-realis dari pertunjukan ini nampak dari hadirnya upaya alienasi: melompat keluar dari cerita dan karakter tokoh. Tujuannya untuk memecah kekhusyukan penonton agar tak larut secara emosional. Bentuk pertunjukan macam ini justru menghendaki penonton untuk dapat melihat dan menilai laku di panggung secara lebih objektif.

Dengan demikian, berbeda dengan drama realis yang menghendaki keterlibatan emosional penonton dan bertujuan katarsis, dalam drama non-realis macam ini penonton diharap dapat berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang diangkat di atas pentas alih-alih tersedot secara emosional.

Jika saja upaya alienasi tidak hanya mengadalkan perbedaan bahasa dan gaya tutur, boleh jadi tujuan alienasi ini bisa lebih tepat tercapai.

Dari dua pertunjukan yang disajikan malam itu, ada beberapa kesamaan. Yang jelas sekali adalah perkara latar tempat. Keduanya sama-sama berseting penjara. Selain itu, banyak bagian dari dua  pertunjukan ini yang memainkan tempo yang terlalu lambat. Beberapa adegan “Sang Mualaf”  berisi aktor yang bergeming seperti disorientasi. Sedang “Sepotong Kayu”, beberapa adegannya terkesan kosong atau “lepas”. Apakah ini gambaran umum kondisi dalam penjara? Atau sesuatu yang lain?

Di luar semua catatan-catatan itu, kedua aktor ini menampilkan permainan peran yang cukup meyakinkan. Tatang Pahat memainkan improvisasi yang apik dan cerdas untuk mengatasi hapalan teks. Sedangkan Kido, business acting-nya demikian diperhatikan. Kemampuannya berubah-ubah karakter dalam waktu sekejap patutlah juga diacungi jempol. Jam terbang dan kekayaan batin memang selalu jujur, menampakkan hasilnya di atas pentas.

Sebagaimana kejujuran para aktor di atas panggung, barangkali kita juga perlu jujur mengakui bahwa agama masih sering kali membuat gelisah, sesering ia membuat tenang dan tenteram. Menyaksikan dua monolog itu, dan membaca tulisan Kartini 121 tahun yang lalu, apakah agama sudah sedemikian menggelisahkan?

Panjalu, 13 Februari 2020 


Sabtu, 01 Februari 2020

Cawokah Dan Persepsi Tubuh


Urang Sunda umumnya suka guyon. Meski demikian, The Secretary Of Hereen Zeventien yang telah diamankan Polda Jabar itu bukan termasuk guyonan urang Sunda. Saya sangka, ia orang dengan imajinasi tinggi yang menyalurkan kelebihannya di saluran yang kurang tepat. Akhirnya bikin geger dan marah. Kan, jadinya ditangkap polisi. Kalau saja imajinasi itu disalurkan jadi novel atau film, pasti bakal laku keras.  

Guyoan itu—atau sebut saja komedi—banyak macamnya. Saya bukan ahli komedi, jadi kurang paham macam ragam komedi yang ada di dunia. Di Sunda saja, ada macam-macam jenis dan gaya yang bisa memantik tawa. Cawokah, salah satunya.

Untuk memudahkan pengistilahan, dalam tulisan ini mari bersepakat untuk menyebut cawokah sebagai salah satu ragam komedi yang ada dalam budaya Sunda.  

Bagi yang pernah tinggal di tengah masyarakat Sunda, tidak sukar menemukan sekelompok orang yang asik bercanda ria membincangkan pengalamanan hubungan seksual, ukuran alat kelamin, atau hal-hal “ngeres” lainnya. Oleh sebagian orang, hal demikian itu sering dianggap tabu untuk diperbincangkan di depan umum. Tapi bagi sebagian lain, percakapan “ngeres” itu bisa jadi guyonan ringan yang memancing tawa (bukan libido).

Urang Sunda mungkin masuk kategori “sebagian orang” yang kedua, yang menjadikan hal ihwal seksualitas sebagai salah satu bahan guyonan. Bukan saja percakapan santai di warung kopi atau di sela-sela kerja sawah dan ladang, ragam komedi ini pun umum diselipkan dalam pertunjukan wayang golek, calung, réog, bahkan ceramah keagamaan. Bahkan tak jarang, alih-alih diselipkan, bodor cawokah menguasai sebagian besar materi pertunjukan.

Ketika mendengar alat kelamin, status perkawinan, hubungan seksual, atau hal ihwal ketubuhan lain diolok-olok, bukannya tersinggung atau risih, sebagian besar urang Sunda itu malah terkekeh-kekeh, seolah menertawakan diri mereka sendiri.
  
