Sabtu, 23 Mei 2020

Mengeluhlah! Ngga Apa-Apa, Kok.


Kita terkejut. Panik. Karena panik maka banyak yang bertingkah konyol. Seperti paniknya menghadapi kemungkinan kalah dalam pemilu, membuat banyak politisi dan fansnya berpikir, bertindak, bahkan mati konyol.

Panik lahir dari ketidaktahuan. Atau ketidakjelasan. Samar. Remang-remang, itu bikin panik. Makanya warung remang-remang sering jadi sasaran kepanikan. Yang sering mengobrak-abrik warung remang-remang mendahulukan kepanikan alih-alih fakta dan klarifikasi. Mungkin remang karena watt bohlamnya kecil atau listriknya spaneng.

Corona ini samar, remang-remang. Bukan kesakitan yang ditimbulkannya yang remang, tapi data dan fakta-fakta di baliknya. Berapa (sebenarnya) yang terpapar? Berapa (sebenarnya) yang meninggal? Apakah SASR-CoV-2 adalah virus alamiah atau semacam biological warfare?  Siapa yang buat? Siapa yang untung? Yang buntung, ah, sudah tidak samar lagi.

Kita—atau setidaknya saya yang miskin akses pada informasi kredibel—seperti dipermainkan tanpa jelas siapa yang mempermainkan. Pemerintah? Bisa jadi. Tapi, mungkin mereka juga korban permainan. Sama-sama dipermainkan. Toh, mereka juga sama gelagapannya dengan saya. Atau pura-pura gelagapan padahal sudah punya rencana akbar (seperti yang ramai belakangan ini tentang Herd Immunity)? Entahlah.

Tapi, mungkin sudah fitrahnya manusia suka yang pasti-pasti, yang jelas (meski sebenarnya hidup justru tumpukan ketidakpastian, tumpukan ketidakjelasan, tumpukan misteri). Karenanya, kita memilih untuk percaya, karena ingin tenang. Kepastian mendatangkan ketenangan.

Siapa/apa yang bisa kita percaya dalam kondisi serba-tak-pasti ini? Percaya saja pada Tuhan, nurani, dan akal sehat.

Percaya media? Ayolah! (Pemilik) media itu pedagang. Komoditasnya informasi. Jangan terlalu naif menganggap bahwa pers itu suci oleh karenanya ia pilar demokrasi. Teorinya begitu. Tapi kan pers juga macam-macam. Tidak semua suci tidak semua penyesat. Warna-warni, lah. Kaya hidup dan manusia. Skeptis—yang harus berdampingan dengan kritisme—adalah sikap yang paling direkomendasikan dalam mengonsumsi informasi dewasa ini.

Pandemi ini mendesak kita tidak hanya untuk tidak terlalu percaya pada media, namun juga waspada terhadap orang-orang di sekitar. Ah, hal ini sungguh menyiksa dan bikin tidak nyaman. Curiga melulu. Pasca corona, melihat atau mendengar orang berusia lanjut batuk-batuk, apalagi disertai demam, hormon kecurigaan kita melonjak naik. Waspada!

Aih, tidak enak betul situasi semacam ini. Mau sampai kapan main curiga-curigaan?

Kehangatan berkumpul dialihkan ke dunia maya. Virtual. Masihkah hangat? Pentas-pentas seni mengusung tanda pagar #pentasdirumah dan “ditonton” via layar gawai atau komputer. Ini bukan “menonton seni pertunjukan”. Ini namanya “menonton video seni pertunjukan”. Dua hal yang sama sekali berlainan. Pertunjukan seni yang ditonton via mata kamera, oh, itu sudah terjadi reduksi.

Kemerdekaan penonton untuk melihat sudut-sudut tertentu dan detil-detil pertunjukan kandas. Penonton dipaksa manut pada mata kamera sebagai representasi mereka. Itu, salah satu, yang membedakan nonton pertunjukan dan nonton film.

Penampilnya—aktor, penari, seniman seni pertunjukan—seharusnya tidak masalah. Tinggal mengalihwujudkan “batas panggung” yang memang lazim ada di semua seni pertunjukan menjadi  bingkai (frame) kamera. Secara mendasar, panggung (stage) itu bukan sebidang lantai tertentu yang terbuat dari bahan anu dengan ukuran sekian kali sekian kali sekian. Panggung (stage) itu ruang (space) eksistensi sebuah pertunjukan. Ukurannya bisa berapa saja, sesuai kebutuhan dan kesepakatan.

Euleuh, jadi bahas seni pertunjukan. Beberapa waktu lalu saya membuat “video pertunjukan” demi lomba-lomba, demi keberlangsungan dapur dan kehidupan. Buat saya, tidak haram. Tapi, hal semacam itu tidak—atau mungkin belum (?)—bisa menggantikan nikmatnya “realitas panggung.”

Keasikan belanja, berdesak-desak, bau keringat, lelah, kepanasan, kehujanan, diberantas atas nama kesehatan, keselamatan. Diam di rumah saja. Pentas di rumah saja. Ibadah di rumah saja (kecuali konser, bolehlah di luar rumah). Soliter adalah solider, demikian kata seorang jurnalis perempuan beken.

Tapi…

Kerja dari rumah? Sekolah dari rumah? Harus ada internet, Bung. Harus makan kuota, Bung. Musti ada jaringan pula. Beli pulsa, bayar wifi, tidak bisa pakai janji dan jampi-jampi. Yang akrab pada teknologi punya potensi “exist” lebih lama. Yang punya duit, ya jelas, “usianya akan lebih panjang.”

Pandemi ini menyingkap banyak hal. Sebagaimana kata jurnalis perempuan beken itu, wujud solidaritas, kolektivisme, justru terejawantah dalam individualisme: diam di rumah, berdonasi via transfer m-banking atau e-wallet, meminimalisir kontak fisik, asosial. Paradoks. Inilah masa darurat. Sampai kapan kita kuat dan betah berlama-lama, ber-paradoks-paradoks, seperti ini?

Kita harus berdamai dengan corona, kata presiden. Kini bergulir wacana Normal Baru: suatu tatanan hidup pasca (dan selama) COVID-19. Siapa yang menentukan atau yang membuat tatanan itu? Secara alamiah, tiap-tiap komunitas, tiap-tiap individu, akan membuat Normal Baru-nya masing-masing. Negara pasti mengeluarkan “versi resmi.” Tapi, sebagaimana tiap versi resmi apa pun, pasti akan ada alternatif. Makin kuat masyarakat digenggam, makin banyak yang lolos di sela jemari.

Ya, semua memang lagi sulit. Panik. Cemas akan masa depan. Mengeluh memang tidak menyelesaikan masalah. Tapi, perlu! Sebagai pelepas jengkel, membuka katup. Ketimbang dipendam, ditekan ke dalam. Andai selamat dari corona, besok-besok malah stroke. Jangan! Mengeluh saja. Asal jangan berlebihan.  

Panjalu, 23 Mei 2020   

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...