Yeuh, nagaya, ngabéjaan wé kuring mah. Pangabisa sinden mah bisa ditempo tina carana nyekel mik. Lamun nyekel mikna ukur ku curuk jeung jempol, jiga nu nyeumpal bala-bala panas, bari éta mik anggang tina biwir, héjo kénéh. Kurang jam terbang. Sieun kénéh ku mik. Lamun mikna dikeupeul bari jeung diatelkeun kana biwir, tah éta geus asak. Keur meumeujeuhna. Biasana anyar kawin sinden nu kieu mah. Lamun dikeupeul bari dikolomoh, cirining lila teuing teu manggih mik. Sinden teu payu nu kieu mah, langka manggung. Matak sakalina manggih mik, bébéakan meupeuskeun kasono.

(Nih, nayaga (penabuh gamelan), aku cuma mau kasih tahu. Kemampuan Sinden itu bisa dilihat dari caranya memegang mik. Kalau miknya dipegang cuma pakai telunjuk dan jempol, seperti memegang bakwan panas, dan mik itu tak ditempelkannya ke bibir, masih hijau dia. Kurang jam terbang. Masih takut sama mik. Kalau miknya digenggam dan ditempelkan ke bibir, nah itu sudah matang. Lagi masa-masanya. Biasanya sinden macam ini baru menikah. Kalau digenggam sambil dikulum, tandanya terlalu lama dia ngga ketemu mik. Sinden ngga laku, jarang pentas. Makanya, sekalinya ketemu mik, habis-habisan dia memecah rindu.)   

Kesampingkanlah kemampuan berbahasa Sunda saya yang buruk, juga kemampuan penerjemahan saya yang sangat memaksakan. Anggaplah itu contoh bodor cawokah yang umum ada dalam pertunjukan wayang golek. Kemampuan dalam konteks di atas bukan perkara kemampuan menyanyi seorang sinden. Demikian pula mik bukan bermakna pengeras suara (mikrofon). Pembaca usia dewasa barangkali paham arah guyonan itu.

Meski demikian cair, adab tetap ada. Tidak di tiap kesempatan guyon macam ini bisa dilakukan. Siapa bicara pada siapa dan dalam kondisi apa, itu tentu jadi pertimbangan. Ketika seorang Dedi Mulyadi bermaksud bercawokah ria di atas panggung Spritual Bambu Festival di Purwakarta pada malam pergantian tahun Desember lalu, bukannya mematik tawa, ia malah dibanjiri kecamaman justru dari kalangan seniman Sunda. Dengan lawan main seorang komedian perempuan, alih-alih cawokah, kata-kata yang meluncur dari mulut mantan Bupati Purwakarta dua periode itu dinilai merendahkan perempuan.

Pada praktiknya, antara cawokah, body shaming, dan porno memang acap kali ditukar-tukar. Seseorang dengan niat menggoda atau merangsang birahi lawan bicaranya, sering kali bersembunyi dibalik cawokah—sebagai kearifan lokal dan ciri khas urang Sunda—tatkala ia ditegur atau diperingatkan. Saya kira, ini yang keliru.

Cawokah, sebagai sebuah kearifan lokal, punya keterbatasan. Batasnya bukan wilayah administratif atau teritorial, namun batasan budaya yang tentu saja abstrak. Boleh jadi bobodoran cawokah bisa diterima dan dinikmati dengan baik oleh orang non-Sunda yang ternyata punya kesamaan dalam hal  selera humor dengan urang Sunda. Tetapi, urang Sunda yang lain boleh jadi malah merasa risih mendengar kawan sebangsanya berguyon “ngeres” macam itu sebab meski ia bangsa Sunda namun alam pikirnya sudah sangat Eropa atau sangat Arab, umpamanya. Kan, jadi tak nyambung. Frekuensinya beda.

Komedi memang demikian relatif. Saya susah tertawa melihat Mpo Alpa di OVJ yang dihipnosis agar bertingkah diluar kewajaran. Tetapi kawan saya yang lain merasa asik saja dan terpingkal-pingkal dibuatnya. Sebaliknya, saya bisa tertawa lepas tatkala menyaksikan Cepot dalam wayang golek, sedang teman di samping saya yang sama-sama urang Sunda, bergeming saja sebab menurutnya bodor itu tak lucu dan menciderai sopan santun.

Otokritik
Sebenarnya, tulisan ini saya maksudkan selain sebagai ungkapan “kepenasaranan” atas cawokah, juga sebagai semacam evaluasi atau otokritik terhadap tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Menertawakan Mpo Alfa OVJ, Absurdisme, Cawokah, Dan Lain-Lain” yang saya unggah pada 3 Januari 2020. Pada alinea ke delapan dan sembilan, saya menulis:

“Humor-humor seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak terkecuali cawokah. Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa terpingkal-pingkal mendengar tubuh dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.

Kaum Adam apalagi. Di balik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang lamat-lamat sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap laki-laki. Dan itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari sebab sudah menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).”

Setelah saya berbincang dengan seorang komika dan beberapa senior sastrawan Sunda, pandangan saya tentang cawokah agaknya perlu dievaluasi. Salah satu hal baru yang saya sadari adalah bahwa objek cawokah bukan hanya tubuh dan seksualitas perempuan, namun laki-laki juga.

Jika ibu-ibu jumpa di warung, salah satu yang berpotensi mereka bicarakan adalah hal ihwal tubuh laki-laki. Itu menurut kesaksian salah seorang senior saya yang berjenis kelamin perempuan. Rumah tempatnya tinggal dulu, juga adalah warung yang tiap hari didatangi pembeli dari kaum ibu-ibu.

Saya juga jadi teringat kawan-kawan saya semasa kuliah dulu. Saya pernah kuliah mengambil kelas karyawan. Jadwal kuliahnya tiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Nah, percakapan Jumat siang sembari menunggu dosen tiba, pasti menyangkut paut “sunnah malam Jumat”. Maklum saja, sebagian besar kawan kuliah saya adalah ibu-ibu muda dan bapak-bapak anak satu.

Yang sering (dan berani) memulai percakapan “ngeres” itu adalah kawan-kawan saya kaum ibu-ibu. Mereka yang acap kali memantik percakapan hingga yang lain menimpali dengan kisah “ngeres” yang lain. Saya dan beberapa kawan lain yang waktu itu belum menikah, asik saja menyimak “sex edutainment” gratis.

Nah, disebabkan hal-hal itu, saya merasa musti mengevaluasi dan mengoreksi pandangan saya tentang (tubuh) perempuan sebagai objek cawokah. Ternyata, ya, sama saja. Tidak ada yang lebih “diobjekkan” ketimbang yang lain. Baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama menjadi objek bagi lawan jenis kelaminnya.

Jika ada anggapan bahwa kaum laki-laki lebih cawokah ketimbang perempuan, saya kira itu lebih dikarenakan laki-laki lebih “percaya diri” menyampaikannya di ruang publik sebab ia memang mendominasi ruang itu. Nah, kalau soal kepercayaan diri dan dominasi ruang publik ini, besar  kemungkinan akarnya memang budaya patriarki.

Persepsi Tubuh
Akhirya, rasa penasaran saya pada cawokah mengantar saya pada pertanyaan mendasar: bagaimana (masyarakat dan/atau budaya) Sunda mempersepsi tubuh?

Tubuh dan seksualitas dijadikan bahan guyonan. Baik penutur maupun penyimak merasa hal itu lumrah dan bahkan jadi kebutuhan: jika tidak mengolok-olok tubuh dan seksualitas, rasanya ada yang kurang. Hal ini muskil datang dari persepsi tubuh a la Barat abad pertengahan yang dominan  dipengaruhi Kristianisme, misalnya.

Selera dan gaya humor tidak muncul ujug-ujug. Apalagi humor dalam konteks kearifan lokal, ia pasti lahir dari suatu sistem ide yang di dalamnya terdapat juga sistem nilai. Bagaimana tubuh dinilai oleh suatu (pandangan) kebudayaan akan tercermin lewat manisfestasinya yang lebih real.

Umpamanya saja Hindustan Kuno. Teks Brhadaranyaka Upanishad dan Kama Sutra banyak memberi informasi tentang bagaimana kebudayaan Hindu memandang tubuh dan seksulitas. Tubuh dipandang bukan sebagai instrumen pelestari spesies semata, namun lebih dari itu.

Kepuasan tubuh dan kenikmatan seksual adalah tahap menuju moksa, puncak tujuan hidup dalam filsafat Hindu. Seks adalah salah satu bentuk darma. Karenanya, relief-relief posisi dan gaya berhubungan intim yang terpahat jelas di komplek candi Khajuraho di India tidaklah dipandang sebagai pornografi. Ia justru bernilai religius dan spiritual, selain tentu saja erotic art.

Jepang juga punya kisahnya sendiri terikait seks dan tubuh. Setiap tahun pada hari Minggu pertama bulan April, kuil Kanayama di kota Kawasaki rutin mengadakan Kanamara Matsuri atau Hari Alat Kelamin Pria. Pada hari itu, banyak makanan dan benda-benda yang sengaja dibuat berbentuk penis. Yang monumental, ada tiga patung penis raksasa yang diarak keliling kota. Semua ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap alat kelamin dan kesuburan pria. Kegiatan ini bertaut erat dengan mitos dan kepercayaan agama Shinto.

Selain dua yang saya sebut di atas, masih banyak budaya lain, khususnya di Timur, yang mempersepsikan tubuh dan seksulitas sedemikian rupa sehingga lebih “terbuka” dan “berani” mengekspresikannya.

Lantas bagaimana budaya Sunda mempersepsikan tubuh dan seksualitas sehingga cawokah dipandang sebagai suatu kelaziman? (Sebagian bahkan mengatakannya sebagai ciri khas urang Sunda, suatu kearifan lokal.)

Saya sendiri masih belum tahu. Adakah kawan yang bisa kasih pencerahan?

Panjalu, 31 Januari 2020
 
keterangan gambar: relief di kompek candi Khajuraho, India
sumber gambar: https://www.boombastis.com/candi-erotis-india/70092

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...